Chapter 1. Suamiku Berselingkuh
“Suami, mertua, dan ipar-ipar Mbak Dara tidak jemput?” tanya seorang gadis sembari mengemasi beberapa pakaian. Wanita yang dipanggil Mbak Dara menatap ke arah gadis itu. “Mereka sibuk ... mungkin?” jawab Dara tak yakin. Netranya menatap nanar bangsalnya yang siap ditinggal dengan perasaan hampa. Lalu lalang manusia berpakaian khas pegawai rumah sakit yang tengah merawat pasien itu, tampak tak terusik dengan keberadaan keduanya. “Namanya keluarga, mau sesibuk apa pun, minimal usahakan, lah! Suami Mbak juga, memangnya pernah jenguk sekali saja? Bahkan Mbak saja ke sini naik taksi sendirian! Suami seperti itu baiknya dibuang jauh-jauh, Mbak!” Sang gadis yang sudah hampir dua tahun bekerja di butik Dara sebagai asisten tahu betul betapa tidak pedulinya suami dan keluarga dari bosnya tersebut. Sang suami sering bertindak kasar dan marah-marah semenjak di PHK dari perusahaan tempatnya bekerja. Belum lagi omelan dan ocehan para ipar. Hanya butik satu-satunya penopang untuk mencari nafkah. Gadis itu merangkul Dara untuk berjalan pelan menyusuri koridor. Dan sekarang, butik itu terpaksa harus libur lantaran Dara pingsan asam lambungnya naik dan ia kelelahan parah sebab sering lembur. “Kamu jangan—” “Mbak masih ingin membela?” “Sudahlah, mari kita pulang.” Bibir pucat Dara memaksa senyum. Entah dapat dorongan dari mana, perempuan kurus kering itu memilih bertahan. Hanya bermodal keyakinan bisa membuat suaminya berubah. Dan menyelamatkan pernikahan hambar mereka yang sudah jalan dua tahun. Dengan motor matic, mereka berdua membelah jalan menuju rumah Dara. Di jok belakang, Dara diam-diam memikirkan omongan sang asisten. Ia sadar suaminya tampak abai, akan tetapi… secercah bagian di hatinya masih berharap ada sedikit sisa kepedulian dari sang suami untuknya. Tiba di sebuah kompleks perumahan, Dara turun dan langsung disambut dengan tatapan sinis para tetangganya selama 2 tahun belakangan. Dara memilih untuk tidak mengacuhkan mereka. Bersama sang asisten, mereka segera masuk rumah. Namun, kening keduanya mengerut saat melihat baju-baju yang berceceran di lantai. “Engh…. Oh—” Suara erangan dan teriakan pun menggema membangkitkan rasa penasaran keduanya. Terlebih, Dara yang wajahnya semakin memucat. Tanpa menunggu, Dara pun membuka pintu kamarnya segera. Cklek! “K-kalian—" Dara dikejutkan dengan wanita bertubuh polos di samping suaminya. Tubuh kurusnya tiba-tiba bergetar tanpa bisa dikontrol dan berakhir ambruk. Sambutan hangat yang ia harapkan, justru berubah menjadi sambutan yang memberikan rasa sakit di hati. “S-sayang??” Sedang dua orang yang menjadi tontonan itu, untuk semula kaget bercampur kesal, saat percintaan mereka harus berhenti di tengah jalan. Keduanya langsung panik hingga tanpa sadar memisahkan diri. Si pria langsung turun dan memakai celana untuk menyelamatkan sisa martabatnya. Sedang si wanita, hanya sempat menutupi tubuh binalnya dengan selimut. “Sayang, aku bisa jelaskan, kita bicara dulu!” Tangan William, sang suami, terulur. Dara mundur dengan ekspresi jijik untuk menghindar. Membayangkan