"Betul!" pekik ibu mertua lantang. "Saya yang udah ngurus semuanya! Mulai hari ini kamu BUKAN lagi istri anak saya! Kamu itu aib bagi keluarga ini, Safira! Dan saya nggak mau satu atap lagi sama orang kayak kamu!" murka ibu mertua tanpa mempedulikan perasaanku.
Tubuhku terduduk di lantai yang terasa dingin, serasa semua otot-otot dan tulangku melunak, mataku menatap penuh harap pada ibu mertua. "Bu … to-long … jangan … saya … saya masih istri sah Mas Alvin …," bisikku menahan isak. Rasanya, aku belum siap menghadapi situasi seperti ini seorang diri setelah semua yang aku korbankan untuk keluarga ini.
Ibu mertua bertolak pinggang, dan tatapan yang begitu nyalang. "SAH apanya?!" potongnya tak terima. "Kalau Alvin sendiri udah rela tanda tangan cerai dan ngurus semuanya, buat apa kamu masih bertahan di sini?! Harusnya kamu bilang seperti itu ketika dalam persidangan ... tapi, semuanya sudah telat, Safira!"
Aku mengerjapkan mataku, menoleh sekali lagi ke arah suamiku, berharap ia memberi penjelasan, berharap ia akan berkata kalau semua ini tidak benar. Tapi yang kutemukan hanya bibir yang terkatup dengan tangan yang terkepal dengan sepasang mata yang menatap kosong entah kemana, dan itu lebih menghancurkan daripada apapun.
Aku menggenggam akta cerai itu dengan erat, kertasnya bergetar hebat di tanganku. "Bu …. Saya masih istri sah Mas Alvin! Saya masuk ke rumah ini dengan akad yang halal, bukan hasil rebutan orang lain ... bahkan rumah ini saya bangun berdua dengan Mas Alvin. Kalau memang Mas Alvin berkhianat, biar Tuhan yang menjadi saksi. Tapi saya nggak akan pergi seenaknya hanya karena Ibu nggak suka sama saya!" ujarku mencoba mempertahankan diri.
"PEREMPUAN NGEYEL!" teriaknya membuatku mengalihkan wajah. "Kamu nggak pantas berada di rumah ini! Kamu nggak pantas pegang apapun dari keluarga ini!" bentaknya lagi. "Dasar nggak tau diri!"
Aku kembali terdiam, nafasku tercekat. Jemariku bergetar saat kutatap kertas bertuliskan AKTA CERAI itu—bukti sah yang seharusnya mustahil ada tanpa sepengetahuanku, tetapi, surat yang bahkan tak pernah ada di mimpiku itu, kini berada di genggamanku.
“Mas … ka-pan… kapan kamu ngurus ini…?” tanyaku dengan air mata yang nyaris membutakan pandanganku.
“Sejak Nesya ada di sini.”
Aku menggeleng cepat, berulang kali, tak percaya jika ia sudah mengurusnya sejak berbulan-bulan yang lalu, tanpa sepengetahuanku. “Nggak … nggak mungkin … Mas kamu bohong kan? Mas nggak mungkin tega ngelakuin ini di belakangku … apalagi waktu itu aku masih berjuang demi rumah tangga kita … dan kita masih ngerencanain kehamilan aku kan, Mas?”
“Cukup, Safira,” jawabkua lirih dengan memalingkan wajahnya dariku, seakan tak sanggup atau tak mau menatapku lagi. “Kamu yang nggak pernah ngerti ... dan jika kamu sadar, aku nggak lagi menyentuhmu sejak malam itu.”
Pikiranku kembali melayang jauh, ya, benar, kamu tidak melakukan hubungan badan setelah melakukan konsultasi dengan dokter. Tetapi, apakah ini maksud terselubung dari Mas Alvin? Air mataku kembali menetes, masih tak bisa menerima semua ini.
“Mbak …” panggil Nesya dengan suara yang sengaja dilambatkan, terdengar begitu menyayat. “Aku hamil. Anak suamimu,” lanjutnya dengan mengapit lengan suamiku.
Pandanganku langsung tertuju pada benda yang berada di tangannya. Garis dua merah menyala di sana—garis yang sudah lima tahun kucari dengan doa, tangis, dan harap, garis yang selalu kuimpikan hadir di kehidupanku. Namun kini, garis itu justru ditusukkan tepat ke dadaku oleh perempuan yang merebut segalanya dariku.
Aku menutup mulutku dengan tangan, tubuhku gemetar hebat. “Mas…” suaraku lirih, mengalihkan pandangan pada Mas Alvin, “…bilang kalau semua ini nggak bener… bilang kalau kamu nggak pernah…”
Namun ia tetap menundukkan kepalanya. Tak ada bantahan, tak ada pembelaan, hanya diam yang terasa semakin membunuhku pelan-pelan.
Dadaku seakan diremas, nafasku tersengal. Aku mencoba bangkit, tak ingin terlihat lemah di hadapannya. “Aku …” lirihku mengumpulkan sisa tenaga, “…oke, Mas. Aku mau cerai.” Aku menghela napas panjang, menegakkan tubuh dengan sisa tenaga yang ada. “Tapi tolong … izinin aku bawa baju, dan semua dokumen aku. Itu aja. Aku nggak minta lebih.”
