Kami semua pulang, Arinda kembali istirahat di kamarnya. Aku memberinya obat lalu tak lama ia pulas tidur. Nazwa menangis walau sikapnya tenang saat Farid duduk di sisinya, jika aku lihat suamiku sedang menjelaskan keadaan kami. Ya Allah, perih rasaya melihat Nazwa hanya mengangguk mencoba memahami walaupun pasti ingin teriak. “Rid, tolong tegas. Siska nggak bisa berlaku seperti ini ke kamu. Dia harusnya sadar kamu masih mau kasih kesempatan kedua walaupun harus Nisa yang dikorbankan.” Mama mertuaku menatap garang ke Farid. Ia hanya mengusap kasap wajahnya. “Ma, susah. Farid maunya semua akur dan damai, bukan malah seperti ini.” Apa? Akur? Damai? Sadar Farid, kamu bukan sultan yang kaya raya dan bisa menikmati dua wanita walau sah secara bersamaan. Aku kesal menatap suamiku, dengan tekad kuat dan yakin akhirnya aku berani berpendapat. “Kalau begitu, karena kamu tidak bisa bersikap adil. Mulai hari ini aku yang akan bilang ke Siska kalau kamu harus lebih banyak ada dengan kami. Den
Ponsel Farid tidak langsung aku letakkan di atas meja. Aku ingin tau apa yang Farid ceritakan benar adanya tau sekedar supaya aku percaya. Jemariku terus bergerak membaca history chat mereka. Jujur sekali, Farid memang tidak banyak mengetik balasan bahkan bertanya sebagai bentuk perhatian kecil juga sewajarnya. Sama sekali tidak membuat aku cemburu, yang ada aku jadi berpikir, kenapa mereka harus bertahan jika sudah tidak ada percikan rasa cinta. Tetapi memang terlihat Siska yang dominan dan bernafsu banyak bertanya ke Farid. Beralih ke galery foto, kucoba mencari apakah ada foto-foto mereka. Ternyata ada, tapi foto saat mereka pacaran dan awal menikah. Terlihat suamiku bahagia difoto itu, sedikit mulai kurasakan nyeri di hati tapi segera aku tepis karena fokusku bukan itu saja. Kembali aku mencari bukti lain, kini beralih ke laporan transaksi uang Farid. Aku penasaran, apakah suamiku juga menafkahi Siska walau jelas sekali terlihat wanita itu mampu menghidupi diri sendiri. Aku men
Jangan lupa tinggalkan jejak, ya. Terima kasih. ______Rasa penasaran akhirnya membawaku jadi sedikit nekat demi Farid tetap ada di sisiku. Pengakuan Siska yang hamil, tidak sepenuhnya aku percaya. Mobil kuarahkan ke rumah mama mertua, pingin tau apa mama sudah dapat kabar dari Siska? "Assalamualaikum, Ma?" Sapaku seraya membuka pintu ruang tamu. "Waalikumsalam, Nis, masuk sayang. Kok tumben kamu ke sini, habis dari pasar?" Mama menunjuk ke plastik kresek belanjaanku. "Iya. Ma, Nisa mau ngobrol sama Mama." Mama mengangguk, kuletakkan belanjaan di dapur, setelah cuci tangan aku dan mama duduk di kursi makan. "Ma, apa Mama tau Siska hamil?" Langsung saja aku tanyakan. "Nggak. Emang dia hamil?!" pekik mama. Aku mengangguk. "Dia kasih tau kamu?" tanya mama lagi. Aku mengangguk lagi. "Tapi Nisa nggak yakin, Ma, takutnya itu akal-akalan dia aja. Nisa udah tau cerita Farid mau ceraikan Siska dulu, diam-diam gugurin kandungan. Kalau sekarang tiba-tiba dia hamil, rasanya aneh, Ma."Mam
Awalnya aku sempat ragu untuk membahas ini dengan anak-anak, tetapi karena Siska sudah memulainya, tak baik jika anak-anak tau bukan dari mulutku. Nazwa tau aku menutupi rasa kecewa kepada papanya karena tadi Farid memutuskan untuk sementara bersama Siska yang ‘mengaku hamil’. Posisiku akan salah jika melarang Farid, akan ramai kedepannya karena semua akan terbongkar cepat dan aku yakin akan kalah. Tidak mau aku menjadi yang kalah dipermainan ini. Suamiku laki-laki biasa dan normal, jadi aku yakin dia akan tergoda oleh kemolekan tubuh Siska apalagi ia istri pertamanya sebelum aku. Kebohongan pasti untuk menjaga perasaanku saja. “Nazwa, Arin, duduk sini. Mama mau jelasin semuanya,” perintahku dengan bernada lembut ke mereka yang baru selesai salat magrib. Kedua putriku duduk berhadapan denganku di lantai beralaskan karpet, di ruang TV. Keduanya masih memakai mukena. TV aku matikan, hanya deru AC ruangan yang sengaja kunyalakan supaya sejuk karena bahasan kami akan terasa panas. Bismi