tangan maskulin itu sudah digunakan untuk meraba-raba tubuh jalang itu membuatnya terisak. “Aku pikir kamu tidak bisa mengantarku ke rumah sakit karena kamu sibuk.” Mata Dara menatap ke arah baju-baju yang tercecer. “Ternyata kamu memang benar sibuk, ya, sibuk melucuti pakaian perempuan lain,” lanjutnya begitu mengenaskan. Perutnya yang semula membaik, tiba-tiba terasa diaduk-aduk saat melihat suaminya yang berpeluh dengan setengah telanjang. “Apa salahnya? Indri juga menantu di sini!” Suara seorang wanita terdengar. Dara menoleh ke belakang, mertuanya berjalan dengan kepala sedikit mendongak ke atas. Gamis tabrak warna langsung menyapa retinanya. “Menantu? Ibu, bagaimana bisa?” tanyanya dengan suara lirih hampir tercekat. Wanita paruh baya itu melengos saat menyaksikan menantu yang menurutnya banyak drama. “Tentu bisa! Apa yang bisa saya harapkan dari wanita mandul sepertimu?! Hamil tidak, malah sakit-sakitan! Saya tidak butuh menantu penyakitan seperti kamu!” Hati Dara serasa diremas kuat-kuat mendengar hinaan dari ibu mertuanya. Ia kecewa, sebab dari perkataan sang mertua, terselip bahwa pernikahan kedua William sudah mendapatkan restunya. “Kalau Ibu mau saya hamil, saya bisa usahakan, Bu. Saya dan Mas William bisa melakukan program.” Sambil membiarkan air mata mengucur dari matanya, Dara mengutarakan rasa kecewa. “Promil, katamu?! Bahkan gara-gara menikahi kamu, William di-PHK!” Sang Mertua menyentak, jari telunjuknya mengacung lantang ke arah Dara. “Sudahlah, jangan kebanyakan drama! Terima saja. Masih untung kamu nggak dicerai, hanya dimadu!” Dada Dara sudah begitu sesak, seolah ada batu besar yang mengganjal. Bahkan usai William di-PHK, Dara tidak meninggalkannya. Ia justru bekerja bagai sapi perah. Pagi melayani klien yang seperti raja, malamnya melayani suami yang seperti dewa. Belum lagi mertua dan ipar-iparnya yang kerap menambah prahara. Selama dua tahun sang suami menganggur, selama itu pula lah Dara yang membiayai keluarga suaminya. Sekarang, pandangan Dara berpindah ke arah wanita yang dengan santainya berdiri sambil merapikan selimut yang membelit badan. “Kita teman, Ndri. Kenapa ... kenapa kamu tega—” “Dara ... Dara, harusnya kamu bersyukur. Aku hanya membantu kalian mendapat momongan.” Wanita itu berdecih disertai tatapan sinis. “Benar kata Mama, masih untung aku tidak meminta suami kita menceraikan kamu yang mandul!” “Kamu—” Kata-kata Indri menancap tepat di dada Dara hingga membuatnya kesulitan bernapas. Indri yang dianggap sahabatnya malah menusuk dari belakang. Belum lagi, William yang semula ingin menjelaskan, kini justru tampak acuh tak acuh, menimbulkan lara tiada tara baginya. Kekesalan, kekecewaan yang bertumpuk di dadanya, membuat wanita itu kalap. “Brengsek kalian!” teriak Dara. Dengan satu tangannya, sebuah tas jinjing melayang ke arah sahabatnya yang berkhianat. Tubuh William bergerak ke depan, dan melindungi sang jalang. Gembolan tas yang berisi baju kotor selama Dara dirawatinap itu berakhir menimpa punggung telanjang William. “Apa-apaan kamu, Dara!” murka William menatapnya, tetapi