Jayden menganggukkan kepala mendengar jawaban Valency. Dia mengambil sebuah map coklat dan meletakkannya di hadapan gadis itu.
“Apa ini?” tanya Valency kepada Jayden.
“Kontrak pernikahan, tanda tangani,” titah pria itu.
Valency mengambil dokumen yang diberikan Jayden dan membaca isi dari kontrak yang tertera. Sulit untuk dipercaya, semua persyaratan tertuang dengan sangat detail di dalam sana, seolah Jayden telah menyiapkan semuanya dari jauh hari!
Menepiskan keterkejutan itu, Valency tetap menandatangani kontrak tersebut dan memberikannya pada Jayden. Pria itu melakukan hal yang sama dan memberikan salinannya kepada Valency.
“Ayo,” ucap Jayden seraya melangkah meninggalkan ruang kantornya.
Valency bergegas mengejar Jayden. “Ke mana?” tanyanya dengan sedikit berlari.
Di dalam lift bersama dengan Jayden dan seorang pria yang Valency duga adalah asisten pribadi pria tersebut, Valency mendengar presdir Diamant Corp itu menjawab, “Kantor catatan sipil. Kita menikah hari ini.”
Valency sangat terkejut, tapi Jayden tidak terlihat akan menerima penolakan. Alhasil, dia pun mengikuti pria tersebut pergi ke kantor catatan sipil dalam diam.
Hanya dengan menandatangani surat-surat dan berfoto bersama, kini Valency dan Jayden pun telah resmi menjadi sepasang suami-istri di mata hukum negara. Semua berlalu begitu cepat, seperti mimpi.
“Karena kita sudah menikah, tinggallah bersamaku.” Jayden berkata kepada Valency seraya memberikan akta nikahnya kepada sang asisten pribadi. “Aku akan menjamin seluruh kebutuhanmu selama kamu menjadi istriku.” Pandangan pria itu mendarat pada gadis tersebut. “Mengenai pendidikanmu, aku juga bisa menanggungnya."
Valency merasa permintaan Jayden masuk akal. Karena sudah menikah, maka harus tinggal bersama. Oleh karena itu, dia menyetujuinya. Terlebih bila mengingat kembali ke asrama berarti harus tinggal dan bertemu dengan Cecilia setiap hari.
“Oke,” jawab Valency singkat. “Tinggal bersama bukanlah masalah, tetapi perihal pendidikan, saya adalah murid beasiswa, jadi Tuan Spencer tidak perlu khawatir.”
“Jay.”
Valency mengerjap bingung mendengar Jayden menyebut namanya sendiri. “Apa?”
“Kamu istriku dan aku suamimu. Suami-istri macam apa yang berbicara dengan begitu sopan?” Jayden menekankan, “Panggil aku Jay.”
Wajah Valency bersemu merah. Dengan kepala sedikit tertunduk, dia berkata sedikit tergagap, “J-Jay ….”
“Itu lebih baik.” Jayden menyunggingkan sebuah senyuman tipis, membuat Valency terpana. “Aku harus kembali ke kantor, sekarang kamu ke mana?”
Valency pun menjawab, “Aku harus mengurus beberapa hal di asrama. Selesai itu, baru aku bisa ke tempatmu.”
Mendengar hal ini, Jayden pun menganggukkan kepala. “Aku akan kirimkan alamat rumahku nanti.” Pria itu menegaskan kembali, “Ingat, sekarang kamu adalah Nyonya Spencer. Jika perlu bantuan, langsung katakan padaku.”
Seusai Jayden mengucapkan hal itu, pria itu pun berpisah jalan dengan Valency.
Di dalam taksi, Valency memandang ke luar jendela. ‘Aku … menikah begitu saja?’ Dia masih sulit untuk percaya. Semua terasa seperti mimpi, berlalu begitu cepat.
Tidak perlu waktu lama sebelum Valency mencapai asrama. Namun, baru saja membuka pintu, Valency dikejutkan oleh teriakan nyaring seseorang.
“Valency! HP-mu itu sebenarnya buat apa sih?! Aku telepon terus dari tadi gak diangkat-angkat, bahkan pesanku juga nggak kamu balas! Sibuk ngapain aja sih kamu?!”
