Prank!!
Suara piring terjatuh berasal dari belakang membuat dua orang yang sedang duduk di ruang tamu terlonjak kaget. Suara itu terdengar jelas seperti ingin menginterupsi perbincangan hangat antara kedua anak dan ibu itu. "Tuh, dengar. Istrimu sedang mengamuk. Apa pantas, seorang menantu berbuat seperti itu?" Riandari, mertua dari Carla mencibir sang menantu di depan suaminya sendiri. Abi sang suami hanya bisa menjawab dengan senyuman kecut tanda ia bingung harus membela yang mana. Carla sedang tidak enak badan hari ini. Kebetulan, Abi juga sedang mengambil cuti kerja. Di saat Carla sedang ingin bermanja dengan tempat tidurnya tiba-tiba saja sang mertua datang dan memintanya untuk memasakkan makanan kesukaan. Kabar tak beruntungnya, asisten rumah tangga yang biasanya datang kini berhalangan. "Carla lagi sakit, Bu. Mungkin masih—" "Ah, itu hanya alasan dia saja. Menantu kurang ajar ya begitu." Riandari memotong penjelasan anaknya. Abi mendesah pasrah tak berani membantah perkataan ibunya yang menurutnya kejam itu. "Omong-omong, kapan kamu mau kenalan sama Risya?" Abi terdiam. Perbincangan seperti ini yang sebenarnya ingin dihindari olehnya. Ibunya masih saja terus menerus menyuruhnya mendekati anak pengusaha lokal yang katanya jatuh cinta pada dirinya. Abi akhirnya menggelengkan kepalanya. "Maaf, Bu. Abi tidak berminat," tolaknya secara halus. Wajah Riandari langsung berubah masam. Bibirnya maju, dahinya berkerut dengan alis yang mencuat tajam. Abi paham, ibunya sedang menahan kesal karena kata-katanya tadi. "Kenapa? Apa karena istri kamu itu? Abi, sudah enam tahun kalian menikah. Kalian tidak mau memberi Adam seorang adik?" Riandari semakin sengit memojokkan Carla, menantunya. Ia tak menyukai sosok wanita pujaan anaknya sejak dua tahun lalu, saat Carla kehilangan bayi dalam kandungannya karena kesalahan fatalnya. "Adam saja sudah cukup." Abi membela Carla. Ia tak ingin istri tercintanya jadi bahan ejekan ibunya saat ini. "Janji aku sama mendiang Winda sudah aku tepati, jadi mau apa lagi?" "Winda kan hanya bilang kamu disuruh jaga anak kalian, bukan tidak boleh punya anak lagi. Apa kamu tidak ingin, punya anak banyak seperti tetangga kamu tuh." Riandari kembali memojokkan Carla. Kini, alasan wanita itu berubah. Ia ingin Abi seperti tetangganya, salah satu teman Abi yang mempunyai anak banyak. "Bimo maksud ibu?" "Nah, bener. Bimo itu punya anak banyak. Kenapa tidak tiru dia?" Abi terdiam kembali. Ia menoleh ke belakang karena merasa seseorang sedang melihatnya. Benar saja, ada Carla yang mengintip dari balik tembok dengan mata tajam menatap dirinya. "Abi tidak minat. Abi menikah dengan Carla untuk sekarang dan selamanya, tidak ada yang lain." Abi berbicara lantang di depan ibunya. Sekali lagi, ia menegaskan jika cintanya pada Carla tak akan tergoyahkan sampai kapanpun. "Kamu sering berhubungan badan kan?" mata Abi membelalak tajam setelah mendengar ucapan frontal keluar dari mulut ibunya. "Coba, sekali-kali kamu test masa subur istrimu. Lalu kalian berhubungan badan saat itu. Ibu yakin, akan ada—" "Bu!" Abi menginterupsi. "Abi tidak mau membicarakan hal ini lagi. Kita makan malam saja." Abi memilih pergi meninggalkan ibunya yang semakin lama semakin menyudutkan Carla, istrinya. Entah karena hasutan siapa, dia yang dulu begitu menyukai Carla kini berubah menjadi pembencinya. Carla berdiri di depan kompor yang masih menyala. Tatapannya datar tanpa ekspresi. Tangannya mengaduk-aduk panci berisi sayuran yang telah berbumbu. Abi mendekat. Ia memegang tangan Carla lalu berkata lembut di telinganya. "Maafkan ibuku. Jangan diambil hati. Dia hanya ingin membuat kita terpisah." Carla menaruh pengaduk sup yang tengah dipegangnya. Ia mengangguk diiringi dengan senyuman hangatnya. "Tidak masalah. Aku mungkin akan terbiasa nantinya." "Aku akan selalu membelamu. Kau yang terbaik." *** Makan