satu lengannya memeluk protektif Indri. “Indri sedang hamil anakku!” Lagi, Dara mencelos mendengar kabar mengejutkan itu. Hari ini, Dara jadi tahu jika perselingkuhan itu telah lama terjalin. Selama ini, dialah yang terlalu bodoh mengartikan sikap tak acuh sang suami. “Baik! Jika begitu….” katanya mengandung kepasrahan. “Mari bercerai dan kalian semua keluar dari rumah ini!”"K-kok pak Sagara ...,""Mereka sering bertemu?""A-ah, nyonya Sera memang sangat dekat dengan keluarga Adikara, apalagi dengan nyonya Rissa. Nyonya Sera adalah sahabat kecil pak Sagara,""Maksudmu ... sahabat yang akhirnya menjadi sepasang kekasih?""Mari, sepertinya pak Sagara sudah menunggu,""Hai, Dara,""Wow! Ternyata ini kegiatan akhir pekanmu, Sagara? Kamu mengajak kekasihmu untuk berkencan di rumah, di saat tak ada anggota keluarga di sini?""Sera ...,""Tak masalah, Pak. Saya paham akan maksud nyonya Sera, lagi pula semua orang pun pasti tahu hanya dengan sekali lihat, kita tak sedekat itu,""Tampaknya atmosfer di antara kalian terasa sangat buruk, kalau begitu saya pamit undur diri dulu,""Ada perlu apa kamu ke mari, Dara?""Saya ingin mengembalikan barang yang kapan hari pak Sagara pinjamkan kepada saya,""Silakan duduk," "Padahal sebenarnya kamu tak perlu mengembalikannya,""Tolong jangan berbicara demikian, Pak. Barang 'ini' bukan milik saya, mau saya menyimpannya di lema
"Apa yang sebenernya terjadi pada kamu, Sagara?""Kamu gila? Kamu mengharapkan seorang wanita yang sudah menikah?""Dan setelah itu berani-beraninya kamu mengatakan kalimat cinta menjijikkan itu kepadaku, kamu menganggapku sekedar pelarian?""Kamu benar-benar bajingan yang tak tahu diri, kamu brengsek!""Nona Dara?""Ya? Masuk saja, Mbak!""Taruh saja di sana, Mbak. Terima kasih sudah mencucikan baju saya,""Eh, tunggu!""Ya, Nona Dara? Ada yang bisa saya bantu?""Ini baju siapa?""Loh? Bukan baju Non Dara? Saya ingat ini di keranjang untuk baju kotor yang berasal dari kamar Non Dara,""I-iya itu baju saya," "Silakan teruskan pekerjaan kamu,""Sial, aku sudah berjanji akan mengembalikannya," "Kenapa Sagara jahat sekali? Dia memberikan baju belasan mantannya yang udah ditolak kepadaku? Hanya karena keadaanku saat itu benar-benar mengenaskan, bukan berarti dia bisa merendahkanku dengan cara seperti itu,""Ini hari libur, kamu mau keluar lagi?""Maaf, Ma,""Bukan begitu maksud mama, Dara
“Halo?” “Mama masih di kantor?”“Hm, sebentar lagi mama mau pulang, Dara. Kamu di mana?”“Aku juga masih di kantor,”“Terus? Ada perlu apa sama mama?”“Sepertinya ... nanti aku tidak bisa bergabung bersama kalian dalam acara memasak,”“Kenapa memangnya? Kamu tidak suka bereksperimen bersama kami?”“Ah! Bukan begitu, Ma. Masalahnya aku baru ingat kalau hari ini ada sebuah janji,”“Janji? Bersama klien?”“T-tidak, sebenarnya ini hanya janji makan siang saja, akan tetapi, temanku ini seorang publik figur yang jarang pulang ke tanah air. Jadi, aku merasa harus meluangkan waktuku untuk bertemu dan bertukar kabar dengannya,”“Teman kamu sekarang banyak sekali, ya? Mama saja tidak pernah berkumpul dengan teman-teman Mama gara-gara sibuk. Tapi tidak apa-apa. Asalkan kami baik-baik mama tentu akan mengizinkan. Nanti mama akan jelaskan pada tante Rissa,”“Terima kasih, Ma!”“Hm, mama sempat berpikir kamu akan bertemu Sagara, loh,”“Maksudnya?”“Tadi Sagara juga izin tidak ikut eks