“T-tapi, kita satu mobil, itu nggak boleh,” tolakku sedikit terbata-bata. Ya karena memang aneh saja, tidak boleh satu mobil dengan yang bukan memiliki hubungan sah. Ilham mengangguk, dari wajahnya terlihat bingung. Akhirnya aku berikan beberapa uang lima puluh ribu. “Pakai ini aja, kembalikan ke saya gampang, bisa kapan aja.” Aku memberikan uang ke arahnya, ia menerima dengan wajah meringis. “Maaf, jadi repotin kamu. Saya malu jadinya,” tuturnya yang memang terlihat jika ia malu menerima uang yang kupinjamkan. “Nggak masalah. Kalau itu, saya duluan, ya, Ham. Assalamualaikum,” jawabku seraya masuk ke dalam mobil. “Waalaikumsalam, hati-hati, Nisa,” balasnya lembut yang masih bisa aku dengar karena belum menutup pintu. Aku menghidupkan mesin mobil, kemudian menginjak pedal gas, perlahan aku meninggalkan area parkir tapi sempat melihat Ilham dari spion tengah. Seketika kubuang napas panjang, bagus aku masih bisa jaga diri, bisa saja bahaya karena satu mobil dengan pria yang bukan pasa
Tampaknya memang ini sudah menjadi secercah harapan bagiku. Saat aku langsung menceritakan kepada kedua mertuaku, mereka memiliki ide yang membuatku bisa terlihat ‘jahat’. “Nisa tenang aja, ya, kita cari tau bersama. Mama juga mau bilang ke kamu, adik-adik Mama, Kakak dan adik Papa mereka sudah tau kalau Farid punya kamu sebagai istri keduanya. Mereka awalnya marah dan kecewa karena kenapa baru diberitahu, tapi kami jelaskan semuanya. Ya, walau jadinya seperti menjatuhkan anak sendiri, tetapi memang Farid salah. Kami terima.” “Lalu, apa respon keluarga setelah tau, Ma?” “Mereka mau ketemu kamu, Nisa.” Jawaban mama mertuaku langsung membuatku berdebar tak karuan. Rasanya seperti terjun bebas dari ketinggian.
Aku bisa melihat raut wajah Siska yang begitu marah, tetapi ia tahan. Sambil tersenyum menatap suamiku yang sangat aku rindukan, aku menyapa Siska juga, sekedar basa basi tentunya. Jika Siska bisa bermain taktik, aku juga. Namun, bukan untuk hal jahat, aku mau suamiku tau jika di sini aku yang pantas ia pertahankan. Farid mulai keringat dingin, ia panik karena ditatap tak ramah oleh keluarga lainnya. Kami semua berkumpul di ruang tamu. Kedua mertuaku duduk di sofa, aku di bawah beralaskan karpet, anak-anak diungsikan ke lantai atas lagi karena pembahasan sepertinya rumit. “Kenapa kamu harus tutupi, Rid?” tegur Tante Iin, sejak awal ia yang terlihat menyambutku dengan begitu terbuka. “Farid hanya tidak mau semua keluarga melihat buruk ke Nisa karena–”“Tapi yang bohong, kan, kamu. Om yakin kalau Nisa tau kamu sudah menikahi Siska juga nggak akan mau didekati kamu. Kamu yang salah dan patut disalahkan.” Om Asep menegur marah suamiku. Aku hanya bisa diam sembari sesekali menghela napa
Kering sudah air mata kami, Farid mengajakku istirahat. Benar-benar tidur dengan ia yang terus memelukku. Rencana tinggal rencana, apa daya jika nyatanya Farid lebih memilih istri pertamanya. Inilah ruginya menjadi yang kedua walaupun keluarga lelaki yang meminang lebih sayang denganku. Sebelum tidur, kami membahas beberapa hal penting. Farid berkata jika asuransi pendidikan anak-anak sudah aman hingga Nazwa kuliah dan Arin SMA, ia juga bilang jika KPR rumah sudah hampir lunas, karena kemarin sempat mendapat proyek audit perusahaan besar dan fee yang dibayarkan untuknya cukup untuk mempercepat cicilan rumah. “Siska tidak meminta uangmu, Rid?” “ Tidak, dia punya uang sendiri.” “Kamu kenapa memilih dia, bukannya kamu bilang lebih mencintaiku?” Farid mengusap punggungku, kami bicara sambil merebahkan tubuh saling berhadapan di atas ranjang. “Dia hamil dan itu yang aku inginkan sejak dulu. Aku memang tidak bisa tegas menjadi laki-laki, aku akui aku bodoh dan salah.” “Bagaimanapun, di