malam telah siap di meja makan. Riandari lebih dulu tiba diikuti oleh Abi dan Carla. Sementara Adam yang baru saja selesai mandi, baru ikut bergabung lima menit kemudian. "Wah, makanan kesukaan Adam." senyum mengembang di pipi anak tunggal Abi yang kini beranjak dewasa. "Terima kasih mama." "Makan yang banyak ya." Riandari melihat interaksi keduanya dengan cibiran di bibirnya. Mungkin menurutnya itu memuakkan. Tatapannya beralih ke arah Abi yang sibuk mengunyah makanan. "Kamu makan sayuran yang banyak." Riandari menyendok tumis tauge kesukaan Abi lalu menaruhnya di piring. "Biar subur." matanya melirik Clara. "Sudah banyak Bu. Biar Adam saja yang makan." "Adam sudah ambil, Pa. Mama saja." Carla menegakkan kepalanya. Tak ingin menolak pemberian ibu mertuanya yang kini ditujukan kepadanya. Dengan raut wajah masam, Riandari menaruh sendokan sayur ke atas piring Carla tanpa mengucap sepatah katapun. "Percuma banyak makan sayuran," cibirnya. Carla mendongakkan wajahnya. "Tetap saja mandul," gumamnya lirih. Carla tak mempermasalahkan ucapan ibu mertuanya. Ia melanjutkan lagi makan malamnya karena tak ingin mengganggu Adam dan Abi yang sedang menikmati makanan. Carla menunduk dalam menahan rasa sakit yang pastinya sangat terasa sampai ke dalam dada. 'Haruskah aku bertahan?' Abi sebenarnya tahu apa yang sedang terjadi pada istrinya. Sempat melirik sejenak saat Carla menaikkan wajahnya, Abi mengangguk memberi kode padanya. Ada sesuatu rasa bersalah yang menyelinap di benaknya atas ucapan kejam dari ibunya. Melihat interaksi tanpa kata anak dan menantunya, membuat Riandari kesal. Ia mendengus lalu berusaha membuyarkan keduanya. "Jangan lupa permintaan ibu tadi sore," ketusnya. "Abi tolak. Maaf, Bu." 'Apa itu tentang perkenalan dengan seorang wanita?'Epilog: Tak ada yang tahu bagaimana takdir berjalan. Tak ada yang tahu juga bagaimana sebuah cinta akan berakhir dengan seseorang yang dicintai atau tidak. Carla telah jatuh dan bangkit karena cinta, kini hidupnya akan kembali disatukan dengan sebuah cinta. Satu bulan setelah perceraian Abi dan Risya, kabar duka datang dari Carla yang kehilangan suami tercintanya. Setelah berjuang melawan penyakit paru-paru yang telah menggerogotinya selama lima tahun, Vian pun menyerah. Ia meninggalkan seorang anak dan istri yang masih mencintainya. Carla kira, dirinya yang akan pergi lebih dulu. Mengingat penyakitnya yang tak mungkin bisa diselamatkan lagi. Ternyata tuhan masih memberikan umur panjang padanya. Setelah tiga bulan resmi menyendiri, sebuah lamaran datang kembali padanya. Kali ini, ia kembali pada cinta sejatinya yang tak mungkin bisa dilupakan. "Mama cantik sekali," puji Adam yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar rias calon ibunya. Carla memeluk anak pertamanya itu dengan erat. "Ter
Sidang putusan pengadilan akhirnya memutuskan perceraian antara Risya dan Abi. Mereka resmi berpisah dengan dikabulkannya tuntutan yang dilayangkan oleh Abi pada Risya. Perselingkuhan itu terbukti dilakukan dengan sadar dan atas kemauan mereka berdua. Risya sempat pingsan saat pembacaan putusan, walau tak lama kemudian ia sadar lalu menangis meraung-raung memikirkan nasibnya setelah ini. Abi tersenyum pedih melihat surat keputusan cerai yang telah diterimanya. Ini adalah surat ketiga yang dimilikinya. Ia tak lagi sanggup menangis, karena ini terlalu pedih. "Pa, makam mama apakah ada yang menjaganya?" Abi menoleh pada anaknya yang tengah mengemudi di sampingnya. Tak lama kemudian, ia mengangguk. "Adam kangen sama mama Winda." "Papa juga. Andai waktu itu papa tidak terburu-buru menceraikan dia dan pergi begitu saja dari sisinya. Pasti kita akan jadi keluarga yang bahagia saat ini. Maafkan papa, Adam. Papa salah dan berdosa padamu dan juga mama Winda." Abi mengusap air mata yang menga
