“Ah ... Mas! Lebih cepet ... iya, gitu. En-ak bang-ah, Mas!”
Langkahku terhenti seketika, sementara jantungku mendadak mencelos. Pandanganku menyapu ke sisi kanan dan kiri, rumah masih sepi, dan aku yakin ibu serta adik iparku masih terlelap di lantai dua. “Suara apa, sih?” gumanku menyampirkan anak rambut ke belakang telinga. “Padahal nggak ada orang, kok.”
“Aku nggak kuat lagi, Mas! Eungh ... pelan,” desahan yang kudengar seperti ... suara yang tak asing bagiku.
Aku menelan ludah dengan susah payah, nafasku tercekat, pikiranku entah kemana, sementara jantungku berdetak lebih kencang. Sumbernya dari kamar tamu. Kamar yang—sialnya—ditempati Nesya, sepupu jauh suamiku. Perempuan yang selalu berkata manis, yang pura-pura polos, yang dengan lugu mengambil perhatian ibu mertuaku.
Aku mengerutkan dahi tak yakin, “Nesya?” tanyaku.pada diri sendiri.
Aku bejalan dengan perlahan, tak ingin menimbulkan bunyi apapun, lalu menempelkan telingaku pada daun pintu, dan berusaha mendengar apa yang tengah terjadi di dalam sana.
"Ma-sh ...." panggil Nesya terengah, parau, tercekik antara desahan dan tawa kecil yang terdengar menggoda. "Pelan dikit ... punyaku- aduh nggak ku-ath!"
Aku mengerutkan dahiku tak paham, di sisi lain, pikiran liar mulai berputar cepat. Mas? Siapa yang dipanggil mas sama dia? Suamiku, atau ... adik iparku? Atau malah dia bawa pria lain masuk ke rumah ini?
"Nesya ... kamu, eungh ... jangan gigit ...," gumam suara yang kukenal, terbata. “Kamu gila ya …” Suara yang... sangat aku kenal. Terlalu aku kenal.
Deg.
“Mas Alvin?” lirihku tak kuasa. Tapi itu lebih seperti doaku—permohonan agar bukan dia yang berada di dalam sana.
Napasku berhenti. Lututku lemas. Tubuhku mendadak dingin, sementara jantungku berdebar seperti genderang perang. Aku berharap aku salah dengar. Tapi... suara itu tak berbohong, aku tak tahu apakah ini hanya mimpi di pagi buta atau ... kenyataan yang begitu menyakitkan? Aku menggigit bibir bawahku sekuat mungkin, menahan isakan yang hampir lolos begitu saja.
"Aku suka lihat kamu nahan kayak gitu, Mas ... ah ... jangan, Mas. Mentok! Uh!" balas Nesya genit, diselingi desahan berat.
“Kamu yang min-ah mentok banget, Nes!”
“Hmmh … Mas ah! Ini en-ak! Kamu suka, Mas? Kamu suka aku kayak gini?” ujarnya terdengar begitu menjijikan.
Aku memejamkan mataku erat, tapi percuma. Air mataku tetap jatuh dan mengalir begitu saja. Pipiku terasa dingin oleh air mata, tetapi api telah menyala di dalam dadaku.
“Suka banget … jangan berhenti … jangan sekarang, Nesya … Aku mau- ah! Kamu ... Nesya jangan bikin aku ... ah geli, Nesya!” desah suamiku seakan tak bisa menahannya.
Aku menggelengkan kepala, tak percaya. Tidak. Itu bukan suaranya Mas Alvin. Itu bukan dia. Itu suara orang lain yang mirip suamiku. Bukan dia. Suamiku tidak mungkin…
Tapi setiap helaan napas yang mereka keluarkan, setiap lirih yang tertahan, setiap nama yang meluncur dari bibir mereka, menghancurkan satu-satunya keyakinanku saat ini.
“Mas ... lebih dalam ... aku udah nggak tahan ...,” teriak Nesya seperti tak punya malu.
“Sstt ... pelan ... jangan sampe kedengeran ...”
Sayangnya, aku bahkan udah denger dari tadi, Mas.
Aku tak bisa lagi menahan tubuhku yang menggigil, aku menatap tanganku yang sudah bergetar, tetapi hatiku seolah menolak kenyataan ini, aku berharap ini hanya mimpi yang buruk. Siapapun ... tolong bangunkan aku dari tidurku.
“Kamu lebih liar dari yang aku kira,” suara suamiku—lelaki yang kuberikan seluruh hidupku—terdengar bangga.