Perlahan, Mas Alvin mengangkat wajahnya. Tatapan matanya bukan lagi tatapan seorang suami yang selalu meneduhkan untukku. Bibirnya melengkung, membentuk senyum tipis yang terlihat asing. “Aku nggak bakal ngelepasin kamu dengan semua itu,” ucapnya datar.
Aku menelan ludah kasar, menatapnya tak percaya. “Kenapa, Mas? Apa salahku sampai kamu tega segininya?”
“Kecuali… kamu mati.”
Aku mengerjapkan mataku, “A-apa Mas?” Tubuhku langsung gemetar hebat mendengar kalimat Alvin barusan. Seolah seluruh dunia runtuh menimpaku.
Ibu mertua langsung menepuk keras bahuku dan membuatku kembali tersadar. “Dengar sendiri, kan?! Anak saya udah tegas bilang nggak butuh kamu lagi! Jadi jangan mimpi bisa bawa-bawa barang di rumah ini, apalagi dokumen! Kamu itu udah bukan siapa-siapa di rumah ini!”
“Bu, saya mohon … kasih saya sedikit saja. paspor saya, ijazah, baju—”
BRAK! Sebuah dorongan keras menghantam dadaku hingga aku hampir terjerembab ke lantai.
“Keluar!” bentaknya keras dengan deru napas yang tak beraturan.
“Saya nggak bisa keluar gini aja! Semua barang saya—”
Tendangan keras ibu mertua menghantam kursi, membuat cengkeramanku terlepas.
“Barang-barangmu? Hah! Kamu pikir kamu siapa, Safira?! Kamu kerja apa selama ini sampai bisa membeli barang-barang mahal milikmu itu? Keluar sekarang juga! Dengan baju di badanmu itu aja sudah cukup, bukan?! Jangan berani-berani pulang ke sini saya sendiri yang seret kamu keluar kayak sampah."
Dadaku terasa semakin sesak, aku mencoba meraih tangan ibu mertua dan menciumnya penuh hormat. "Bu … jangan gitu, tolong … saya nggak punya siapa-siapa lagi …"
"Tutup mulutmu!" makinya lagi. Alvin jauh lebih pantas sama Nesya. Dia lebih muda, lebih cantik, dan jauh lebih bisa menjaga Alvin daripada kamu! Sekarang kamu angkat kaki dari rumah ini! Kamu nggak pantas jadi istri anakku lagi. Pergi, Safira! PERGI!!"
Tatapanku tertuju pada suamiku—lelaki yang selama ini kupanggil dengan penuh cinta. "Mas… tolong aku… jangan diam aja…"
Ayahnya kini sudah berdiri tepat di depan kami. Sorot matanya begitu menusuk, aura dinginnya membuatku semakin sulit bernapas. “Lepaskan dia,” perintahnya dengan suara rendah.Tanganku terayun di udara, sementara bibirku hendak merespon ucapanya, tapi Kenzo lebih dulu menjawabnya, “Nggak! Aku nggak mau! Aku takut kalau Mommy pergi lagi … Aku nggak bakal lepasin!”Ayahnya menarik napas berat, rahangnya terlihat semakin mengeras, jelas ia tengah menahan sesuatu di dalam dadanya. Tangannya terulur, hendak memisahkan kami dengan paksa. Namun, begitu jemarinya menyentuh bahu kecil Kenzo, bocah itu kembali menjerit histeris, memelukku lebih erat lagi, seolah tubuh mungilnya menolak disentuh siapa pun kecuali aku. “Nggak! Aku mau Mommy!”Aku semakin terpaku dibuatnya, otakku seakan tak bisa mencari jalan keluar dari situasi ini, mataku hanya bisa menatap balik tatapan dingin pria itu, sementara hatiku sendiri semakin diremuk oleh tangisan anak kecil yang bahkan baru saja kukenal.Tanganku te
“A-aku … Mommy?” bisikku, bingung, tatapanku menoleh kanan-kiri mencari siapa orangtuanya.Bocah itu… entah kenapa tatapannya begitu menusuk hati, seolah aku benar-benar orang yang ia cari selama ini. “Mommy … jangan tinggalin aku lagi…” rengeknya dengan memeluk pinggangku erat.“Sayang … kamu salah orang …” bisikku pelan, tapi justru kalimat itu berhasil membuat tangisnya pecah semakin keras. Air mataku jatuh tanpa bisa kucegah. Jemariku gemetar saat menyentuh rambut hitamnya yang begitu lebat. “Maafkan Tante, Nak… Tante bukan orang yang kamu cari…,” gumanku dengan suara parau.Tapi bocah itu menggeleng kuat-kuat, tangannya masih menempel erat pada tubuhku, seolah tengah menyampaikan rasa rindunya pada sosok yang ia panggil Mommy. “Enggak! Kamu Mommy! Aku hafal tubuh Mommy! Aku hafal wajah Mommy!”Aku memejamkan mataku sejenak, kata-katanya menusuk begitu dalam, seakan ia benar-benar yakin kalau aku adalah ibunya. Sementara itu, aku hanya bisa berdiri di tengah-tengah mall, memeluk s
