“Terima kasih, Pak,” ujar Dara sebelum taksi yang ditumpanginya menjauh.
Dara menatap jalanan kompleks yang sepi sebab waktu yang sudah hampir menunjukkan tengah malam. Ia jalan pintas dengan penuh kehati-hatian, sebab kluster mewah ini dijaga dengan keamanan ketat. “Berhenti di sana!” seru sebuah suara membuat tangan ringkih yang semula berniat membunyikan bel itu mengambang di udara. “Sudah saya bilang berkali-kali, kan?! Pengemis, penjual dan pemulung dilarang memasuki kawasan ini, tidak bisa baca aturan di depan?! Berani-beraninya mengotori kompleks ini dengan aura melaratmu!” sentak lelaki bertubuh tambun yang terasa asing bagi Dara. Ditodongkannya tongkat kebanggaan itu sembari menatap remeh penampilan Dara. Perempuan itu tersinggung saat menyadari penampilannya yang memang layak disebut pengemis daripada pewaris. “Saya bukan pengemis,” jelasnya sembari memencet bel dan membuat satpam itu cepat-cepat menariknya kasar. “Dasar orang miskin! Jangan berani mengganggu ketenangan penghuni kompleks ini! Cepat pergi dari sini!” “Saya ingin bertemu nyonya Sukma.” Dara menelan ludahnya susah payah saat menyebutkan nama yang mulai asing di bibirnya. Sesaat raut terkejut menghiasi wajah si satpam. “Saya tidak percaya! Bu Sukma memerintahkan saya untuk menolak tamu tanpa janji. Lagi pula, tidak mungkin juga Bu Sukma yang sibuk, sempat membuat janji dengan orang miskin sepertimu. Dan ya! Bagaimana kamu tahu detail nama penghuni kompleks ini? Kamu mau menguntit?” selidik si satpam membuat Dara terkejut. Tiga tahun ia menghilang, sekarang semuanya tampak berubah. Mendadak gamang itu kembali hadir, menciutkan nyali yang susah-payah ia gali. Kini egonya berbisik, menyuruhnya untuk berbalik. Tak peduli dengan keadaan dompetnya yang kian mencekik. Tapi jika ia pergi, tinggal dimana dia dengan selembar merah yang masih bersemayam di dompetnya? Ah! Tidak-tidak! Sudah sejauh ini ia melangkah, ia bertekad akan melakukan apa saja untuk bisa bertemu ‘dalang sebenarnya’. Saat satpam itu menarik Dara menjauhi titik tujuannya, praktis, otak encernya langsung terpikirkan cara ekstrem agar si penghuni itu keluar dari ‘kandangnya’. “Argh! Sial! Dasar jalang!” pekik sang satpam sembari memegangi lengannya yang dihiasi bekas gigitan. Dara mengambil tanaman hias untuk penyejuk mata. Kali ini, ia akan menggunakannya untuk tujuan lain. Menggunakan insting pengusahanya yang selalu dipenuhi siasat. Lengannya turut lurus, agar upayanya ini akurat. Prang! Tarikan kasar pada tubuh lemahnya menyambutnya kemudian. Dara meringis saat rusuknya bersilaturahmi dengan bentala. Dengan raut pias, satpam tersebut segera menyeretnya kasar. “Sial! Wanita bodoh! Dungu! Apa kau tahu tindakanmu itu bisa membuat saya dipecat, hah?!” tanyanya dengan urat-urat menonjol. Bersamaan dengan itu, penghuni rumah berbondong-bondong keluar setelah mendengar keributan di malam buta ini. Dibukanya pintu oleh pria paruh baya bersama istrinya. Di samping itu, terdapat juga wanita lansia yang duduk di kursi roda. Gurat kusut jelas terpampang nyata pada wajah mereka. “Ada apa ini?” tanya pria itu sembari mendekati gerbang. “Maaf, Pak. Saya akan pastikan penyusup ini berakhir di kantor polisi karena mengganggu kenyamanan Bapak dan sekeluarga,” ucap si satpam sembari meringkus tangan sang