"Sekarang uang darimana lagi Ma? Aku udah gak bisa kasih Sandra buat kuliah. Lebih baik berhenti kuliah, langsung aja kawin sama orang kaya!" gerutu Erlan saat Rubia menuntut biaya Sandra, adiknya yang masih kuliah."Kalau kamu gak kerja, tabungan udah habis, darimana kita mau makan?" pekik Rubia kesal memikirkan biaya hidup semakin sulit.Wanita paruh baya itu mendengus kesal. Dipikirannya dia harus kerja. Karena Erlan sulit mendapatkan pekerjaan. Atau dirinya yang akan kerja walau menjadi pembantu sekali pun. Air matanya menetes pelan menatap lantai yang retak dan kursi yang robek. Tapi satu minggu lagi, mereka harus meninggalkan rumah ini, karena tidak ada lagi uang untuk membayar kontrakan rumah ini. Tidak tahu harus tinggal di mana.Ingatannya saat masa-masa ada Nadine, dirinya tidak kekurangan suatu apa pun. Malah bagian uang Nadine yang diberikan Erlan, dirampasnya. Sehingga mantan menantunya itu kesulitan uang, Rubia tidak peduli.Dengan seenaknya Rubia menghina. Tidak mau tah
"Diam aja kamu manis, hahaha!" ujar seorang pria itu di pintu mobil."Toloooong! Siapa pun tolong aku, Haaaa!"Malam yang gelap hari ini kembali menjadi malam yang menakutkan. Panik dan tangis mulai berbaur.Tapi di sana ada sosok Erlan yang memperhatikan sejak tadi. "Malam ini aku harus menjadi super Hero bagi Nadine. Hahaha."Sejak Nadine keluar dari kantor bersama Delia tadi sore, Erlan memang sengaja mengikuti mereka. Dia sengaja memanggil dua orang temannya untuk bersandiwara seolah ingin melecehkan Nadine disaat wanita itu sendiri. Dan malam ini adalah saatnya untuk Erlan menjadi penolong Nadine, sehingga dia tidak selalu menjadi ketus.Tapi disaat langkahnya ingin maju, pandangan matanya melihat sosok pria dengan postur tubuh yang tinggi, menarik salah seorang preman yang sedang menunggu di depan pintu mobil. Lalu meninju wajahnya.Lalu dengan cepat, pria itu menarik keluar dengan paksa preman yang ada di dalam mobil. Lalu meninju perutnya hingga terjungkal. Dengan cepat pria i
"Udah, kamu ambilin aku minum gih. Teh manis pake es batu. Haus banget rasanya," tukas Nadine. "Ok, siap. Aku ambil dulu yah," ujar Delia melangkah keluar ruangan menuju dapur. Nadine diam-diam memperhatikan Delia. Dan dia memandang wanita dari dari punggungnya meninggalkan ruangan. 'Sebetulnya aku nggak tega sama kamu Delia.tapi aku ingin memberi kamu pelajaran untuk menghilangkan kesombongan kamu. Aku nggak akan menguji kamu terlalu berat,' Nadine menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum. "Sepertinya kamu sudah mulai berubah," gumamnya. Setelah beberapa saat Delia, kembali masuk membawa dua gelas berisi es teh manis. Satu untuk Nadine, dan satu untuknya. Dia meletakkan dua gelas itu di atas meja. "Gak apa-apa kan, kalau aku juga ikut minum? Aku juga haus. Jangan takut, abis ini aku segera bekerja lagi," tanya Delia mengambil gelas dan meminumnya. "Oke, kamu di sini aja ngobrol-ngobrol sama aku sampe sore." "Sampai sore? Lalu siapa nanti yang ngepel dan membereskan semua di
"Sinta, tolong panggil Delia ke ruangan ku ya!" ucap Nadine di ruangannya.Dia melihat pekerjaannya selama ini sangat rajin. Nadine ingin menaikkan gajihnya. Walau bagaimana pun, Darko yang sudah menjadi anaknya, adalah dari rahim Delia. Nadine tidak mungkin tinggal diam atas penderitaan Delia. Tapi dia ingin Delia merasakan sakitnya apa yang dirasakannya saat menjadi istri Erlan.Beberapa saat pintu berderit terbuka. Sosok Delia berdiri di balik pintu. "Kamu panggil saya Nad?""Tolong kalau disini, jangan panggil aku nama. Panggil aku ibu. Sopan sedikit. Sini duduk di sebelahku!" tukas Nadine yang saat ini sedang duduk di kursi sofa khusus tamu."Ya, baiklah. Bu Nadine yang terhormat. Saya akan panggil kamu ibu. Tapi kenapa kamu panggil saya? Oh iya, bagaimana dengan anak saya? Apa dia baik?" tanya Delia sambil duduk di samping Nadine."Ya, dia baik-baik aja. Kamu gak perlu khawatirkan dia. Dia akan aman di tangan seorang ibu yang tepat untuknya," jawab Nadine tegas."Oke, apa boleh
"Dokter! Dokter!" seru seorang pasien memanggil dari belakang, membuat Stev menoleh ke belakang." Iya, ada apa Bu?" tanya Stev memandang menelisik wanita separuh baya."Bagaimana dengan anak saya Dok? Apa dia bisa siuman dari komanya?""Oh, anak ibu yang di ruang ICU? Oh iya, begini ... " Stev menghentikan ucapannya.Matanya memandang 3 orang sedang naik ke dalam mobil berwarna putih, menjemput di depan lobi rumah sakit. Salah satunya dengan jelas ia melihat dari samping wajah pemuda itu."Aldiano? Al! Aldiano!" seru pria itu sambil berlari ke depan. Tapi sayangnya mereka semua sudah naik ke dalam mobil. Mobil melaju dengan cepat."Al! Itu pasti Aldiano. Aku gak mungkin salah lihat.""Dokter! Dokter Stev. Kenapa Dokter lari? Saya sedang bertanya!" Wanita itu mengejar Stev. "Apa Dokter gak bisa tangani anak saya?""Ah, maaf," kata Stev, tapi matanya sesekali memandang bayangan mobil yang sudah menjauh. Ia menghela nafas panjang. Ingin rasanya ia berlari menyusul kalau saja ibu pasien
Aldiano bersama Zarah, duduk di kursi rumah sakit Sehat Sehati Hospital, menunggu panggilan. Tertulis di muka pintu "Dr. Martin Nicholas Sp.Bs" Terlihat pandangan Aldiano kosong dalam pikirannya sendiri. Dia bagai orang yang sedang tersesat di suatu tempat. Walau luka fisik sudah membaik, dan tulang yang patah pun sudah pulih, tapi otaknya seperti ada kabut tipis yang menutupi pikirannya. "Pasien Rehan!" panggil suster keluar dari ruang praktek dokter. "Pasien Rehan!" Tapi Aldiano terdiam. Zarah segera menarik lengan Aldiano. "Ayo Rehan, udah dipanggil tuh." Pria itu bangkit pelan melangkah masuk ke ruang dokter bersama Zarah. Dokter Martin menyambutnya dengan senyum ramah. "Bagaimana kabarnya Bapak Aldiano? Ini rujukan dari dokter Kelwin dari rumah sakit Vista Hospital," ucap dokter Martin sambil membuka berkas medis pasien. "Seperti biasa Dok. Belum ada perubahan," Zarah yang menjawab. "Iya, Dok. Apa lagi kalau saya memandang diri saya sedang di cermin. Saya seolah melihat or