Share

Bab 3 Terlalu Memandang Rendah Damaira

Sebelum pergi dari rumah Damaira, Laras masih sempat menghina menantunya. Laras menyuruh Damaira untuk memperbanyak makan toge karena sayuran itu bagus untuk kesehatan reproduksi. Laras juga menghina Damaira mandul, sebab dua tahun lebih menikah tak juga diberi keturunan.

“Astaghfirullah, Bu, kita ini sesama perempuan, kenapa Ibu tega berkata seperti itu?”

Kata-kata mandul terucap tidak hanya satu dua kali keluar dari mulut Laras, lama-lama Damaira merasa geram.

Dulu Damiara akan menangis berjam-jam saat mertuanya mengatakan dia mandul. Namun, sekarang dia tidak akan lagi melakukan hal itu apalagi meratapi nasib. Damaira akan mulai melawan, dia tidak ingin harga dirinya terus diinjak-injak, walau kenyataannya memang belum mempunyai anak.

Saat ini mungkin memang Sang Maha Pemberi Keturunan belum memberinya kepercayaan. Kalau boleh berkata, sebenarnya Damaira merasa sedikit bersyukur belum diberi keturunan, sebab kehidupannya saja masih penuh dengan masalah yang belum terselesaikan, apa jadinya jika dia diberi amanah yang penuh dengan tanggung jawab.

Mengingat perlakuan ibu mertuanya membuatnya nelangsa, namun Damaira selalu menyimpannya rapat-rapat. Ayahnya tak pernah tahu, dia malu mengatakan hal itu mengingat dulu dia bersikukuh untuk menikah dengan Negan.

“Eh, tidak perlu drama, Ra, Ibu kan hanya ngomong jangan-jangan kamu mandul. Kamu saja yang salah mengartikan antara pernyataan dengan pertanyaan."

"Kamu itu selalu saja berani sama orang tua, melawan terus kalau mertua bicara! Dasar orang kampung, tak punya sopan santun!” sarkas Laras.

Damaira menghela nafas panjang, sebelum akhirnya bicara.

“Astaghfirullah, Bu, Damaira tidak bermaksud seperti itu…”

“Sudahlah, Ra, Ibu malas berdebat sama kamu, punya mantu satu saja sukanya melawan orang tua. Sudah miskin, tidak berpendidikan lagi, hanya merongrong harta anakku,” hina Laras.

Ingin rasanya Damaira mengatakan pada mertuanya, bahwasannya yang merongrong harta justru Negan dan dia. Tapi apalah daya, Damaira tak ingin menjadi anak durhaka. Biarlah waktu yang menjawab semuanya.

Laras keluar dari rumah Damaira dengan terus mengomel tidak jelas dan menutup pintu dengan kasar.

“Astaghfirullah, beri hamba kesabaran ya Tuhan. Ampun, jadi orang celamitan banget, mana mulut pedes banget kaya cabai setan. Amit-amit, amit-amit, sing sabar Ra, sing sabar,” monolog Damaira setelah kembali mengunci pintu rumah. [sing : yang]

Dia harus segera menyelesaikan pekerjaannya kemudian berangkat ke toko. Setidaknya di toko dia akan memiliki kegiatan yang lebih menyenangkan dan bertemu banyak orang. Hal itu akan sedikit menyamarkan pikirannya yang semrawut.

“Ada apa? Kamu kena sawan, kenapa diam saja dari tadi?” Dinda meledek Damaira.

Dinda adalah asisten pribadi sekaligus sahabat Damaira.

Damaira sudah berada di toko kuenya sejak tiga puluh menit yang lalu, tapi jiwa dan pikirannya entah di mana. Dia juga nampak tak bersemangat, membuat Dinda kesal.

“Perkara nafkah lagi?” Damaira menggeleng.

“Lalu?”

Dinda sudah sangat hafal apa yang dialami sahabatnya itu, terutama saat akhir bulan seperti ini.

Terlihat Damaira menarik nafas panjang, sepertinya beban wanita itu sangatlah berat.

Damaira menceritakan tentang ibu mertuanya yang sering mengatainya mandul. Dinda tampak terkejut, wajar saja, sebab ini kali pertama Damaira bercerita padanya.

“Sudahlah, Ra. Kamu jangan terus-menerus memikirkan hal itu. Tuhan pasti punya jalan terbaik untukmu, oleh sebab itu kamu belum diberi keturunan. Lebih baik kalian coba periksa ke dokter, untuk mengetahui keadaan kalian masing-masing. Setelah itu program. Zaman sekarang sudah canggih, kamu tak perlu terlalu resah tentang hal itu," usul Dinda.