wanita. “O-om Hendra! Tolong Dara!” panggil wanita itu susah payah membuat sang empunya mematung sejenak. “T-tunggu!” seru pria itu membuat satpam itu segera melepaskan tahanannya. “Kamu ... beneran Dara?” lirih Hendra sembari mengamati tubuh kurus yang menyentil simpatinya. Masih setengah syok. Pria itu langsung mendekap keponakannya untuk menumpahkan bendungan rindu. “Ma! Dara kembali, Dara pulang, Ma!” seru Hendra antusias membuat istrinya dengan cekatan mendorong kursi roda yang berisi wanita tua. Kedua wanita itu menatap Dara dengan suka cita. Tangis haru tak dapat ditahan jua. Belum sempat mereka saling mengungkap rindu yang terbalaskan temu, sebuah suara merusak suasana haru. “Kenapa pulang?” ucap wanita yang terakhir datang dengan piyama yang melekat di tubuhnya. “Sukma? Ayo kemari! Kamu tidak merindukan anakmu?!” seru lansia itu dengan antusias saat melihat anak semata wayangnya. “Anak?” ucap Sukma sinis, “Saya bahkan lupa pernah melahirkan seorang anak,” cetusnya membuat semua orang menahan napas. Hendra yang semula terharu itu ikut menimpali, “Apa maksudmu, Mbak Sukma? Dia adalah anak kandungmu sendiri–” “Orang yang sudah terang-terangan memberontak karena termakan cinta bodoh, saya tidak sudi mengakuinya sebagai bagian dari Wijayakusuma,” ucap Sukma sambil menyorot tajam putrinya. “Saya kemari bukan untuk kembali pada keluarga ini. Melainkan meminta pertanggungjawaban Anda atas perbuatan sabotase yang Anda lakukan pada bisnis saya. Membuat saya harus menelan pil pahit saat usaha saya menjadi korban eksploitasi ekonomi yang dilakukan suami saya sendiri, sekarang saya harus membayar ganti rugi pada klien,” jelas Dara membuat atmosfer haru itu berubah mencekam. Sukma tertawa mengejek. “Kenapa kamu menyalahkan saya atas kelalaianmu–” “Kenapa Anda ingkar akan janji, untuk tak mencampuri hidup saya lagi?” potong Dara membuat Sukma mendengus. “Tidak perlu saling menyalahkan! Kejadian di masa lalu murni karena kalian kurang komunikasi,” ucap wanita tertua keluarga Wijayakusuma menengahi. “Sekarang Dara sudah kembali, biarkan dia melanjutkan tugasnya sebagai pewaris satu-satunya Wijayakusuma–” “Ma! Apa-apaan ini?! Dia sendiri yang sudah memutuskan keluar dari Wijayakusuma dan memilih memperjuangkan cinta bodohnya!” seru Sukma tak setuju atas dekret ibunya. Sedang sepasang suami istri di sana, hanya harap-harap cemas menunggu keputusan akhir untuk keponakan tersayang mereka. “Jika kamu lupa, Sukma. Mamalah pemegang keputusan tertinggi di keluarga ini!” Sang lansia menjalankan tugasnya sebagai penengah “Sudahi keegoisan itu, Sukma! Semua orang pernah salah, kamu pun juga. Apa mama mengusirmu? Apa mama memutuskan hubungan denganmu? Tidak! Mama membiarkan kamu bebas, lalu saat kamu sadar, mana menerimamu dengan tangan terbuka. Membiarkanmu mengevaluasi sendiri semua keputusan yang sudah kamu ambil,” tutur lansia itu dengan kelembutan. Sadar jika seorang Sukma Wijayakusuma tinggi egonya. Sukma yang merasa terpojok segera pergi dengan amarah yang bergumul. “Tinggallah di sini, Dara,” kata lansia itu yang diangguki kedua paman dan bibinya. Tidak! Ini benar-benar di luar rencananya. Harusnya ia meminta sejumlah kompensasi pada ibunya. Setengahnya bisa untuk menunaikan kewajibannya pada klien. Sisanya, ia gunakan untuk memulai semuanya