Share

Istri hanya Status
Istri hanya Status
Penulis: Farid-ha Channel

Istri hanya Status

Istri hanya Status

Bab 1. Jangan Berharap

Pagi-pagi aku sudah dikagetkan dengan pecahan piring. 

Mas Abian membanting piring berisi nasi dan lauk pauk yang telah aku siapkan untuknya. 

"Kamu bisa masak nggak, sih? Kamu mau membunuhku, ya? Itu makanan apa? Rasanya tidak jelas begitu. Bikinkan aku makanan yang lainnya. Nggak sudi aku memakan masakan tidak jelas seperti itu!" 

"Ta — tapi, Mas. Sudah tidak ada bahan lagi di kulkas. Silvia masakin mi instan mau?" 

"Kamu pikir aku suka mi instan?" Matanya menatap nyalang ke arahku, sebelum meninggal meja makan.

Hatiku terasa sangat sakit.

Air mata ini sudah tak dapat lagi aku tahan. Aku menangis sembari memunguti pecahan piring. 

 Hari pertama memasuki rumah suami aku harus mengalami sakit yang tak berdarah seperti ini. Apakah aku kuat menjalani rumah tangga bersamanya? 

Aku mengira setelah menikah hidup ini akan bahagia. Nyatanya pernikahan ini tak seindah yang aku bayangkan.

Suara deru mobil meninggalkan rumah, artinya Mas Abian pergi.

Aku segera membersihkan dapur bekas masak tadi dengan deraian air mata. Pernikahan ini tentu tidak akan pernah terjadi kalau saja aku mampu mengembalikan hutang-hutang almarhum bapak dengan uangku sendiri. 

Aku terpaksa menerima lamaran ibunya Mas Abian karena untuk menebus hutang-hutang yang sudah menggunung.

Almarhum bapak meninggalkan hutang yang tak sedikit jumlahnya bagi kami. Saat itu bapak dengan terpaksa harus meminjam uang pada bosnya demi mengobati ibu yang sakit jantung. 

Namun, ibu tetap tidak terselamatkan meskipun sudah diupayakan kesembuhannya. Belum ada setahun ibu meninggalkan dunia fana ini, bapak ikut menyusulnya. Sungguh perjalanan hidup yang tak mudah bagiku. 

 Bu Anis, sang pemberi hutang akan mengangap lunas semuanya, apabila aku mau menikah dengan anak semata wayangnya. 

Aku yakin mas Abian tidak menginginkan pernikahan ini. Itu sebabnya dia sangat membenciku. 

 "Bangun! Bukan di sini tempat tidur kamu!" Suaranya sangat tinggi. Membuatku kaget. Seketika mata ini sembuh dari ngantuk.

Aku tidak tahu harus tidur di mana? Tadi melihat kamar ini yang aku yakin bukan milik Mas Abian, sehinga berani masuk ke sini dan membawa koper.  

Sejak kakiku melangkah di rumah ini aku belum dikasih tahu harus tidur di mana. Bahkan koperku pun masih ada di ruang tamu, karena mas Abian langsung menyuruhku masak.

"Bawa koper kamu ke luar dari kamar ini!" 

Lekas, aku beringsut dari ranjang dan menyeret koper. Tidak tahu lagi harus tidur di mana? 

"Aku tidur di kamar. Kamu di gudang kecil itu. Jangan pernah berharap kita akan tidur di ranjang yang sama. Ingat! kamu adalah seorang istri yang hanya di status saja."  

Tes! 

Bulir bening ini tanpa permisi langsung menerobos ke luar dari tempatnya. Saking sakitnya hati ini.

Sungguh kata-katanya sangat tajam. Bagai belati yang mampu menusuk relung hati. Segitu hina kah diriku di matanya?

"Tanda tangani ini."

Pria yang kemarin malam mengucapkan ijab qobul di depan pamanku itu menyodorkan kertas yang berisi perjanjian pernikahan. 

Aku menerima kertas itu setelah mengusap kasar air mataku.

