Share

H.7

Tanganku berhenti menghias kue tart saat suara kedua mertuaku terdengar di teras depan rumah. Kuletakkan plastik berisi krim di atas piring, berjalan ke depan menemui mereka. 

“Waalaikumsalam, Ma, Pa,” balasku sambil membuka pintu ruang tamu. 

“Wangi kue. Kamu jadi bikin?” Mama mencium kedua pipiku bahkan kening, pun papa, ia bahkan memelukku erat. 

“Masuk, Ma, Pa,” ajakku. Mereka berjalan masuk, di kedua tangannya membawa tas belanja besar. 

“Arin mana?” bisik mama. 

“Lagi ke mini market sama Nazwa, Nisa suruh beli susu kotak. Mama Papa jadi nginep, ‘kan?” Aku membantu membawakan tas milik mama yang isinya baju, lalu aku letakkan di kamar anak-anak. 

“Ya, jadi, lah. Udah niat. Farid … pulang malam ini, ‘kan? Acara ulang tahun Arinda nanti sore jam empat, ‘kan?” Mama yang cerewet tapi baik, bertanya merepet. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala sambil tersenyum. 

“Aki! Nini!” teriak anak-anak saat tiba ke rumah. Aku kembali ke dapur untuk melanjutkan menghias kue. Goodie bag sebanyak dua puluh plastik juga nasi kotak berisi nasi kuning dengan lauk ayam bakar sudah aku siapkan juga. Semua ku kerjakan sendiri. Ulang tahun Arin hanya mengundang anak-anak tetangga satu RT yang sebaya dengan Arin. Keluargaku di kampung tak bisa datang, tapi mereka kirim kado dengan paket kilat yang masih belum sampai. Aku mengerti, bapak dan ibuku akan kerepotan jika ke Jakarta, belum lagi sadar statusku apa, mereka pasti segan. Tetapi Arin sudah bicara dengan mbah kung dan mbah utinya, yang mendoakan hal-hal baik diusia Arin yang kesembilan. 

“Aki, Nini nginep, ‘kan?!” Arinda semangat bertanya, sementara Nazwa bergelendot manja ke papa mertuaku. 

“Iya, dong. Ayo, kita rapihin karpet taruh di ruang tamu, kalian kuat angkat sofanya, nggak?” goda papa mertua, padahal sofa itu enteng, dan hanya ada satu dengan meja tamu kecil juga. Pintu ruang tamu model kupu-kupu bercat coklat tua, membuat leluasa mengeluarkan sofa dan meja. 

“Kuat, lah, Ki! Ayo!” Arin semangat, Nazwa meletakkan belanjaannya di dapur, ia memandangiku sendu. 

“Papa pulang nggak, Ma?” lirihnya begitu pelan. 

“Pulang, tunggu aja, ya. Sana, bantuin Aki sama Arin. Mama selesaikan ini sebentar, ya.” Aku menunjuk ke kue tart yang hampir jadi hiasannya. Nazwa mengangguk, ia berjalan ke depan menemui papa mertua dan Arin. Sejujurnya, aku belum bisa memastikan apakah Farid akan pulang untuk menepati janji hadir diulang tahun anaknya. 

Pukul empat, satu persatu anak-anak datang, mereka membawa kado yang diberikan ke Arin. Arin begitu ceria, mama mertua dan aku sibuk menghidangkan minuman dan camilan di atas piring yang kami letakkan di atas karpet. Arin memakai baju baru jahitan mama mertua, beliau memang pintar menjahit, Nazwa membantuku menyambut anak-anak lain yang juga baru datang. Hiasan balon, tulisan ulang tahun, meramaikan acara sederhana yang bagi Arin, pasti meriah. Ini kedua kali ia merayakan ulang tahun, pertama saat usianya lima tahun dan sekarang sembilan. 

Saat usianya lima tahun, Farid mengadakan acara di TK tempat Arin sekolah. Farid yang bersemangat merayakan, sedangkan Nazwa bukan tipe anak yang suka keramaian, jadi ia santai saja saat ulang tahun tidak dirayakan. Cukup dengan aku membuat tumpeng dan memberi kado, ia sudah sangat senang. 