dari awal. Belum sempat lisan Dara menjawab, sang nenek kembali menyela, “Dara ... Oma tahu kamu tidak akan menolaknya, kamu pasti merasa bersalah meninggalkan kami dan ingin menebusnya. Lagi pula, tidak mungkin kamu kemari hanya untuk meminta uang, kemudian pergi lagi, kan?” tanya lansia itu dipenuhi siasat agar Dara tak sanggup menolak. Deg! Bagus! Dara merasa tercekik saat melihat wajah penuh harap Omanya. “I-iya Oma,” jawab Dara pasrah. Tak punya keberanian menolak setelah semua pemberontakannya. Sial! Apa ia punya pilihan lain? Setelah ini, akan jadi bagaimana kehidupannya? Ah! Tapi ada satu hal yang menarik. Jika ia kembali memiliki kuasa, ia bisa melakukan ... balas dendam."K-kok pak Sagara ...,""Mereka sering bertemu?""A-ah, nyonya Sera memang sangat dekat dengan keluarga Adikara, apalagi dengan nyonya Rissa. Nyonya Sera adalah sahabat kecil pak Sagara,""Maksudmu ... sahabat yang akhirnya menjadi sepasang kekasih?""Mari, sepertinya pak Sagara sudah menunggu,""Hai, Dara,""Wow! Ternyata ini kegiatan akhir pekanmu, Sagara? Kamu mengajak kekasihmu untuk berkencan di rumah, di saat tak ada anggota keluarga di sini?""Sera ...,""Tak masalah, Pak. Saya paham akan maksud nyonya Sera, lagi pula semua orang pun pasti tahu hanya dengan sekali lihat, kita tak sedekat itu,""Tampaknya atmosfer di antara kalian terasa sangat buruk, kalau begitu saya pamit undur diri dulu,""Ada perlu apa kamu ke mari, Dara?""Saya ingin mengembalikan barang yang kapan hari pak Sagara pinjamkan kepada saya,""Silakan duduk," "Padahal sebenarnya kamu tak perlu mengembalikannya,""Tolong jangan berbicara demikian, Pak. Barang 'ini' bukan milik saya, mau saya menyimpannya di lema
"Apa yang sebenernya terjadi pada kamu, Sagara?""Kamu gila? Kamu mengharapkan seorang wanita yang sudah menikah?""Dan setelah itu berani-beraninya kamu mengatakan kalimat cinta menjijikkan itu kepadaku, kamu menganggapku sekedar pelarian?""Kamu benar-benar bajingan yang tak tahu diri, kamu brengsek!""Nona Dara?""Ya? Masuk saja, Mbak!""Taruh saja di sana, Mbak. Terima kasih sudah mencucikan baju saya,""Eh, tunggu!""Ya, Nona Dara? Ada yang bisa saya bantu?""Ini baju siapa?""Loh? Bukan baju Non Dara? Saya ingat ini di keranjang untuk baju kotor yang berasal dari kamar Non Dara,""I-iya itu baju saya," "Silakan teruskan pekerjaan kamu,""Sial, aku sudah berjanji akan mengembalikannya," "Kenapa Sagara jahat sekali? Dia memberikan baju belasan mantannya yang udah ditolak kepadaku? Hanya karena keadaanku saat itu benar-benar mengenaskan, bukan berarti dia bisa merendahkanku dengan cara seperti itu,""Ini hari libur, kamu mau keluar lagi?""Maaf, Ma,""Bukan begitu maksud mama, Dara
“Halo?” “Mama masih di kantor?”“Hm, sebentar lagi mama mau pulang, Dara. Kamu di mana?”“Aku juga masih di kantor,”“Terus? Ada perlu apa sama mama?”“Sepertinya ... nanti aku tidak bisa bergabung bersama kalian dalam acara memasak,”“Kenapa memangnya? Kamu tidak suka bereksperimen bersama kami?”“Ah! Bukan begitu, Ma. Masalahnya aku baru ingat kalau hari ini ada sebuah janji,”“Janji? Bersama klien?”“T-tidak, sebenarnya ini hanya janji makan siang saja, akan tetapi, temanku ini seorang publik figur yang jarang pulang ke tanah air. Jadi, aku merasa harus meluangkan waktuku untuk bertemu dan bertukar kabar dengannya,”“Teman kamu sekarang banyak sekali, ya? Mama saja tidak pernah berkumpul dengan teman-teman Mama gara-gara sibuk. Tapi tidak apa-apa. Asalkan kami baik-baik mama tentu akan mengizinkan. Nanti mama akan jelaskan pada tante Rissa,”“Terima kasih, Ma!”“Hm, mama sempat berpikir kamu akan bertemu Sagara, loh,”“Maksudnya?”“Tadi Sagara juga izin tidak ikut eks