Pancaran mata Valency berubah dingin. ‘Ah … Cecilia ….’
Dengan santai, Valency masuk ke dalam ruangan, mengabaikan amarah Cecilia.
“Lency, aku lagi ngomong sama kamu!” teriak Cecilia, semakin kesal karena tidak diacuhkan Valency. “Aku capek tau cari kamu kemana-mana, ngerepotin banget! Kamu tahu ‘kan aku paling nggak suka panggilanku nggak diangkat lewat dari lima detik! Teman macam apa sih kamu?!”
Sembari meletakkan tasnya di atas meja belajar, Valency melirik Cecilia yang terus mengoceh dan memojokkannya. Sungguh, bagaimana bisa selama ini Valency tidak sadar bahwa Cecilia sama sekali tak memperlakukannya sebagai teman? Dia lebih seperti anjing peliharaan yang harus datang ketika dipanggil dan pergi ketika diusir!
“Baterai HP-ku habis,” jawab Valency singkat seraya menggoyang-goyangkan ponselnya yang mati di hadapan Cecilia. “Ada apa mencariku?”
Kening Cecilia mengernyit, merasa ada yang berbeda dengan sikap Valency hari ini. Biasanya Valency akan langsung meminta maaf padanya jika dia marah-marah seperti tadi, tetapi sekarang gadis itu malah menjawabnya dengan singkat dan seolah tak peduli.
“Kenapa wajahmu seperti itu?” tanya Valency dengan kening berkerut. “Kamu sakit? Perlu obat?”
Valency sadar dirinya harus tetap bersabar dan bersikap biasa. Tidak baik kalau Cecilia menyadari ada yang salah dengannya.
Mendengar perhatian Valency, segera Cecilia menepis prasangkanya. “Nggak, aku nggak sakit.” Dia pun menatap Valency dengan kesal dan berkata, “Di mana buku catatanmu? Aku ada tugas yang harus dikumpulkan besok, jadi perlu referensi sedikit.”
Alis Valency meninggi. Referensi katanya? Jelas-jelas mau mencontek lebih jauh penjelasan desainnya untuk dipresentasikan pada lomba besok, masih berkilah perlu referensi ….
Namun, Valency hanya tersenyum selagi mengeluarkan sebuah catatan dari dalam tasnya. “Ini.”
Mendapatkan catatan itu, mata Cecilia langsung berbinar dan dia memeluk Valency dengan erat. “Lency memang yang terbaik! Aku sangat menyayangimu!” serunya dengan nada manis. “Ya sudah, aku pinjam dulu ya! Nanti malam aku akan traktir kamu di restoran seafood kesukaanmu itu, ajak Felix juga biar tambah ramai!” ucap Cecilia penuh semangat.
Valency tersenyum tipis. Restoran seafood kesukaan Valency? Valency saja alergi terhadap sebagian besar makanan seafood! Sejak kapan dirinya punya restoran seafood favorit?
Kalau Valency masih sama seperti dulu, dia mungkin akan merasa tidak enak kepada Cecilia dan tetap memaksakan diri untuk ikut dengan dugaan temannya itu salah mengingat hal kesukaannya. Dia akan lebih memilih memakan obat alergi sebelum dan sesudah makan daripada melukai hati Cecilia yang di matanya sudah berusaha berbuat baik padanya.
Namun, Valency yang bodoh itu sudah mati, dan Valency yang sekarang … jauh berbeda.
“Aku tidak bisa ikut. Malam nanti ada tugas yang harus dikerjakan,” tolak Valency.
Cecilia menunjukkan mimik seolah dia kecewa dengan penolakan Valency. Akan tetapi, dalam hati dia bersyukur karena itu berarti dirinya tak perlu buang waktu untuk gadis itu.
“Ah, sayang sekali. Padahal Felix juga sempat bilang dia rindu makan di sana.”
‘Lihat, ‘kan? Mereka yang sudah ada janji duluan di restoran itu,’ ejek Valency dalam hati. “Kalian pergi saja, tidak apa-apa.”
