Share

Bab 4 - Harapan Baru

Penulis: Anidania
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-09 11:12:32

“Nak … kamu kenapa? Kok nangis di sini?” suara lembut seorang ibu paruh baya menembus kabut pilu di hatiku.

Aku menoleh pelan ke arahnya, sementara tanganku buru-buru mengusap pipi dan menyeka air mata secepat mungkin. “Saya … baru aja diusir, Bu …” jawabku dengan nada tercekat. “Ak-akta cerai,” tambahku memperlihatkan selembar kertas, satu-satunya barang yang kubawa dari rumah itu.

Ibu itu tersenyum samar, lalu menepuk pelan punggungku. “Sabar ya, Nak. Hidup memang kadang nggak adil buat kita. Tapi bukan berarti hidup kamu harus berhenti di sini. Kamu masih muda, masih bisa kerja, dan masih bisa berdiri lagi buat buktiin kalo kamu kuat menghadapi dunia yang nggak adil ini.”

Aku menundukkan kepala, menatap kaki yang sudah membawaku melangkah berjam-jam dan jauh dari rumah hingga ke tempat ini. “Tapi saya nggak punya siapa-siapa, Bu. Saya nggak tau harus kemana....”

“Kebetulan, di mall tempat Ibu kerja, masih ada lowongan kerja buat office girl. Kerjanya bersih-bersih aja, ringan kok ... ya tapi gajinya nggak terlalu besar, sih, tapi cukup buat sementara sampai kamu bisa mencari kerjaan yang lebih bagus. Kalau kamu mau, ikut Ibu sekarang juga, kita langsung ke sana sebelum lowongannya diisi orang lain.”

Aku menatap dengan raut bingung sekaligus harap-harap cemas. “S-sekarang, Bu?”

Ibu itu tersenyum singkat seraya menganggukkan kepala, “Sekarang juga, daripada kamu duduk di halte terus nggak tau mau kemana, lebih baik langsung mulai langkah baru,” jawabnya dengan tegas. "Ada mess karyawan juga kok, jadi lumayan kamu tinggal di sana kalau kamu mau."

“Ba-baik, Bu, saya mau, Bu. Terima kasih banyak,” ujarku meraih tangannya dan mencium penuh hormat.

“Ratih ... panggil saja Bu Ratih.”

Kami melangkah dengan beriringian, menatapi trotoar yang kini sedikit lengang oleh para pejalan kaki. Pikiranku semakin berkecamuk, tapi di sisi lain, aku beruntung dipertemukan dengan Bu Ratih yang begitu lembut, seperti malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk menolong hidupku.

“Kamu kok bisa sampai diusir gitu, Nak? Kalau nggak keberatan, cerita sama Ibu aja. Kadang kalau dipendem sendiri malah makin terasa sakit.”

Aku terdiam sejenak, menimbang apakah aku harus menceritakannya atau memendamnya sendiri, perkataan ibu mertua yang menyebutku ingin menyebarkan aib, membuat niatku terkurung. Aku hanya berdeham pelan, sebagai jawaban ragu yang kuberikan.

“Kalau belum siap, nggak papa, Nak,” ucap Bu Ratih lagi.

Aku menggeleng, dan menghela napas panjang, “Suami saya, Bu … dia berselingkuh dengan sepupunya sendiri ... sampai ... hamil. Dan yang lebih bikin sakit lagi, ibu mertua malah belain mereka dan nyalahin saya. Saya dimaki, diusir … bahkan sejak berbulan-bulan yang lalu, mereka sudah mengajukan gugatan cerai untuk saya tanpa sepengetahuan saya.”

Bu Ratih terdengar menghela napas berat. “Ya Tuhan … kok tega ya mereka.”

Aku menggigit bibir, mencoba menahan isakan yang mendesak keluar. “Saya nggak dibolehin bawa barang apa-apa, Bu. Semua pakaian, semua barang pribadi, dokumen, nggak ada yang boleh saya bawa pergi. Saya diusir dengan baju di badan ini. Katanya saya nggak pantas jadi istri anaknya. Katanya saya penghalang kebahagiaan mereka …,” ujarku tergagap.   “Saya cuma… saya cuma pengen jadi istri yang baik. Saya nggak pernah bikin masalah apa pun, saya bahkan selalu menyelesaikan pekerjaan rumah. Tapi mereka … mereka perlakukan saya seperti sampah.”

Bu Ratih meraih tanganku dan menggenggamnya erat, “Ssst… cukup, Nak. Kamu nggak salah, justru mereka yang salah besar sudah membuang kamu seperti ini. Ingat selalu jika Tuhan nggak pernah tidur, Ndok. Semua kelakuan keji pasti akan ada balasannya. Kamu cuma perlu kuat, bangkit, dan buktiin kalau kamu bisa hidup lebih terhormat tanpa adanya mereka.”

Aku menganggukkan kepala, mencoba meyakinkan diriku sendiri jika apa yang di sampaikan Bu Ratih benar adanya. Aku hanya perlu bangkit, dan buktiin bahwa aku bisa sukses tanpa campur tangan mereka.

