Share

Bab 2 - Lenguhan Panjang

Author: Anidania
last update Last Updated: 2025-08-09 11:06:49

Itu gerakan yang sama. Yang dia lakukan padaku saat dia bilang aku satu-satunya wanita di hatinya. Saat dia bilang cinta tak akan berubah. Tapi sekarang, semua itu dia bagikan … pada orang lain. Pada keluarganya sendiri.

Aku berdiri mematung, dadaku naik-turun menahan amarah dan luka secara bersamaan. Tapi bibirku tak mampu mengeluarkan satu kata pun. Mataku mulai panas melihat adegan yang begitu menjijikan. Aku ingin berteriak! Ingin marah pada mereka, tapi ... aku tak memiliki tenaga. Aku hancur. Aku hancur!

"Mas ... lebih dalam ...," desahan Nesya mengiris gendang telingaku seperti pecahan kaca, tanganya menggelayut pada tengkuk suamiku dan kakinya mengapit badan suamiku, lidah mereka saling beradu satu sama lain, bertukar saliva tanpa merasa bersalah.

Seakan menuruti permintaannya, suamiku menggerakkan badannya lebih cepat, ia memompa miliknya begitu semangat seakan ini menjadi permainan terakhir untuk mereka, "Kamu milikku malam ini … eh, pagi ini," ia terkekeh lalu menghentakkan sekali, lebih dalam.

“Mas- ah ... aku nggak kuat!” desah Nesya membusungkan badannya, tangannya menarik tengkuk suamiku, lalu menyambar bibir dengan rakus, sementara satu tangannya mengarahkan tangku untuk meremas gundukkan miliknya.a

Suamiku semakin menekan miliknya, menenggelamkan pusakanya yang seharunya hanya untukku ... kini mempunyai rumah baru, yang lebih indah? Perempuan yng msih memnggilku dengan panggilan ‘Mbak’.

“Mas Alvin! A-aku ke-luar!” teriak Nesya seolah tak bisa menahan gelombang kenikmatan pada dirinya.

“Bareng, Nes!” jawab suamiku. “Argh!” desahnya puas, badannya limbung di atas badan Nesya dengan napas yang tak beraturan.

Sementara aku? Hanya mampu menatap kenikmatan yang mereka rasakan dengan ... air mata yang mengalir deras. Aku mengalihkan pandangan begitu melihat suamiku mengeluarkan kepuasannya pada wanita lain. Rasanya ... hatiku tercabik oleh ribuan belati tajam secara bersamaan. Sakit sekali.

Aku tak tahu mana yang lebih menyakitkan—melihat mereka bercumbu, atau menyadari bila aku tak cukup berarti untuk hadir menemani sisa hidupnya, bahkan ketika aku berdiri di sini dan menyaksikan semuanya, ia masih tak menyadarinya.

Aku tak tahu bagaimana caranya kakiku bisa berdiri tegak melihat semuanya. Mungkin karena tubuhku masih menolak percaya dengan apa yang dilihat mata. Atau mungkin hatiku yang sudah terlalu kebal untuk merasakan hancur… karena ini bukan kali pertama aku dikhianati—tapi kali ini paling menghancurkan.

 “Aku nggak percaya…” bisikku, nyaris tanpa suara.

Tanganku masih menggenggam kantong belanjaan yang sekarang sudah gemetar hebat. Buah tomat di dalamnya bergeser, jatuh dan menggelinding hingga menyentuh ambang pintu. Suara gedebuk kecil itu akhirnya membuat mereka sadar.

Suamiku menoleh, wajahnya pucat seketika begitu melihatku. Mata kami bertemu, tapi dia tak langsung bicara. Tak ada penyesalan di matanya, hanya keterkejutan. Lalu berusaha menutupi rasa paniknya.

Nesya menyusul dengan menoleh ke arahku, rambutnya berantakan, napasnya masih memburu. Dan saat mata kami bertemu, yang kulihat bukan rasa bersalah … tapi kemenangan. Seolah-olah dia memang ingin aku melihat ini.

“Kamu … pulang?” suara suamiku terdengar lemah. Ia buru-buru menarik selimut, seolah itu bisa menghapus semuanya. Tapi telat ... aku bahkan sudah melihat semuanya.

