“Apa kamu bilang? Ibu pemborosan? Pasti wanita mandul ini yang sudah mempengaruhimu, sampai kamu tega ngomong seperti itu sama ibu.” Laras mulai mendramatisir keadaan.
Damaira yang melihat mertuanya mulai drama, dia pun menunduk. Berperan sebagai korban, diam dan hanya pasrah. Namun, di mata ibu mertuanya dia tetaplah orang yang patut dipersalahkan.
“Kamu lihat kelakuan istrimu yang tidak berpendidikan itu, tidak ada sopan santun, suka melawan omongan ibu. Sekarang berlagak diam kalau di depanmu.” Laras menunjuk ke arah Damaira.
"Heh, coba kamu bicara seperti kemarin. Beraninya sama mertua kalau tidak ada anakku," sarkas Laras pada Damaira.
"Ibu kemarin datang ke sini?" Negan menelisik, mencocokan dengan apa yang Damaira kemarin katakan.
Laras seketika diam, seakan menyadari kesalahannya telah salah berucap.
“Ibu butuh berapa?” Negan memilih mengalah daripada melihat ibunya yang memaki istrinya, yang bahkan tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Negan juga dapat melihat dari diamnya sang ibu, mengakui bahwa wanita paruh baya itu telah datang ke rumah tanpa sepengetahuannya.
Negan juga tak ingin merusak momen bersama Damaira yang baru saja menghangat.
“Lima ratus ribu.” Negan mengambil uangnya di dompet kemudian memberikannya pada Laras.
Sedangkan di dalam hati Damaira merasa sakit hati, suaminya dengan mudah memberi uang lima ratus ribu pada ibunya, tapi untuknya, mereka harus bertengkar lebih dulu dan berujung Damaira tak mendapat apapun.
“Nah, gini kan enak. Ingat, kamu banyak uang juga karena doa ibu. Sudah, ibu pulang dulu.” Laras berlalu dari rumah Damaira dengan membawa semua martabak yang tersisa dan memberi tatapan sinis pada menantunya.
“Yah, martabaknya dibawa ibu,” ucap Damaira spontan dengan ekspresi kecewa. Negan pun merasa bersalah, istrinya yang tadi terlihat bahagia, kini berwajah sedih dan kecewa.
“Maafkan kata-kata kasar ibu ya Ra, jangan diambil hati, besok kita beli lagi martabaknya,” ucap Negan.
‘Hah? Mas Negan meminta maaf karena kelakuan ibu, aku tidak salah dengar kan?’ monolog Damaira dalam hati.
“Iya mas, tidak apa-apa,” balas Damaira.
“Ya sudah, segeralah membersihkan diri mas.” Damaira menggiring Negan menuju kamar mereka.
Tiba-tiba dering ponsel Negan berbunyi.
“Siapa?” monolog Damaira sambil melihat
“Oh, Dina. Biasanya kalau telepon pasti minta uang,” gumamnya.
Damaira membiarkan panggilan tersebut hingga nada dering berhenti dengan sendirinya, pertanda panggilan telah selesai.
Beberapa menit telah berlalu, panggilan dari Dina kembali memenuhi layar ponsel Negan. Negan hanya melihat dan tak merespon sama sekali.
“Tidak diangkat mas?”
“Malas, paling Dina minta uang. Padahal mas sudah kasih semua uang jatah dia ke ibu. Udah yuk makan, mas lapar.”
Damaira mengangguk dan berjalan lebih dulu menuju dapur untuk menyiapkan makan yang tadi sempat dia hangatkan.
Keesokan harinya, Dina datang pagi-pagi sekalian berangkat kuliah katanya.
“Ada apa Din? Tumben datang pagi-pagi,” tanya Damaira yang baru saja membukakan pintu untuk adik iparnya.
“Mana mas Negan? Aku ada perlu dengan mas Negan, bukan kamu,” sungut Dina kemudian melaju menuju ruang tengah. Damaira menyusul di belakang, lalu mencekal tangan Dina.
“Kamu tidak punya sopan santun sebagai seorang yang kelak akan mendapat gelar sarjana,” hardik Damaira, dengan tata tajam.
Nyali Dina tak menciut, dia justru membalas Damaira.
“Untuk apa aku bersopan-santun pada orang sepertimu? Benalu!” maki Dina.
Damaira makin mengeratkan cekalan di tangan Dina. Dia tidak akan melepaskan adik iparnya yang kurang ajar itu begitu saja.
“Ada apa Din?” terlihat Negan baru saja keluar dari kamar.
“Lepaskan!” pekik Dina, sepertinya gadis itu akan berdrama. Damaira pun melepaskan tangannya.
