"Kamu mau ngomong apa? Apa yang mau kamu bilang. saya pasti dengerin," jawab Nadine. Walau hatinya bergemuruh. Delia melanjutkan. "Saya harap kamu mau menerima, dan kamu nggak marah." "maksudnya?" tanya Nadine tidak mengerti. Dahinya berkerut. Ruangan hening sejenak. Delia masih menggenggam tangan Nadine. "Aku .... " Delia menelan ludah. Suaranya sempat tercekat. A—aku hamil" Duaarrrr! Kata-kata itu terdengar mencetus di udara. Bagai suara petir yang langsung menghantam jantung Nadine. Lalu tangannya memegangi dada. Ucapan Delia menghentak dada Nadine sangat keras. Sesak itu seolah membawanya ke alam lain. Ketika itu juga, dunia serasa hening. Nadine menarik tangannya dari genggaman Delia. Tidak ada kata yang dapat diucapkan Nadine. Ia begitu terkesima menatap lurus ke depan. Tubuhnya duduk tak bergerak, seolah menjadi beku. Mendengar berita yang menusuk jantungnya. kedua matanya berkaca-kaca. Bibirnya bergetar. Tubuhnya bergoncang. "Kau benar-benar mau merebut suamiku!
'Akhirnya pertanyaan seperti ini, yang aku takuti datang juga, kenapa tiba-tiba Nadine bertanya tentang papanya? Aku harus jawab apa?' gumam hati Alena penuh kebimbangan dan ketakutan menyeruak batinnya. Pertanyaan yang ditakuti seperti palu godam menghantam dadanya. Sesaat Alena duduk diam mematung. Tatapannya kosong ke dinding. "Ma, sepertinya udah saatnya aku tau siapa papa aku. Kenapa Mama selalu aja menghindar, tiap kali aku tanya tentang papa aku?" suara Nadine dipenuhi emosi yang selama ini dipendamnya. Alena menoleh. wajahnya penuh keraguan. 'Apa yang harus aku katakan?' batinnya menelan ludah. Tenggorokannya kering. Antara ingin mengatakan atau tidak. Hatinya bergemuruh dengan ketakutan dan keraguan. "Ma? Mama? Kenapa Mama diam Ma?" "I—iya, iya. Mama cuma takut aja Nak." "Apa yang mama takutin? bicaralah Ma," desak Nadine. Alena masih terdiam. 'Apakah Nadine harus tahu kebenarannya?' batin Alena. Ia takut, jika saja Nadine tahu, kalau dirinya hanya ibu angkat,
jantung Alena berdetak keras, tidak pernah Nadine menanyakan hal seperti ini. Namun walau bagaimanapun Nadine, harus tahu karena dia sudah bisa berfikir dewasa, pikirnya. "Ma, tolong jujur sama aku, benar dulu mama bekerja di klub malam? Karena aku selalu di perolok-olok Delia." tanya Nadine lagi, menatap Alena seolah meminta kejujuran dari sang ibu. Kini Alena mengatur nafasnya, untuk menjawab pertanyaan Nadine. Ia tidak mau ada kebohongan di dalam hidupnya, yang akan berdampak dan merusak masa depan Nadine nantinya. "Ya, Mama bekerja di klub malam, itu memang benar," jawab Alena menunduk. "Saat itu, usia kamu 17 tahun. Bukankah kamu masih tinggal dengan tante Rina?" Tapi ... " Alena menghentikan ucapannya. Tiba-tiba, matanya berkaca-kaca.. "Hidup itu gak mudah sayang. Mama harus menghidupi kamu sendirian. Tapi ... " Nadine hanya diam. Ia pun tahu, hidup memang tidak mudah jika di jalanin seorang diri. "Tapi apa Ma?" "Mama bekerja di klub malam hanya sebagai cuci piring,
"Kenapa aku jadi pelupa gini sih? Kalau pria itu udah kasih aku kartu nama. Berarti namanya Aldiano?" Mata Nadine membelalak sambil menggenggam kedua kartu nama itu. "Dan ini? Ini kan kartu nama dokter waktu itu? Dokter yang antar aku pulang? Aku akan telpon dokter ini." "Tapi—tapi aku belum bisa beli hp." gumam Nadine kecewa. Karena gaji yang di dapatkan, belum bisa untuk membeli ponsel. Gajihnya selama sebulan cuma seharga ponsel merk cina. "Huuuh!" Nadine berdengus kecewa sambil memasukkan kembali dompetnya di dalam tas. "Handphone?" Matanya mendelik melihat sebuah ponsel mahal ada di dalam tasnya. Membuat ia terkesima sejenak. "Ternyata aku memang sudah menjadi orang yang amnesia. Aku benar-benar menjadi pelupa gini, kalau tadi, Ibu Pamela titipkan HP ini ke pria itu. Nadine menghidupkan layar ponsel itu. Ponsel seharga belasan juta rupiah, bahkan hampir mencapai 20 juta, yang baru pertama kali ia menyentuhnya. Jangankan membelinya, untuk membayangkan saja, ia belum pernah,
"Sekarang jawab aku! Siapa lelaki itu lagi! Kamu sengaja gak mau naik mobil aku, karena mau di antar lelaki itu?" suara Erlan terdengar sangat tajam, di sela dinginnya udara di heningnya malam. Tangan Erlan mengepal, matanya menyipit. Seolah ia ingin meninju sesuatu yang ada di hadapannya. Tapi Nadine berbalik menatap Erlan tajam. Ia menelan ludah, diam sesaat. "Kamu itu yah Mas! Kamu lihat aku direndahkan Delia seperti tadi, kamu diam! Tapi kamu lihat Delia terkena air comberan, kamu marah sama orang itu! Sebetulnya aku atau Delia yang istri kamu Mas?!" Teriak Nadine melepaskan ganjalan hatinya yang sedari tadi ingin meledak. Tangisnya yang keluar dari luapan hatinya, yang sejak tadi terpendam, akhirnya meledak juga. Rasanya bara api di rumah ini semakin berkobar membakar jejaknya. Erlan baru menyadari kelakuannya memang sangatlah bodoh. "Kamu udah berani sama aku? Aku begitu, karena karyawan bego itu. Gak seharusnya dia sampei begitu sama Delia!" Kilah Erlan. "Terus? Gak s
"Aarrrgh! udahlah, kita pulang aja! Aku mau ke toilet dulu, bersihkan badan aku!" teriak Delia. "Kamu tungguin aku ya, Er!" Erlan mengangguk. Delia berlari ke toilet. Pria manager melangkah keluar restauran sambil tersenyum. Melihat sang pria, secepatnya Nadine berlari ke arah mobil. Membawa Alena turun. Lalu mencari taksi yang lewat. Suara di belakangnya mengejutkan jantung Nadine. "Maaf Nona, kalau boleh, biar aku yang antar. Karena mencari taksi disini, jarang ada yang kewat." Jantung Nadine berdegup keras. Rasa takut menambah gunjingan para tetangga, maka ia menolak. "Nggak—nggak perlu. Aku bisa pulang sendiri." jawab Nadine gugup sambil merapat Alena melangkah ke pinggiran trotoar. "Oh iya Nona, ada yang perlu saya sampaikan tunggu sebentar!" Panggil pria itu sambil merogoh sakunya. "ini titipan dari Nyonya Pamela, harap diterima," ucap pria itu menyerahkan sebuah ponsel. Nadine menelisik pemberian pria itu, yaitu sebuah ponsel di tangannya. "Nyonya Pamela? Dari mana anda