“Karena kamu yang ngajarin, aku, Mas …” Lalu desahan kembali terdengar lebih jelas, dan lebih dalam. Bergantian, saling bersahutan. Menyerupai nyanyian pengkhianatan yang tak berdawai. “Mas ... jangan berhenti … aku udah gila sama kamu …”
“Nggak bakal, Nes. Gerakan kamu lebih panas dari istriku sendiri …”
Itu. Kalimat itu. Pukulan terakhir yang mematikan. Lebih tajam dari belati mana pun yang pernah kutemui.
Menelan ludah dengan susah payah. “Kamu, Mas?” lirihku tertahan. Tanganku terangkat, gemetar, hal yang tak pernah bisa aku bayangkan sebelumnya. Dua orang yang sangat aku percaya, kini ... mereka?
“Ma-sh ... emmh ... geli.”
Pandanganku tertuju pada pintu yang tak tertutup sempurna, bahkan, mereka tak menyadarinya? Tanganku bergerak mendorong daun pintu, perlahan. Badanku membeku saat melihat pemandangan di depan sana dengan mata terbelalak. Duniaku berhenti berputar, kakiku tak mampu bepijak, rasanya seperti jiwaku terlempar keluar dari tubuhku sendiri. Aku ada di sini, tapi tak mampu bergerak meski untuk menyelamatkan diriku sendiri. Aku bisa berteriak, menuruh mereka menyudahinya, tapi bibirku kelu tanpa bisa mengeluarkan satu kalimat pun.
Di atas ranjang itu, suamiku, laki-laki yang kuberi seluruh cinta yang kumiliki, tengah menggoyangkan tubuhnya di atas tubuh wanita lain, tenggelam dalam pelukan Nesya yang mendesahkan namanya, seolah dunia luar tak pernah ada dan aku tak pernah hadir di dalam hidupnya. Rambut mereka berantakan, kulit saling menempel, dan napas saling memburu, semua menyatu dalam irama permainan yang begitu menggairahkan.
“Mas?” lirihku tercekat.
Ayahnya kini sudah berdiri tepat di depan kami. Sorot matanya begitu menusuk, aura dinginnya membuatku semakin sulit bernapas. “Lepaskan dia,” perintahnya dengan suara rendah.Tanganku terayun di udara, sementara bibirku hendak merespon ucapanya, tapi Kenzo lebih dulu menjawabnya, “Nggak! Aku nggak mau! Aku takut kalau Mommy pergi lagi … Aku nggak bakal lepasin!”Ayahnya menarik napas berat, rahangnya terlihat semakin mengeras, jelas ia tengah menahan sesuatu di dalam dadanya. Tangannya terulur, hendak memisahkan kami dengan paksa. Namun, begitu jemarinya menyentuh bahu kecil Kenzo, bocah itu kembali menjerit histeris, memelukku lebih erat lagi, seolah tubuh mungilnya menolak disentuh siapa pun kecuali aku. “Nggak! Aku mau Mommy!”Aku semakin terpaku dibuatnya, otakku seakan tak bisa mencari jalan keluar dari situasi ini, mataku hanya bisa menatap balik tatapan dingin pria itu, sementara hatiku sendiri semakin diremuk oleh tangisan anak kecil yang bahkan baru saja kukenal.Tanganku te
“A-aku … Mommy?” bisikku, bingung, tatapanku menoleh kanan-kiri mencari siapa orangtuanya.Bocah itu… entah kenapa tatapannya begitu menusuk hati, seolah aku benar-benar orang yang ia cari selama ini. “Mommy … jangan tinggalin aku lagi…” rengeknya dengan memeluk pinggangku erat.“Sayang … kamu salah orang …” bisikku pelan, tapi justru kalimat itu berhasil membuat tangisnya pecah semakin keras. Air mataku jatuh tanpa bisa kucegah. Jemariku gemetar saat menyentuh rambut hitamnya yang begitu lebat. “Maafkan Tante, Nak… Tante bukan orang yang kamu cari…,” gumanku dengan suara parau.Tapi bocah itu menggeleng kuat-kuat, tangannya masih menempel erat pada tubuhku, seolah tengah menyampaikan rasa rindunya pada sosok yang ia panggil Mommy. “Enggak! Kamu Mommy! Aku hafal tubuh Mommy! Aku hafal wajah Mommy!”Aku memejamkan mataku sejenak, kata-katanya menusuk begitu dalam, seakan ia benar-benar yakin kalau aku adalah ibunya. Sementara itu, aku hanya bisa berdiri di tengah-tengah mall, memeluk s