"Delion! Jangan melihatnya! Apakah kamu tidak berdosa menikmati milik wanita lain di saat kamu sendiri punya istri?" "Cih! Kamu berharap aku tertarik dengan milik bidadari vintage itu? Istriku lebih baik dari segala aspek," "Aku bahkan tak berani menggunakannya untuk berfantasi." "Kupikir ... semua pria akan birahi salahkan disuguhi ketelanjangan," "Umumnya memang begitu, tapi bukan berarti tidak ada beberapa pria yang menolaknya. Lagi pula, jangan meragukan keprofesionalanku. Sebelum ini, aku bahkan pernah bersembunyi di bawah kolong ranjang pasangan yang sedang memadu kasih," "Dasar gila!" "Ya, memang segila itu dunia investgasi." "Ngomong-ngomong, Dara. Akan kamu gunakan untuk apa bukti ini?" "Bukan untuk apa-apa. Aku hanya ingin membuktikan sendiri bagaiman gilanya Sri Rahmi," "Lihat? Mereka semakin liar sja," "Pernahkah ... kakak berfantasi kepada pria lain, kecuali aku dan suami kakak? Ohh! Emhh!" "Pernah ... banyak sekali pria-pria muda yang menjadi objek fantasiku
“Delion?”“Hm,”“A-apa aku salah lihat?“Tidak, memang itulah kenyataannya, Dara.”“As-hmmph!”“Hmphmph! Lepas!”“Kamu gila! Apa yang kamu lakukan, Sialan!”“Mulutmu!” “ Bisakah kamu mengendalikan muncungmu itu? Bagaimana kalau kita ketahuan!”“Hei, cecunguk! Apa kamu lupa kalau mobil kita kedap suara dan tidak tembus pandang?”“O-oh, maaf,”“Sial! Kamu merusak moodku!”“Lah? Kenapa malah menyalahkanku? Dari awal, kan memang suasana hatimu sudah buruk. Ingat! Kamu sendiri yang sudah memaksa untuk ikut,”“Memangnya salah kalau aku mau ikut?”“Tidak salah! Yang slah adalah Sagara karena membuatmu patah hati—”“Jangan menyebut namanya!”“Nah, kan! Penyebab utama moodmu rusak karena hubungan kalian. Aih! Gara-gara kamu galau malah mengajak ribut satu dunia,”“Sudahlah! Kita fokus saja menyelidiki Sri Rahmi!”“Loh? Ke mana dia?”“Cih! Gara-gara bertengkar, kita malah kehilangan jejaknya!”“Mungkin—”Brak!“Astaga!”“Delion! Itu—”“Syutt! Kita tak perlu mencari-cari m
Dara terburu-buru menuruni tangga dengan wajah polosnya. Begitu membaca pesan dari Delion Sunarija, Dara mempercepat tempo langkahnya. Sebuah setelan serba hitam yang dipakainya berhasil membuat Sukma Wijayakusuma mengernyit melihat keanehan outfitnya.“Kamu mau ke mana, Dara?” tanya ibu satu anak itu sembari mengamati anaknya dengan alis berkerut. Ini sudah malam hari, kira-kira ke mana anaknya akan pergi?Dara terdiam sejenak sebelum berbalik menghadap ibunya. “Aku ada kepentingan dengan teman, Ma."Sukma menyangga wajahnya dengan tangan. Ia pandangi sang putri yang tengah meremas ujung pakaian itu dengan pandangan tertarik. “Teman? Apakah itu Sagara?” “Tidak mungkin!” Dara terlonjak ketika mendengar suara menyentak yang berasal dari belakangnya. Ketika menoleh ia mendapati wajah sang paman yang terpampang nyata.“Om kenapa, sih?! Datang-datang main menyelonong saja!" sewot Dara dengan wajah garangnya. Perempuan itu memilih duduk di dekat ibunya sembari mengecek ponselnya.Hendra
