Rubia menarik Sandra untuk duduk di tepi ranjang. Rubia tersenyum licik. Sedangkan Sandra bingung, kenapa sang mama membawanya ke kamar ini. Wajah Rubia memperlihatkan senyum miringnya. Ia melirik kalender yang terpampang di dinding, menghitung hari, kapan Nadine akan menerima gajih. Sandra memandang wajah mamanya tanpa kedip penuh tanya. "Ma, sebetulnya mama mau ngapain sih?" "Bulan depan, si Nadine gajian kan?" bisik Rubia pelan. "Emangnya kenapa kalau dia gajian Ma? Mama mau minta?" "Dasar bodoh!" telunjuk Rubia menuding ke kening Sandra, hingga kepala Sandra mendongak ke belakang. Rubia menyipitkan matanya, pikiran busuknya yang begitu saja melintas di kepalanya untuk menguras uang Nadine. "Kita akan menguras gajih pertamanya, dan kalau bisa seterusnya selama dia masih bekerja disana. Kalau udah gak kerja, ya,, dia harus jadi babu lagi disini," gumam Rubia pelan. "Caranya Ma?" tanya Sandra memiringkan kepalanya. "Kamu dengar kan tadi! Alena bukan ibu kandungnya.
"Mantuku yang cantik ini rupanya kelayapan terus yah! Bikin sial aja kamu lama-lama disini!" hardik Rubia. Langkah Nadine disambut celoteh dan tuduhan Rubia dari ambang pintu. Tatapan tajam menelusuri Nadine dari atas ke bawah untuk mencari cela dan mencari kesalahan Nadine. Hanya wajah sinis penuh kecurigaan dibalik wajahnya yang membuat hati Nadine merasa teriris. "Aku tadi melamar kerja Ma. Jadinya aku ke toko pakaian dulu buat kerja besok," jawab Nadine pelan. "Kerja apa? Palingan kerja jadi pembantu aja udah sombong. Ada acara beli baju segala. Sedangkan kamu aja belum bisa ganti gaun Mama yang hangus!" Mata Rubia melirik tangan Nadine yang menenteng beberapa kantong Pakaian dan sepatu, serta asesoris untuk keperluan besok di tempat kerjanya yang baru. "Ma, apa Mama belum cek saldo di ATM Mama? Maaf, tadi aku gak sempat kasih tahu. Coba aja Mama cek sekarang. Aku udah transfer ke Mama 10 juta." "Apa? Kamu jangan bercanda yah. Mana mungkin kamu bisa ganti uang segitu dalam
"DNA siapa ini?" Pamela membolak-balikkan amplop warna putih itu. Dorongan rasa penasaran mengalahkan segalanya untuk membuka amplop menarik isinya. Tangannya gemetar saat membaca isi tulisan di dalam kertas itu. Selembar kertas yang mampu menggetarkan tangannya. Matanya membulat saat membaca tulisan yang tertera nama Stev Kenrick di kolom pertama. Lalu nama kedua adalah: Nadine Soraya Nania. "Apa mungkin Papa ada anak dari perempuan lain? Apa Nadine anak dari selingkuhan Papa?" "Karena anak kami yang hilang bernama Natasya Samatha Nania. Bukan Nadine Soraya Nania. Tapi, kenapa di belakang nama ini sama-sama ada Nania?" Jantungnya berdetak keras saat ia membaca sebuah kalimat: Kecocokan DNA 99.99โ . Subjek Stev Kenrick adalah ayah biologis dari anak bernama Nadine Soraya Nania. Mata Pamela mulai berkaca-kaca. "Atau Nadine adalah anakku? Tapi kenapa Papa menyembunyikan hal ini sama aku?" Pamela mulai menangis terduduk lemas di kursi sofa. Ia menangis keras dengan tangan gem
"Bapak serus kan? Dengan gajih sebesar ini?" tanya Nadine masih tidak yakin, semua dihari ini bagaikan mimpi. Bantuan dari staf yang berpengalaman dan handal mempercepat proses untuk Nadine bekerja. Ruangan Nadine tersendiri. Dilengkapi AC yang sejuk dan kulkas di dalamnya sudah tersedia buah dan makanan kecil mau pun frozen. Semua sudah lengkap. laptop dan telpon, di atas meja. dan kursi kerja yang nyaman. Di dekat pintu terdapat kursi panjangan, yaitu kursi tunggu. Setip sudut ruang terhias bunga dalam vas. Dilengkapi lemari buku. Ada bel untuk OB bila ada keperluan. Nadine menghempaskan badannya di atas kursi. Ia dapat bernafas dengan lega dengan sikap Steven dan Aldiano yang begitu hangat. "Semoga mereka baik-baik saja dengan aku. Aku gak perlu bantuan Delia untuk berobat Mama." gumamnya Perusahaan multifungsi yang selama ini ia hanya melihatnya di layar TV, tapi kini menjadi rumah keduanya. yang tak pernah Ia bayangkan kini bisa digapainya dalam waktu singkat. "Krin
Hati Pak Rico berbunga-bunga, menjawab telpon dari seorang Presdir. "Halo Pak Bos! Selamat pagi menjelang siang! Wah, tumben Bapak telepon saya. Sepertinya ada kabar baik yah Pak? Sepertinya ada aroma gajih gitu Pak?" "Diam kamu! Jangan berani banyak bicara dengan saya!" hardik Aldiano memekakkan telinga Pak Rico. Sampai-sampai Pak Rico terlonjak kaget sambil melompat. "Iโiya, PakโPak" Bapak Rico dan Bapak Deny, kalian berdua, silahkan ambil Surat Peringan satu, di ruang HRD!" "Apa? Tapi Pak? Salah saya apa Pak?" Tut! Tut! Tut! Suara sambungan telepon terputus. Tentu saja Pak Rico tersentak kaget. Ia berharap adanya kenaikan gajih, karena pekerjaannya selama bertahun-tahun di perusahaan ini tidak pernah membuat kesalahan. Tapi hari ini, tidak ada angin mau pun badai, Tiba-tiba harus mendapatkan surat peringatan. Ia masih terkesima diam membeku. Pak Darman, asisten Aldiano menghampiri Rico. "Dimana wanita itu?" Tidak ada jawaban dari Pak Riko. Membuat Pak Darman me
"Ibu jangan main-main dengan kami. Di perusahaan ini tidak menerima orang sembarangan! Dan jangan sesekali menipu kami untuk membuat kekacauan di tempat ini!?" kata Pak Rico tegas. "Lebih baik Ibu pergi dari sini sekarang! Dari pada Ibu kami tahan!" timpal Pak Deny. Nadine mendongakkan kepalanya memandang Bapak-bapak yang berwajah sinis bergantian. Tak mengerti kenapa dirinya di tolak seperti ini. Padahal menurutnya, ia sudah berpakaian rapih dan yang paling bagus diantara pakaian lainnya. "Kenapa saya di tahan Pak? Salah saya apa? Saya serius mau ketemu Pak Aldiano! Saya kesini bukan bermaksud jahat. Apa saya ada wajah seperti orang jahat?" "Maaf, Ibu dari mana? Silahkan perlihatkan KTP Ibu.?" ujar Pak Rico, salah satu dari security menatap Nadine curiga. Nadine merogoh tas kecilnya, mengambil dompet. Lalu menarik KTP yang terselip di dalamnya. Ia menyodorkan KTP nya ke Pak Rico. Matanya tajam menatap Nadine. Ia membaca dengan teliti data yang tertulis di KTP Nadine. "