Share

Bab 3 - Akta Cerai

Author: Anidania
last update Last Updated: 2025-08-09 11:10:13

"Betul!" pekik ibu mertua lantang. "Saya yang udah ngurus semuanya! Mulai hari ini kamu BUKAN lagi istri anak saya! Kamu itu aib bagi keluarga ini, Safira! Dan saya nggak mau satu atap lagi sama orang kayak kamu!" murka ibu mertua tanpa mempedulikan perasaanku.

Tubuhku terduduk di lantai yang terasa dingin, serasa semua otot-otot dan tulangku melunak, mataku menatap penuh harap pada ibu mertua. "Bu … to-long … jangan … saya … saya masih istri sah Mas Alvin …," bisikku menahan isak. Rasanya, aku belum siap menghadapi situasi seperti ini seorang diri setelah semua yang aku korbankan untuk keluarga ini.

Ibu mertua bertolak pinggang, dan tatapan yang begitu nyalang.  "SAH apanya?!" potongnya tak terima. "Kalau Alvin sendiri udah rela tanda tangan cerai dan ngurus semuanya, buat apa kamu masih bertahan di sini?! Harusnya kamu bilang seperti itu ketika dalam persidangan ... tapi, semuanya sudah telat, Safira!"

Aku mengerjapkan mataku, menoleh sekali lagi ke arah suamiku, berharap ia memberi penjelasan, berharap ia akan berkata kalau semua ini tidak benar. Tapi yang kutemukan hanya bibir yang terkatup dengan tangan yang terkepal dengan sepasang mata yang menatap kosong entah kemana, dan itu lebih menghancurkan daripada apapun.

Aku menggenggam akta cerai itu dengan erat, kertasnya bergetar hebat di tanganku. "Bu …. Saya masih istri sah Mas Alvin! Saya masuk ke rumah ini dengan akad yang halal, bukan hasil rebutan orang lain ... bahkan rumah ini saya bangun berdua dengan Mas Alvin. Kalau memang Mas Alvin berkhianat, biar Tuhan yang menjadi saksi. Tapi saya nggak akan pergi seenaknya hanya karena Ibu nggak suka sama saya!" ujarku mencoba mempertahankan diri.

"PEREMPUAN NGEYEL!" teriaknya membuatku mengalihkan wajah. "Kamu nggak pantas berada di rumah ini! Kamu nggak pantas pegang apapun dari keluarga ini!" bentaknya lagi. "Dasar nggak tau diri!"

Aku kembali terdiam, nafasku tercekat. Jemariku bergetar saat kutatap kertas bertuliskan AKTA CERAI itu—bukti sah yang seharusnya mustahil ada tanpa sepengetahuanku, tetapi, surat yang bahkan tak pernah ada di mimpiku itu, kini berada di genggamanku.

“Mas … ka-pan… kapan kamu ngurus ini…?” tanyaku dengan air mata yang nyaris membutakan pandanganku.

“Sejak Nesya ada di sini.”

Aku menggeleng cepat, berulang kali, tak percaya jika ia sudah mengurusnya sejak berbulan-bulan yang lalu, tanpa sepengetahuanku. “Nggak … nggak mungkin … Mas kamu bohong kan? Mas nggak mungkin tega ngelakuin ini di belakangku … apalagi waktu itu aku masih berjuang demi rumah tangga kita … dan kita masih ngerencanain kehamilan aku kan, Mas?”

“Cukup, Safira,” jawabkua lirih dengan memalingkan wajahnya dariku, seakan tak sanggup atau tak mau menatapku lagi. “Kamu yang nggak pernah ngerti ... dan jika kamu sadar, aku nggak lagi menyentuhmu sejak malam itu.”

Pikiranku kembali melayang jauh, ya, benar, kamu tidak melakukan hubungan badan setelah melakukan konsultasi dengan dokter. Tetapi, apakah ini maksud terselubung dari Mas Alvin? Air mataku kembali menetes, masih tak bisa menerima semua ini.