"Baca baik-baik supaya kamu paham!" tegasnya.

Aku membaca dengan mata yang berembun. Isi dari perjanjian tersebut adalah.

1.Jangan melibatkan perasaan di hubungan ini.

2. Tidak boleh ikut campur urusan masing-masing.

3. Kita harus bersandiwara di depan orang lain. Terutama Ibu. Seolah kita bahagia dengan pernikahan ini.

"Ada yang mau ditanyakan?" tanyanya penuh penekan.

"Tidak, Mas. Aku paham dengan semua ini. Tidak usah khawatir."

"Bagus kalau begitu. Diingat-ingat isi perjanjiannya. Jangan sampai lupa. Sekarang tanda tangani!" 

Tanpa protes aku pun segera membubuhkan tanda tangan di atas kertas tersebut. Percuma menolak juga. Toh, dia tidak memberi pilihan. Namun, memaksaku untuk menerima pernjanjian yang dia buat sendiri.

"Bagus anak pinter," ucapnya setelah aku menyerahkan kertas yang telah kami tanda tangani berdua. 

"Satu lagi. Jangan pernah berharap aku akan menyentuhmu. Nafkah batin itu tidak akan pernah aku berikan untukmu. Aku hanya akan menyerahkan tubuhku pada orang yang aku cintai. Itu bukan kamu. Paham! Ingat kamu hanya istri di status saja. Tidak lebih!" 

Dia pun telah ke luar dari gudang dengan senyum mengembang. Mungkin dia bahagia telah menyiksaku begini.

"Ya Allah. Kuatkan hamba-Mu dalam menjalankan pernikahan ini. Berikan kekuatan serta kesabaran dalam menjalani ujian yang Engkau berikan. Hanya pada Engkaulah hamba meminta berikan jalan keluar terbaik dari masalah ini, ya, Allah."

Aku berdoa di dalam hati. 

Aku berusaha untuk tegar dan tak ingin menagis. Sayangnya tidak bisa. 

Pertahanan ku jebol kembali. Air mata terus berlinangan. Segitu rendahkah aku? Sehinga suamiku hanya menganggap aku hanya istri di status.

Pak, maafkan putri bungsu mu ini apabila tidak sekuat yang engkau harapkan. Aku lemah, Pak. 

Aku kembali tergugu saat meratapi nasib hidup ini.

"Nduk, hidup itu penuh perjuangan yang di dalamnya dibutuhkan pengorbanan. Urip itu keras. Kalau mau memenangkan sesuatu harus berjuang hingga titik darah penghabisan. Jangan cengeng ketika mendapatkan rintangan diawal. Bisa jadi di balik itu kamu akan menemukan kesuksesan."

 Nasihat bapak tiba-tiba kembali terngiang di telingaku. Seperti gulungan film yang berputar di kepalaku saat bapak mengucapkan petuahnya. 

Aku segera menyusut air mata dengan kasar. 

 Aku tidak boleh kalah dari pertarungan ini. Aku sudah terlanjur berperang maka harus berjuang hingga titik darah penghabisan. Masalah kalah menang itu urusan belakangan. Setidaknya aku tidak menyerah di awal. Tidak mundur sebelum berjuang. Syukur-syujur akulah pemenangnya. 

Air mata ini tidak boleh lagi jatuh di depan orang yang bergelar suamiku. Aku harus terlihat tegar ketika berurusan dengan Mas Abian.

Aku terima tantanganmu, Mas! Mari kita lihat, siapa yang akan menang dalam pertarungan ini!

Segera ku lipat lengan kaus panjang ini. Tanganku lekas membersihkan kamar kecil ini. Banyak barang-barang yang berserak di setiap sudutnya. 

Mataku menatap kasur kapuk yang tak terpakai, teronggok di salah satu sudut gudang ini.

Aku harus mengubah tempat ini menjadi kamar yang nyaman.

 Tak apa menggunakan kasur seadanya.

