Guyuran hujan tak membuatku mengurungkan niat pergi ke toko bahan kue. Besok Arinda, putri keduaku berulang tahun ke sembilan. Sudah dari jauh hari kuniatkan membuat kue sendiri, ya ... walau bukan ahli baking kue, tapi gak ada salahnya mencoba.
Kukibas air hujan yang sedikit membahasi jilbab dan bajuku dengan tangan sebelum masuk ke dalam toko. Mobil sudah terkunci, aku mendorong pintu toko bahan kue yang hampir sebesar minimarket 'maret-maret' itu.
"Selamat sore," apa pelayan.
"Sore, Mbak," balasku kemudian meraih keranjang belanja warna merah. Catatan bahan kue yang aku butuhkan sudah siap, sejak dari rumah aku catat dengan rinci jangan sampai ada yang terlewat.
Satu persatu bahan kue aku masukan ke dalam keranjang, saat berdiri di depan rak aneka bahan pasta, aku mematung. Farid bersama Siska berdiri berjarak dariku dengan wajah berseri-seri.
Astaghfirullahaladzim, batinku berucap.
Ingin rasanya kaki ini mendekat, tapi tak sanggup melangkah. Farid tampak mesra merangkul Siska yang sibuk memilih bahan kue juga. Ia masih memakai pakaian kerja, ah, keduanya tepatnya. Malam jumat memang jatah Farid ada di rumah Siska hingga hari minggu, tapi aku sudah meminta supaya Farid pulang sabtu esok karena Arinda ulang tahun.
Dengan keberanian terkumpul, aku melangkah mendekat, karena memang bahan kue yang kubutuhkan ada di rak tepat di depan mereka.
Bismillah, ucapku dalam hati menguatkan mentalku.
"Maaf, permisi, Mbak, Mas, saya mau ambil itu," tunjukku ke arah kacang almond. Mereka terkejut melihatku, tapi tak kupedulikan seolah-olah tidak mengenal mereka. Aku takut, Siska terpancing emosi dan meluapkannya di sana.
"Permisi," kataku lagi setelah meletakkan kacang almond ke dalam keranjang. Aku berjalan ke rak lain, masih ada beberapa barang yang aku butuhkan juga. Sama sekali aku tidak menoleh ke arah mereka lagi, terlalu sedih.
Saat membayar, aku mengantri karena masih ada dua orang di depanku. Kuedarkan pandangan, bukan untuk mencari mereka, tetapi sekedar melihat saja. Farid menatapku dengan tatapan nanar, aku tersenyum tipis penuh paksaan lalu menatap ke arah meja kasir di hadapanku lagi.
Tiba giliranku membayar, total belanjaanku dua ratus lima puluh enam ribu, kubayar tunai. Setelah semua beres aku segera pergi dari sana, tetapi Farid memanggil, kutolehkan pandangan ke arahnya. Ia berjalan mendekat dengan perlahan.
"Habis berapa belanjaan kamu?" ucapnya lirih.
"Sedikit, kok, aku duluan, permisi." Kemudian mendorong pintu. Syukurlah hujan sudah reda, kuletakkan tas belanjaan ku di jok belakang, lalu setelah mengunci pintu mobil lagi, aku berjalan menuju penjual mie ayam bangka di ruko sebelah toko bahan kue. Sengaja beli untuk makan malam aku dan anak-anak.
Sambil menunggu pesanan siap, mataku mengedar ke arah lain. Jalanan sore pukul setengah enam semakin ramai, aku tersenyum karena lalu lalang kendaraan membuat hatiku ramai. Namun, hal itu tak berselang lama karena tanpa sengaja pandanganku berhenti pada mobil Farid. Kaca depan yang tidak begitu gelap, memperlihatkan jelas apa yang mereka lalukan di dalam.
Siska mencumbu bibir Farid begitu menggebu, Farid juga membalas. Terus saja aku melihat tontonan itu hingga kakiku lemas dengan kedua mata memanas. Kukuatkan hati, memang ini resiko harus berbagi suami dan cinta.
"Berapa semua, Pak?" tanyaku pada penjual mie ayam.
"Enam puluh tujuh, Bu," jawabnya. Aku memberikan uang seratus ribu kemudian melesat berlari ke arah mobilku terparkir. Tak kuat berdiri lebih lama lagi di sana.
Aku menutup pintu mobil dengan kencang, buru-buru menghidupkan mesin lalu tancap gas segera pergi dari sana.
Tanganku gemetar memegang kemudi, tangisku pun pecah. Sen kiri kunyalakan, setelah menepi dan berhenti. Kuluapkan semua rasa yang tadi bergumul terkumpul dengan teriakan juga isak tangis. Pecah sudah pertahananku. Jeritan perasaan sedih, marah, kecewa, membuatku harus bisa mengeluarkannya.