“Lihatlah, mas. Istri tidak bergunamu telah menyakitiku,” ucap Dina dengan nada sememelas mungkin.
“Stop, Dina. Kamu memang harus belajar sopan santun,” ucap Negan.
Dina melongo tak percaya dengan apa yang dia dengar.
‘Yang benar saja, mas Negan membela wanita itu,’ batin Dina. Dina menatap penuh kebencian pada Damaira. Damaira malah mengedikkan bahu—tak peduli.
Tak ingin berlama-lama, Dina segera menyampaikan maksud hatinya.
“Mas, kenapa tidak angkat telepon aku semalam?”
“Memangnya ada keperluan apa selain minta uang?” sindir Negan.
“Iihh mas, ibu kasih aku uang saku hanya tiga ratus ribu seminggu, mana cukup. Tambahin lah mas.” Dina merengek seperti anak kecil.
“Mulai sekarang tidak ada lagi tambah menambah uang dari mas. Mas sudah serahkan semua ke ibu, ibu yang mengatur, termasuk jatah kamu. Tiga ratus ribu seminggu, mas rasa lebih dari cukup, belajar berhemat.”
“Aahh, kurang mas, bensin dua puluh ribu, masa iya aku jajan hanya tiga puluh ribu, kadang aku kuliah sampai sore, belum kalau ada iuran ini itu,” protes Dina.
“Memangnya kamu beli bensin setiap hari, mas tahu motor kamu hemat bahan bakar, dua puluh ribu bisa untuk tiga hari, kecuali kamu kuliah muter dulu ke Bekasi.”
Dina menghentakkan kaki kesal, sedangkan Damaira menahan tawa.
“Mas gitu amat sama adik sendiri,” protes Dina.
“Ini pasti gara-gara kamu, kamu mau kuasai uang masku kan? Sini uangnya.” Dina melotot ke arah kakak iparnya dan mengulurkan tangan meminta uang.
“Dina, jaga sopan santunmu, mau bagaimana pun dia kakak iparmu,” bentak Negan.
“Mas bentak aku? Aku ini adik mas, tapi mas malah bela wanita itu? Mas keterlaluan.”
Negan hendak bersuara namun, Damaira lebih dulu berbicara.
“Dina, bukannya kamu setiap bulan selalu datang ke toko meminta uang tambahan padaku? Tapi ternyata kamu masih minta juga sama mas Negan?” sindir Damaira.
Kali ini Damaira tidak akan diam saja seperti biasanya, dia sengaja mengatakan itu agar Negan tahu kalau Dina sering meminta uang padanya.
Dina diam tak berkutik, kedua tangannya saling memilin tanda dia merasa gugup.
‘Bodoh kamu, Din.’ Dina memaki dirinya sendiri dalam hati, lalu memejamkan mata.
Dina tak menyangka kakak iparnya yang biasanya diam kali ini berani angkat suara. Dalam hatinya dia merutuki Damaira, terlebih dia melihat ekspresi kakak iparnya yang seperti menertawainya.
“Diammu berarti mengakui, Din,” ujar Damaira. Dina melotot tajam pada kakak iparnya.
“Benar itu Din?” bentak Negan. Dina masih diam.
“Findina, benarkah itu?” ulang Negan.
Dina akhirnya mengangguk setelah terpojok dan melihat kakaknya yang nampak marah dan menakutkan.
“Keterlaluan, mulai sekarang tidak ada tambah menambah uang, baik dari mas atau mbak Ira,” ucap Negan pada Dina.
“Dan kamu, Ra, jangan pernah kasih dia uang meski merengek,” ucap Negan pada Damaira penuh penekanan, yang dibalas dengan anggukan.
Dina yang merasa terpojok akhirnya menyerah, dengan menatap tajam pada Damaira, Dina memaki kakak iparnya. Damiara melihat Dina dengan ekspresi mengejek seakan berkata, 'Rasakan!'
Dina kemudian berlalu keluar rumah dan pergi menggunakan motornya.
Setelah kepergian Dina, Negan memandang ke arah Damaira dengan pandangan sulit diartikan.
“Ada apa mas?”
“Aah, tidak. Ayo sarapan.” Negan mengurungkan niatnya, mengucapkan maaf pada Damaira, egonya jauh lebih tinggi ketimbang rasa bersalahnya.