~~

"Mas, sarapannya sudah siap," ucapku saat bertemunya dengannya di dapur pagi ini.

"Kamu itu lemot ya jadi orang! Semalam saja sudah aku tolak masakan mu, kini kamu kembali menawari aku makan? Dasar tidak tahu malu!"  

Pagi-pagi aku sudah sarapan dengan kata-kata pedas yang Mas Abian berikan.

 Rasanya aku ingin mengurut dada. Namun, aku tidak akan melakukan itu di depannya. Aku terlihat tegar meski hati ingin menjerit dan menangis.

Pria di depanku sedang meneguk air minum hingga tandas. Matanya menatap nyalang ke arahku.

Tak lama kemudian bel pintu berbunyi. Mas Abian buru-buru keluar menemui tamunya. Aku yang penasaran mengikutinya dari belakang. 

"Tara." Seorang perempuan tersenyum lebar saat menatap mas Abian. Anggraini merentangkan kedua tangannya. Akan memeluk pria di depanku.

"Aku kangen banget, Sayang." Dia hendak memeluk mas Abian, tetapi urung karena ada aku di belakangnya. 

Mas Abian segera membalikkan badan menatap tajam ke arahku 

"Mengapa kamu berdiri di situ? Cepat buatkan kekasihku jus strawberry kesukaannya!" Gegas aku meninggalkan mereka. Aku berjalan ke arah dapur.

Ooh jadi itu kekasihnya mas Abian. Pantas saja memposisikan aku sebagai istri yang hanya di status. 

"Sayang, itu istrimu? Wanita seperti itu yang menjadi sainganku? Sungguh tidak sepadan denganku. Kamu apa tidak malu membawanya ke mana-mana?" Suara Anggraini terdengar sangat lantang dari dapur. Mungkin disengaja agar aku sakit hati.

"Jelas malulah, Sayang. Tidak mungkin aku membawanya bepergian. Dia itu pantasnya jadi asisten rumah tangga. Bukan nyonya Abian. Gelar itu kan hanya akan menjadi milikmu." Ucapan Mas Abian pun tak kalah kerasnya. Sepertinya mereka sengaja. 

 Dari tertawanya yang renyah sepertinya Anggraini sedang bahagia. Pasti karena ucapan Mas Abian. Jangan tanyakan perasaanku. Sungguh sakit. Harga diri ini terasa diinjak-injak. Namun, seperti nasihat bapak aku tidak boleh menyerah sebelum berperang.

"Kalau begitu cepat ceraikan dia!" Anggraini kembali bersuara.

"Tidak semudah itu menceraikan dia, Sayang. Wanita itu kan pilihan ibu."

"Aku akan membuat ibumu membencinya. Sehingga menyuruhmu bercerai." 

Anggraini ini manusia aneh masa membicarakan sesuatu yang sifatnya rahasia tetap suaranya lantang. Aku kan jadi tahu meski sedang berjalan ke arah ruang tamu. 

Tadi aku sempat membuat jus Strawberry sebelum menawari sarapan mas Abian. Kini aku tinggal menuangkan ke dalam gelas saja.

"Bagaimana caranya, Sayang?" Wanita itu membisikkan sesuatu di telinga suamiku. Mereka tidak menyadari kehadiranku. di

"Mbak, Mas, silakan diminum jusnya." 

Anggraini langsung menyeruput jus kesukaannya itu. Namun, segera menyemburkan ke arahku. Aku berhasil menghindarinya.

"Kamu mau meracuni aku, ya? Mengapa jus rasanya asin begini?" 

"Sengaja! Ini tak seberapa dibandingkan sakit hatiku padamu!" 

Aku sengaja mengucapkan itu dengan santainya. 

Raut Mas Abian terlihat tak suka sekaligus kaget. Bodo amat. Pasti pria itu tak menyangka aku akan melakukan perbuatan bar-bar macam ini. 

Aku harus membuat perhitungan dengan Anggraini. Aku akan membuatnya terluka. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status