Sebelum pergi dari rumah Damaira, Laras masih sempat menghina menantunya. Laras menyuruh Damaira untuk memperbanyak makan toge karena sayuran itu bagus untuk kesehatan reproduksi. Laras juga menghina Damaira mandul, sebab dua tahun lebih menikah tak juga diberi keturunan.
“Astaghfirullah, Bu, kita ini sesama perempuan, kenapa Ibu tega berkata seperti itu?”Kata-kata mandul terucap tidak hanya satu dua kali keluar dari mulut Laras, lama-lama Damaira merasa geram.Dulu Damiara akan menangis berjam-jam saat mertuanya mengatakan dia mandul. Namun, sekarang dia tidak akan lagi melakukan hal itu apalagi meratapi nasib. Damaira akan mulai melawan, dia tidak ingin harga dirinya terus diinjak-injak, walau kenyataannya memang belum mempunyai anak.Saat ini mungkin memang Sang Maha Pemberi Keturunan belum memberinya kepercayaan. Kalau boleh berkata, sebenarnya Damaira merasa sedikit bersyukur belum diberi keturunan, sebab kehidupannya saja masih penuh dengan masalah yang belum terselesaikan, apa jadinya jika dia diberi amanah yang penuh dengan tanggung jawab.Mengingat perlakuan ibu mertuanya membuatnya nelangsa, namun Damaira selalu menyimpannya rapat-rapat. Ayahnya tak pernah tahu, dia malu mengatakan hal itu mengingat dulu dia bersikukuh untuk menikah dengan Negan.“Eh, tidak perlu drama, Ra, Ibu kan hanya ngomong jangan-jangan kamu mandul. Kamu saja yang salah mengartikan antara pernyataan dengan pertanyaan.""Kamu itu selalu saja berani sama orang tua, melawan terus kalau mertua bicara! Dasar orang kampung, tak punya sopan santun!” sarkas Laras.Damaira menghela nafas panjang, sebelum akhirnya bicara.“Astaghfirullah, Bu, Damaira tidak bermaksud seperti itu…”“Sudahlah, Ra, Ibu malas berdebat sama kamu, punya mantu satu saja sukanya melawan orang tua. Sudah miskin, tidak berpendidikan lagi, hanya merongrong harta anakku,” hina Laras.Ingin rasanya Damaira mengatakan pada mertuanya, bahwasannya yang merongrong harta justru Negan dan dia. Tapi apalah daya, Damaira tak ingin menjadi anak durhaka. Biarlah waktu yang menjawab semuanya.Laras keluar dari rumah Damaira dengan terus mengomel tidak jelas dan menutup pintu dengan kasar.“Astaghfirullah, beri hamba kesabaran ya Tuhan. Ampun, jadi orang celamitan banget, mana mulut pedes banget kaya cabai setan. Amit-amit, amit-amit, sing sabar Ra, sing sabar,” monolog Damaira setelah kembali mengunci pintu rumah. [sing : yang]Dia harus segera menyelesaikan pekerjaannya kemudian berangkat ke toko. Setidaknya di toko dia akan memiliki kegiatan yang lebih menyenangkan dan bertemu banyak orang. Hal itu akan sedikit menyamarkan pikirannya yang semrawut.“Ada apa? Kamu kena sawan, kenapa diam saja dari tadi?” Dinda meledek Damaira.Dinda adalah asisten pribadi sekaligus sahabat Damaira.Damaira sudah berada di toko kuenya sejak tiga puluh menit yang lalu, tapi jiwa dan pikirannya entah di mana. Dia juga nampak tak bersemangat, membuat Dinda kesal.“Perkara nafkah lagi?” Damaira menggeleng.“Lalu?”Dinda sudah sangat hafal apa yang dialami sahabatnya itu, terutama saat akhir bulan seperti ini.Terlihat Damaira menarik nafas panjang, sepertinya beban wanita itu sangatlah berat.Damaira menceritakan tentang ibu mertuanya yang sering mengatainya mandul. Dinda tampak terkejut, wajar saja, sebab ini kali pertama Damaira bercerita padanya.