Malam ini Negan tak menemukan Damaira di ruang tengah seperti biasanya. Dia pun langsung menuju ke kamarnya.Mendapati Damaira sedang tiduran di ranjang."Kamu ini, suami pulang bukan di sambut. Malah enak-enakan tidur," oceh Negan sembari meletakkan tas kerjanya.Bukan tanpa alasan Damaira berbaring di tempat tidur. Perutnya sangat nyeri karena tamu bulanannya sedang datang."Maaf mas, perutku sakit sekali…""Alasan saja kamu!" hardik Negan."Sana buat makan, malah enak-enakan tidur. Benar kata ibu…"Mendengar kalimat terakhir suaminya, Damaira langsung beranjak duduk, membuat Negan menjeda kalimatnya."Kamu itu tidak becus mengurus suami, pemalas, kerjaannya tidur di kamar …” Belum selesai Negan berucap, Damaira sudah memotongnya.“Terus mas, terus. Ibu, ibu, selalu ibu. Kalau kamu mau sepenuhnya bersama ibumu, jika ibu adalah prioritasmu, silahkan. Mari kita berpisah,” sela Damaira, membuat Negan membulatkan mata tak percaya dengan ucapan istrinya.“Damaira! pamali bicara seperti i
“Ya, Allah, beri hamba kewarasan untuk menghadapi cobaan ini.” Damaira berdoa sembari mengelus dada.Damaira segera berangkat ke toko dengan mengendarai motor matic bututnya. Pikirannya menerawang entah kemana hingga tanpa sadar dia menabrak sebuah mobil mewah yang tiba-tiba berhenti di depannya.Suara tabrakan itu cukup kencang, Damaira terpental tak jauh dari motornya, dia sempat mengalami pingsan sesaat, saat dia tersadar, dirinya sudah berada di trotoar dan orang-orang sudah berkumpul di sekelilingnya.“Apa kamu baik-baik saja, mbak?” Damaira melihat ke arah sumber suara, pria tampan dengan pakaian rapi dan mewah. Damaira yakin bahwa pria tersebut adalah pemilik mobil yang dia tabrak.Damaira baru tersadar bahwa tangan kiri dan keningnya berdenyut, sepertinya dia terluka.“Sudah mas bawa mbaknya ke klinik atau rumah sakit terdekat saja, saya temani. Urusan lain-lainnya nanti diurus di sana. Takutnya si mbak kenapa-kenapa,” ucap bapak-bapak itu pada si pria tampan.Damaira digirin
Tak berselang lama, Damaira keluar dari mobil itu. Terdengar wanita itu mengucapkan terima kasih pada rekannya. Lalu mobil kembali melaju.Negan sedikit kecewa melihat mobil Honda CR-V itu pergi. Padahal dia berharap itu adalah mobil Damaira. Dia bisa memanfaatkannya.Mimpimu terlalu muluk Negan, istrimu itu kere, hanya seorang penjaga toko kue, begitulah isi kepala Negan saling bersahutan."Dari mana saja kamu?" tanya Negan dengan ketus.Damaira menatap bingung pada sang suami. Bukankah dia sudah mengirim pesan, untuk apa bertanya? Damaira tak kuasa mengatakan hal itu dan memilih untuk menjawab."Aku baru pulang kerja mas, karena tadi aku kecelakaan jadi masuk dan pulangnya harus mundur," ucap Damaira, lalu berjalan hendak memasuki rumah.Negan memberi jalan agar istrinya itu bisa masuk dengan leluasa."Memangnya juraganmu tidak memberi libur? Aku lihat lukamu cukup parah." Negan cukup prihatin dengan keadaan istrinya dengan tangan tergantung dan menggunakan gips."Ya mau bagaimana l
Dua bulan kemudian.Pasca pertengkaran yang terjadi di antara Damaira dan Negan malam itu, sikap Negan sedikit melunak dan lebih perhatian. Pria itu nampak bersungguh-sungguh ingin memperbaiki hubungan dengan Damaira.Negan lebih sering meluangkan waktu untuk Damaira walau hanya sekedar untuk berbincang hal yang tidak penting.Selama dua bulan ini, Dina hanya pernah sekali menemui Damaira di toko dan merengek meminta uang, adik iparnya itu sungguh tebal muka. Karena asas belas kasih, Damaira memberinya uang sebesar lima ratu ribu rupiah.Sedangkan ibu mertuanya masih sama, datang ke rumahnya untuk mengambil sembako seperti biasanya.Untuk soal keuangan, Negan lebih manusiawi ketimbang bulan-bulan sebelumnya. Terkadang Negan mau berbelanja ke warung untuk menggantikan Damaira yang masih menggunakan gips, walau terkadang kesal karena harga sembako yang mahal dan uangnya harus berkurang cukup banyak.“Hari ini pengumuman hasil seleksi district manager, Ra. Doakan, semoga suamimu ini ya