"Ya Tuhan,” bisik Dara begitu mengangkat gaun yangs Sagara berikan. Overall, itu memang tidak terlalu ketat dan warnanya pun hitam sehingga memberikan kesa mewah. Namun, panjang gaunnya sangat tidak cocok untuk tubuh Dara yang tinggi semampai. Setelah beberapa menit berperang dengan dress itu, akhirnya Dara bisa menatap figur dirinya di cermin. Meskipun di luar terlihat biasa saja, Dara sebagai si pemakainya jelas yang paling merasakan bagaimana tak nyamanya gaun ini.Perempuan itu mengambil ponselnya dari clutch dan segera mencari nama kontak Delion. Namun urung, sebelum Dara memencet tombol panggilan, tiba-tiba keraguan melanda hatinya. Kapan hari Delion sudah menasihatinya untuk kembali mengejar Sagara, tapi Dara jelas tak tahu bagaimana caranya mengungkapkan pikiran dan keinginannya pada pria itu. Apakah harus dikatakan hari ini? Bagaimana kalau nanti Sagara merasa tak nyaman? Tapi jika tidak dilakukan sekarang, kapan lagi? belum tentu Dara bisa bertemu dengan pengusaha beken it
“Kamu terlihat lesu, Dara. Sakit?” “Tidak, aku hanya malas datang ke pesta yang sangat ramai, nanti di sana pasti ada banyak teman-teman Mama yang tanya ini-itu,” “Memangnya kenapa? Itu, kan bagus untuk branding kamu Dara. Jadi nanti sekalian kamu dekat dengan mereka, sekalian juga perluas koneksi,” “Mama selalu memandang sesuatu dari segi keprofesionalan, ya? Aku jadi semakin insecure,” “Insecure kenapa?” “Mama tidak pernah merasa terbebani? Status Mama kan pewaris tunggal, otomatis ekspektasi orang-orang akan membuat Mama semakin tertekan bukan?” “Kalu dulu, jelas iya. Apalagi waktu awal-awal menjabat dan menghadapi ombak di dunia enterpreneurship. Dulu semua orang membanding-bandingkan kinerja mama dengan prestasi kakekmu, itu jelas sangat membuat mama tertekan.” “Dara,” “Kamu tidak perlu memaksakan diri dengan menjadi nomor satu seperti mama. Kamu lihat? Mama saja yang skill dan minatnya di dunia enterpreneurship saja kewalahan, apalagi kamu yang malah minatnya di du
“Penjarakan Sri Rahmi!” seru seorang wanita sembari membawa wajan dan memukul-mukulnya dengan keras hingga terdengar suara bising yang menganggu. Para wanita di belakangnya ikut menyemarakkan suasana dengan sorakan tenor mereka. “Kami tidak Sudi sekampung dengan penipu dan pencuri!” teriak yang lainnya dengan suara menggelegar, membuat tetangga Kana kiri Sri Rahmi langsung keluar untuk melihat sumber kebisingan. “Ya! Selain itu, anak-anaknya juga suka berbuat onar dan mencemarkan nama baik kita semua,” tambah seorang wanita yang disetujui warga-warga lain. Seorang wanita yang baru saja bergabung itu langsung menyela, “Jangan begitu, dong! Sebelum itu suruh dia lunasi semua uang yang dia tilap!” Keadaan di depan rumah Sri Rahmi tampak sangat kacau buntut kasus dugaan penggelapan uang arisan yang meresahkan warga. Persatuan ibu-ibu sekompleks itu langsung mengumpulkan massa dan bergabung untuk memberikan pelajaran bagi sang ratu gosip yang belakangan ini mengurung diri. Entah kar