Mag-log in“Nak … kamu kenapa? Kok nangis di sini?” suara lembut seorang ibu paruh baya menembus kabut pilu di hatiku.
Aku menoleh pelan ke arahnya, sementara tanganku buru-buru mengusap pipi dan menyeka air mata secepat mungkin. “Saya … baru aja diusir, Bu …” jawabku dengan nada tercekat. “Ak-akta cerai,” tambahku memperlihatkan selembar kertas, satu-satunya barang yang kubawa dari rumah itu.
Ibu itu tersenyum samar, lalu menepuk pelan punggungku. “Sabar ya, Nak. Hidup memang kadang nggak adil buat kita. Tapi bukan berarti hidup kamu harus berhenti di sini. Kamu masih muda, masih bisa kerja, dan masih bisa berdiri lagi buat buktiin kalo kamu kuat menghadapi dunia yang nggak adil ini.”
Aku menundukkan kepala, menatap kaki yang sudah membawaku melangkah berjam-jam dan jauh dari rumah hingga ke tempat ini. “Tapi saya nggak punya siapa-siapa, Bu. Saya nggak tau harus kemana....”
“Kebetulan, di mall tempat Ibu kerja, masih ada lowongan kerja buat office girl. Kerjanya bersih-bersih aja, ringan kok ... ya tapi gajinya nggak terlalu besar, sih, tapi cukup buat sementara sampai kamu bisa mencari kerjaan yang lebih bagus. Kalau kamu mau, ikut Ibu sekarang juga, kita langsung ke sana sebelum lowongannya diisi orang lain.”
Aku menatap dengan raut bingung sekaligus harap-harap cemas. “S-sekarang, Bu?”
Ibu itu tersenyum singkat seraya menganggukkan kepala, “Sekarang juga, daripada kamu duduk di halte terus nggak tau mau kemana, lebih baik langsung mulai langkah baru,” jawabnya dengan tegas. "Ada mess karyawan juga kok, jadi lumayan kamu tinggal di sana kalau kamu mau."
“Ba-baik, Bu, saya mau, Bu. Terima kasih banyak,” ujarku meraih tangannya dan mencium penuh hormat.
“Ratih ... panggil saja Bu Ratih.”
Kami melangkah dengan beriringian, menatapi trotoar yang kini sedikit lengang oleh para pejalan kaki. Pikiranku semakin berkecamuk, tapi di sisi lain, aku beruntung dipertemukan dengan Bu Ratih yang begitu lembut, seperti malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk menolong hidupku.
“Kamu kok bisa sampai diusir gitu, Nak? Kalau nggak keberatan, cerita sama Ibu aja. Kadang kalau dipendem sendiri malah makin terasa sakit.”
Aku terdiam sejenak, menimbang apakah aku harus menceritakannya atau memendamnya sendiri, perkataan ibu mertua yang menyebutku ingin menyebarkan aib, membuat niatku terkurung. Aku hanya berdeham pelan, sebagai jawaban ragu yang kuberikan.
“Kalau belum siap, nggak papa, Nak,” ucap Bu Ratih lagi.
Aku menggeleng, dan menghela napas panjang, “Suami saya, Bu … dia berselingkuh dengan sepupunya sendiri ... sampai ... hamil. Dan yang lebih bikin sakit lagi, ibu mertua malah belain mereka dan nyalahin saya. Saya dimaki, diusir … bahkan sejak berbulan-bulan yang lalu, mereka sudah mengajukan gugatan cerai untuk saya tanpa sepengetahuan saya.”
Bu Ratih terdengar menghela napas berat. “Ya Tuhan … kok tega ya mereka.”
Aku menggigit bibir, mencoba menahan isakan yang mendesak keluar. “Saya nggak dibolehin bawa barang apa-apa, Bu. Semua pakaian, semua barang pribadi, dokumen, nggak ada yang boleh saya bawa pergi. Saya diusir dengan baju di badan ini. Katanya saya nggak pantas jadi istri anaknya. Katanya saya penghalang kebahagiaan mereka …,” ujarku tergagap. “Saya cuma… saya cuma pengen jadi istri yang baik. Saya nggak pernah bikin masalah apa pun, saya bahkan selalu menyelesaikan pekerjaan rumah. Tapi mereka … mereka perlakukan saya seperti sampah.”
Bu Ratih meraih tanganku dan menggenggamnya erat, “Ssst… cukup, Nak. Kamu nggak salah, justru mereka yang salah besar sudah membuang kamu seperti ini. Ingat selalu jika Tuhan nggak pernah tidur, Ndok. Semua kelakuan keji pasti akan ada balasannya. Kamu cuma perlu kuat, bangkit, dan buktiin kalau kamu bisa hidup lebih terhormat tanpa adanya mereka.”