"Itu adalah anakku, aku adalah ayahnya." Suara itu menggema memecah keramaian drama yang baru saja ditunjukkan oleh Risya di depan hakim persidangan. Semua orang menatap heran pria yang baru saja masuk ke dalam ruang sidang. Risya yang tadi menangis tersedu-sedu kini hanya bisa diam. Isi kepalanya ikut menghilang seperti air mendidih yang menguap. "Dia adalah anak saya pak hakim," tunjuk Sandy, pria yang tadi memasuki ruang sidang. "Itu bohong, pak. Saya hanya melakukan itu dengan suami saya!" bantah Risya. Sandy menyeringai. "Apa perlu aku putar video mesra kita saat menghabiskan malam romantis dan panas berdua?" Huuu Terdengar suara gaduh dari saksi yang mendengar ancaman dari Sandy. Semua orang kini memandang jijik dua orang yang tengah berdebat di depan hakim persidangan. "K-kamu yang jebak aku!" "Kau—" Belum selesai Sandy bicara, hakim mengetuk palunya. "Sidang ditunda minggu dep
Mantan ibu mertuanya duduk dengan nyaman di sofa rumah Abi setelah menunggu lebih dari dua jam kepulangannya. Abi memang sengaja pulang sedikit terlambat tadi. Ia menyempatkan mengajak kedua anaknya berjalan-jalan di pasar malam melihat pertunjukan lalu makan malam sejenak dan akhirnya pulang. Abi tak mengira, mantan ibu mertuanya akan datang dan menunggunya hingga selarut ini. Lebih mengherankan lagi, mata wanita paruh baya itu terlihat sembab dan lelah. Apa yang sebenarnya akan dia katakan hingga mengorbankan waktu istirahatnya? "Ibu ke sini diantar siapa?" tanya Abi sekedar berbasa-basi. Ibu Risya tersenyum getir. Ia menarik napas panjangnya lalu menunduk sejenak. "Tadi, ibu datang bersama menantu ibu yang kebetulan akan berangkat kerja." ibu Risya menggeser posisi duduknya, sedikit mendekat pada Abi yang terdiam di tempatnya. "Kedatangan ibu ke sini, hanya ingin mengatakan sesuatu. Semoga ini akan menjadi pertimbangan dirimu untuk membatalkan rencana perceraian besok." Abi me
Hoeekk hoekkk Risya terbangun dengan kepala pening dan perut yang mual sejak matanya terbuka. Hampir setengah jam ia berjalan mondar-mandir memasuki kamar mandi hanya untuk menuntaskan rasa mualnya. Tak ada sisa makanan yang ke luar, hanya cairan bening yang meluncur dari mulutnya. "Kamu hamil?" suara sang ibu terdengar dari balik pintu kamar mandi. Tangan wanita paruh baya itu menyilang di dadanya. "Anak siapa?" Dengan kaki gemetar, Risya membalikkan tubuhnya menghadap ibunya. Ibu Risya, terkenal keras sejak dulu. Ia memang menyayangi Risya dan sering memanjakannya. Namun jika anaknya itu melakukan kesalahan, ia tak segan untuk berbuat kejam. "Kamu tuli?" bentak ibu Risya. Suara menggelegar itu membuat Risya ketakutan. "Jawab!" "I-iya. I-ini anak mas Abi," jawab Risya gemetar. Tangannya berpegangan pada sisi wastafel agar tak jatuh. Kemarin, sesudah semua orang rumah pergi, Risya diam-diam pergi membeli alat tes kehamilan di apotek. Ia mulai merasakan hal yang tak beres dengan
Dua minggu sudah Risya dikembalikan ke rumah orang tuanya, dua minggu pula Abi merasakan kedamaian di rumahnya. Berkali-kali mantan ibu mertuanya mencoba menghubungi Abi untuk membatalkan perceraian, berkali-kali pula Abi menolaknya. Abi tak ingin luluh lagi dalam jeratan rayuan Risya seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Pria yang sebentar lagi menyandang status duda untuk keempat kalinya itu termenung di pinggir ranjang. Di tangannya, ada selembar surat undangan dari pengadilan untuk sidang cerainya pertama kali. Besok, akan jadi penentuan baginya untuk hidupnya yang baru. Pintu kamar pun terbuka, Adam dan Fariska yang hari ini tengah libur masuk ke dalam kamar milik ayahnya. Abi tersenyum melihat keduanya. "Pa, hari ini kita ke kantor papa ya? Aku lagi enggak ada kelas, Ika lagi rapat guru-gurunya. Boleh kan?" tanya Adam yang dibalas anggukan oleh Abi. "Kalau gitu, Adam sama Ika tunggu di bawah." "Iya. Papa nanti nyusul. Kalian sarapan saja dulu." Kedua anak Abi itu segera