“Oke! Aku akan suruh Felix bungkus satu porsi untukmu nanti!” ujar Cecilia. “Oh iya, bukankah kemarin hari jadimu dengan Felix? Bagaimana? Dia memberikan kejutan untukmu? Atau kado apa yang dia berikan padamu?”
Valency mendengus. Cecilia jelas tahu apa yang terjadi, tapi gadis itu masih berpura-pura bertanya. Entah apa tujuan gadis itu adalah untuk membuat Valency sedih atau agar merasa lebih tinggi karena berhasil menahan Felix di tempat tidur?
Detik berikutnya, Valency menghadap Cecilia dan menatapnya serius. “Sebenarnya, aku kemarin mendatangi apartemen Felix.”
DEG!
Cecilia mematung. ‘Apa?’
Pancaran mata Valency berubah dingin ketika melihat kekagetan di mata Cecilia. “Coba tebak kejutan apa yang kudapatkan?”
Cecilia meneguk ludah, merasa pancaran mata Valency sangat mengintimidasi.
“Ke-kejutan? Kejutan apa?” tanya Cecilia. ‘Apa jangan-jangan Lency melihatku bersama Felix kemarin?!’
Waw waw waw! Langsung dibongkar kah kebejatan Cecilia dan Felix?! Terima kasih sudah baca sampai akhir! Semoga suka dengan karya ini! Kalau kalian suka, jangan lupa untuk berikan like, vote, dan comment yaa! Biar author tahu tanggapan kalian terhadap karya ini, terima kasih!
[Atau kamu mau kujemput di tempat sepupumu itu?]"Oh, sial," gumam Verena, akhirnya bangkit dari kursi yang sudah beberapa jam ia duduki. Tak jauh dari sana, Ashton menoleh."Kenapa?" tanya pria itu."Tidak," balas Verena. Ia kembali duduk dan memikirkan balasan apa yang bisa dia berikan pada Eric.[Kamu sudah baca pesanku. Kenapa tidak balas?]Sebuah pesan dari Eric kembali muncul, membuat Verena berdecak."Dasar tidak sabaran." Verena membalas pesan tersebut demikian. "Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon saja?"Baru beberapa detik usai Verena mengirim pesan itu, balasan Eric langsung datang.[Tidak.][Harus bertemu.]Lalu satu lagi.[Tunggu aku di sana.]"Aku tidak sedang di rumah Ashton," balas Verena. "Nanti saja."[Di mana, kalau begitu?]Verena memutar otaknya dengan cepat. Jika ia menjawab ada di kantor, Eric akan dengan mudah menemukan kebenarannya."Di rumah."Eric belum tahu di mana tempat tinggalnya. Dan tidak mungkin pria itu dengan bodohnya mengecek mansion Miller un
[Atau kamu mau kujemput di tempat sepupumu itu?]"Oh, sial," gumam Verena, akhirnya bangkit dari kursi yang sudah beberapa jam ia duduki. Tak jauh dari sana, Ashton menoleh."Kenapa?" tanya pria itu."Tidak," balas Verena. Ia kembali duduk dan memikirkan balasan apa yang bisa dia berikan pada Eric.[Kamu sudah baca pesanku. Kenapa tidak balas?]Sebuah pesan dari Eric kembali muncul, membuat Verena berdecak."Dasar tidak sabaran." Verena membalas pesan tersebut demikian. "Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon saja?"Baru beberapa detik usai Verena mengirim pesan itu, balasan Eric langsung datang.[Tidak.][Harus bertemu.]Lalu satu lagi.[Tunggu aku di sana.]"Aku tidak sedang di rumah Ashton," balas Verena. "Nanti saja."[Di mana, kalau begitu?]Verena memutar otaknya dengan cepat. Jika ia menjawab ada di kantor, Eric akan dengan mudah menemukan kebenarannya."Di rumah."Eric belum tahu di mana tempat tinggalnya. Dan tidak mungkin pria itu dengan bodohnya mengecek mansion Miller un