"Delion! Jangan melihatnya! Apakah kamu tidak berdosa menikmati milik wanita lain di saat kamu sendiri punya istri?" "Cih! Kamu berharap aku tertarik dengan milik bidadari vintage itu? Istriku lebih baik dari segala aspek," "Aku bahkan tak berani menggunakannya untuk berfantasi." "Kupikir ... semua pria akan birahi salahkan disuguhi ketelanjangan," "Umumnya memang begitu, tapi bukan berarti tidak ada beberapa pria yang menolaknya. Lagi pula, jangan meragukan keprofesionalanku. Sebelum ini, aku bahkan pernah bersembunyi di bawah kolong ranjang pasangan yang sedang memadu kasih," "Dasar gila!" "Ya, memang segila itu dunia investgasi." "Ngomong-ngomong, Dara. Akan kamu gunakan untuk apa bukti ini?" "Bukan untuk apa-apa. Aku hanya ingin membuktikan sendiri bagaiman gilanya Sri Rahmi," "Lihat? Mereka semakin liar sja," "Pernahkah ... kakak berfantasi kepada pria lain, kecuali aku dan suami kakak? Ohh! Emhh!" "Pernah ... banyak sekali pria-pria muda yang menjadi objek fantasiku
“Delion?”“Hm,”“A-apa aku salah lihat?“Tidak, memang itulah kenyataannya, Dara.”“As-hmmph!”“Hmphmph! Lepas!”“Kamu gila! Apa yang kamu lakukan, Sialan!”“Mulutmu!” “ Bisakah kamu mengendalikan muncungmu itu? Bagaimana kalau kita ketahuan!”“Hei, cecunguk! Apa kamu lupa kalau mobil kita kedap suara dan tidak tembus pandang?”“O-oh, maaf,”“Sial! Kamu merusak moodku!”“Lah? Kenapa malah menyalahkanku? Dari awal, kan memang suasana hatimu sudah buruk. Ingat! Kamu sendiri yang sudah memaksa untuk ikut,”“Memangnya salah kalau aku mau ikut?”“Tidak salah! Yang slah adalah Sagara karena membuatmu patah hati—”“Jangan menyebut namanya!”“Nah, kan! Penyebab utama moodmu rusak karena hubungan kalian. Aih! Gara-gara kamu galau malah mengajak ribut satu dunia,”“Sudahlah! Kita fokus saja menyelidiki Sri Rahmi!”“Loh? Ke mana dia?”“Cih! Gara-gara bertengkar, kita malah kehilangan jejaknya!”“Mungkin—”Brak!“Astaga!”“Delion! Itu—”“Syutt! Kita tak perlu mencari-cari m
Dara terburu-buru menuruni tangga dengan wajah polosnya. Begitu membaca pesan dari Delion Sunarija, Dara mempercepat tempo langkahnya. Sebuah setelan serba hitam yang dipakainya berhasil membuat Sukma Wijayakusuma mengernyit melihat keanehan outfitnya.“Kamu mau ke mana, Dara?” tanya ibu satu anak itu sembari mengamati anaknya dengan alis berkerut. Ini sudah malam hari, kira-kira ke mana anaknya akan pergi?Dara terdiam sejenak sebelum berbalik menghadap ibunya. “Aku ada kepentingan dengan teman, Ma."Sukma menyangga wajahnya dengan tangan. Ia pandangi sang putri yang tengah meremas ujung pakaian itu dengan pandangan tertarik. “Teman? Apakah itu Sagara?” “Tidak mungkin!” Dara terlonjak ketika mendengar suara menyentak yang berasal dari belakangnya. Ketika menoleh ia mendapati wajah sang paman yang terpampang nyata.“Om kenapa, sih?! Datang-datang main menyelonong saja!" sewot Dara dengan wajah garangnya. Perempuan itu memilih duduk di dekat ibunya sembari mengecek ponselnya.Hendra