"Sakit sekali, Ya Allah, sakittt ...!" rintihku. "Aku harus apa, Ya Allah ... aku ... harus ... apa ...," ucapku lagi di sela raungan pilu hidupku. "Aku mencintainya, tapi mengapa begini!"
Air mataku pecah. Menjadi kedua dalam rumah tangga orang lain jelas sekali salah. Kaca mobilku diketuk. Dengan sesenggukkan aku membuka kunci otomatis, pintu penumpang bagian depan terbuka, Farid masuk dengan cepat, secepat ia menutup pintu lalu memelukku erat.
"Sakit Farid, sakit!" jeritku dalam pelukannya. Aku yakin ia sadar jika aku melihat dia bercumbu mesra dengan Siska. Tak ada suara darinya, ia pun menangis, aku bisa merasakan bahunya naik turun.
***
Kami masih di dalam mobil, sudah sama-sama tenang. Ia mengusap wajahku begitu lembut. Lalu tersenyum.
"Nisa, aku mau memberimu kabar. Tapi tolong, dengarkan aku baik-baik."
Aku mengangguk.
"Aku akan bicarakan tentang kamu di keluarga Siska, apapun resikonya, Siska harus hadapi. Hak kamu untuk mendapatkan penerimaan posisimu dimereka. Aku tidak takut mereka marah, tidak masalah."
"Aku nggak kuat lihat kamu dan Siska, tadi--" Kubekap mulutku dengan tangan, kembali air mata ini berderai.
"Maafkan aku. Siska yang tiba-tiba melakukannya tadi. Aku pulang sabtu besok, saat ulang tahun Arinda." Farid mencium keningku lama. "Siska aku suruh pulang naik taksi tadi, dia mau. Nisa, maafkan aku membuat kamu menangis lagi karena ulahku."
Aku menghambur memeluknya. Rasa ego dalam diriku muncul, entah mengapa rasanya ada yang aneh, Farid seperti sedang menyembunyikan sesuatu tengang Siska, dari pandangannya saat bicara tadi, mengapa aku seperti melihat keanehan.
"Sabar, ya, Nis. Jangan lemah. Aku tau kamu kuat jalani rumah tangga ini denganku. Bertahan sebentar lagi ya, Sayang," bisiknya.
Betul, ada yang aneh. Aku tetap memeluknya erat, sama sekali tidak mau melepaskan suamiku. Pria yang sangat aku cintai.
"Farid, boleh aku egois ingin memiliki kamu seutuhnya dan hanya untukku? Aku tidak mau berbagi dengan wanita lain atau siapapun," ucapku tegas.
"Iya, boleh, Nisa, boleh."
Pelukan terlepas, dengan wajah sembab, mencoba tersenyum. Farid pamit pergi, kujawab lewat anggukan. Ia keluar dari mobilku menuju mobilnya yang terparkir di belakangku.
Saat aku melajukan mobil ke arah komplek perumahan, ponselku bergetar. Pesan masuk dari Siska muncul. Ia tau nomorku pasti dari Farid, sejak minggu lalu ia sudah berkirim pesan denganku sekedar menyapa tapi tidak pernah aku balas.
Kali ini isi pesannya membuatku cukup terkejut. "Hai, Nis. Gimana tontonannya? Panas? Itu belum seberapa, karena Farid selalu puas jika aku melayaninya. Ingat! Jangan ganggu Farid sampai hari minggu!"
Aku menepi lagi, lalu membalas pesan itu.
"Assalamualaikum Siska. Betul, panas sekali. Saking panasnya sampai rasanya aku mau siram pakai selang damkar. Setidaknya, tau adab dan tempat jika mau bercumbu mesra. Jangan bikin Farid turun derajatnya dari pria baik jadi pria tidak tau etika."
Kepalang emosi, aku balas seperti itu. Seringaiku muncul, sekelebat rencana muncul dikepalaku, jika sudah begini, aku tau siapa yang harus kuhubungi. Siapa lagi jika bukan ... Mama mertuaku.