“Sudahlah, Ra. Kamu jangan terus-menerus memikirkan hal itu. Tuhan pasti punya jalan terbaik untukmu, oleh sebab itu kamu belum diberi keturunan. Lebih baik kalian coba periksa ke dokter, untuk mengetahui keadaan kalian masing-masing. Setelah itu program. Zaman sekarang sudah canggih, kamu tak perlu terlalu resah tentang hal itu," usul Dinda.Sejenak Damaira berpikir, ada benarnya juga kata Dinda. Selama ini dia tak pernah terpikir tentang hal itu. Baik Damaira maupun Negan selalu berpikir bahwa kondisi kesehatan reproduksi mereka pasti baik-baik saja."Lalu untuk urusan nafkah, kamu lihatlah tempat ini, kamu adalah wanita yang BERDIKARI—berdiri di kaki sendiri. Cukup mengemis perkara nafkah, sekarang saatnya kamu tunjukkan pada mereka yang meremehkanmu bahwa mereka tidak ada apa-apanya, buat mereka menyesal,” dengan semangat Dinda memperagakan mengangkat kedua tangannya, bak Ade Rai yang memperlihatkan otot-ototnya.Damaira tersenyum, lalu menggeleng, tak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya itu. Namun, setelah dipikir-pikir memang ada benarnya apa yang diucapkan sahabatnya. Sekarang saatnya dia bangkit.“Sebenarnya bukan hanya dua hal itu saja.” Dinda mengernyitkan dahi.Damaira juga menceritakan kejadian ibu mertuanya mengambil uang jatah mingguan yang tak seberapa.Dinda langsung memaki Laras tanpa henti. Damaira justru tertawa, mereka sama-sama memaki orang yang bahkan tidak tahu jika saat ini sedang dimaki-maki.“Kamu yang sabar, Ra. Allah pasti punya segudang hikmah dari semua yang kamu alami.” Damaira tersenyum manis.“Terkadang kamu bisa waras juga ternyata,” Damaira menggoda Dinda.Dinda berdecak sebal dan menggerutu. Setelah itu menepuk pundak Damaira—memberikan semangat.Damaira duduk di ruang tengah sembari menonton televisi. Acara di televisi itu tak begitu menarik perhatian, hingga Damaira berkelana dalam pikirannya.Memikirkan setiap kejadian yang dialami selama menikah dengan Negan. Memikirkan omongan Dinda. Memikirkan betapa egoisnya dulu dia terhadap orang tuanya terutama sang ayah, yang notabene-nya adalah wali bagi dirinya.Damaira menghela nafas panjang, seperti ini rasanya menikah tanpa sepenuhnya mendapat restu dari orang tuanya.Lamunan Damaira buyar ketika Negan menutup pintu dengan keras."Astaghfirullah," gumam Damaira.Terlihat Negan memasuki ruang tengah dengan wajah yang tak bersahabat."Ada apa, Mas?" Damaira menyambut Negan dengan senyuman hangat.Senyuman yang tanpa sadar selalu membuat Negan luluh. Negan nampak menarik nafas panjang."Biasa, ada masalah dengan customer, tiba-tiba mendapat tawaran produk yang sama dengan harga yang lebih murah. Otomatis mereka langsung berpaling dan ambil dalam jumlah banyak," ucap Negan dengan nada penuh kekesalan."Ini diminum dulu, Mas." Damaira memberikan satu cangkir teh hangat untuk Negan."Memang dana promosi untuk mereka kurang atau belum dicairkan, Mas? Kenapa bisa dengan mudah mereka berpindah? Mas sudah tanyakan langsung ke pihak customer?"Negan berpikir sejenak, dia bahkan tidak terpikirkan sampai ke sana.Negan mengernyitkan dahi, 'Dari mana Damaira mengetahui tentang dana promosi?' batin Negan.Padahal Negan tak pernah sekalipun mengatakan tentang pekerjaannya secara detail."Kenapa, Mas?" Negan menggeleng."Aku akan tanyakan hal itu pada anak buahku. Aku belum sempat memeriksa data terbaru. Besok aku juga akan cross check ke customer secara langsung.""Itu rumah sakit pemerintah atau swasta? Kalau pemerintah aku rasa akan lebih sulit sih, mereka terpentok sama BPJS, pasti akan tetap memilih harga termurah."Negan kembali terkejut dan bertanya-tanya mengapa istrinya tahu tentang hal seperti itu. Tapi arogansinya lebih tinggi ketimbang rasa penasarannya."Tahu apa kamu tentang hal seperti itu. Sok tahu!" Setelah mengucapkan hal itu Negan pergi meninggalkan Damaira menuju kamarnya.Damaira heran dengan respon suaminya yang berlebihan. Memang apa salahnya dia tahu tentang hal seperti itu? Negan terlalu memandang rendah dirinya.Damaira tak mau ambil pusing dengan ucapan dan kelakuan suaminya, hal biasa yang sering dia terima. Lebih baik dia menyiapkan makan malam untuk suaminya."Kamu masak apa? Aku nggak sudi makan kalau menunya seperti tadi pagi," tanya Negan.Negan menuju ke meja makan, melihat makanan apa yang disiapkan oleh istrinya.Mie goreng!"Lumayan lah, ketimbang makanan yang tadi pagi," ucap Negan.Mereka pun makan makanan tersebut dalam