“Mbak …” panggil Nesya dengan suara yang sengaja dilambatkan, terdengar begitu menyayat. “Aku hamil. Anak suamimu,” lanjutnya dengan mengapit lengan suamiku.

Pandanganku langsung tertuju pada benda yang berada di tangannya. Garis dua merah menyala di sana—garis yang sudah lima tahun kucari dengan doa, tangis, dan harap, garis yang selalu kuimpikan hadir di kehidupanku. Namun kini, garis itu justru ditusukkan tepat ke dadaku oleh perempuan yang merebut segalanya dariku.

Aku menutup mulutku dengan tangan, tubuhku gemetar hebat. “Mas…” suaraku lirih, mengalihkan pandangan pada Mas Alvin, “…bilang kalau semua ini nggak bener… bilang kalau kamu nggak pernah…”

Namun ia tetap menundukkan kepalanya. Tak ada bantahan, tak ada pembelaan, hanya diam yang terasa semakin membunuhku pelan-pelan.

Dadaku seakan diremas, nafasku tersengal. Aku mencoba bangkit, tak ingin terlihat lemah di hadapannya. “Aku …” lirihku mengumpulkan sisa tenaga, “…oke, Mas. Aku mau cerai.” Aku menghela napas panjang, menegakkan tubuh dengan sisa tenaga yang ada. “Tapi tolong … izinin aku bawa baju, dan semua dokumen aku. Itu aja. Aku nggak minta lebih.”

Perlahan, Mas Alvin mengangkat wajahnya. Tatapan matanya bukan lagi tatapan seorang suami yang selalu meneduhkan untukku. Bibirnya melengkung, membentuk senyum tipis yang terlihat asing. “Aku nggak bakal ngelepasin kamu dengan semua itu,” ucapnya datar.

Aku menelan ludah kasar, menatapnya tak percaya. “Kenapa, Mas? Apa salahku sampai kamu tega segininya?”

“Kecuali… kamu mati.”

Aku mengerjapkan mataku, “A-apa Mas?” Tubuhku langsung gemetar hebat mendengar kalimat Alvin barusan. Seolah seluruh dunia runtuh menimpaku.

Ibu mertua langsung menepuk keras bahuku dan membuatku kembali tersadar. “Dengar sendiri, kan?! Anak saya udah tegas bilang nggak butuh kamu lagi! Jadi jangan mimpi bisa bawa-bawa barang di rumah ini, apalagi dokumen! Kamu itu udah bukan siapa-siapa di rumah ini!”

“Bu, saya mohon … kasih saya sedikit saja. paspor saya, ijazah, baju—”

BRAK! Sebuah dorongan keras menghantam dadaku hingga aku hampir terjerembab ke lantai.

“Keluar!” bentaknya keras dengan deru napas yang tak beraturan.

“Saya nggak bisa keluar gini aja! Semua barang saya—”

Tendangan keras ibu mertua menghantam kursi, membuat cengkeramanku terlepas.

“Barang-barangmu? Hah! Kamu pikir kamu siapa, Safira?! Kamu kerja apa selama ini sampai bisa membeli barang-barang mahal milikmu itu? Keluar sekarang juga! Dengan baju di badanmu itu aja sudah cukup, bukan?! Jangan berani-berani pulang ke sini saya sendiri yang seret kamu keluar kayak sampah."

Dadaku terasa semakin sesak, aku mencoba meraih tangan ibu mertua dan menciumnya penuh hormat. "Bu … jangan gitu, tolong … saya nggak punya siapa-siapa lagi …"

"Tutup mulutmu!" makinya lagi.  Alvin jauh lebih pantas sama Nesya. Dia lebih muda, lebih cantik, dan jauh lebih bisa menjaga Alvin daripada kamu! Sekarang kamu angkat kaki dari rumah ini! Kamu nggak pantas jadi istri anakku lagi. Pergi, Safira! PERGI!!"

