Share

Bab 6 Harga Sembako Ternyata Mahal

Malam ini Negan tak menemukan Damaira di ruang tengah seperti biasanya. Dia pun langsung menuju ke kamarnya.

Mendapati Damaira sedang tiduran di ranjang.

"Kamu ini, suami pulang bukan di sambut. Malah enak-enakan tidur," oceh Negan sembari meletakkan tas kerjanya.

Bukan tanpa alasan Damaira berbaring di tempat tidur. Perutnya sangat nyeri karena tamu bulanannya sedang datang.

"Maaf mas, perutku sakit sekali…"

"Alasan saja kamu!" hardik Negan.

"Sana buat makan, malah enak-enakan tidur. Benar kata ibu…"

Mendengar kalimat terakhir suaminya, Damaira langsung beranjak duduk, membuat Negan menjeda kalimatnya.

"Kamu itu tidak becus mengurus suami, pemalas, kerjaannya tidur di kamar …” Belum selesai Negan berucap, Damaira sudah memotongnya.

“Terus mas, terus. Ibu, ibu, selalu ibu. Kalau kamu mau sepenuhnya bersama ibumu, jika ibu adalah prioritasmu, silahkan. Mari kita berpisah,” sela Damaira, membuat Negan membulatkan mata tak percaya dengan ucapan istrinya.

“Damaira! pamali bicara seperti itu,” bentak Negan.

“Kamu yang mulai, kamu tidak pernah sedikitpun memberi aku ruang untuk berkeluh kesah, di matamu aku ini pemalas, jelek, tidak berpendidikan, hanya bisa menghabiskan uangmu, seperti yang selalu ibumu katakan.” Jika Damaira mulai marah, dia akan mengganti kata mas menjadi kamu.

“Damaira! Lancang kamu pada suami,” bentak Negan, Negan mulai tersulut emosi.

Netra mereka saling bertatap penuh emosi. Damaira yang biasanya mengalah dan pasrah, kini menyalak bagai anjing. 

Dengan malas Damaira beranjak dari tempat tidur, membuka tas kesayangannya kemudian mengambil dompet, dan menuju pintu. Lebih baik dia mendinginkan kepala sembari mencari angin, setelah itu membeli bahan makanan.

“Heh, mau kemana? Suami belum selesai bicara main tinggal,” tanya Negan yang masih berapi-api.

“Katanya mau makan,  di rumah bahan makanan sudah habis, aku mau beli dulu,” jawab Damaira. 

Tanpa memperdulikan Negan, Damaira keluar dari kamar. Negan paham jika Damaira sebenarnya menghindarinya dari pertengkaran yang berkepanjangan.

“Ra, tunggu, Ra,” teriak Negan dengan nada bicara yang lebih lembut.

“Apa lagi?” kesal Damaira.

“Pakai ini.” Negan memberinya tiga lembar uang seratus ribuan.

Dengan berat hati Negan memberikan uang itu, dia hanya tidak istrinya berlama-lama di luar karena menghindarinya. Dia tahu, pemuda di sekitar sini suka mencuri-curi pandang pada Damaira. Dia tidak rela.

Damaira sempat membulatkan mata sempurna, sebelum akhirnya mengambil uang itu. Damaira pergi dengan menggunakan sepeda motor kesayangannya.

Sampai di warung langganan, Damaira langsung menyebutkan apa saja yang dia perlukan.

“Bawang merah 1kg, bawang putih 1kg, garam 2 bungkus, masako 1 renteng, kecap manis refil sedang 1, gula pasir 1kg, gula merah 1kg, tepung terigu 1kg, telur 1kg, mie Instan 10 bungkus ya bu. Tambah berasnya 10kg bu.”

“Sebentar neng Ira, pelan-pelan ibu teh lupaan. Tumben malam-malam belanjanya?” 

“Iya bu, baru sempat.”

Ibu pemilik warung dengan cepat mengambil dan memasukkan belanjaan ke dalam kantong belanja sembari menghitung total harga belanjaan Damaira.

“Tong, angkat beras ke motor neng Damaira ya, 10 kg.”

“Ya mak,” jawab anak ibu pemilik warung.

“Total 370.000, neng.”

‘Yah masih tombok,’ batin Damaira. 

Tapi dia merasa bersyukur suaminya mau memberinya uang belanja lebih. Semoga itu bukan uang belanja bulanan yang sengaja Negan berikan lebih awal.

“Ini bu.” Damaira memberikan empat lembar uang seratus ribuan.