diam, hingga Damaira angkat bicara."Mas, tadi ibu datang kemari."Negan melirik Damaira sekilas, "Untuk apa ibu kemari?""Minta uang belanja, katanya pemborosan kalau mas makan terus di sana," jujur Damaira.Damaira tak pernah mengadu jika ibu mertuanya datang. Tapi entah mengapa malam ini mulutnya gatal ingin bercerita tentang hal itu, hanya untuk melihat reaksi sang suami."Kamu jangan fitnah, Ra. Mana mungkin ibu datang hanya karena minta uang. Jelas-jelas aku sudah kirimkan uang jatah ibu.""Aku tidak bohong mas, apalagi fitnah. Untuk apa? Tidak ada untungnya juga. Terserah kamu mau percaya atau tidak." Damaira langsung melanjutkan menyantap mie gorengnya.Negan kembali dikejutkan oleh sikap Damaira, wanita yang telah menjadi istrinya selama dua tahun lebih itu tak pernah meninggikan suara, d
“Apa kamu bilang? Ibu pemborosan? Pasti wanita mandul ini yang sudah mempengaruhimu, sampai kamu tega ngomong seperti itu sama ibu.” Laras mulai mendramatisir keadaan.Damaira yang melihat mertuanya mulai drama, dia pun menunduk. Berperan sebagai korban, diam dan hanya pasrah. Namun, di mata ibu mertuanya dia tetaplah orang yang patut dipersalahkan.“Kamu lihat kelakuan istrimu yang tidak berpendidikan itu, tidak ada sopan santun, suka melawan omongan ibu. Sekarang berlagak diam kalau di depanmu.” Laras menunjuk ke arah Damaira."Heh, coba kamu bicara seperti kemarin. Beraninya sama mertua kalau tidak ada anakku," sarkas Laras pada Damaira."Ibu kemarin datang ke sini?" Negan menelisik, mencocokan dengan apa yang Damaira kemarin katakan.Laras seketika diam, seakan menyadari kesalahannya telah salah berucap.“Ibu butuh berapa?” Negan memilih mengalah daripada melihat ibunya yang memaki istrinya, yang bahkan tidak mengeluarkan sepatah kata pun.Negan juga dapat melihat dari diamnya sa
Malam ini Negan tak menemukan Damaira di ruang tengah seperti biasanya. Dia pun langsung menuju ke kamarnya.Mendapati Damaira sedang tiduran di ranjang."Kamu ini, suami pulang bukan di sambut. Malah enak-enakan tidur," oceh Negan sembari meletakkan tas kerjanya.Bukan tanpa alasan Damaira berbaring di tempat tidur. Perutnya sangat nyeri karena tamu bulanannya sedang datang."Maaf mas, perutku sakit sekali…""Alasan saja kamu!" hardik Negan."Sana buat makan, malah enak-enakan tidur. Benar kata ibu…"Mendengar kalimat terakhir suaminya, Damaira langsung beranjak duduk, membuat Negan menjeda kalimatnya."Kamu itu tidak becus mengurus suami, pemalas, kerjaannya tidur di kamar …” Belum selesai Negan berucap, Damaira sudah memotongnya.“Terus mas, terus. Ibu, ibu, selalu ibu. Kalau kamu mau sepenuhnya bersama ibumu, jika ibu adalah prioritasmu, silahkan. Mari kita berpisah,” sela Damaira, membuat Negan membulatkan mata tak percaya dengan ucapan istrinya.“Damaira! pamali bicara seperti i
“Ya, Allah, beri hamba kewarasan untuk menghadapi cobaan ini.” Damaira berdoa sembari mengelus dada.Damaira segera berangkat ke toko dengan mengendarai motor matic bututnya. Pikirannya menerawang entah kemana hingga tanpa sadar dia menabrak sebuah mobil mewah yang tiba-tiba berhenti di depannya.Suara tabrakan itu cukup kencang, Damaira terpental tak jauh dari motornya, dia sempat mengalami pingsan sesaat, saat dia tersadar, dirinya sudah berada di trotoar dan orang-orang sudah berkumpul di sekelilingnya.“Apa kamu baik-baik saja, mbak?” Damaira melihat ke arah sumber suara, pria tampan dengan pakaian rapi dan mewah. Damaira yakin bahwa pria tersebut adalah pemilik mobil yang dia tabrak.Damaira baru tersadar bahwa tangan kiri dan keningnya berdenyut, sepertinya dia terluka.“Sudah mas bawa mbaknya ke klinik atau rumah sakit terdekat saja, saya temani. Urusan lain-lainnya nanti diurus di sana. Takutnya si mbak kenapa-kenapa,” ucap bapak-bapak itu pada si pria tampan.Damaira digirin