Pak Bayu berdeham, lalu terlihat menuliskan sesuatu di sebuah buku besar, setelah beberapa saat, ia mengangguk seraya mengembalikan KTP milikku. “Mulai kerja hari ini, ya. Seragam nanti diambil di gudang. Kamu langsung ikut Bu Ratih dulu, belajar cara kerjanya gimana.”Aku terbelalak, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. “S-sekarang, Pak?” tanyaku terbata.“Ya, sekarang,” ujarnya menganggukkan kepala. “Mall ini sudah mau soft opening besok pagi, jadi kami butuh tenaga tambahan segera buat memastikan pengunjung tetap merasa aman dan nyaman. Kalau kamu bersedia, langsung bisa kerja sekarang juga,” jawabnya dengan tenang, seolah itu hal paling biasa di dunia.Aku menangkupkan tangan di dada, menahan haru yang terus menyerusuk masuk. “Terima kasih banyak, Pak … terima kasih, Bu Ratih …,” ucapku menatap keduanya bergantian.Bu Ratih menepuk bahuku dan tersenyum hangat. “Lihat, Nak? Tuhan nggak pernah tidur untuk membantu setiap hamba-Nya. Jalannya akan selalu ada, bahkan
“Nak … kamu kenapa? Kok nangis di sini?” suara lembut seorang ibu paruh baya menembus kabut pilu di hatiku.Aku menoleh pelan ke arahnya, sementara tanganku buru-buru mengusap pipi dan menyeka air mata secepat mungkin. “Saya … baru aja diusir, Bu …” jawabku dengan nada tercekat. “Ak-akta cerai,” tambahku memperlihatkan selembar kertas, satu-satunya barang yang kubawa dari rumah itu.Ibu itu tersenyum samar, lalu menepuk pelan punggungku. “Sabar ya, Nak. Hidup memang kadang nggak adil buat kita. Tapi bukan berarti hidup kamu harus berhenti di sini. Kamu masih muda, masih bisa kerja, dan masih bisa berdiri lagi buat buktiin kalo kamu kuat menghadapi dunia yang nggak adil ini.”Aku menundukkan kepala, menatap kaki yang sudah membawaku melangkah berjam-jam dan jauh dari rumah hingga ke tempat ini. “Tapi saya nggak punya siapa-siapa, Bu. Saya nggak tau harus kemana....”“Kebetulan, di mall tempat Ibu kerja, masih ada lowongan kerja buat office girl. Kerjanya bersih-bersih aja, ringan kok .
"Betul!" pekik ibu mertua lantang. "Saya yang udah ngurus semuanya! Mulai hari ini kamu BUKAN lagi istri anak saya! Kamu itu aib bagi keluarga ini, Safira! Dan saya nggak mau satu atap lagi sama orang kayak kamu!" murka ibu mertua tanpa mempedulikan perasaanku.Tubuhku terduduk di lantai yang terasa dingin, serasa semua otot-otot dan tulangku melunak, mataku menatap penuh harap pada ibu mertua. "Bu … to-long … jangan … saya … saya masih istri sah Mas Alvin …," bisikku menahan isak. Rasanya, aku belum siap menghadapi situasi seperti ini seorang diri setelah semua yang aku korbankan untuk keluarga ini.Ibu mertua bertolak pinggang, dan tatapan yang begitu nyalang. "SAH apanya?!" potongnya tak terima. "Kalau Alvin sendiri udah rela tanda tangan cerai dan ngurus semuanya, buat apa kamu masih bertahan di sini?! Harusnya kamu bilang seperti itu ketika dalam persidangan ... tapi, semuanya sudah telat, Safira!"Aku mengerjapkan mataku, menoleh sekali lagi ke arah suamiku, berharap ia memberi
Itu gerakan yang sama. Yang dia lakukan padaku saat dia bilang aku satu-satunya wanita di hatinya. Saat dia bilang cinta tak akan berubah. Tapi sekarang, semua itu dia bagikan … pada orang lain. Pada keluarganya sendiri.Aku berdiri mematung, dadaku naik-turun menahan amarah dan luka secara bersamaan. Tapi bibirku tak mampu mengeluarkan satu kata pun. Mataku mulai panas melihat adegan yang begitu menjijikan. Aku ingin berteriak! Ingin marah pada mereka, tapi ... aku tak memiliki tenaga. Aku hancur. Aku hancur!"Mas ... lebih dalam ...," desahan Nesya mengiris gendang telingaku seperti pecahan kaca, tanganya menggelayut pada tengkuk suamiku dan kakinya mengapit badan suamiku, lidah mereka saling beradu satu sama lain, bertukar saliva tanpa merasa bersalah.Seakan menuruti permintaannya, suamiku menggerakkan badannya lebih cepat, ia memompa miliknya begitu semangat seakan ini menjadi permainan terakhir untuk mereka, "Kamu milikku malam ini … eh, pagi ini," ia terkekeh lalu menghentakkan