Aku tak menjawabnya, tak ingin lebih tepatnya. Aku hanya menatapnya—mataku perih, dadaku panas. Tapi suaraku hilang. Hanya batinku yang berani berteriak.

“Oh, kamu udah pulang, Mbak?” suara Nesya terdengar ringan, seolah aku baru pulang dari liburan dan dia cuma minum teh pagi.

"Bagaimana bisa? Kita tidur di ranjang yang sama setiap malam. Kita bicara tentang masa depan, tentang anak. Dan sekarang … kamu seperti ini? Dengan dia? Di rumah ini?" pertanyaan yang hanya bisa terucap di batinku.

Aku menatap mereka dalam diam. Mataku panas, tapi tak setetes pun air mata keluar. Luka ini terlalu dalam untuk ditangisi.

“Jadi ini, ya? Ini yang kalian sembunyikan. Sementara aku mencuci baju kalian, masak untuk kalian, berdoa kalian bahagia di rumah ini…”

“Sayang, aku—ini nggak seperti yang kamu kira …,” ucap suamiku berusaha meraih celananya di samping ranjang.

Aku menelan ludah dengan susah payah, “Nggak seperti yang aku kira?” suaraku terdengar serak. “Aku ngeliat, Mas. Aku denger. Aku … aku nyium baunya. Sama seperti waktu kamu abis ngelakuin sama aku. Sama persis,” jawabku tertatih.

Aku mendekap diriku sendiri, “Kamu tahu nggak,” bisikku sambil menahan tangis, “setiap malam aku selalu berdoa biar kamu bisa pulang lebih cepet. Aku nyiapin kamu makan, nyetrika bajumu, bahkan nyiapin baju buat Nesya karena aku nggak mau dia malu tinggal di sini. Tapi ternyata yang paling bodoh itu … aku.”

Kakiku tak kuat lagi untuk sekedar berdiri. Aku tak kuat lagi menahannya. Aku mundur dengan perlahan, melangkah dengan perlahan walaupun langkahku terasa goyah. Tanganku melepas kantong belanjaan begitu saja, membuat tomat-tomat berguling di lantai seperti saksi bisu pengkhianatan ini.

“Kamu tega banget, Mas,” bisikku menggelengkan kepala.

Langkahku menghantam lantai seperti irama jantungku yang berdetak kacau. Nafasku tersengal, pandanganku semakin kabur. Air mataku tak tahu harus jatuh ke mana—terlalu penuh untuk bisa kurasakan. Aku ingin pergi sejauh mungkin dari rumah ini. Dari ranjang itu. Dari mereka.

"Safira!" teriak Mas Alvin dari dalam kamar, dan di saat yang bersamaan, ibu mertua muncul dari kamarnya. "Dengerin penjelasan aku dulu!"

"Ada apa ini?!!" suara ibu mertua menggema dari kamarnya dan membuatku tersentak dan menghentikkan langkah begitu saja.

Aku menunjuk ke arah kamar tamu dengan gemetar, "M-mas Al-vin ... Ne-sya," ucapku tergagap.

Ibu mertua mengikuti arah jariku, lalu menudingku kasar. "Kamu ini perempuan nggak tahu diri! Udah dikasih tumpangan di rumah ini, masih berani-beraninya bikin ribut! Apa kamu mau nyebarin aib keluarga kamu sendiri?! Kamu mau nyebarin aib suami kamu? Iya?!"

Aku menundukkan kepala, sementara mataku terpejam mendengar kalimat pedas yang dilontarkan ibu mertua. "Bu … saya—"

"Diam!" bentaknya dengan lantang, membuat badanku tersentak. "Dari dulu saya nggak pernah suka sama kamu! Sok-sokan jadi istri baik, sok ngurusin rumah … tapi apa? Anak saya tetap sengsara hidup sama kamu! Pantes aja kalo Alvin cari kebahagiaan lain dan kamu nggak boleh nyalahin itu!"

