Share

Bab 4 Negan Mendapat Promosi Jabatan

Negan menuju ke meja makan, melihat makanan apa yang disiapkan oleh istrinya.

Mie goreng!

"Lumayan lah, ketimbang makanan yang tadi pagi," ucap Negan.

Mereka pun makan makanan tersebut dalam diam, hingga Damaira angkat bicara.

"Mas, tadi ibu datang kemari."

Negan melirik Damaira sekilas, "Untuk apa ibu kemari?"

"Minta uang belanja, katanya pemborosan kalau mas makan terus di sana," jujur Damaira.

Damaira tak pernah mengadu jika ibu mertuanya datang. Tapi entah mengapa malam ini mulutnya gatal ingin bercerita tentang hal itu, hanya untuk melihat reaksi sang suami.

"Kamu jangan fitnah, Ra. Mana mungkin ibu datang hanya karena minta uang. Jelas-jelas aku sudah kirimkan uang jatah ibu."

"Aku tidak bohong mas, apalagi fitnah. Untuk apa? Tidak ada untungnya juga. Terserah kamu mau percaya atau tidak." Damaira langsung melanjutkan menyantap mie gorengnya.

Negan kembali dikejutkan oleh sikap Damaira, wanita yang telah menjadi istrinya selama dua tahun lebih itu tak pernah meninggikan suara, dia selalu berbicara lembut. Tapi malam ini sedikit berbeda.

"Oh iya mas, bagaimana kalau kita melakukan pemeriksaan kesehatan reproduksi. Sekalian kita program anak," usul Damaira. Dia mengikuti ide dari sahabatnya.

"Untuk apa? Aku sudah pasti sehat lihat saja dari segi keturunan, orang tuaku memiliki tiga anak, sudah pasti subur. Kamu saja yang periksa. Keluargamu kan cuma punya anak kamu dan adikmu, siapa tahu kamu bermasalah," oceh Negan.

Damaira memilih untuk tidak melanjutkan pembahasan tentang itu, daripada hanya akan terjadi perdebatan yang melelahkan dan tak berujung.

"Besok masak yang enak, jangan membuatku tak berselera, aku tidak enak harus numpang makan di rumah ibu. Padahal aku punya istri," ucap Negan. Damira menjulurkan tangannya.

"Apa?" tanya Negan yang tak paham maksud istrinya.

"Uang untuk belanja, kan aku tadi sudah ngomong. Uangnya diminta sama ibu."

Sembari terus menggerutu, Negan mengambil uang di dompetnya, satu lembar seratus ribuan.

Meski berdecak dalam hati, Damaira bersyukur suaminya mau mengeluarkan uang lebih untuk belanja.

Keesokan harinya Daimara memasak semur ayam untuk makan mereka hari ini. Negan memuji masakan Damaira yang selalu cocok di lidahnya. Terkadang Negan memiliki sisi baik jika hatinya sedang senang.

Malam harinya, seperti biasa Damaira menunggu Negan pulang kerja di ruang tengah. Tak biasanya pukul 7.00 malam Negan belum pulang. Biasanya Negan akan memberi kabar jika harus menemui customer sampai larut malam.

“Tumben pulang malam, mas?” Damaira baru saja melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 7.30 malam.

“Iya, Ra. Tadi ada meeting sekaligus pengumuman kandidat yang mendapat rekomendasi kenaikan jabatan. Ini!” Negan memberikan bungkusan yang berisi martabak kesukaan Nia.

Sebagai seorang suami, sebenarnya Negan tidak terlalu buruk, dia terkadang hangat dan perhatian pada Damaira. Hanya saja Negan masih sering mengeluh dan mengadu perihal rumah tangganya kepada Laras–ibunya. 

Itu sebabnya terkadang Negan termakan omongan tidak baik dari Laras, terlebih Laras tidak ingin tersaingi dalam hal menguasai uang Negan, Laras tidak ingin jatah uang yang selama ini untuknya berkurang karena adanya orang baru yang disebut istri.

“Apa ini mas?” Damaira menerima bungkusan itu, kemudian membukanya.

“Ya Allah rezeki nomplok, alhamdulillah.” Melihat reaksi istrinya, Negan pun tanpa sadar tersenyum—bahagia.

“Martabak! Ada angin apa ini mas?” tanya Damaira sembari mengambil satu potong martabak, lalu memakannya dengan lahap.

“Aku dapat promosi naik jabatan Ra, masa uji coba dua bulan kedepan, doakan ya, semoga aku yang lolos, ada 3 orang kandidat yang mendapat rekomendasi. Tapi menurut hasil evaluasi, aku kandidat terkuat. Semoga aku juga lulus tes tertulis dan psikotes," ujar Negan.