Aku menganggukkan kepala, mencoba meyakinkan diriku sendiri jika apa yang di sampaikan Bu Ratih benar adanya. Aku hanya perlu bangkit, dan buktiin bahwa aku bisa sukses tanpa campur tangan mereka.
“Nah ... di seberang itu mallnya, Nduk,” ujarnya yang membuatku mengalihkan pandangan. “Ayo kita ke sana, kita jemput masa depan kamu.”
Aku mengikuti langkah Bu Ratih dengan hati yang masih campur aduk—antara hancur, takut, dan sedikit harapan yang baru saja muncul. Kami menyeberang menuju bangunan besar, yang sepertinya masih baru karena beberapa tenant terlihat belum buka sepenuhnya.
Bu Ratih menggiringku masuk melewati pintu belakang, lalu menyapa satpam dengan begitu akrab. “Ini calon pegawai baru, Pak,” katanya sambil menepuk punggungku pelan.
Aku tercekat. Baru? Aku bahkan belum melamar apa pun.
"Pak," sapaku sungkan.
Satpam itu hanya tersenyum ramah dan membuka jalan untuk kami, sementara BU Ratih meriah tanganku lagi dan berjalan menuju ruangan kecil dengan papan bertuliskan HRD. Jantungku berdegup keras, seolah aku akan menghadapi ujian yang besar, padahal sebelum ini, aku sudah terbiasa menghadapi para petinggi perusahaan.
“Pak Bayu, ini saya bawa orang. Namanya Safira. Kasihan sekali, dia lagi butuh kerjaan. Saya jamin dia rajin dan bisa dipercaya,” ujar Bu Ratih begitu kami dipersilahkan masuk ke dalam ruangan itu.
Aku mengangguk sopan, sementara satu tanganku menyembunyikan akta cerai di belakang badanku. “P-permisi, Pak …” sapaku lirih.
Pak Bayu menatapku sebentar, lalu tersenyum tipis. “Kamu bawa KTP?” tanyanya singkat.
Aku buru-buru mengangguk, lalu mengeluarkan kartu identitas satu-satunya yang berhasil kuselamatkan karena selalu kusimpan di dompet kecil. “Ini, Pak,” ujarku menyerahkan padanya.
“Safira, ya?” tanyanya menganggukkan kepala. “Sebelumnya apakah ada izin dari suami kamu?” tambahnya lagi.
Jantungku mencelos begitu mendengar pertanyaannya. Aku menatap Bu Ratih singkat, tatapan kami sempat bertemu sebelum ia menyembunyikan rasa sungkannya.
“Huust,” bisik Bu Ratih yang masih bisa kudengar.
Pak Bayu menatap Bu Ratih dengan alis yang berkerut, “Kenapa?” tanyanya kemudian.
Malam hari berjalan dengan begitu cepat, Sus Rini sedang merapikan mainan di sudut ruangan. Aku duduk di sebelah Kenzo, mencoba fokus pada TV yang menyala, tapi jauh di dalam hati, aku masih terbayang kejadian di mall tadi siang.Notifikasi video call berbunyi di ponselku, sontak mengalihkan perhatian kami. Aku dengan cepat mengangkat ponsel dan menerima panggilan itu.“Hallo.”Kenzo langsung berdiri di sofa begitu mendengar suara dari ponselku. “Daddy! Daddy!” teriaknya girang, lalu duduk tepat di pangkuanku.Wajah Raynard muncul di layar—tengah berdiri di sebuah ruangan hotel dengan lampu kuning temaram, ia mengenakan kemeja putih dan dasi yang sudah sedikit longgar, wajahnya mengisyaratkan rasa lelah yang begitu kentara.Tapi begitu melihat Kenzo ... wajahnya kembali melunak.“Kenzo,” sapanya pelan.“Daddy!! Aku kangen! Monty juga!” ujar Kenzo sembari mengangkat bonekanya tepat ke kamera, membuat Raynard mengangkat alisnya.“Oh begitu?” jawab Raynard menatapku sekilas di layar. Tat