Damaira dan Negan saling pandang. “Siapa yang datang?” tanya Negan. Damaira hanya mengedikkan bahu tanda dia juga tidak tahu.Damaira menduga pasti salah satu keluarga Negan. Negan mencuci tangan kemudian menuju ruang tamu untuk membuka pintu.Sedangkan Damaira mengambil kerudung instannya yang berada di gantungan depan kamar mandi. Dia hanya ingin menutupi kalung yang baru saja dibelikan oleh suaminya. Damaira tak ingin karena kalung itu akan timbul masalah baru.Benar saja dugaan Damaira, namun bukan ibu mertua ataupun Dina, melainkan Naya–adik pertama Negan."Masuk, Nay. Tumben kamu datang ke sini malam-malam."“Mas Negan sedang apa?” tanya Naya sedikit tidak enak.Naya memang berbeda dengan ibu dan adiknya, pembawaannya kalem dan ramah.“Masuk Nay, mas baru makan malam, kamu sudah makan?” Naya mengekor di belakang Negan.“Belum mas, aku baru pulang kerja, langsung kemari.”“Halo, Mbak,” sapa Naya pada Damaira.“Hai Nay, baru pulang ke
Laras melayangkan tangannya pada Damaira. Dengan tangkas Damaira menangkap tangan Laras lalu menghempaskannya dengan kasar. Baik Negan, Naya, maupun Laras sendiri terperangah. "Maaf, Bu, untuk kali ini aku tidak bisa menerima perlakuan Ibu yang semena-mena padaku," ucap Damaira tenang. "Kamu…" Laras menjeda kalimatnya. "Kamu berani pada orang tua, hah?" ucap Laras lantang. Naya segera menarik sang ibu, "Sudahlah, Bu, ayo kita pulang." "Lepas, Naya!" "Lihat itu kelakuan istrimu. Dia berani pada Ibu…" "Benar kata Naya, Bu. Ini sudah larut, Ibu sebaiknya pulang dan beristirahat," ucap Negan. Mendengar ucapan itu, hati Laras begitu nelangsa. "Kamu berani mengusir ibu? Durhaka kamu, Negan." Naya mencoba menenangkan sang ibu, Negan pun mendekati sang ibu hendak memeluknya dan berbicara sesuatu, namun Laras menepis begitu saja. "Jangan mendekat. Sekarang kamu pilih ibu atau wanita itu?" "Sudah, Bu, ayo kita pulang. Ibu tidak boleh marah-marah. Nanti darah tingginya naik," ucap Na
“Apa ini?” tanya Negan.“Ini tagihan, Pak. Mohon dilunasi," ucap Putra.“Tagihan? Tagihan apa?”Negan terkejut, sebab dia sudah berpesan pada Damaira untuk membayar kekurangannya lebih dulu. Walau niat aslinya dia tidak akan mengganti uang tersebut. Negan mencari Damaira, namun wanita itu tak ada di mana-mana.“Mbak Ira sedang menerima telepon, Pak. Saya diminta menggantikan,” ujar Putra."Kamu yakin tidak salah tagihan?" Negan berusaha berkelit."Tidak, Pak. Ini jelas tertera nama pak Negan." Negan memeriksa, benar itu adalah nama dan nomor teleponnya, serta tertulis jumlah uang DP dan kekurangannya.'Sialan kamu, Ra. Aku akan buat perhitungan. Malu-maluin,' batin Negan kesal.Berhubung banyak orang yang melihatnya mau tidak mau, Negan melakukan pembayaran via m-banking.Dalam hatinya dia terus merutuki sang istri yang tidak mau membayar kekurangan dari pesanannya. Setelah menunjukkan bukti transfer, barulah Negan menandatangani surat penerima d
Negan terus memandangi jam dinding yang ada di ruang tengah, sejak tadi dia menunggu kepulangan istrinya.Hingga lepas isya' Damaira baru sampai di rumah. Wajahnya terlihat sangat lelah, tapi Negan tak peduli."Kemana saja kamu jam segini baru pulang?" hardik Negan.Negan berdiri di pintu antara ruang tamu dan ruang tengah dengan menyilangkan tangan di dada serta menatap tajam pada istrinya."Maaf, Mas. Aku sibuk sekali hari ini. Banyak pesanan di toko, jadi mau tidak mau aku lembur Memangnya kenapa?" Merasa tak memiliki salah, Damaira menanggapi suaminya dengan santai."Kamu memang nggak tahu atau hanya pura-pura? Tidak melihat pesanku?" Nada bicara Negan mulai meninggi. Damaira mengerutkan keningnya.