"Dan aku bilang kamu beruntung karena tinggal di sebelah rumahnya?"Usai mengatakan itu, Samuel kembali memandang Eric dengan tatapan asing. Ekspresi sepupunya itu tampak senang, sekaligus puas. Seakan-akan ia baru mendapatkan momen yang ia harapkan."Tunggu, Ric. Kamu tidak tahu?" tanya Samuel. "Manusia ini. Kamu tidak mendengarkan ceritaku ya!?"Eric mengibaskan tangannya. "Tidak penting."Hal itu membuat Samuel menggerutu. Mengatakan hal-hal seperti ia yang telah membantu Eric dan selalu siap sedia, tapi begini balasan Eric padanya. Eric bahkan tidak memperkenalkan Verena lebih awal padanya, dan sebagainya.Namun, Eric tidak mendengarkan. Ia sibuk menyusun rencana.Karena Verena kembali tidak membalas pesan Eric, entah kenapa. Pria itu jadi tidak bisa mengurusi persoalan mereka yang belum selesai.Kalau Verena ada di sebelah rumah, akan lebih mudah bagi Eric untuk mengurusnya.***Namun, wanita yang Eric cari sedang tidak berada di rumah."Kamu tidak mau pulang?"Pertanyaan Ashton
"Selamat pagi, Nona Lee."Eric Gray memandang Leon, asisten kepercayaannya selama ini, yang tengah melakukan pertemuan dengan Patricia Lee, reporter yang pertama kali memuat berita tentang dirinya dan Verena. Ia ingin menyelidiki apakah Patricia terlibat pihak-pihak lain yang ingin menjatuhkannya, ataukah dia bergerak sendiri.Karena penyelidikan pun menyatakan kalau malam itu Patricia sedang berada di rumah sakit, bukan hotel tempat pesta Eric dilaksanakan.Ditambah lagi, Eric memang sudah dengan mudah menyingkirkan berita-berita yang merugikannya dan Verena. Tapi akan sulit kalau ternyata ada musuh lain yang tidak mereka ketahui.Sejauh ini, dugaannya dan Verena sama; keluarga Miller sendiri. Lebih tepatnya pihak Olivia. Meski ada ketidakcocokan mengenai asumsi tersebut di beberapa tempat."Sekarang kamu tertarik pada ibu tunggal?" Sepupunya, Samuel, menghempaskan dirinya untuk duduk di sebelah Eric dan mengamati pertemuan Leon dengan Patricia. Eric dan Samuel tidak bergabung, mela
Keith baru saja berjalan melewati pintu masuk ketika salah seorang pelayan menghampirinya dan mengatakan bahwa Verena datang berkunjung.Dan sekarang kakaknya itu ada di kamar Kimberly."Untuk apa dia ada di sana?" gumam Keith. Dia bergegas naik ke lantai 2 ketika ja mendengar suara pecahan kaca dari kamar Kimberly.Panik, Keith langsung berlari dan coba membuka pintu kamar.Terkunci. Kimberly nekat membayar orang untuk mencelakai Verena beberapa waktu yang lalu. Meskipun Keith sudah mengancam adik kembarnya itu agar ia tidak melakukannya lagi, Keith tidak yakin Kimberly akan diam saja saat melihat Verena ada di tempat yang sama dengannya.Dengan panik, Keith menggedor pintu kamar adik kembarnya.Tak berapa lama, Verena muncul di balik pintu tersebut dan langsung ditarik keluar oleh Keith."Ve!?" Tidak ada luka. Aman--tunggu. Keith mengernyit melihat tanda merah keunguan di area sekitaran tengkuk Verena. Namun, saat ia berniat memastikan tanda itu, Verena sudah menarik diri.Keith m
"Apakah benar demikian?" Senyum Verena tidak sampai matanya, seolah sedang mengolok lawan bicaranya. "Anak kandung Aster Miller?"Tidak ada perubahan ekspresi yang berarti di wajah Kimberly, saat Verena mengamati. Bisa jadi gadis itu benar-benar meyakini identitasnya sebagai putri bungsu keluarga Miller."Omong kosong apa yang kamu katakan?" balas Kimberly. Gadis itu akhirnya berjalan menghampiri Verena dan menarik lengan baju Verena. "Keluar dari kamarku, sekarang!"Namun, Verena menepisnya dengan mudah. "Jangan begitu. Kita baru sampai di obrolan yang kusukai." balas Verena. Ia menyelipkan kunci kamar tersebut di tas miliknya. "Kimberly. Apakah kamu pernah berpikir dari mana kamu mendapat mata abu-abu dan rambut pirang itu? Padahal di saat yang sama, keluarga kita seluruhnya berambut gelap?""Berhenti menyebutnya keluarga kita, sialan. Menjijikkan sekali!""Tapi suka tidak suka, ini memang keluargaku juga." Verena berdiri, lalu berjalan ke tepi ranjang Kimberly. "Meski aku sempat te
