Atmosfer butik benar-benar kacau, beberapa baju yang sudah rusak berceceran itu semakin menyemarakkan suasana genting di sana. Dara memegangi perutnya yang terasa mulas dihadapkan dengan situasi ini.
“Cium kaki saya, maka saya akan pertimbangkan untuk menjualnya atau tidak!” ulang sang mertua yang berhasil menyadarkan Dara bahwa kejadian ini bukan mimpi buruk semata. Para pelanggan sudah pulang karena butik ditutup mendadak agar informasi ini tak menyebar ke pihak luar dan mencemarkan nama baik butik. Kini, hanya tersisa Dara beserta karyawannya dan satu keluarga yang saat ini terus merongrongnya. Mertuanya mencebik, “Kamu tidak mau, Dara? Kalau begitu silakan angkat kaki dari sini–” “Saya mau! Saya akan lakukan apa pun!” sela Dara yang direspons dengan senyum puas satu keluarga itu. Dara melepaskan tangan asistennya yang mencoba menahannya. Matanya menyorot seluruh karyawannya dengan pilu. Hatinya dengan teguh meyakinkan bahwa inilah satu-satunya cara agar butik ini tak lepas dari genggamannya, meskipun akhirnya ia harus merelakan harga dirinya diinjak-injak. “Bantu saya melakukannya,” pinta Dara membuat sang asisten berkaca-kaca. Dengan sedikit meringis, Akhirnya Dara berhasil bersimpuh di hadapan sang mertua. Tangannya yang setengah berguncang itu memeluk kaki mertuanya yang berbalut gamis. Tanpa bisa dicegah, air mata di pelupuknya langsung terjun bebas. “Kamu hanya akan diam saja, Dara? Tidak mau meminta maaf atas semua kesalahanmu selama ini? Kamu tidak mau butik ini dijual, kan?” cibir ibu mertuanya membuat Dara mendongak sampai sang mertua bisa melihat wajah sembabnya. “S-saya mengaku salah. Tolong maafkan semua kesalahan saya selama ini–” “Kesalahan apa, Dara? Kamu harus sebutkan semuanya dengan jelas,” pancing wanita yang sedang dimintai ampunan itu. Melihat wajah putus asa sang menantu adalah kesenangan tersendiri baginya, mendorongnya untuk terus mempermainkan harga diri sang menantu. Dara mengepalkan tangannya atas pernyataan sang mertua yang semakin menghancurkan harga dirinya. “Ibu, tolong maafkan semua kesalahan saya, selama menjadi menantu saya membangkang,” mohonnya sambil memeluk kaki sang mertua. “Bu, permintaan maaf itu tidak cukup. Dia juga punya kesalahan pada saya,” sela Indri tampak tak mau ketinggalan menambah klimaks. Wanita hamil itu mengelus perutnya dengan iba. “Waktu itu ... Dara pernah mengatai saya merebut suaminya, padahal yang saya lakukan bertujuan meneruskan keturunan keluarga kita. Saya tidak rela dihina sebagai perebut suami orang,” katanya sembari mengusap sudut matanya yang sedikit basah. Dara menggeram marah. Seandainya sekarang ia tak dalam kondisi seperti ini, ia bersumpah akan menamparnya bolak-balik sampai mati. “Dara,” panggil sang mertua sembari menyentuh pipi menantunya. Sekarang keduanya sudah sejajar, dan ia bisa melihat dengan jelas wajah menantunya. “Kamu dengar itu? Indri bilang, dia mau kamu meminta maaf. Tidak usah muluk-muluk. Cukup akui saja kalau semua yang terjadi di pernikahanmu, itu adalah akibat atas kemandulanmu,” cetusnya membuat Dara tersentak. Demi Tuhan! Kalimat itu adalah yang paling menyakitkan baginya. Membenarkan perselingkuhan suaminya, kemudian meletakkan semua kesalahan padanya. Setelah berhasil mengendalikan gejolak amarahnya, Dara merangkak kemudian meraih kaki Indri. “Aku meminta maaf, Ndri. Atas semua hinaan itu, aku