“Alhamdulillah mas. Aamiin mas, aamin. Baik-baik lah mas sama istri, pasti lancar rezekinya,” sindir Damaira.

“Mas kurang baik apa coba?”

Melihat suasana hati suaminya yang sedang bagus, Damaira mencoba membicarakan tentang hal yang belum mendapatkan titik terang sampai sekarang.

“Kurang adil perihal keuangan.” 

Deg! Negan serasa ditampar.

‘Hal itu lagi,’ batin Negan. Terlihat dia menarik nafas berat.

Maksud hati hanya ingin menggoda sang istri, tapi justru menjadi bumerang.

Namun, kali ini Negan mencoba ingin tahu apa yang menjadi unek-unek sang istri, mumpung hatinya sedang senang.

“Lalu maumu bagaimana?” 

Tampak keterkejutan di wajah Damaira, tidak biasanya sang suami menanggapi obrolan tentang uang tanpa emosi.

“Lima puluh persen gaji mas kasih ke aku, itu baru namanya baik, hanya lima puluh persen, aku tidak minta lebih, tapi kalau mas mau kasih lebih, itu lebih baik lagi,” Damaira menjawab diiringi kekehan.

Negan diam sejenak untuk berpikir.

“Ya sudah nanti bonusku untukmu. Setelah naik jabatan akan ada bonus tetap atau tunjangan jabatan dan bonus target.”

“Semua?”

“Iya, hanya saja untuk bonus target tidak pasti nominalnya tergantung pencapaian, minimal harus target 80% baru akan mendapatkan bonus. Syaratnya doain mas, agar mas yang dapat posisi tersebut.”

“Beres itu mah, aku selalu doain mas. Janji?”

“Janji,” jawab Negan.

“Benar ya, aku pegang janji mas.” Damaira mengulurkan tangan sebagai tanda kesepakatan, Negan menerima jabat tangan Damaira.

Negan tidak sepenuhnya berniat memberikan bonusnya pada Damaira jika dia yang terpilih menjadi district manager, karena istrinya itu tak pernah tahu berapa besar bonusnya. Dia bisa dengan mudah membohongi istrinya. Negan tersenyum miring.

“Mas, mas, halo, mas Negan. Malah melamun.” Tepukan tangan Damaira di pundak membuat Negan tersadar dari pikirannya.

“Ah, apa Ra?”

“Ini martabaknya enak banget, mas cobain.” Damaira menyuapkan satu potong martabak ke mulut Negan.

“Enak kan?” tanya Damaira meminta pembenaran.

“Iya, enak.”

‘Sebahagia itu kamu Ra, hanya martabak yang bahkan kamu bisa membuat atau membelinya sendiri, seumur-umur kita menikah bahkan aku baru pertama kali melihatmu tersenyum sebahagia ini,’ bisik hati Negan, namun dia langsung menepis pikiran itu jauh-jauh.

Suasana di antara Damaira dan Negan sedang menghangat, mereka seperti sepasang pengantin baru yang masih hangat-hangatnya memberi perhatian. Hingga suara ketukan pintu membuyarkan keromantisan mereka yang sedang saling menyuap martabak.

“Gan, Negan.”

Negan membukakan pintu untuk ibunya.

“Iya bu, ada apa malam-malam datang kemari?”

‘Ibu mengacaukan suasana saja,’ batin Negan.

“Ada apa, ada apa, masa ibu datang harus ada apa-apa dulu,” seloroh Laras. Laras langsung menuju ruang tengah.

“Makan apa kalian? Hah, martabak! Ini kan martabak mahal Gan, kamu tidak belikan untuk ibu tapi malah belikan untuk istrimu, keterlaluan kamu Gan, pilih kasih,” cicit Laras. Laras pun mengambil satu potong martabak kemudian memakannya.

“Negan bukan pilih kasih bu …”

“Halah, alasan kamu Gan, buktinya kamu tidak belikan untuk ibu dan adik-adikmu,” sungut Laras.

“Mana uang arisan ibu yang ibu minta tadi?” pinta Laras.

“Ya Allah, arisan apalagi bu, uang jatah ibu kan sudah Negan transfer semua.”

“Kurang, Gan. Ibu sudah bilang kalau sekarang ikut arisan emas, tapi kamu transfernya masih kurang.”

“Ya Allah bu, ibu pemborosan sekali.”

Mendengar perkataan itu, mata Laras menatap tajam pada Negan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status