"Tuan Gray, ini profil identitas reporter yang menulis berita mengenai Anda dan Nona Miller pertama kali."Eric hanya melirik laporan si asisten yang ada di atas meja sekilas sebelum kembali menekuni layar laptop di hadapan.Meski begitu, pikirannya sebenarnya tidak sedang berada di sana.Pria itu masih ada pada malam yang ia habiskan dengan Verena. Dan itu membuatnya gila karena Verena tampil seakan itu tidak berdampak apa-apa padanya.Padahal kalau ia memang benar, Eric adalah kali pertama dan kali selanjutnya wanita itu. Kenapa Verena bersikap biasa saja?"Tuan Gray?" Suara sang asisten kembali mengusik Eric."Ya, aku dengar." Eric menghela napas dan akhirnya menyandarkan dirinya ke sandaran kursi, lalu mengambil laporan yang ada."Sudah kamu cek?" tanya Eric."Ya, Tuan.""Ada yang aneh?""Saya sarankan Anda mengecek bagian keluarga, Tuan."Eric menggumam pelan. Ia hanya membaca sekilas mengenai identitas si reporter. Patricia Lee. Pendatang di negara ini, usianya ada di akhir 20-a
Verena merasakan atmosfer di mansion keluarga Miller sedikit berbeda dan cukup mencekam dibandingkan biasanya. Mungkin karena tidak ada suara para pekerja membersihkan perabotan atau mereka yang beraktivitas di dapur, mengobrol ringan sembari mempersiapkan makan. Atau mungkin juga karena suara barang pecah belah yang dihancurkan di lantai 2.Verena bisa menduga itu berasal dari kamar adik tirinya, Kimberly. Tidak sulit."Selamat pagi, Nona." Salah seorang pelayan menyapanya, bersamaan dengan suara teriakan dari lantai 2. "Tuan Miller ada di kamarnya seperti biasa, Nona. Mari saya antar "Verena menggeleng. "Aku ke sini bukan untuk bertemu dengannya." Ia mengangkat kepalanya, memandang ke arah pintu ruangan yang merupakan kamar Kimberly. "Keith di mana?""Tuan Keith belum pulang sejak semalam, Nona."Hal tersebut menimbulkan kernyitan di kening Verena.Apakah terjadi sesuatu pada pria itu setelah ia bertemu dengan Verena semalam? Atau ada hal lain?Pikiran Verena teralihkan saat kemba
"Kalau begitu, apakah kamu masih akan berpikir kalau hubungan kita hanya sekadar bisnis untukku?"Verena memilih untuk tidak menjawab terlebih dahulu dan melanjutkan sarapannya. Ia perlu beberapa saat untuk berpikir, bukan menuruti keinginan emosionalnya seperti beberapa saat terakhir.Sepertinya obat itu sudah merusak sistem kerjanya. Sangat disayangkan.Tanpa diduga, Eric Gray tidak mengejar jawabannya. Meski begitu, bukan berarti Eric berhenti menatap Verena dengan pandangannya yang tidak bisa ia artikan itu.Oke, fokus. Pertama, soal si pria misterius. Belum selesai, tapi sedang dalam penyelidikan. Verena hanya bisa menunggu.Kedua, soal adik tirinya yang tersayang. Verena sudah mengatur rencana untuk gadis licik itu. Akan ia laksanakan di waktu yang tepat untuk hasil maksimal.Lalu, Eric Gray. Pria ini--Pikiran Verena terputus saat ponselnya kembali berdering. Mengira bahwa itu Ashton, Verena langsung mengangkatnya."Ash, sudah kubilang--""Balas pesanku."Panggilan diakhiri beg