sadar kalau pernikahanku hancur bukan karena kamu, tapi karena aku ...,” Dara terisak hebat, “... Aku mandul,” lirihnya sembari menggigit bibirnya agar suara tangisan itu tak serta-merta lolos dari bibirnya. “Bagus! Sekarang kamu bisa pergi,” tukas Indri membuat Dara memandang ibu mertuanya penuh harap. “Tapi, butik ini ... tidak jadi di jual, kan?” tanya Dara dengan matanya yang sedikit berbinar. Sang mertua tampak mendengus jijik. “Percaya diri sekali kamu. Tadi, kan saya sudah bilang, akan mempertimbangkannya setelah melihat sikap kamu. Sayangnya saya tidak tersentuh akan permintaan maaf kamu–” Dara buru-buru kembali bersimpuh. “Tolong jangan! Saya benar-benar akan menuruti semua perintah ibu! Saya akan mencium kaki ibu dan kalian semua, saya tidak akan mengambil rumah–” Ibu mertuanya tampak menggosok telinganya yang terasa panas. “Saya akan berbaik hati memberikan isi butik ini padamu. William! Suruh orang-orang itu memberesi semua barang-barang ini sampai bersih tak tersisa!” perintahnya yang langsung disanggupi sang anak. Dara meraung-raung di dalam kungkungan sang asisten, ketika melihat satu persatu barangnya dikeluarkan para karyawan atas ancaman sang suami. Badannya yang lemas tak bertenaga itu menatap nanar saat papan mana butiknya diturunkan paksa oleh ayah mertuanya. Tangan kurusnya memegangi perut yang kembali terasa perih. Ini sakit. Dua kata itu seakan menyadarkannya bahwa apa yang terjadi ini benar-benar bukan mimpi semata. Dara mengusap sisa-sisa air matanya setelah para karyawannya kembali dengan raut murung. Ia sadar, di sini bukan hanya dirinya saja yang sedih. Apalagi sebagai pemimpin, ia bertanggung jawab atas kelangsungan hidup karyawannya. Dipandanginya satu persatu wajah yang selama beberapa tahun belakangan ini menemaninya. "Mbak, kita masih punya tanggungan sama klien," adu asistennya pada Dara. “Berapa jumlahnya?” tanyanya setelah merasa bisa menguasai gejolak emosi. Mencoba berdiri tegak, mau tak mau, Dara harus mengambil keputusan tegas karena ini menyangkut nasib karyawannya. “11, Mbak. 4 lainnya sudah jadi dan siap diambil, sedangkan sisanya baru berkonsultasi tapi sudah bayar DP,” jelas si asisten dengan lesu dan direspons dengan anggukan pasrah oleh atasannya. “Bagaimana kalau kita jual saja semua bahan kita, Mbak?” usul salah seorang karyawan. “Boleh saja, tapi itu tidak menjamin cepat laku. Sedangkan kita butuh uang cepat. Di rekening pribadi saya ada sedikit, masih bisa mengcover seperempat uang DP mereka. Sisanya akan saya usahakan,” ujarnya sembari memijit pelipis saat menyadari hanya ada tiga lembar ratusan di dompetnya untuk dirinya sendiri. Dara mengambil rekening pendapatan butik dari tumpukan berkas-berkas yang teronggok. Ia menghela napas saat melihat jumlahnya. Sangat pas-pasan jika digunakan untuk menggaji karyawannya. Pasalnya bulan lalu, butiknya melakukan promosi besar-besaran untuk memperluas pangsa pasar melalui pagelaran busana yang membutuhkan banyak persiapan dana. Belum lagi, bulan ini pendapatannya juga menurun. “Kalau ini dari rekening pendapatan kita. Saya rasa ini cukup untuk gaji bulan ini beserta pesangon kalian,” ucap Dara sembari memberikan rekening itu pada asistennya. “Terus, bagaimana nasib Mbak?” tanya asistennya dengan berkaca-kaca. Bertahun-tahun bekerja dengan Dara, ia tahu jika Dara tak memiliki keluarga di sini. Dara