Sang mertua melotot tak terima. “Jika ingin pergi, kau saja yang pergi dasar mandul pembawa sial! Kaulah yang menumpang di sini!” hardik sang mertua membuat Dara menggeleng tak setuju.
“Itu tidak mungkin! Rumah ini milikku apa hak kalian—” Dara berteriak lantang dan terpotong. “Meski kamu yang membangun rumah ini, tetap saja, tanah dan sertifikat rumah ini atas namaku. Dan kamu tidak ada hak!” sahut mama mertua dengan setitik senyum bangga. “Tak usah memperpanjang masalah, Ra. Kamu tinggal ikhlas, maka semuanya beres.” Indri, sang menantu baru mulai angkat bicara. “Lagipula, kita kan, berteman. Tidak akan sulit rasanya membagi suami pada temanmu.” Dara berdiri dengan pandangan mencemooh ke arah Indri. Andai saja ikhlas itu semudah membalikkan telapak tangan. “Indri benar. Tidak perlu berselisih lagi, intinya masalah ini selesai!” Mertua Dara memang kerap kali ikut campur dalam rumah tangganya. Namun, kali ini… Dara tidak akan membiarkan wanita tua itu kembali mencampuri ranahnya. “Tidak, Ma! Tidak ada penyelesaian yang lebih pantas bagi sebuah perselingkuhan, selain perceraian.” Dengan tangan mengepal di sisi tubuh, Dara memicingkan matanya ke setiap orang yang menentang, “Rumah ini ... Mari kita menjualnya dan membaginya dengan adil.” Setelah itu, Dara melangkah ke lemarinya untuk mengambil beberapa berkas penting. “Berhenti?! Apa-apaan kamu?! Jangan berani-berani mengambil rumahku!” Wanita paruh baya itu menghalangi Dara. “Minggir!” Persetan dengan sopan santun, Dara benar-benar tak sudi hasil jerih payahnya malah dinikmati oleh para pengkhianat ini. “Anak kurang ajar!” Dara meringis saat ibu mertuanya memukulnya kuat dengan gagang sapu, hingga kepalanya kembali berkunang-kunang. Melihat wanita paruh baya itu kembali mengangkat sapu di tangannya, Dara hanya bisa menuruti bujukan asistennya untuk pergi meski hatinya jelas bercokol. “Mbak, menginap di kos saya saja, ya?” Dara yang sudah duduk di jok belakang itu menggeleng pelan sembari memijit pelipisnya. “Saya tidur di butik saja, sepertinya masih muat untuk ditinggali.” Dara merasa tak enak dengan asistennya jika ia mengiyakan tawaran tersebut. Pasalnya, gadis yang beberapa tahun di bawahnya ini memiliki tanggungan tiga adik dan ibu yang sudah sakit-sakitan di indekos satu petaknya. Saat sampai, gadis bertubuh ringkih itu segera masuk setelah mengantar kepergian asistennya. Dara meringkuk kedinginan di lantai beralas karpet tipis, perempuan itu bahkan baru ingat belum mengisi perutnya seharian karena disibukkan dengan masalah rumah tangganya. Memikirkan masalah yang menimpanya bertubi-tubi, membuat gadis itu berakhir meratapi semua kesialan dalam hidupnya. Sampai tak sadar akan takhta rembulan yang sudah terlengserkan mentari. “Mbak, saya bawa sarapan, nih.” Dara yang baru saja menyatu dengan alam mimpi langsung terjaga. “Terima kasih, ya, dan tolong untuk hari ini handle semua urusan butik. Saya mau istirahat total.” Tangannya yang setengah gemetar itu mulai menyendok anugerah Tuhan yang datang lewat perantara asistennya. Dering ponsel membuatnya menggeram sembari mengumpati si penelepon. Setelah melihat nama si pemanggil, jiwa buasnya semakin bangkit. “Di mana kamu?!” Suara melengking itu membuatnya refleks menjauhkan ponsel. “Kenapa?” tanya Dara santai sebelum mendengar geraman dari seberang sana. “Pulang sekarang! Dan masak untuk kami!” Dara mendengus geli saat