bersambung,
Tanganku berhenti menghias kue tart saat suara kedua mertuaku terdengar di teras depan rumah. Kuletakkan plastik berisi krim di atas piring, berjalan ke depan menemui mereka. “Waalaikumsalam, Ma, Pa,” balasku sambil membuka pintu ruang tamu. “Wangi kue. Kamu jadi bikin?” Mama mencium kedua pipiku bahkan kening, pun papa, ia bahkan memelukku erat. “Masuk, Ma, Pa,” ajakku. Mereka berjalan masuk, di kedua tangannya membawa tas belanja besar. “Arin mana?” bisik mama. “Lagi ke mini market sama Nazwa, Nisa suruh beli susu kotak. Mama Papa jadi nginep, ‘kan?” Aku membantu membawakan tas milik mama yang isinya baju, lalu aku letakkan di kamar anak-anak. “Ya, jadi, lah. Udah niat. Farid … pulang malam ini, ‘kan? Acara ulang tahun Arinda nanti sore jam empat, ‘kan?” Mama yang cerewet tapi baik, bertanya merepet. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala sambil tersenyum. “Aki! Nini!” teriak anak-anak saat tiba ke rumah. Aku kembali ke dapur untuk melanjutkan menghias kue. Goodie bag seba
“Papa pulang, Nak,” bisik Farid saat tiba di rumah dan langsung masuk ke dalam kamar anak-anak. Kedua sorot mata orang tuanya menunjukkan amarah yang tidak bisa teralihkan. Aku sendiri hanya bisa terdiam sambil berjalan ke dapur untuk melihat bahan masakan untuk hari itu. “Mama sudah masak, Nis, kamu istirahat aja, ya.” Mama mengusap bahuku. “Nisa repotin Mama, jadi Mama yang masak,” kataku tak enak hati. “Nggak apa-apa, Mama masak rawon sama goreng ayam. Tadi Nazwa minta itu.” “Iya, Ma, terima kasih, Ma.” Aku tersenyum begitu penuh syukur mama mertuaku begitu baik bahkan menerima kondisiku sebagai istri kedua anaknya. Mama menarik tanganku, mengajak ke teras depan rumah, kami duduk bersisian. “Nisa, tadi kamu ketemu Siska? Gimana reaksi dia waktu ketemu kamu tadi?” Mama tampaknya sangat penasaran. “Kaget, Ma. Pembantunya yang bukakan pagar, nggak lama Siska dan Farid keluar temuin Nisa. Siska kesal, Nisa nggak tahan sama semua ini dan sepertinya Farid nggak datang kemarin karen
Kami semua pulang, Arinda kembali istirahat di kamarnya. Aku memberinya obat lalu tak lama ia pulas tidur. Nazwa menangis walau sikapnya tenang saat Farid duduk di sisinya, jika aku lihat suamiku sedang menjelaskan keadaan kami. Ya Allah, perih rasaya melihat Nazwa hanya mengangguk mencoba memahami walaupun pasti ingin teriak. “Rid, tolong tegas. Siska nggak bisa berlaku seperti ini ke kamu. Dia harusnya sadar kamu masih mau kasih kesempatan kedua walaupun harus Nisa yang dikorbankan.” Mama mertuaku menatap garang ke Farid. Ia hanya mengusap kasap wajahnya. “Ma, susah. Farid maunya semua akur dan damai, bukan malah seperti ini.” Apa? Akur? Damai? Sadar Farid, kamu bukan sultan yang kaya raya dan bisa menikmati dua wanita walau sah secara bersamaan. Aku kesal menatap suamiku, dengan tekad kuat dan yakin akhirnya aku berani berpendapat. “Kalau begitu, karena kamu tidak bisa bersikap adil. Mulai hari ini aku yang akan bilang ke Siska kalau kamu harus lebih banyak ada dengan kami. Den
Ponsel Farid tidak langsung aku letakkan di atas meja. Aku ingin tau apa yang Farid ceritakan benar adanya tau sekedar supaya aku percaya. Jemariku terus bergerak membaca history chat mereka. Jujur sekali, Farid memang tidak banyak mengetik balasan bahkan bertanya sebagai bentuk perhatian kecil juga sewajarnya. Sama sekali tidak membuat aku cemburu, yang ada aku jadi berpikir, kenapa mereka harus bertahan jika sudah tidak ada percikan rasa cinta. Tetapi memang terlihat Siska yang dominan dan bernafsu banyak bertanya ke Farid. Beralih ke galery foto, kucoba mencari apakah ada foto-foto mereka. Ternyata ada, tapi foto saat mereka pacaran dan awal menikah. Terlihat suamiku bahagia difoto itu, sedikit mulai kurasakan nyeri di hati tapi segera aku tepis karena fokusku bukan itu saja. Kembali aku mencari bukti lain, kini beralih ke laporan transaksi uang Farid. Aku penasaran, apakah suamiku juga menafkahi Siska walau jelas sekali terlihat wanita itu mampu menghidupi diri sendiri. Aku men