Pak Bayu berdeham, lalu terlihat menuliskan sesuatu di sebuah buku besar, setelah beberapa saat, ia mengangguk seraya mengembalikan KTP milikku. “Mulai kerja hari ini, ya. Seragam nanti diambil di gudang. Kamu langsung ikut Bu Ratih dulu, belajar cara kerjanya gimana.”Aku terbelalak, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. “S-sekarang, Pak?” tanyaku terbata.“Ya, sekarang,” ujarnya menganggukkan kepala. “Mall ini sudah mau soft opening besok pagi, jadi kami butuh tenaga tambahan segera buat memastikan pengunjung tetap merasa aman dan nyaman. Kalau kamu bersedia, langsung bisa kerja sekarang juga,” jawabnya dengan tenang, seolah itu hal paling biasa di dunia.Aku menangkupkan tangan di dada, menahan haru yang terus menyerusuk masuk. “Terima kasih banyak, Pak … terima kasih, Bu Ratih …,” ucapku menatap keduanya bergantian.Bu Ratih menepuk bahuku dan tersenyum hangat. “Lihat, Nak? Tuhan nggak pernah tidur untuk membantu setiap hamba-Nya. Jalannya akan selalu ada, bahkan
“Nak … kamu kenapa? Kok nangis di sini?” suara lembut seorang ibu paruh baya menembus kabut pilu di hatiku.Aku menoleh pelan ke arahnya, sementara tanganku buru-buru mengusap pipi dan menyeka air mata secepat mungkin. “Saya … baru aja diusir, Bu …” jawabku dengan nada tercekat. “Ak-akta cerai,” tambahku memperlihatkan selembar kertas, satu-satunya barang yang kubawa dari rumah itu.Ibu itu tersenyum samar, lalu menepuk pelan punggungku. “Sabar ya, Nak. Hidup memang kadang nggak adil buat kita. Tapi bukan berarti hidup kamu harus berhenti di sini. Kamu masih muda, masih bisa kerja, dan masih bisa berdiri lagi buat buktiin kalo kamu kuat menghadapi dunia yang nggak adil ini.”Aku menundukkan kepala, menatap kaki yang sudah membawaku melangkah berjam-jam dan jauh dari rumah hingga ke tempat ini. “Tapi saya nggak punya siapa-siapa, Bu. Saya nggak tau harus kemana....”“Kebetulan, di mall tempat Ibu kerja, masih ada lowongan kerja buat office girl. Kerjanya bersih-bersih aja, ringan kok .
"Betul!" pekik ibu mertua lantang. "Saya yang udah ngurus semuanya! Mulai hari ini kamu BUKAN lagi istri anak saya! Kamu itu aib bagi keluarga ini, Safira! Dan saya nggak mau satu atap lagi sama orang kayak kamu!" murka ibu mertua tanpa mempedulikan perasaanku.Tubuhku terduduk di lantai yang terasa dingin, serasa semua otot-otot dan tulangku melunak, mataku menatap penuh harap pada ibu mertua. "Bu … to-long … jangan … saya … saya masih istri sah Mas Alvin …," bisikku menahan isak. Rasanya, aku belum siap menghadapi situasi seperti ini seorang diri setelah semua yang aku korbankan untuk keluarga ini.Ibu mertua bertolak pinggang, dan tatapan yang begitu nyalang. "SAH apanya?!" potongnya tak terima. "Kalau Alvin sendiri udah rela tanda tangan cerai dan ngurus semuanya, buat apa kamu masih bertahan di sini?! Harusnya kamu bilang seperti itu ketika dalam persidangan ... tapi, semuanya sudah telat, Safira!"Aku mengerjapkan mataku, menoleh sekali lagi ke arah suamiku, berharap ia memberi
Itu gerakan yang sama. Yang dia lakukan padaku saat dia bilang aku satu-satunya wanita di hatinya. Saat dia bilang cinta tak akan berubah. Tapi sekarang, semua itu dia bagikan … pada orang lain. Pada keluarganya sendiri.Aku berdiri mematung, dadaku naik-turun menahan amarah dan luka secara bersamaan. Tapi bibirku tak mampu mengeluarkan satu kata pun. Mataku mulai panas melihat adegan yang begitu menjijikan. Aku ingin berteriak! Ingin marah pada mereka, tapi ... aku tak memiliki tenaga. Aku hancur. Aku hancur!"Mas ... lebih dalam ...," desahan Nesya mengiris gendang telingaku seperti pecahan kaca, tanganya menggelayut pada tengkuk suamiku dan kakinya mengapit badan suamiku, lidah mereka saling beradu satu sama lain, bertukar saliva tanpa merasa bersalah.Seakan menuruti permintaannya, suamiku menggerakkan badannya lebih cepat, ia memompa miliknya begitu semangat seakan ini menjadi permainan terakhir untuk mereka, "Kamu milikku malam ini … eh, pagi ini," ia terkekeh lalu menghentakkan