Sejenak Damaira berpikir, ada benarnya juga kata Dinda. Selama ini dia tak pernah terpikir tentang hal itu. Baik Damaira maupun Negan selalu berpikir bahwa kondisi kesehatan reproduksi mereka pasti baik-baik saja.

"Lalu untuk urusan nafkah, kamu lihatlah tempat ini, kamu adalah wanita yang BERDIKARI—berdiri di kaki sendiri. Cukup mengemis perkara nafkah, sekarang saatnya kamu tunjukkan pada mereka yang meremehkanmu bahwa mereka tidak ada apa-apanya, buat mereka menyesal,” dengan semangat Dinda memperagakan mengangkat kedua tangannya, bak Ade Rai yang memperlihatkan otot-ototnya.

Damaira tersenyum, lalu menggeleng, tak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya itu. Namun, setelah dipikir-pikir memang ada benarnya apa yang diucapkan sahabatnya. Sekarang saatnya dia bangkit.

“Sebenarnya bukan hanya dua hal itu saja.” Dinda mengernyitkan dahi.

Damaira juga menceritakan kejadian ibu mertuanya mengambil uang jatah mingguan yang tak seberapa.

Dinda langsung memaki Laras tanpa henti. Damaira justru tertawa, mereka sama-sama memaki orang yang bahkan tidak tahu jika saat ini sedang dimaki-maki.

“Kamu yang sabar, Ra. Allah pasti punya segudang hikmah dari semua yang kamu alami.” Damaira tersenyum manis.

“Terkadang kamu bisa waras juga ternyata,” Damaira menggoda Dinda.

Dinda berdecak sebal dan menggerutu. Setelah itu menepuk pundak Damaira—memberikan semangat.

Damaira duduk di ruang tengah sembari menonton televisi. Acara di televisi itu tak begitu menarik perhatian, hingga Damaira berkelana dalam pikirannya.

Memikirkan setiap kejadian yang dialami selama menikah dengan Negan. Memikirkan omongan Dinda. Memikirkan betapa egoisnya dulu dia terhadap orang tuanya terutama sang ayah, yang notabene-nya adalah wali bagi dirinya.

Damaira menghela nafas panjang, seperti ini rasanya menikah tanpa sepenuhnya mendapat restu dari orang tuanya.

Lamunan Damaira buyar ketika Negan menutup pintu dengan keras.

"Astaghfirullah," gumam Damaira.

Terlihat Negan memasuki ruang tengah dengan wajah yang tak bersahabat.

"Ada apa, Mas?" Damaira menyambut Negan dengan senyuman hangat.

Senyuman yang tanpa sadar selalu membuat Negan luluh. Negan nampak menarik nafas panjang.

"Biasa, ada masalah dengan customer, tiba-tiba mendapat tawaran produk yang sama dengan harga yang lebih murah. Otomatis mereka langsung berpaling dan ambil dalam jumlah banyak," ucap Negan dengan nada penuh kekesalan.

"Ini diminum dulu, Mas." Damaira memberikan satu cangkir teh hangat untuk Negan.

"Memang dana promosi untuk mereka kurang atau belum dicairkan, Mas? Kenapa bisa dengan mudah mereka berpindah? Mas sudah tanyakan langsung ke pihak customer?"

Negan berpikir sejenak, dia bahkan tidak terpikirkan sampai ke sana.

Negan mengernyitkan dahi, 'Dari mana Damaira mengetahui tentang dana promosi?' batin Negan.

Padahal Negan tak pernah sekalipun mengatakan tentang pekerjaannya secara detail.

"Kenapa, Mas?" Negan menggeleng.

"Aku akan tanyakan hal itu pada anak buahku. Aku belum sempat memeriksa data terbaru. Besok aku juga akan cross check ke customer secara langsung."

"Itu rumah sakit pemerintah atau swasta? Kalau pemerintah aku rasa akan lebih sulit sih, mereka terpentok sama BPJS, pasti akan tetap memilih harga termurah."

Negan kembali terkejut dan bertanya-tanya mengapa istrinya tahu tentang hal seperti itu. Tapi arogansinya lebih tinggi ketimbang rasa penasarannya.

"Tahu apa kamu tentang hal seperti itu. Sok tahu!" Setelah mengucapkan hal itu Negan pergi meninggalkan Damaira menuju kamarnya.

Damaira heran dengan respon suaminya yang berlebihan. Memang apa salahnya dia tahu tentang hal seperti itu? Negan terlalu memandang rendah dirinya.

Damaira tak mau ambil pusing dengan ucapan dan kelakuan suaminya, hal biasa yang sering dia terima. Lebih baik dia menyiapkan makan malam untuk suaminya.

"Kamu masak apa? Aku nggak sudi makan kalau menunya seperti tadi pagi," tanya Negan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status