Jangan lupa tinggalkan jejak, ya. Terima kasih. ______Rasa penasaran akhirnya membawaku jadi sedikit nekat demi Farid tetap ada di sisiku. Pengakuan Siska yang hamil, tidak sepenuhnya aku percaya. Mobil kuarahkan ke rumah mama mertua, pingin tau apa mama sudah dapat kabar dari Siska? "Assalamualaikum, Ma?" Sapaku seraya membuka pintu ruang tamu. "Waalikumsalam, Nis, masuk sayang. Kok tumben kamu ke sini, habis dari pasar?" Mama menunjuk ke plastik kresek belanjaanku. "Iya. Ma, Nisa mau ngobrol sama Mama." Mama mengangguk, kuletakkan belanjaan di dapur, setelah cuci tangan aku dan mama duduk di kursi makan. "Ma, apa Mama tau Siska hamil?" Langsung saja aku tanyakan. "Nggak. Emang dia hamil?!" pekik mama. Aku mengangguk. "Dia kasih tau kamu?" tanya mama lagi. Aku mengangguk lagi. "Tapi Nisa nggak yakin, Ma, takutnya itu akal-akalan dia aja. Nisa udah tau cerita Farid mau ceraikan Siska dulu, diam-diam gugurin kandungan. Kalau sekarang tiba-tiba dia hamil, rasanya aneh, Ma."Mam
Awalnya aku sempat ragu untuk membahas ini dengan anak-anak, tetapi karena Siska sudah memulainya, tak baik jika anak-anak tau bukan dari mulutku. Nazwa tau aku menutupi rasa kecewa kepada papanya karena tadi Farid memutuskan untuk sementara bersama Siska yang ‘mengaku hamil’. Posisiku akan salah jika melarang Farid, akan ramai kedepannya karena semua akan terbongkar cepat dan aku yakin akan kalah. Tidak mau aku menjadi yang kalah dipermainan ini. Suamiku laki-laki biasa dan normal, jadi aku yakin dia akan tergoda oleh kemolekan tubuh Siska apalagi ia istri pertamanya sebelum aku. Kebohongan pasti untuk menjaga perasaanku saja. “Nazwa, Arin, duduk sini. Mama mau jelasin semuanya,” perintahku dengan bernada lembut ke mereka yang baru selesai salat magrib. Kedua putriku duduk berhadapan denganku di lantai beralaskan karpet, di ruang TV. Keduanya masih memakai mukena. TV aku matikan, hanya deru AC ruangan yang sengaja kunyalakan supaya sejuk karena bahasan kami akan terasa panas. Bismi
“T-tapi, kita satu mobil, itu nggak boleh,” tolakku sedikit terbata-bata. Ya karena memang aneh saja, tidak boleh satu mobil dengan yang bukan memiliki hubungan sah. Ilham mengangguk, dari wajahnya terlihat bingung. Akhirnya aku berikan beberapa uang lima puluh ribu. “Pakai ini aja, kembalikan ke saya gampang, bisa kapan aja.” Aku memberikan uang ke arahnya, ia menerima dengan wajah meringis. “Maaf, jadi repotin kamu. Saya malu jadinya,” tuturnya yang memang terlihat jika ia malu menerima uang yang kupinjamkan. “Nggak masalah. Kalau itu, saya duluan, ya, Ham. Assalamualaikum,” jawabku seraya masuk ke dalam mobil. “Waalaikumsalam, hati-hati, Nisa,” balasnya lembut yang masih bisa aku dengar karena belum menutup pintu. Aku menghidupkan mesin mobil, kemudian menginjak pedal gas, perlahan aku meninggalkan area parkir tapi sempat melihat Ilham dari spion tengah. Seketika kubuang napas panjang, bagus aku masih bisa jaga diri, bisa saja bahaya karena satu mobil dengan pria yang bukan pasa
Tampaknya memang ini sudah menjadi secercah harapan bagiku. Saat aku langsung menceritakan kepada kedua mertuaku, mereka memiliki ide yang membuatku bisa terlihat ‘jahat’. “Nisa tenang aja, ya, kita cari tau bersama. Mama juga mau bilang ke kamu, adik-adik Mama, Kakak dan adik Papa mereka sudah tau kalau Farid punya kamu sebagai istri keduanya. Mereka awalnya marah dan kecewa karena kenapa baru diberitahu, tapi kami jelaskan semuanya. Ya, walau jadinya seperti menjatuhkan anak sendiri, tetapi memang Farid salah. Kami terima.” “Lalu, apa respon keluarga setelah tau, Ma?” “Mereka mau ketemu kamu, Nisa.” Jawaban mama mertuaku langsung membuatku berdebar tak karuan. Rasanya seperti terjun bebas dari ketinggian.