Tiga puluh menit kemudian, Farid belum juga datang. Aku melirik ke papa mertua yang masih mencoba menghubungi putranya. Arin sudah gelisah, pun Nazwa yang coba menenangkan adiknya. Akhirnya kuputuskan acara dimulai, papa mertuaku berdiri di sisi kanan Arinda saat mama mulai memimpin acara dengan mengarahkan anak-anak supaya berdiri. 

Aku sibuk menyalakan lilin angka 9 yang tertancap pada kue warna ungu dengan rasa vanilla dan lemon. “Ma, Papa mana?” lirih Arin dengan wajah sendu. 

“Masih dijalan mungkin. Nggak apa-apa mulai aja, yuk. Ada Aki sama Nini, ‘kan.” Terpaksa aku menjelaskan seperti itu, padahal belasan chat w******p hanya dibaca Farid tanpa niat membalas. Doa dipimpin papa mertua, kemudian anak-anak menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Perlahan senyum Arin merekah saat teman-temannya begitu ceria bernyanyi bersama. Lanjut potong kue, Arin didampingi mama mertua memegang pisau, di potong kue itu yang ia suapi pertama kali diberikan ke Aki lalu Nininya. Papa memeluk Arin erat, aku bisa melihat papa menahan air mata, pun mama. Giliran aku, Arin menyuapiku, lalu mencium kedua pipi, terakhir Nazwa, keduanya berpelukan. Aku haru melihat Nazwa mampu membesarkan hati adiknya.

Acara selesai jam lima lewat lima belas, anak-anak sudah makan kue bersama juga spagety bolognise yang aku buat untuk makan di tempat. Goodiebag dibagikan, wajah anak-anak sumringah, hingga satu anak menyeletuk ke Arin, “Papa kamu pergi, ya, jadi nggak datang. Papa kamu sibuk banget.” 

Dan, seketika Arin sendu, ia tak ceria seperti beberapa detik sebelumnya. Anak-anak sudah pulang, mama dan aku mulai merapikan piring kotor, papa merapikan karpet, di sapu dengan sapu lidi kotorannya hingga ke depan lantai teras. Tangis Arin terdengar, Nazwa menemani di dalam kamar. 

“Mama!” teriak Nazwa. Aku dan mama mertua saling menatap. 

“Biar Mama aja, Nis.” Mama mertua mencuci tangan, aku mengangguk. Beliau segera berjalan ke arah kamar anak-anak. Tak lama, aku mendengar papa bicara dengan Farid di ponsel, nada bicaranya meninggi. Buru-buru kubilas tangan, berjalan ke teras depan. 

“Papa kecewa sama kamu, Farid. Papa benar-benar marah sama kamu!” Papa menyudahi percakapan, beliau duduk sambil memegang pangkal hidungnya. 

“Pa,” kataku seraya memegang bahunya. 

“Papa gagal mendidik anak lelaki Papa, Nisa, maafkan, Papa.” Aku merasakan kepiluan hati seorang ayah. Segera kupeluk papa dari samping, papa memegang tanganku, ia menangis. 

Ya Allah, Farid sudah membuat orang tuanya menitikan air mata, sungguh keterlaluan. Jika ia memang sengaja tidak hadir karena kesibukan, aku memaklumi, tapi jika karena akal-akalan Siska, aku tidak akan tinggal diam. 

***

Keesokan harinya, aku pamit untuk pergi sebentar, mama dan papa aku minta tolong menjaga anak-anak. Mama tau aku akan pergi ke mana, ia mendukungku. Mobil ku keluarga dari garasi, segera saja kutancap gas menuju ke tujuanku pergi. Sengaja aku tak bilang, sedikit memberi kejutan rasanya boleh-boleh saja. 

Tiba di tujuan setelah satu jam mengemudi, rumah itu besar, lebih besar dari rumah yang aku tempati. Pagar tinggi, desain rumah eropa, aku yakin, ini pasti bukan Farid yang belikan, pasti sudah dimiliki Siska sendiri. 