“Nah ... di seberang itu mallnya, Nduk,” ujarnya yang membuatku mengalihkan pandangan. “Ayo kita ke sana, kita jemput masa depan kamu.”

Aku mengikuti langkah Bu Ratih dengan hati yang masih campur aduk—antara hancur, takut, dan sedikit harapan yang baru saja muncul. Kami menyeberang menuju bangunan besar, yang sepertinya masih baru karena beberapa tenant terlihat belum buka sepenuhnya.

Bu Ratih menggiringku masuk melewati pintu belakang, lalu menyapa satpam dengan begitu akrab. “Ini calon pegawai baru, Pak,” katanya sambil menepuk punggungku pelan.

Aku tercekat. Baru? Aku bahkan belum melamar apa pun.

"Pak," sapaku sungkan.

Satpam itu hanya tersenyum ramah dan membuka jalan untuk kami, sementara BU Ratih meriah tanganku lagi dan berjalan menuju ruangan kecil dengan papan bertuliskan HRD. Jantungku berdegup keras, seolah aku akan menghadapi ujian yang besar, padahal sebelum ini, aku sudah terbiasa menghadapi para petinggi perusahaan.

“Pak Bayu, ini saya bawa orang. Namanya Safira. Kasihan sekali, dia lagi butuh kerjaan. Saya jamin dia rajin dan bisa dipercaya,” ujar Bu Ratih begitu kami dipersilahkan masuk ke dalam ruangan itu.

Aku mengangguk sopan, sementara satu tanganku menyembunyikan akta cerai di belakang badanku. “P-permisi, Pak …” sapaku lirih.

Pak Bayu menatapku sebentar, lalu tersenyum tipis. “Kamu bawa KTP?” tanyanya singkat.

Aku buru-buru mengangguk, lalu mengeluarkan kartu identitas satu-satunya yang berhasil kuselamatkan karena selalu kusimpan di dompet kecil. “Ini, Pak,” ujarku menyerahkan padanya.

“Safira, ya?” tanyanya menganggukkan kepala. “Sebelumnya apakah ada izin dari suami kamu?” tambahnya lagi.

Jantungku mencelos begitu mendengar pertanyaannya. Aku menatap Bu Ratih singkat, tatapan kami sempat bertemu sebelum ia menyembunyikan rasa sungkannya.

“Huust,” bisik Bu Ratih yang masih bisa kudengar.

Pak Bayu menatap Bu Ratih dengan alis yang berkerut, “Kenapa?” tanyanya kemudian.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 18 - Berpamitan

    Pagi hari kembali menyapa, menampakkan cahaya matahari yang menembus melalui tipis tirai di jendela kamar. Aku baru saja selesai merapikan tempat tidur ketika suara langkah kecil terdengar dari luar kamarku. Pintu kamar terbuka dengan perlahan membuatku menoleh, di ambang pintu, menampakan wajah Kenzo yang masih setengah mengantuk, rambutnya berantakan, dan boneka kecilnya tergenggam erat di tangan mungilnya.“Monty ...,” panggilnya pelan sambil menyeret langkahnya masuk.Aku memaksakan senyum, walaupun masih terkejut dengan kedatangannya, lalu buru-buru berjongkok dan merentangkan tangan untuk menyambutnya. “Kenzo, udah bangun? Kenapa nggak sama Sus Rini?” tanyaku mengusap rambutnya.Bocah itu menggelengkan kepala, sementara matanya kembali berkaca-kaca. “Aku nggak mau pergi kalau Monty nggak ikut ...,” ujarnya dengan lirih.Aku kembali terdiam, hatiku tercekat melihat wajah mungil itu yang selalu menunjukkan ketulusan. “Kenzo ... kan semalem kamu udah janji sama Monty kalau kamu mau

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 17 - Ajakan Ke Luar Negeri

    Raynard menyipitkan matanya dan menatapku dari spion kecil, lalu menggelengkakn kepala. “Kalau kau tidak pantas, saya tidak akan pernah menawari kontrak itu. Kau hanya harus belajar untuk percaya ... entah pada dirimu, atau pada saya, dan orang lain.”Deg. Ada sesuatu yang menohok tepat di dadaku, kata ‘percaya’ yang selama ini aku sematkan pada keluargaku ... namun pada kenyataannya, mereka mengkhianatiku dengan rasa sakit yang luar biasa. Aku buru-buru memalingkan wajahku, berusaha menyembunyikan perasaan yang membuncah entah apa namanya.Tak lama kemudian keadaan mobil menjadi hening sampai pada akhirnya mobil berhenti tepat di halaman rumah. Aku buru-buru meraih tas kecilku dan menyelempangkan di pundak, sementara satu tanganku meraih tangan Kenzo untuk kugenggam, aku bersiap membuka pintu, tapi belum sempat aku membkanya, pintu di sampingku sudah lebih dulu terbuka dari luar membuatku sedikit terlonjak. Raynard berdiri di sana, dengan badan yang tegap dan tatapan dingin, tapi tan