mendengarnya, ia penasaran setebal apa wajah ibu mertuanya, hingga dengan tak tahu malunya berani menyuruhnya pulang. “Kenapa saya harus memasak untuk kalian?” tanyanya membuat orang di seberang sana kebakaran jenggot. “Masih bertanya kenapa?! Jelas-jelas karena kamu menantu saya! Cepat pulang dan laksanakan tugasmu!” sentak paruh baya itu membuat Dara semakin tergerak untuk memancing amarahnya. “Memangnya menantu ibu hanya saya? Bukannya ibu punya menantu lain, ya?” Dara yakin telinga ibu mertuanya sudah mengeluarkan asap. “Dara! Kamu ini bodoh atau dungu?! Indri sedang hamil–” “Memangnya kenapa? Bukannya dulu waktu ibu sedang hamil tetap melakukan semua pekerjaan rumah, ya?” Dara ingat betul saat ibunya selalu mencecarnya saat ia telat memasak dan membanding-bandingkan dengan keadaan wanita itu yang tetap melakukan berbagai hal meski tengah mengandung. “Dara! Kurang aja–” Dara menyingkirkan benda pipih sejuta umat itu setelah menutup sambungan secara sepihak. Wanita itu memilih menikmati karunia Tuhan yang dititipkan lewat asistennya dengan penuh khidmat. “Mbak!” Sang asistennya datang dengan napas tersengal. “Ada adik iparnya Mbak. Dia datang bawa bala-bala dan buat kacau di depan,” desak gadis tersebut yang membuat Dara segera memberesi alat makannya dan keluar. “Mau apa kamu kemari?” Dara benar-benar muak dengan satu keluarga yang tak henti-hentinya merecokinya. “Mbak.” Gadis itu bergelayut manja di lengan kakak iparnya. “Padahal aku sudah bilang sama mereka kalau aku adik iparnya Mbak. Tapi, mereka tetap kasih tagihan,” dengusnya sembari menampilkan raut memelas. “Semua orang yang mengunjungi butik ini, mereka semua tetap dikenakan biaya tanpa terkecuali. Lagi pun, memangnya kamu tidak dengar tentang perceraian saya dengan kakakmu?” tanya Dara membuat beberapa gadis yang datang bersama adik iparnya berbisik-bisik. Dara cukup yakin semua keluarga bahkan seluruh tetangga sudah tahu mengingat ibu mertuanya yang tak bisa berlama-lama meninggalkan dunia pergosipan. “Tapi kan, Mbak masih kakak ipar aku, jadi Mbak masih punya kewajiban lah. Ngomong-ngomong, aku juga mau ke mall sama teman-teman, minta uang jajan, dong!” pinta gadis itu sembari menengadahkan tangannya. Bagus! Sebuah perpaduan sempurna untuk mendapat julukan ‘muka tembok’. “Kewajiban?” Dara terkekeh sinis, “Dari awal saya tidak punya kewajiban untuk menafkahi kalian, bahkan untuk suami saya sendiri. Jadi, kewajiban apa yang sedang coba kamu bicarakan?” Gadis yang menduduki bangku perkuliahan akhir itu gelagapan di tempatnya. Tak terima dipermalukan di depan teman-temannya “Terus gimana, dong?! Aku mau ke pesta ulang tahun nanti malam, dan Mbak dengan teganya usir aku?!” Air matanya sudah menggenangi pelupuk, sebelum akhirnya terjun bebas, membuat pelanggan yang bisa dihitung jari itu mulai menaruh atensi padanya. Dara memijit pelipisnya pelan. “Saya tidak berniat mengusir kamu, karena pada dasarnya butik ini adalah tempat untuk membeli dan berkonsultasi mengenai fashion bagi pelanggan dan calon pelanggan, kalau kamu tidak berniat menjadi salah satunya pergi saja!” tegasnya sembari kembali masuk ke dalam untuk kembali istirahat. Dokternya sudah menyarankan istirahat total dan berusaha mengurangi stres. Tapi, Dara tak yakin bisa melaksanakan saran itu, Tidak sebelum ia benar-benar lepas dari belenggu sekeluarga sialan ini. “Mbak tega menolak permintaanku?!” Dara