Tatapanku tertuju pada suamiku—lelaki yang selama ini kupanggil dengan penuh cinta. "Mas… tolong aku… jangan diam aja…"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   MJIC 22 - Perhatian Raynard

    Malam hari berjalan dengan begitu cepat, Sus Rini sedang merapikan mainan di sudut ruangan. Aku duduk di sebelah Kenzo, mencoba fokus pada TV yang menyala, tapi jauh di dalam hati, aku masih terbayang kejadian di mall tadi siang.Notifikasi video call berbunyi di ponselku, sontak mengalihkan perhatian kami. Aku dengan cepat mengangkat ponsel dan menerima panggilan itu.“Hallo.”Kenzo langsung berdiri di sofa begitu mendengar suara dari ponselku. “Daddy! Daddy!” teriaknya girang, lalu duduk tepat di pangkuanku.Wajah Raynard muncul di layar—tengah berdiri di sebuah ruangan hotel dengan lampu kuning temaram, ia mengenakan kemeja putih dan dasi yang sudah sedikit longgar, wajahnya mengisyaratkan rasa lelah yang begitu kentara.Tapi begitu melihat Kenzo ... wajahnya kembali melunak.“Kenzo,” sapanya pelan.“Daddy!! Aku kangen! Monty juga!” ujar Kenzo sembari mengangkat bonekanya tepat ke kamera, membuat Raynard mengangkat alisnya.“Oh begitu?” jawab Raynard menatapku sekilas di layar. Tat

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 21 - Mereka Jahat

    Sus Rini yang berjalan di sampingku tampak menatapku sekilas, lalu menunduk, mungkin menyadari ada sesuatu yang tidak beres dari raut wajahku. “Safira, kamu nggak apa-apa?” tanyanya hati-hati.Aku menggeleng pelan, memaksakan senyum. Tapi senyum itu langsung pudar ketika pandanganku tanpa sengaja bertemu pantulan kaca di etalase toko — menampilkan wajahku sendiri yang terlihat pucat dan tegang.Melihat perubahanku, berdeham. “Tadi ... mereka itu siapa?” tanyanya pelan, seolah takut salah bicara.Aku menarik napas panjang, mencoba mengatur nada suaraku agar tetap tenang. “Itu ... mantan suami,” jawabku lirih. “Dan perempuan yang bersamanya ... sepupunya.”Sus menatapku kaget tapi cepat-cepat menundukkan kepala, merasa bersaah. “Oh ... maaf, saya nggak tahu.”Aku tersenyum tipis, menganggukkan kepala sekali. “Nggak apa-apa, Sus. Saya juga nggak nyangka bisa ketemu mereka di sini,” jawabku diiringi tawa getir.“Monty kenapa?” tanya Kenzo polos, ketika menunggu antrean di depan kasir..Ak

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 20 - Sombongnya Nesya

    Mereka berjalan beriringan, tangannya menggenggam lengan Alvin dengan manja, sementara pria itu hanya tersenyum tipis seperti biasa—senyum yang dulu begitu kukenal.Tubuhku terasa dingin. Aku ingin berbalik, berpura-pura tidak melihat, tapi suara mereka sudah terlalu dekat.“Oh, aku nggak salah lihat ternyata,” suara Nesya terdengar lembut tapi penuh nada sinis. “Safira?” ulangnya memastikan.Aku menatapnya perlahan, mencoba mempertahankan sisa ketenangan di wajahku. “Nesya,” sapaku singkat.Matanya menelusuri tubuhku dari atas ke bawah, dari baju sederhana dan rambut yang diikat seadanya, lalu berhenti pada tangan kecil Kenzo yang menggenggam jariku erat. Senyum miring terbit di bibirnya. “Sekarang kamu kerja jadi babysitter, ya?”Aku menelan ludah, tak tahu harus menjawab apa. Suaranya bukan sekadar bertanya—tapi penghinaan halus yang menusuk lebih dalam daripada rasa sakit yang ia berikan sebelumnya.Sementara Alvin, mantan suamiku, hanya berdiri diam di sebelahnya. Wajahnya datar,

