Share

H.6

Guyuran hujan tak membuatku mengurungkan niat pergi ke toko bahan kue. Besok Arinda, putri keduaku berulang tahun ke sembilan. Sudah dari jauh hari kuniatkan membuat kue sendiri, ya ... walau bukan ahli baking kue, tapi gak ada salahnya mencoba. 

Kukibas air hujan yang sedikit membahasi jilbab dan bajuku dengan tangan sebelum masuk ke dalam toko. Mobil sudah terkunci, aku mendorong pintu toko bahan kue yang hampir sebesar minimarket 'maret-maret' itu. 

"Selamat sore," apa pelayan. 

"Sore, Mbak," balasku kemudian meraih keranjang belanja warna merah. Catatan bahan kue yang aku butuhkan sudah siap, sejak dari rumah aku catat dengan rinci jangan sampai ada yang terlewat. 

Satu persatu bahan kue aku masukan ke dalam keranjang, saat berdiri di depan rak aneka bahan pasta, aku mematung. Farid bersama Siska berdiri berjarak dariku dengan wajah berseri-seri. 

Astaghfirullahaladzim, batinku berucap. 

Ingin rasanya kaki ini mendekat, tapi tak sanggup melangkah. Farid tampak mesra merangkul Siska yang sibuk memilih bahan kue juga. Ia masih memakai pakaian kerja, ah, keduanya tepatnya. Malam jumat memang jatah Farid ada di rumah Siska hingga hari minggu, tapi aku sudah meminta supaya Farid pulang sabtu esok karena Arinda ulang tahun. 

Dengan keberanian terkumpul, aku melangkah mendekat, karena memang bahan kue yang kubutuhkan ada di rak tepat di depan mereka. 

Bismillah, ucapku dalam hati menguatkan mentalku. 

"Maaf, permisi, Mbak, Mas, saya mau ambil itu," tunjukku ke arah kacang almond. Mereka terkejut melihatku, tapi tak kupedulikan seolah-olah tidak mengenal mereka. Aku takut, Siska terpancing emosi dan meluapkannya di sana. 

"Permisi," kataku lagi setelah meletakkan kacang almond ke dalam keranjang. Aku berjalan ke rak lain, masih ada beberapa barang yang aku butuhkan juga. Sama sekali aku tidak menoleh ke arah mereka lagi, terlalu sedih. 

Saat membayar, aku mengantri karena masih ada dua orang di depanku. Kuedarkan pandangan, bukan untuk mencari mereka, tetapi sekedar melihat saja. Farid menatapku dengan tatapan nanar, aku tersenyum tipis penuh paksaan lalu menatap ke arah meja kasir di hadapanku lagi. 

Tiba giliranku membayar, total belanjaanku dua ratus lima puluh enam ribu, kubayar tunai. Setelah semua beres aku segera pergi dari sana, tetapi Farid memanggil, kutolehkan pandangan ke arahnya. Ia berjalan mendekat dengan perlahan. 

"Habis berapa belanjaan kamu?" ucapnya lirih. 

"Sedikit, kok, aku duluan, permisi." Kemudian mendorong pintu. Syukurlah hujan sudah reda, kuletakkan tas belanjaan ku di jok belakang, lalu setelah mengunci pintu mobil lagi, aku berjalan menuju penjual mie ayam bangka di ruko sebelah toko bahan kue. Sengaja beli untuk makan malam aku dan anak-anak. 

Sambil menunggu pesanan siap, mataku mengedar ke arah lain. Jalanan sore pukul setengah enam semakin ramai, aku tersenyum karena lalu lalang kendaraan membuat hatiku ramai. Namun, hal itu tak berselang lama karena tanpa sengaja pandanganku berhenti pada mobil Farid. Kaca depan yang tidak begitu gelap, memperlihatkan jelas apa yang mereka lalukan di dalam. 

Siska mencumbu bibir Farid begitu menggebu, Farid juga membalas. Terus saja aku melihat tontonan itu hingga kakiku lemas dengan kedua mata memanas. Kukuatkan hati, memang ini resiko harus berbagi suami dan cinta. 

"Berapa semua, Pak?" tanyaku pada penjual mie ayam. 

"Enam puluh tujuh, Bu," jawabnya. Aku memberikan uang seratus ribu kemudian melesat berlari ke arah mobilku terparkir. Tak kuat berdiri lebih lama lagi di sana. 

Aku menutup pintu mobil dengan kencang, buru-buru menghidupkan mesin lalu tancap gas segera pergi dari sana. 

