Share

Bab 5 Keluarga Mata Duitan

“Apa kamu bilang? Ibu pemborosan? Pasti wanita mandul ini yang sudah mempengaruhimu, sampai kamu tega ngomong seperti itu sama ibu.” Laras mulai mendramatisir keadaan.

Damaira yang melihat mertuanya mulai drama, dia pun menunduk. Berperan sebagai korban, diam dan hanya pasrah. Namun, di mata ibu mertuanya dia tetaplah orang yang patut dipersalahkan.

“Kamu lihat kelakuan istrimu yang tidak berpendidikan itu, tidak ada sopan santun, suka  melawan omongan ibu. Sekarang berlagak diam kalau di depanmu.” Laras menunjuk ke arah Damaira.

"Heh, coba kamu bicara seperti kemarin. Beraninya sama mertua kalau tidak ada anakku," sarkas Laras pada Damaira.

"Ibu kemarin datang ke sini?" Negan menelisik, mencocokan dengan apa yang Damaira kemarin katakan.

Laras seketika diam, seakan menyadari kesalahannya telah salah berucap.

“Ibu butuh berapa?” Negan memilih mengalah daripada melihat ibunya yang memaki istrinya, yang bahkan tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Negan juga dapat melihat dari diamnya sang ibu, mengakui bahwa wanita paruh baya itu telah datang ke rumah tanpa sepengetahuannya.

Negan juga tak ingin merusak momen bersama Damaira yang baru saja menghangat.

“Lima ratus ribu.” Negan mengambil uangnya di dompet kemudian memberikannya pada Laras.

Sedangkan di dalam hati Damaira merasa sakit hati, suaminya dengan mudah memberi uang lima ratus ribu pada ibunya, tapi untuknya, mereka harus bertengkar lebih dulu dan berujung Damaira tak mendapat apapun.

“Nah, gini kan enak. Ingat, kamu banyak uang juga karena doa ibu. Sudah, ibu pulang dulu.” Laras berlalu dari rumah Damaira dengan membawa semua martabak yang tersisa dan memberi tatapan sinis pada menantunya.

“Yah, martabaknya dibawa ibu,” ucap Damaira spontan dengan ekspresi kecewa. Negan pun merasa bersalah, istrinya yang tadi terlihat bahagia, kini berwajah sedih dan kecewa.

“Maafkan kata-kata kasar ibu ya Ra, jangan diambil hati, besok kita beli lagi martabaknya,” ucap Negan.

‘Hah? Mas Negan meminta maaf karena kelakuan ibu, aku tidak salah dengar kan?’ monolog Damaira dalam hati.

“Iya mas, tidak apa-apa,” balas Damaira.

“Ya sudah, segeralah membersihkan diri mas.” Damaira menggiring Negan menuju kamar mereka.

Tiba-tiba dering ponsel Negan berbunyi.

“Siapa?” monolog Damaira sambil melihat 

“Oh, Dina. Biasanya kalau telepon pasti minta uang,” gumamnya. 

Damaira membiarkan panggilan tersebut hingga nada dering berhenti dengan sendirinya, pertanda panggilan telah selesai.

Beberapa menit telah berlalu, panggilan dari Dina kembali memenuhi layar ponsel Negan. Negan hanya melihat dan tak merespon sama sekali.

“Tidak diangkat mas?”

“Malas, paling Dina minta uang. Padahal mas sudah kasih semua uang jatah dia ke ibu. Udah yuk makan, mas lapar.” 

Damaira mengangguk dan berjalan lebih dulu menuju dapur untuk menyiapkan makan yang tadi sempat dia hangatkan.

Keesokan harinya, Dina datang pagi-pagi sekalian berangkat kuliah katanya.

“Ada apa Din? Tumben datang pagi-pagi,” tanya Damaira yang baru saja membukakan pintu untuk adik iparnya.

“Mana mas Negan? Aku ada perlu dengan mas Negan, bukan kamu,” sungut Dina kemudian melaju menuju ruang tengah. Damaira menyusul di belakang, lalu mencekal tangan Dina.

“Kamu tidak punya sopan santun sebagai seorang yang kelak akan mendapat gelar sarjana,” hardik Damaira, dengan tata tajam.

Nyali Dina tak menciut, dia justru membalas Damaira.

“Untuk apa aku bersopan-santun pada orang sepertimu? Benalu!” maki Dina. 

Damaira makin mengeratkan cekalan di tangan Dina. Dia tidak akan melepaskan adik iparnya yang kurang ajar itu begitu saja.