Kata-kata yang dilontarkannya bagai cambuk yang  berhasil mencabik-cabik hatiku. Aku menoleh ke arah kamar dan mendapati Mas Alvin yang tengah berdiri dengan hanya mengenakan celana, aku menatapnya lekat, berharap ia akan membelaku seperti biasa. Tapi, kali ini Mas Alvin hanya terdiam, wajahnya pucat, dan tatapannya seakan menghindariku.

Aku memejamkan mataku, menahan air mata yang semakin deras meluncur, sementara tatapanku mengarah pada ibu mertua yang tiba-tiba meraih selembar kertas., lalu melemparnya ke arahku, hingga jatuh tepat di kakiku.

Aku menunduk, mencoba membaca tulisan yang tertera di atasnya. "A-akta cerai…" gumamku lirih.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 7 - Rumah Kedua

    Ayahnya kini sudah berdiri tepat di depan kami. Sorot matanya begitu menusuk, aura dinginnya membuatku semakin sulit bernapas. “Lepaskan dia,” perintahnya dengan suara rendah.Tanganku terayun di udara, sementara bibirku hendak merespon ucapanya, tapi Kenzo lebih dulu menjawabnya, “Nggak! Aku nggak mau! Aku takut kalau Mommy pergi lagi … Aku nggak bakal lepasin!”Ayahnya menarik napas berat, rahangnya terlihat semakin mengeras, jelas ia tengah menahan sesuatu di dalam dadanya. Tangannya terulur, hendak memisahkan kami dengan paksa. Namun, begitu jemarinya menyentuh bahu kecil Kenzo, bocah itu kembali menjerit histeris, memelukku lebih erat lagi, seolah tubuh mungilnya menolak disentuh siapa pun kecuali aku. “Nggak! Aku mau Mommy!”Aku semakin terpaku dibuatnya, otakku seakan tak bisa mencari jalan keluar dari situasi ini, mataku hanya bisa menatap balik tatapan dingin pria itu, sementara hatiku sendiri semakin diremuk oleh tangisan anak kecil yang bahkan baru saja kukenal.Tanganku te

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 6 - Aku Mau Mommy!

    “A-aku … Mommy?” bisikku, bingung, tatapanku menoleh kanan-kiri mencari siapa orangtuanya.Bocah itu… entah kenapa tatapannya begitu menusuk hati, seolah aku benar-benar orang yang ia cari selama ini. “Mommy … jangan tinggalin aku lagi…” rengeknya dengan memeluk pinggangku erat.“Sayang … kamu salah orang …” bisikku pelan, tapi justru kalimat itu berhasil membuat tangisnya pecah semakin keras. Air mataku jatuh tanpa bisa kucegah. Jemariku gemetar saat menyentuh rambut hitamnya yang begitu lebat. “Maafkan Tante, Nak… Tante bukan orang yang kamu cari…,” gumanku dengan suara parau.Tapi bocah itu menggeleng kuat-kuat, tangannya masih menempel erat pada tubuhku, seolah tengah menyampaikan rasa rindunya pada sosok yang ia panggil Mommy. “Enggak! Kamu Mommy! Aku hafal tubuh Mommy! Aku hafal wajah Mommy!”Aku memejamkan mataku sejenak, kata-katanya menusuk begitu dalam, seakan ia benar-benar yakin kalau aku adalah ibunya. Sementara itu, aku hanya bisa berdiri di tengah-tengah mall, memeluk s

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 5 - Mommy?

    Pak Bayu berdeham, lalu terlihat menuliskan sesuatu di sebuah buku besar, setelah beberapa saat, ia mengangguk seraya mengembalikan KTP milikku. “Mulai kerja hari ini, ya. Seragam nanti diambil di gudang. Kamu langsung ikut Bu Ratih dulu, belajar cara kerjanya gimana.”Aku terbelalak, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. “S-sekarang, Pak?” tanyaku terbata.“Ya, sekarang,” ujarnya menganggukkan kepala. “Mall ini sudah mau soft opening besok pagi, jadi kami butuh tenaga tambahan segera buat memastikan pengunjung tetap merasa aman dan nyaman. Kalau kamu bersedia, langsung bisa kerja sekarang juga,” jawabnya dengan tenang, seolah itu hal paling biasa di dunia.Aku menangkupkan tangan di dada, menahan haru yang terus menyerusuk masuk. “Terima kasih banyak, Pak … terima kasih, Bu Ratih …,” ucapku menatap keduanya bergantian.Bu Ratih menepuk bahuku dan tersenyum hangat. “Lihat, Nak? Tuhan nggak pernah tidur untuk membantu setiap hamba-Nya. Jalannya akan selalu ada, bahkan