Tak berselang lama, Damaira keluar dari mobil itu. Terdengar wanita itu mengucapkan terima kasih pada rekannya. Lalu mobil kembali melaju.Negan sedikit kecewa melihat mobil Honda CR-V itu pergi. Padahal dia berharap itu adalah mobil Damaira. Dia bisa memanfaatkannya.Mimpimu terlalu muluk Negan, istrimu itu kere, hanya seorang penjaga toko kue, begitulah isi kepala Negan saling bersahutan."Dari mana saja kamu?" tanya Negan dengan ketus.Damaira menatap bingung pada sang suami. Bukankah dia sudah mengirim pesan, untuk apa bertanya? Damaira tak kuasa mengatakan hal itu dan memilih untuk menjawab."Aku baru pulang kerja mas, karena tadi aku kecelakaan jadi masuk dan pulangnya harus mundur," ucap Damaira, lalu berjalan hendak memasuki rumah.Negan memberi jalan agar istrinya itu bisa masuk dengan leluasa."Memangnya juraganmu tidak memberi libur? Aku lihat lukamu cukup parah." Negan cukup prihatin dengan keadaan istrinya dengan tangan tergantung dan menggunakan gips."Ya mau bagaimana l
Dua bulan kemudian.Pasca pertengkaran yang terjadi di antara Damaira dan Negan malam itu, sikap Negan sedikit melunak dan lebih perhatian. Pria itu nampak bersungguh-sungguh ingin memperbaiki hubungan dengan Damaira.Negan lebih sering meluangkan waktu untuk Damaira walau hanya sekedar untuk berbincang hal yang tidak penting.Selama dua bulan ini, Dina hanya pernah sekali menemui Damaira di toko dan merengek meminta uang, adik iparnya itu sungguh tebal muka. Karena asas belas kasih, Damaira memberinya uang sebesar lima ratu ribu rupiah.Sedangkan ibu mertuanya masih sama, datang ke rumahnya untuk mengambil sembako seperti biasanya.Untuk soal keuangan, Negan lebih manusiawi ketimbang bulan-bulan sebelumnya. Terkadang Negan mau berbelanja ke warung untuk menggantikan Damaira yang masih menggunakan gips, walau terkadang kesal karena harga sembako yang mahal dan uangnya harus berkurang cukup banyak.“Hari ini pengumuman hasil seleksi district manager, Ra. Doakan, semoga suamimu ini ya
Damaira dan Negan saling pandang. “Siapa yang datang?” tanya Negan. Damaira hanya mengedikkan bahu tanda dia juga tidak tahu.Damaira menduga pasti salah satu keluarga Negan. Negan mencuci tangan kemudian menuju ruang tamu untuk membuka pintu.Sedangkan Damaira mengambil kerudung instannya yang berada di gantungan depan kamar mandi. Dia hanya ingin menutupi kalung yang baru saja dibelikan oleh suaminya. Damaira tak ingin karena kalung itu akan timbul masalah baru.Benar saja dugaan Damaira, namun bukan ibu mertua ataupun Dina, melainkan Naya–adik pertama Negan."Masuk, Nay. Tumben kamu datang ke sini malam-malam."“Mas Negan sedang apa?” tanya Naya sedikit tidak enak.Naya memang berbeda dengan ibu dan adiknya, pembawaannya kalem dan ramah.“Masuk Nay, mas baru makan malam, kamu sudah makan?” Naya mengekor di belakang Negan.“Belum mas, aku baru pulang kerja, langsung kemari.”“Halo, Mbak,” sapa Naya pada Damaira.“Hai Nay, baru pulang ke
Laras melayangkan tangannya pada Damaira. Dengan tangkas Damaira menangkap tangan Laras lalu menghempaskannya dengan kasar. Baik Negan, Naya, maupun Laras sendiri terperangah. "Maaf, Bu, untuk kali ini aku tidak bisa menerima perlakuan Ibu yang semena-mena padaku," ucap Damaira tenang. "Kamu…" Laras menjeda kalimatnya. "Kamu berani pada orang tua, hah?" ucap Laras lantang. Naya segera menarik sang ibu, "Sudahlah, Bu, ayo kita pulang." "Lepas, Naya!" "Lihat itu kelakuan istrimu. Dia berani pada Ibu…" "Benar kata Naya, Bu. Ini sudah larut, Ibu sebaiknya pulang dan beristirahat," ucap Negan. Mendengar ucapan itu, hati Laras begitu nelangsa. "Kamu berani mengusir ibu? Durhaka kamu, Negan." Naya mencoba menenangkan sang ibu, Negan pun mendekati sang ibu hendak memeluknya dan berbicara sesuatu, namun Laras menepis begitu saja. "Jangan mendekat. Sekarang kamu pilih ibu atau wanita itu?" "Sudah, Bu, ayo kita pulang. Ibu tidak boleh marah-marah. Nanti darah tingginya naik," ucap Na