Tanganku gemetar memegang kemudi, tangisku pun pecah. Sen kiri kunyalakan, setelah menepi dan berhenti. Kuluapkan semua rasa yang tadi bergumul terkumpul dengan teriakan juga isak tangis. Pecah sudah pertahananku. Jeritan perasaan sedih, marah, kecewa, membuatku harus bisa mengeluarkannya. 

"Sakit sekali, Ya Allah, sakittt ...!" rintihku. "Aku harus apa, Ya Allah ... aku ... harus ... apa ...," ucapku lagi di sela raungan pilu hidupku. "Aku mencintainya, tapi mengapa begini!"

Air mataku pecah. Menjadi kedua dalam rumah tangga orang lain jelas sekali salah. Kaca mobilku diketuk. Dengan sesenggukkan aku membuka kunci otomatis, pintu penumpang bagian depan terbuka, Farid masuk dengan cepat, secepat ia menutup pintu lalu memelukku erat. 

"Sakit Farid, sakit!" jeritku dalam pelukannya. Aku yakin ia sadar jika aku melihat dia bercumbu mesra dengan Siska. Tak ada suara darinya, ia pun menangis, aku bisa merasakan bahunya naik turun. 

***

Kami masih di dalam mobil, sudah sama-sama tenang. Ia mengusap wajahku begitu lembut. Lalu tersenyum. 

"Nisa, aku mau memberimu kabar. Tapi tolong, dengarkan aku baik-baik." 

Aku mengangguk. 

"Aku akan bicarakan tentang kamu di keluarga Siska, apapun resikonya, Siska harus hadapi. Hak kamu untuk mendapatkan penerimaan posisimu dimereka. Aku tidak takut mereka marah, tidak masalah." 

"Aku nggak kuat lihat kamu dan Siska, tadi--" Kubekap mulutku dengan tangan, kembali air mata ini berderai. 

"Maafkan aku. Siska yang tiba-tiba melakukannya tadi. Aku pulang sabtu besok, saat ulang tahun Arinda." Farid mencium keningku lama. "Siska aku suruh pulang naik taksi tadi, dia mau. Nisa, maafkan aku membuat kamu menangis lagi karena ulahku." 

Aku menghambur memeluknya. Rasa ego dalam diriku muncul, entah mengapa rasanya ada yang aneh, Farid seperti sedang menyembunyikan sesuatu tengang Siska, dari pandangannya saat bicara tadi, mengapa aku seperti melihat keanehan. 

"Sabar, ya, Nis. Jangan lemah. Aku tau kamu kuat jalani rumah tangga ini denganku. Bertahan sebentar lagi ya, Sayang," bisiknya. 

Betul, ada yang aneh. Aku tetap memeluknya erat, sama sekali tidak mau melepaskan suamiku. Pria yang sangat aku cintai. 

"Farid, boleh aku egois ingin memiliki kamu seutuhnya dan hanya untukku? Aku tidak mau berbagi dengan wanita lain atau siapapun," ucapku tegas. 

"Iya, boleh, Nisa, boleh."

Pelukan terlepas, dengan wajah sembab, mencoba tersenyum. Farid pamit pergi, kujawab lewat anggukan. Ia keluar dari mobilku menuju mobilnya yang terparkir di belakangku. 

Saat aku melajukan mobil ke arah komplek perumahan, ponselku bergetar. Pesan masuk dari Siska muncul. Ia tau nomorku pasti dari Farid, sejak minggu lalu ia sudah berkirim pesan denganku sekedar menyapa tapi tidak pernah aku balas. 

Kali ini isi pesannya membuatku cukup terkejut. "Hai, Nis. Gimana tontonannya? Panas? Itu belum seberapa, karena Farid selalu puas jika aku melayaninya. Ingat! Jangan ganggu Farid sampai hari minggu!" 

Aku menepi lagi, lalu membalas pesan itu. 

"Assalamualaikum Siska. Betul, panas sekali. Saking panasnya sampai rasanya aku mau siram pakai selang damkar. Setidaknya, tau adab dan tempat jika mau bercumbu mesra. Jangan bikin Farid turun derajatnya dari pria baik jadi pria tidak tau etika." 

Kepalang emosi, aku balas seperti itu. Seringaiku muncul, sekelebat rencana muncul dikepalaku, jika sudah begini, aku tau siapa yang harus kuhubungi. Siapa lagi jika bukan ... Mama mertuaku. 

bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status