“Terima kasih, neng Ira.” Ibu pemilik warung memberikan kembalian pada Damaira.

“Sama-sama bu, permisi." 

"Makasih a',” ucap Damaira pada anak ibu pemilik warung. Anak pemilik warung adalah salah satu pemuda yang suka curi-curi pandang pada Damaira.

“Ok, neng,” balas pemuda itu. 

Sesampai di rumah, Negan sudah menunggu di meja makan.

“Lama sekali aku sudah lapar, ini belanjaan kok banyak sekali?” cecar Negan.

“Sudahlah mas, tolong ambilkan beras di motor.” Mau tak mau Negan mengambil beras yang Damaita maksud. 

Saat Negan mengambil beras, Damaira sengaja menaruh nota belanjanya di atas meja makan, di tempat biasa Negan duduk, dengan maksud agar Negan tahu berapa pengeluaran yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan harian.

“Ra, beli berasnya banyak banget, kan kita cuma berdua, lagi pula siang aku makan di luar!” ucap Negan polos.

“Ya memang segitu setiap bulannya kadang lebih. Memangnya aku dewi Nawangwulan yang bisa masak nasi hanya dari sebiji beras” jawab Damaira.

Negan langsung diam dan membawa beras itu ke dapur.

‘Kamu nggak tahu saja, mas, ibu sering datang mengambil beras di rumah ini, 30 kg sebulan nggak cukup,’  sayangnya, kata-kata itu hanya terbesit dalam benaknya, dia hanya tak mau kembali ribut.

Setelah membawa beras ke dapur Negan duduk di kursi biasanya, tepat seperti dugaan Damaira.

“Eh apa ini?” Negan melihat nota belanja Damaira.

“Ini belanja barusan habis hampir 400 ribu! Mahal sekali,” seru Negan setengah tak percaya.

“Ya memang apa-apa mahal mas, itu baru beberapa, belum sayur dan lauk pauk setiap hari, mas bisa hitung sendiri, tujuh puluh ribu seminggu cukup atau nggak.” 

Negan menelan salivanya dengan susah payah dan hanya diam seribu bahasa. Selama ini dia terlalu cuek dengan hal-hal seperti itu. 

‘Pantas saja Andi mengatakan bahwa nafkah yang aku berikan pada Damaira tidak layak,’ batin Negan. 

Pikirannya mulai menerawang entah kemana. Hingga tepukan di bahu menyadarkannya, senyuman Damaira membuat damai hatinya.

“Dimakan mas, sudah matang.”

“Terima kasih, Ra.”

"Mas tolong cuci perabotan ya, aku sudah tidak kuat perutku sakit," ucap Damaira setelah menyelesaikan makan malamnya.

Tanpa menunggu jawaban dari suaminya, Damaira langsung kembali ke kamarnya setelah minum obat pereda rasa nyeri.

Ini kali pertama dalam sejarah hidup Negan, dia mencuci perabotan.

Pagi ini, Damaira lupa mengunci pintu. Laras kembali menyambangi rumahnya. Seperti biasa, langsung menuju ke ruang tengah dan melipir ke dapur.

“Mana berasmu? Bawang?”

“Sudah habis bu, Damaira belum belanja,” bohong Nia. Damaira sengaja menyimpan beras dan bawang di lemari yang berada di ruang laundry.

“Bohong! Kamu kan baru saja dapat uang belanja. Tadi ibu tanya warung depan katanya kamu sudah belanja semalam. Pelit sekali kamu jadi menantu, pasti kamu sembunyikan.” Laras mulai membuka satu persatu lemari dan rak yang ada di dapur.

Damaira tersenyum tipis melihat kelakuan mertuanya. 

‘Cari saja terus, nggak bakal ketemu!’ seru Damaira dalam hati.

“Damaira belum belanja bu,” ulang Nia.

“Bohong kamu, pasti kamu sembunyikan.”

“Ibu sudah cari sendiri, tidak ada kan? Buat apa Ira sembunyikan, setiap bulan kalau Ira sudah belanja pasti Ira taruh di tempat biasa.” 

“Dasar pelit kamu, belanja pakai uang anakku saja pelitnya minta ampun. Pelit, tidak berpendidikan, kere lagi.” Setelah mengucap kata-kata itu Laras berlalu dari rumah Damaira.

“Andai kalian tahu, aku yang kalian hina ini adalah juragan sukses, apa kalian akan tetap memandang rendah diriku?” gumam Damaira.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status