“Ada apa Din?” terlihat Negan baru saja keluar dari kamar.

“Lepaskan!” pekik Dina, sepertinya gadis itu akan berdrama. Damaira pun melepaskan tangannya.

“Lihatlah, mas. Istri tidak bergunamu telah menyakitiku,” ucap Dina dengan nada sememelas mungkin.

“Stop, Dina. Kamu memang harus belajar sopan santun,” ucap Negan.

Dina melongo tak percaya dengan apa yang dia dengar.

‘Yang benar saja, mas Negan membela wanita itu,’ batin Dina. Dina menatap penuh kebencian pada Damaira. Damaira malah mengedikkan bahu—tak peduli.

Tak ingin berlama-lama, Dina segera menyampaikan maksud hatinya.

“Mas, kenapa tidak angkat telepon aku semalam?”

“Memangnya ada keperluan apa selain minta uang?” sindir Negan.

“Iihh mas, ibu kasih aku uang saku hanya tiga ratus ribu seminggu, mana cukup. Tambahin lah mas.” Dina merengek seperti anak kecil.

“Mulai sekarang tidak ada lagi tambah menambah uang dari mas. Mas sudah serahkan semua ke ibu, ibu yang mengatur, termasuk jatah kamu. Tiga ratus ribu seminggu, mas rasa lebih dari cukup, belajar berhemat.”

“Aahh, kurang mas, bensin dua puluh ribu, masa iya aku jajan hanya tiga puluh ribu, kadang aku kuliah sampai sore, belum kalau ada iuran ini itu,” protes Dina.

“Memangnya kamu beli bensin setiap hari, mas tahu motor kamu hemat bahan bakar, dua puluh ribu bisa untuk tiga hari, kecuali kamu kuliah muter dulu ke Bekasi.” 

Dina menghentakkan kaki kesal, sedangkan Damaira menahan tawa.

“Mas gitu amat sama adik sendiri,” protes Dina.

“Ini pasti gara-gara kamu, kamu mau kuasai uang masku kan? Sini uangnya.” Dina melotot ke arah kakak iparnya dan mengulurkan tangan meminta uang.

“Dina, jaga sopan santunmu, mau bagaimana pun dia kakak iparmu,” bentak Negan.

“Mas bentak aku? Aku ini adik mas, tapi mas malah bela wanita itu? Mas keterlaluan.”

Negan hendak bersuara namun, Damaira lebih dulu berbicara.

“Dina, bukannya kamu setiap bulan selalu datang ke toko meminta uang tambahan padaku? Tapi ternyata kamu masih minta juga sama mas Negan?” sindir Damaira. 

Kali ini Damaira tidak akan diam saja seperti biasanya, dia sengaja mengatakan itu agar Negan tahu kalau Dina sering meminta uang padanya. 

Dina diam tak berkutik, kedua tangannya saling memilin tanda dia merasa gugup.

‘Bodoh kamu, Din.’ Dina memaki dirinya sendiri dalam hati, lalu memejamkan mata.

Dina tak menyangka kakak iparnya yang biasanya diam kali ini berani angkat suara. Dalam hatinya dia merutuki Damaira, terlebih dia melihat ekspresi kakak iparnya yang seperti menertawainya.

“Diammu berarti mengakui, Din,” ujar Damaira. Dina melotot tajam pada kakak iparnya.

“Benar itu Din?” bentak Negan. Dina masih diam.

“Findina, benarkah itu?” ulang Negan. 

Dina akhirnya mengangguk setelah terpojok dan melihat kakaknya yang nampak marah dan menakutkan.

“Keterlaluan, mulai sekarang tidak ada tambah menambah uang, baik dari mas atau mbak Ira,” ucap Negan pada Dina.

“Dan kamu, Ra, jangan pernah kasih dia uang meski merengek,” ucap Negan pada Damaira penuh penekanan, yang dibalas dengan anggukan.

Dina yang merasa terpojok akhirnya menyerah, dengan menatap tajam pada Damaira, Dina memaki kakak iparnya. Damiara melihat Dina dengan ekspresi mengejek seakan berkata, 'Rasakan!'

Dina kemudian berlalu keluar rumah dan pergi menggunakan motornya.

Setelah kepergian Dina, Negan memandang ke arah Damaira dengan pandangan sulit diartikan.

“Ada apa mas?”

“Aah, tidak. Ayo sarapan.” Negan mengurungkan niatnya, mengucapkan maaf pada Damaira, egonya jauh lebih tinggi ketimbang rasa bersalahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status