menutup dompetnya dan mencoba menampilkan senyum tegarnya. “Tidak perlu khawatirkan saya, kalian hanya perlu melaksanakan tugas terakhir itu, saya pastikan akan mengirimkan uang itu secepatnya. Seandainya kalian mau jual semua bahan ini, silakan. Saya akan pergi sekarang untuk menemui kenalan, jaga diri baik-baik dan semoga kalian semua sukses,” pamitnya sembari memeluk satu persatu karyawannya sebagai salam perpisahan. Setelah menghentikan taksi, tubuh ringkihnya yang hampir tersapu angin itu dibantu karyawannya yang tersedu-sedu untuk memasuki taksi. “Mau ke mana, Mbak?” tanya sang sopir sebelum akhirnya mendapat secarik kertas dari penumpangnya. “Wah! Ini, kan, salah satu kompleks perumahan elite yang terkenal, berarti Mbaknya orang berada, ya?” kata sang sopir setelah membacanya. Dara hanya tersenyum miris mendengarnya."K-kok pak Sagara ...,""Mereka sering bertemu?""A-ah, nyonya Sera memang sangat dekat dengan keluarga Adikara, apalagi dengan nyonya Rissa. Nyonya Sera adalah sahabat kecil pak Sagara,""Maksudmu ... sahabat yang akhirnya menjadi sepasang kekasih?""Mari, sepertinya pak Sagara sudah menunggu,""Hai, Dara,""Wow! Ternyata ini kegiatan akhir pekanmu, Sagara? Kamu mengajak kekasihmu untuk berkencan di rumah, di saat tak ada anggota keluarga di sini?""Sera ...,""Tak masalah, Pak. Saya paham akan maksud nyonya Sera, lagi pula semua orang pun pasti tahu hanya dengan sekali lihat, kita tak sedekat itu,""Tampaknya atmosfer di antara kalian terasa sangat buruk, kalau begitu saya pamit undur diri dulu,""Ada perlu apa kamu ke mari, Dara?""Saya ingin mengembalikan barang yang kapan hari pak Sagara pinjamkan kepada saya,""Silakan duduk," "Padahal sebenarnya kamu tak perlu mengembalikannya,""Tolong jangan berbicara demikian, Pak. Barang 'ini' bukan milik saya, mau saya menyimpannya di lema
"Apa yang sebenernya terjadi pada kamu, Sagara?""Kamu gila? Kamu mengharapkan seorang wanita yang sudah menikah?""Dan setelah itu berani-beraninya kamu mengatakan kalimat cinta menjijikkan itu kepadaku, kamu menganggapku sekedar pelarian?""Kamu benar-benar bajingan yang tak tahu diri, kamu brengsek!""Nona Dara?""Ya? Masuk saja, Mbak!""Taruh saja di sana, Mbak. Terima kasih sudah mencucikan baju saya,""Eh, tunggu!""Ya, Nona Dara? Ada yang bisa saya bantu?""Ini baju siapa?""Loh? Bukan baju Non Dara? Saya ingat ini di keranjang untuk baju kotor yang berasal dari kamar Non Dara,""I-iya itu baju saya," "Silakan teruskan pekerjaan kamu,""Sial, aku sudah berjanji akan mengembalikannya," "Kenapa Sagara jahat sekali? Dia memberikan baju belasan mantannya yang udah ditolak kepadaku? Hanya karena keadaanku saat itu benar-benar mengenaskan, bukan berarti dia bisa merendahkanku dengan cara seperti itu,""Ini hari libur, kamu mau keluar lagi?""Maaf, Ma,""Bukan begitu maksud mama, Dara
“Halo?” “Mama masih di kantor?”“Hm, sebentar lagi mama mau pulang, Dara. Kamu di mana?”“Aku juga masih di kantor,”“Terus? Ada perlu apa sama mama?”“Sepertinya ... nanti aku tidak bisa bergabung bersama kalian dalam acara memasak,”“Kenapa memangnya? Kamu tidak suka bereksperimen bersama kami?”“Ah! Bukan begitu, Ma. Masalahnya aku baru ingat kalau hari ini ada sebuah janji,”“Janji? Bersama klien?”“T-tidak, sebenarnya ini hanya janji makan siang saja, akan tetapi, temanku ini seorang publik figur yang jarang pulang ke tanah air. Jadi, aku merasa harus meluangkan waktuku untuk bertemu dan bertukar kabar dengannya,”“Teman kamu sekarang banyak sekali, ya? Mama saja tidak pernah berkumpul dengan teman-teman Mama gara-gara sibuk. Tapi tidak apa-apa. Asalkan kami baik-baik mama tentu akan mengizinkan. Nanti mama akan jelaskan pada tante Rissa,”“Terima kasih, Ma!”“Hm, mama sempat berpikir kamu akan bertemu Sagara, loh,”“Maksudnya?”“Tadi Sagara juga izin tidak ikut eks