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 16 - Tidak Pantas

    “Pak Bayu,” panggil Raynard datar begitu melihat Pak Bayu memasuki ruangan yang sama seperti kemarin. “Saya yang membawa Safira ke sini. Mulai hari ini, dia tidak lagi bekerja di mall ini. Saya akan menyelesaikan semua urusannya dengan pihak Anda.”Pak Bayu tampak terperanjat, menoleh ke arahku dengan wajah kaget bercampur bingung. “S-Safira? Maksudnya ... kamu berhenti kerja?” tanyanya setengah tak percaya.Aku hanya bisa menundukkan kepalaku, dan jemariku meremas tangan kecil Kenzo lebih erat. Aku tak ingin mengatakan apapun, sungguh, aku tak ingin membuat masalah yang lebih buruk.“Kalau perlu, saya akan menebus kontraknya. Yang penting, mulai sekarang Safira bekerja di rumah saya,” jelas Raynard sekali lagi.Pak Bayu menatapku lekat-lekat, lalu buru-buru berbalik menatap Raynard. “Maaf Pak, tapi—Safira baru saja kami terima kemarin. Dia bahkan belum bekerja sehari penuh, kalau tiba-tiba langsung diambil begini ...,” jelas Pak Bayu terpotong, suaranya terdengar berat, lebih seperti

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 15 - Putus Kerja

    Aku menunduk kepala makin dalam, mencoba mencerna kata-katanya, sementara nafasku berhembus tak beraturan selaras dengan rasa tenang yang tak bisa kumiliki.“Kau tidak berhutang budi pada mereka,” ujar Raynard dengan tegas. “Kau membutuhkan pekerjaan, sementara mereka butuh pekerja—sederhana. Tidak ada yang perlu kau sesali dengan keputusan yang akan kau ambil.”Aku mengangkat kepalaku sedikit, menatapnya dengan penuh keraguan. “Tapi ... bukankah itu keterlaluan, Tuan? Saya merasa seperti orang yang ... tidak tahu diri,” cicitku mengeluarkan keresahan.Rahang Raynard mengeras begitu ia mendengar ucapanku, lalu ia menggeleng dengan pelan. “Bukan kau yang tidak tahu diri, Safira. Saya yang tidak akan membiarkan seseorang yang kubutuhkan ... terbuang sia-sia.” Tangannya bergerak membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah map berwarna hitam, terdengar begitu misterius.“Saya sudah menyiapkan kontrak untukmu,” ucapnya singkat.Aku menatap map itu dengan ragu, lalu menatap pria itu sejenak

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 14 - Tawaran Kontrak

    Tubuhku langsung menegang begitu mendengar ucapannya, refleks aku menatap wajahnya dan membuat sendok di tanganku hampir terlepas. “D-dengan saya, Tuan?” tanyaku tergagap.Raynard hanya mengangguk sekali. “Ya. Denganmu.”Aku menganggukkan kepala cepat, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang jelas terpampang nyata di wajahku. “B-baik, Tuan,” sahutku lirih.Begitu kami semua selesai menyantap makanan, Kenzo buru-buru berlari kecil ke ruang keluarga sambil membawa mainannya dan berteriak memanggil Sus Rini. Tersisa aku dan Raynard yang sama-sama dilanda rasa canggung, tanganku bergerak ikut merapikan piring, tapi sebelum membawanya ke dapur, Raynard kembali bersuara.“Letakkan saja. Biar orang rumah yang membereskan,” ujarnya singkat.Aku terdiam sejenak, kemudian menunduk patuh. “Baik, Tuan ....”“Sekarang ikut saya.”Aku mengangguk sekali lagi, kini langkah kakinya terdengar mantap menuju ke lantai atas, sementara aku masih menatap punggungnya yang begitu tegap.“Ehm,” dehamnya membua

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 13 - Jangan Ulangi Lagi

    “Mulai sekarang, makan sendiri,” ujarnya datar, tapi terdengar tegas. “Biar Monty-mu itu bisa makan juga,” tambahnya terdengar ketus.Aku terperangah, sendok di tanganku sampai berhenti di udara karena rasa terkejut yang tak bisa aku tahan. Rasanya sulit membedakan apakah nada suaranya sebuah perintah, atau justru sebagai sindiran. Sementara Kenzo hanya terdiam beberapa detik, matanya melirikku seolah meminta perlindungan.“Ta-tapi ... Daddy, aku kan suka disuapin sama Monty ...,” gumam Kenzo dengan suara kecil.Tetapi, tatapan Raynard makin terlihat tajam seolah ia tak mengingkan anaknya itu membantah. “Kenzo,” hanya satu kata yang terucap memang, tapi nadanya cukup untuk membuat bocah itu meringkuk ke arahku. Perlahan, ia meraih tanganku yang masih tergeletak di atas meja, menggenggamnya erat seolah mencari perlindungan.Aku kembali membeku, mataku tak berani menatap Raynard yang jelas-jelas menyadari tindakan anaknya itu. Jantungku berdegup keras, ada rasa takut sekaligus bingung t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status