tak menggubris sembari terus menjauh. “Jadi benar, rumor tentang Mbak Dara yang selama ini mengguna-guna abangku?!” Dara langsung mandek. Ia membalikkan tubuh ringkih itu sebelum kemudian melemparkan pandangan bingung. “Apa?! Benar, kan? Selama ini abangku yang baik hati itu terkena guna-guna?” Dara tak perlu menerka-nerka siapa yang menjadi tersangka rumor murahan tersebut. Dara merasa harus segera mengendalikan muncung adik iparnya, sebelum para pengunjung butiknya yang tak seberapa itu, ikut terpengaruh dan berdampak pada nama butiknya. “Masih di sini? Mau pergi sendiri, atau saya seret?” ancam Dara meskipun tak yakin mampu menyeret dengan tubuh lemahnya. “Baik! Aku pergi, tapi lihat saja! Nanti ibu sama bang William akan kasih pelajaran buat Mbak, karena berani usir aku!” tekan gadis itu dengan tatapan penuh dendam dan bibir yang tersungging licik sebelum enyah."K-kok pak Sagara ...,""Mereka sering bertemu?""A-ah, nyonya Sera memang sangat dekat dengan keluarga Adikara, apalagi dengan nyonya Rissa. Nyonya Sera adalah sahabat kecil pak Sagara,""Maksudmu ... sahabat yang akhirnya menjadi sepasang kekasih?""Mari, sepertinya pak Sagara sudah menunggu,""Hai, Dara,""Wow! Ternyata ini kegiatan akhir pekanmu, Sagara? Kamu mengajak kekasihmu untuk berkencan di rumah, di saat tak ada anggota keluarga di sini?""Sera ...,""Tak masalah, Pak. Saya paham akan maksud nyonya Sera, lagi pula semua orang pun pasti tahu hanya dengan sekali lihat, kita tak sedekat itu,""Tampaknya atmosfer di antara kalian terasa sangat buruk, kalau begitu saya pamit undur diri dulu,""Ada perlu apa kamu ke mari, Dara?""Saya ingin mengembalikan barang yang kapan hari pak Sagara pinjamkan kepada saya,""Silakan duduk," "Padahal sebenarnya kamu tak perlu mengembalikannya,""Tolong jangan berbicara demikian, Pak. Barang 'ini' bukan milik saya, mau saya menyimpannya di lema
"Apa yang sebenernya terjadi pada kamu, Sagara?""Kamu gila? Kamu mengharapkan seorang wanita yang sudah menikah?""Dan setelah itu berani-beraninya kamu mengatakan kalimat cinta menjijikkan itu kepadaku, kamu menganggapku sekedar pelarian?""Kamu benar-benar bajingan yang tak tahu diri, kamu brengsek!""Nona Dara?""Ya? Masuk saja, Mbak!""Taruh saja di sana, Mbak. Terima kasih sudah mencucikan baju saya,""Eh, tunggu!""Ya, Nona Dara? Ada yang bisa saya bantu?""Ini baju siapa?""Loh? Bukan baju Non Dara? Saya ingat ini di keranjang untuk baju kotor yang berasal dari kamar Non Dara,""I-iya itu baju saya," "Silakan teruskan pekerjaan kamu,""Sial, aku sudah berjanji akan mengembalikannya," "Kenapa Sagara jahat sekali? Dia memberikan baju belasan mantannya yang udah ditolak kepadaku? Hanya karena keadaanku saat itu benar-benar mengenaskan, bukan berarti dia bisa merendahkanku dengan cara seperti itu,""Ini hari libur, kamu mau keluar lagi?""Maaf, Ma,""Bukan begitu maksud mama, Dara
“Halo?” “Mama masih di kantor?”“Hm, sebentar lagi mama mau pulang, Dara. Kamu di mana?”“Aku juga masih di kantor,”“Terus? Ada perlu apa sama mama?”“Sepertinya ... nanti aku tidak bisa bergabung bersama kalian dalam acara memasak,”“Kenapa memangnya? Kamu tidak suka bereksperimen bersama kami?”“Ah! Bukan begitu, Ma. Masalahnya aku baru ingat kalau hari ini ada sebuah janji,”“Janji? Bersama klien?”“T-tidak, sebenarnya ini hanya janji makan siang saja, akan tetapi, temanku ini seorang publik figur yang jarang pulang ke tanah air. Jadi, aku merasa harus meluangkan waktuku untuk bertemu dan bertukar kabar dengannya,”“Teman kamu sekarang banyak sekali, ya? Mama saja tidak pernah berkumpul dengan teman-teman Mama gara-gara sibuk. Tapi tidak apa-apa. Asalkan kami baik-baik mama tentu akan mengizinkan. Nanti mama akan jelaskan pada tante Rissa,”“Terima kasih, Ma!”“Hm, mama sempat berpikir kamu akan bertemu Sagara, loh,”“Maksudnya?”“Tadi Sagara juga izin tidak ikut eks