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 19 - Pertemuan Tak Terduga

    “Jangan sampai dia merasa kehilangan sosok ayah, meskipun saya nggak ada di sini,” ucapnya singkat setelah menimbang beberapa saat.Aku menelan ludahku sendiri, mencoba menyembunyikan debaran di dadaku yang semakin keras. “Baik, Tuan. Saya akan berusaha,” janjiku, menganggukkan kepalaku sekali.Dengan satu helaan napas panjang, Raynard melangkah keluar, tannpa kata perpisahan sedikitpun untuk ... ya, Kenzo. Pintu tertutup dengan pelan, meninggalkan keheningan yang langsung memenuhi seisi ruangan. Tatapanku tertoleh pada Kenzo yang masih menatap pintu dengan wajah yang semakin sendu, membuat mobil-mobilannya terhimpit erat dalam genggamannya.Bocah kecil itu akhirnya menoleh padaku, dengan mata yang terus menahan kepedihan. “Monty ... Daddy pulang lagi kan?” tanyanya polos, suaranya yang lirih membuat hatiku seolah diremas oleh rasa sakit yang tak terhingga.Aku berjongkok, menyejajarkan badanku dengannya, menangkup pipinya dengan lembut seraya menganggukkan kepalaku pelan. “Iya, Sayan

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 18 - Berpamitan

    Pagi hari kembali menyapa, menampakkan cahaya matahari yang menembus melalui tipis tirai di jendela kamar. Aku baru saja selesai merapikan tempat tidur ketika suara langkah kecil terdengar dari luar kamarku. Pintu kamar terbuka dengan perlahan membuatku menoleh, di ambang pintu, menampakan wajah Kenzo yang masih setengah mengantuk, rambutnya berantakan, dan boneka kecilnya tergenggam erat di tangan mungilnya.“Monty ...,” panggilnya pelan sambil menyeret langkahnya masuk.Aku memaksakan senyum, walaupun masih terkejut dengan kedatangannya, lalu buru-buru berjongkok dan merentangkan tangan untuk menyambutnya. “Kenzo, udah bangun? Kenapa nggak sama Sus Rini?” tanyaku mengusap rambutnya.Bocah itu menggelengkan kepala, sementara matanya kembali berkaca-kaca. “Aku nggak mau pergi kalau Monty nggak ikut ...,” ujarnya dengan lirih.Aku kembali terdiam, hatiku tercekat melihat wajah mungil itu yang selalu menunjukkan ketulusan. “Kenzo ... kan semalem kamu udah janji sama Monty kalau kamu mau

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 17 - Ajakan Ke Luar Negeri

    Raynard menyipitkan matanya dan menatapku dari spion kecil, lalu menggelengkakn kepala. “Kalau kau tidak pantas, saya tidak akan pernah menawari kontrak itu. Kau hanya harus belajar untuk percaya ... entah pada dirimu, atau pada saya, dan orang lain.”Deg. Ada sesuatu yang menohok tepat di dadaku, kata ‘percaya’ yang selama ini aku sematkan pada keluargaku ... namun pada kenyataannya, mereka mengkhianatiku dengan rasa sakit yang luar biasa. Aku buru-buru memalingkan wajahku, berusaha menyembunyikan perasaan yang membuncah entah apa namanya.Tak lama kemudian keadaan mobil menjadi hening sampai pada akhirnya mobil berhenti tepat di halaman rumah. Aku buru-buru meraih tas kecilku dan menyelempangkan di pundak, sementara satu tanganku meraih tangan Kenzo untuk kugenggam, aku bersiap membuka pintu, tapi belum sempat aku membkanya, pintu di sampingku sudah lebih dulu terbuka dari luar membuatku sedikit terlonjak. Raynard berdiri di sana, dengan badan yang tegap dan tatapan dingin, tapi tan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status