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 4 - Harapan Baru

    “Nak … kamu kenapa? Kok nangis di sini?” suara lembut seorang ibu paruh baya menembus kabut pilu di hatiku.Aku menoleh pelan ke arahnya, sementara tanganku buru-buru mengusap pipi dan menyeka air mata secepat mungkin. “Saya … baru aja diusir, Bu …” jawabku dengan nada tercekat. “Ak-akta cerai,” tambahku memperlihatkan selembar kertas, satu-satunya barang yang kubawa dari rumah itu.Ibu itu tersenyum samar, lalu menepuk pelan punggungku. “Sabar ya, Nak. Hidup memang kadang nggak adil buat kita. Tapi bukan berarti hidup kamu harus berhenti di sini. Kamu masih muda, masih bisa kerja, dan masih bisa berdiri lagi buat buktiin kalo kamu kuat menghadapi dunia yang nggak adil ini.”Aku menundukkan kepala, menatap kaki yang sudah membawaku melangkah berjam-jam dan jauh dari rumah hingga ke tempat ini. “Tapi saya nggak punya siapa-siapa, Bu. Saya nggak tau harus kemana....”“Kebetulan, di mall tempat Ibu kerja, masih ada lowongan kerja buat office girl. Kerjanya bersih-bersih aja, ringan kok .

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 3 - Akta Cerai

    "Betul!" pekik ibu mertua lantang. "Saya yang udah ngurus semuanya! Mulai hari ini kamu BUKAN lagi istri anak saya! Kamu itu aib bagi keluarga ini, Safira! Dan saya nggak mau satu atap lagi sama orang kayak kamu!" murka ibu mertua tanpa mempedulikan perasaanku.Tubuhku terduduk di lantai yang terasa dingin, serasa semua otot-otot dan tulangku melunak, mataku menatap penuh harap pada ibu mertua. "Bu … to-long … jangan … saya … saya masih istri sah Mas Alvin …," bisikku menahan isak. Rasanya, aku belum siap menghadapi situasi seperti ini seorang diri setelah semua yang aku korbankan untuk keluarga ini.Ibu mertua bertolak pinggang, dan tatapan yang begitu nyalang. "SAH apanya?!" potongnya tak terima. "Kalau Alvin sendiri udah rela tanda tangan cerai dan ngurus semuanya, buat apa kamu masih bertahan di sini?! Harusnya kamu bilang seperti itu ketika dalam persidangan ... tapi, semuanya sudah telat, Safira!"Aku mengerjapkan mataku, menoleh sekali lagi ke arah suamiku, berharap ia memberi

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 2 - Lenguhan Panjang

    Itu gerakan yang sama. Yang dia lakukan padaku saat dia bilang aku satu-satunya wanita di hatinya. Saat dia bilang cinta tak akan berubah. Tapi sekarang, semua itu dia bagikan … pada orang lain. Pada keluarganya sendiri.Aku berdiri mematung, dadaku naik-turun menahan amarah dan luka secara bersamaan. Tapi bibirku tak mampu mengeluarkan satu kata pun. Mataku mulai panas melihat adegan yang begitu menjijikan. Aku ingin berteriak! Ingin marah pada mereka, tapi ... aku tak memiliki tenaga. Aku hancur. Aku hancur!"Mas ... lebih dalam ...," desahan Nesya mengiris gendang telingaku seperti pecahan kaca, tanganya menggelayut pada tengkuk suamiku dan kakinya mengapit badan suamiku, lidah mereka saling beradu satu sama lain, bertukar saliva tanpa merasa bersalah.Seakan menuruti permintaannya, suamiku menggerakkan badannya lebih cepat, ia memompa miliknya begitu semangat seakan ini menjadi permainan terakhir untuk mereka, "Kamu milikku malam ini … eh, pagi ini," ia terkekeh lalu menghentakkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status