"Delion! Jangan melihatnya! Apakah kamu tidak berdosa menikmati milik wanita lain di saat kamu sendiri punya istri?" "Cih! Kamu berharap aku tertarik dengan milik bidadari vintage itu? Istriku lebih baik dari segala aspek," "Aku bahkan tak berani menggunakannya untuk berfantasi." "Kupikir ... semua pria akan birahi salahkan disuguhi ketelanjangan," "Umumnya memang begitu, tapi bukan berarti tidak ada beberapa pria yang menolaknya. Lagi pula, jangan meragukan keprofesionalanku. Sebelum ini, aku bahkan pernah bersembunyi di bawah kolong ranjang pasangan yang sedang memadu kasih," "Dasar gila!" "Ya, memang segila itu dunia investgasi." "Ngomong-ngomong, Dara. Akan kamu gunakan untuk apa bukti ini?" "Bukan untuk apa-apa. Aku hanya ingin membuktikan sendiri bagaiman gilanya Sri Rahmi," "Lihat? Mereka semakin liar sja," "Pernahkah ... kakak berfantasi kepada pria lain, kecuali aku dan suami kakak? Ohh! Emhh!" "Pernah ... banyak sekali pria-pria muda yang menjadi objek fantasiku
“Delion?”“Hm,”“A-apa aku salah lihat?“Tidak, memang itulah kenyataannya, Dara.”“As-hmmph!”“Hmphmph! Lepas!”“Kamu gila! Apa yang kamu lakukan, Sialan!”“Mulutmu!” “ Bisakah kamu mengendalikan muncungmu itu? Bagaimana kalau kita ketahuan!”“Hei, cecunguk! Apa kamu lupa kalau mobil kita kedap suara dan tidak tembus pandang?”“O-oh, maaf,”“Sial! Kamu merusak moodku!”“Lah? Kenapa malah menyalahkanku? Dari awal, kan memang suasana hatimu sudah buruk. Ingat! Kamu sendiri yang sudah memaksa untuk ikut,”“Memangnya salah kalau aku mau ikut?”“Tidak salah! Yang slah adalah Sagara karena membuatmu patah hati—”“Jangan menyebut namanya!”“Nah, kan! Penyebab utama moodmu rusak karena hubungan kalian. Aih! Gara-gara kamu galau malah mengajak ribut satu dunia,”“Sudahlah! Kita fokus saja menyelidiki Sri Rahmi!”“Loh? Ke mana dia?”“Cih! Gara-gara bertengkar, kita malah kehilangan jejaknya!”“Mungkin—”Brak!“Astaga!”“Delion! Itu—”“Syutt! Kita tak perlu mencari-cari m
Dara terburu-buru menuruni tangga dengan wajah polosnya. Begitu membaca pesan dari Delion Sunarija, Dara mempercepat tempo langkahnya. Sebuah setelan serba hitam yang dipakainya berhasil membuat Sukma Wijayakusuma mengernyit melihat keanehan outfitnya.“Kamu mau ke mana, Dara?” tanya ibu satu anak itu sembari mengamati anaknya dengan alis berkerut. Ini sudah malam hari, kira-kira ke mana anaknya akan pergi?Dara terdiam sejenak sebelum berbalik menghadap ibunya. “Aku ada kepentingan dengan teman, Ma."Sukma menyangga wajahnya dengan tangan. Ia pandangi sang putri yang tengah meremas ujung pakaian itu dengan pandangan tertarik. “Teman? Apakah itu Sagara?” “Tidak mungkin!” Dara terlonjak ketika mendengar suara menyentak yang berasal dari belakangnya. Ketika menoleh ia mendapati wajah sang paman yang terpampang nyata.“Om kenapa, sih?! Datang-datang main menyelonong saja!" sewot Dara dengan wajah garangnya. Perempuan itu memilih duduk di dekat ibunya sembari mengecek ponselnya.Hendra