"Delion! Jangan melihatnya! Apakah kamu tidak berdosa menikmati milik wanita lain di saat kamu sendiri punya istri?" "Cih! Kamu berharap aku tertarik dengan milik bidadari vintage itu? Istriku lebih baik dari segala aspek," "Aku bahkan tak berani menggunakannya untuk berfantasi." "Kupikir ... semua pria akan birahi salahkan disuguhi ketelanjangan," "Umumnya memang begitu, tapi bukan berarti tidak ada beberapa pria yang menolaknya. Lagi pula, jangan meragukan keprofesionalanku. Sebelum ini, aku bahkan pernah bersembunyi di bawah kolong ranjang pasangan yang sedang memadu kasih," "Dasar gila!" "Ya, memang segila itu dunia investgasi." "Ngomong-ngomong, Dara. Akan kamu gunakan untuk apa bukti ini?" "Bukan untuk apa-apa. Aku hanya ingin membuktikan sendiri bagaiman gilanya Sri Rahmi," "Lihat? Mereka semakin liar sja," "Pernahkah ... kakak berfantasi kepada pria lain, kecuali aku dan suami kakak? Ohh! Emhh!" "Pernah ... banyak sekali pria-pria muda yang menjadi objek fantasiku
“Delion?”“Hm,”“A-apa aku salah lihat?“Tidak, memang itulah kenyataannya, Dara.”“As-hmmph!”“Hmphmph! Lepas!”“Kamu gila! Apa yang kamu lakukan, Sialan!”“Mulutmu!” “ Bisakah kamu mengendalikan muncungmu itu? Bagaimana kalau kita ketahuan!”“Hei, cecunguk! Apa kamu lupa kalau mobil kita kedap suara dan tidak tembus pandang?”“O-oh, maaf,”“Sial! Kamu merusak moodku!”“Lah? Kenapa malah menyalahkanku? Dari awal, kan memang suasana hatimu sudah buruk. Ingat! Kamu sendiri yang sudah memaksa untuk ikut,”“Memangnya salah kalau aku mau ikut?”“Tidak salah! Yang slah adalah Sagara karena membuatmu patah hati—”“Jangan menyebut namanya!”“Nah, kan! Penyebab utama moodmu rusak karena hubungan kalian. Aih! Gara-gara kamu galau malah mengajak ribut satu dunia,”“Sudahlah! Kita fokus saja menyelidiki Sri Rahmi!”“Loh? Ke mana dia?”“Cih! Gara-gara bertengkar, kita malah kehilangan jejaknya!”“Mungkin—”Brak!“Astaga!”“Delion! Itu—”“Syutt! Kita tak perlu mencari-cari m
Dara terburu-buru menuruni tangga dengan wajah polosnya. Begitu membaca pesan dari Delion Sunarija, Dara mempercepat tempo langkahnya. Sebuah setelan serba hitam yang dipakainya berhasil membuat Sukma Wijayakusuma mengernyit melihat keanehan outfitnya.“Kamu mau ke mana, Dara?” tanya ibu satu anak itu sembari mengamati anaknya dengan alis berkerut. Ini sudah malam hari, kira-kira ke mana anaknya akan pergi?Dara terdiam sejenak sebelum berbalik menghadap ibunya. “Aku ada kepentingan dengan teman, Ma."Sukma menyangga wajahnya dengan tangan. Ia pandangi sang putri yang tengah meremas ujung pakaian itu dengan pandangan tertarik. “Teman? Apakah itu Sagara?” “Tidak mungkin!” Dara terlonjak ketika mendengar suara menyentak yang berasal dari belakangnya. Ketika menoleh ia mendapati wajah sang paman yang terpampang nyata.“Om kenapa, sih?! Datang-datang main menyelonong saja!" sewot Dara dengan wajah garangnya. Perempuan itu memilih duduk di dekat ibunya sembari mengecek ponselnya.Hendra