Bel kutekan beberapa kali, seorang pembantu keluar rumah. “Faridnya ada?” kataku tegas. 

“Ada, dengan siapa, ya, Bu?” 

“Annisa,” kataku lagi. 

“Silakan masuk. Bapak dan Ibu sedang sarapan. Sebentar saya panggilkan.” 

Aku melangkah berjalan ke arah teras, halamannya juga luas, rumputan hijau dengan pot-pot bunga sepatu warna merah bermekaran. Pintu terbuka, Siska melotot ke arahku. 

“Sedang apa kamu di sini! Kenapa kemari!” cicitnya takut terdengar pembantunya pasti. 

“Cari suami saya!” kataku tegas. Siska terkejut dengan ucapanku. Farid berjalan menghampiri, aku sengaja berjalan menubruk bahu kanan Siska lalu menyalim tangan Farid. “Assalamualaikum,” sapaku. 

“Waalaikumsalam, Nis, kenapa kamu–”

“Pulang. Arin demam.” Aku tegas berucap. Farid terkejut. “Dari kemarin dia tunggu papanya pulang untuk merayakan ulang tahunnya, sampai akhirnya Arin menangis dan semalam demam. Papa marah sama kamu, ‘kan? Apa alasan kamu tidak pulang? Bukankah sudah berjanji?!” pelototku lagi. 

Farid menghela napas. “Aku udah jelasin ke Papa apa lasannya, Nis. Siska kemarin sakit, badannya lemas dan itu biasa terjadi saat datang bulang. Maafkan aku,” lirih Farid. Aku menoleh ke Siska yang tegas menatapku tak suka. Oh, aku tau, dia mulai bermain-main denganku rupanya. 

“Oh, begitu.” Aku tersenyum menatapnya. “Semoga lekas sembuh, atau sekarang sudah sembuh? Kalau sudah, Farid pulang denganku karena anaknya sakit. Anak juga butuh diperhatikan!” kataku tegas. Siska diam, ia melirik ke Farid lalu mengangguk. Farid ke dalam untuk mengambil ponsel dan dompet. Aku berdiri bersedekap berhadapan dengan wanita di hadapanku ini. 

“Jika caramu bermain seperti ini. Aku akan ladeni sampai mana kamu bisa menantangku. Syarat sebelumnya yang kamu berikan kepadaku … tidak akan aku lakukan. Aku dan anak-anak berhak mendapatkan perhatian dan waktu Farid juga. Jika kamu mau egois, kami juga bisa!” tegasku lalu tersenyum sinis. 

“Oh ya. Kamu pikir aku tidak bisa bertindak nekat, Nis?” Ia balas menantangku. 

“Silakan. Kamu akan tau kekuatan seorang ibu membela hak anaknya. Jangan coba melawanku, kamu akan kalah!” tegasku lagi. “Lihatlah sikap Farid, ia langsung menuruti kemauanku, bukan? Karena anak-anaknya butuh dia. Aku juga bersikap sopan bahkan menutup auratku. Lihat Siska, siapa di sini yang nanti akan bertahan dicintai Farid. Kesabaranku memang terus ada, tapi tidak akan bisa kamu injak-injak. Ingat itu.” Aku balas mengancam. Siska terkejut dengan perlakuanku, Farid keluar, ia meminta kunci mobil yang kuberikan sambil tersenyum. Farid bahkan tidak pamit kepada istri tuanya, aku tersenyum sinis sambil membuka pintu mobil sebelum masuk. 

Di dalam mobil, aku menghela napas panjang, tak menyangka bisa setegas itu membela hak aku dan anak-anak atas Farid. Biar aku egois, Siska juga harus bisa mengerti. 

“Nis, aku minta maaf,” ucap Farid sambil menatapku sebelum kembali melihat ke jalanan di depan. 

“Minta maaf sama anak-anak, bukan aku. Aku bisa mengerti tapi anak-anak tidak. Mereka tidak tau jika papanya memang punya istri dua.” Aku menatapnya lekat, ia mengusap kasar wajahnya, lalu mengangguk. 

Bersambung,

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status