Sus Rini yang berjalan di sampingku tampak menatapku sekilas, lalu menunduk, mungkin menyadari ada sesuatu yang tidak beres dari raut wajahku. “Safira, kamu nggak apa-apa?” tanyanya hati-hati.Aku menggeleng pelan, memaksakan senyum. Tapi senyum itu langsung pudar ketika pandanganku tanpa sengaja bertemu pantulan kaca di etalase toko — menampilkan wajahku sendiri yang terlihat pucat dan tegang.Melihat perubahanku, berdeham. “Tadi ... mereka itu siapa?” tanyanya pelan, seolah takut salah bicara.Aku menarik napas panjang, mencoba mengatur nada suaraku agar tetap tenang. “Itu ... mantan suami,” jawabku lirih. “Dan perempuan yang bersamanya ... sepupunya.”Sus menatapku kaget tapi cepat-cepat menundukkan kepala, merasa bersaah. “Oh ... maaf, saya nggak tahu.”Aku tersenyum tipis, menganggukkan kepala sekali. “Nggak apa-apa, Sus. Saya juga nggak nyangka bisa ketemu mereka di sini,” jawabku diiringi tawa getir.“Monty kenapa?” tanya Kenzo polos, ketika menunggu antrean di depan kasir..Ak
Mereka berjalan beriringan, tangannya menggenggam lengan Alvin dengan manja, sementara pria itu hanya tersenyum tipis seperti biasa—senyum yang dulu begitu kukenal.Tubuhku terasa dingin. Aku ingin berbalik, berpura-pura tidak melihat, tapi suara mereka sudah terlalu dekat.“Oh, aku nggak salah lihat ternyata,” suara Nesya terdengar lembut tapi penuh nada sinis. “Safira?” ulangnya memastikan.Aku menatapnya perlahan, mencoba mempertahankan sisa ketenangan di wajahku. “Nesya,” sapaku singkat.Matanya menelusuri tubuhku dari atas ke bawah, dari baju sederhana dan rambut yang diikat seadanya, lalu berhenti pada tangan kecil Kenzo yang menggenggam jariku erat. Senyum miring terbit di bibirnya. “Sekarang kamu kerja jadi babysitter, ya?”Aku menelan ludah, tak tahu harus menjawab apa. Suaranya bukan sekadar bertanya—tapi penghinaan halus yang menusuk lebih dalam daripada rasa sakit yang ia berikan sebelumnya.Sementara Alvin, mantan suamiku, hanya berdiri diam di sebelahnya. Wajahnya datar,
“Jangan sampai dia merasa kehilangan sosok ayah, meskipun saya nggak ada di sini,” ucapnya singkat setelah menimbang beberapa saat.Aku menelan ludahku sendiri, mencoba menyembunyikan debaran di dadaku yang semakin keras. “Baik, Tuan. Saya akan berusaha,” janjiku, menganggukkan kepalaku sekali.Dengan satu helaan napas panjang, Raynard melangkah keluar, tannpa kata perpisahan sedikitpun untuk ... ya, Kenzo. Pintu tertutup dengan pelan, meninggalkan keheningan yang langsung memenuhi seisi ruangan. Tatapanku tertoleh pada Kenzo yang masih menatap pintu dengan wajah yang semakin sendu, membuat mobil-mobilannya terhimpit erat dalam genggamannya.Bocah kecil itu akhirnya menoleh padaku, dengan mata yang terus menahan kepedihan. “Monty ... Daddy pulang lagi kan?” tanyanya polos, suaranya yang lirih membuat hatiku seolah diremas oleh rasa sakit yang tak terhingga.Aku berjongkok, menyejajarkan badanku dengannya, menangkup pipinya dengan lembut seraya menganggukkan kepalaku pelan. “Iya, Sayan
Pagi hari kembali menyapa, menampakkan cahaya matahari yang menembus melalui tipis tirai di jendela kamar. Aku baru saja selesai merapikan tempat tidur ketika suara langkah kecil terdengar dari luar kamarku. Pintu kamar terbuka dengan perlahan membuatku menoleh, di ambang pintu, menampakan wajah Kenzo yang masih setengah mengantuk, rambutnya berantakan, dan boneka kecilnya tergenggam erat di tangan mungilnya.“Monty ...,” panggilnya pelan sambil menyeret langkahnya masuk.Aku memaksakan senyum, walaupun masih terkejut dengan kedatangannya, lalu buru-buru berjongkok dan merentangkan tangan untuk menyambutnya. “Kenzo, udah bangun? Kenapa nggak sama Sus Rini?” tanyaku mengusap rambutnya.Bocah itu menggelengkan kepala, sementara matanya kembali berkaca-kaca. “Aku nggak mau pergi kalau Monty nggak ikut ...,” ujarnya dengan lirih.Aku kembali terdiam, hatiku tercekat melihat wajah mungil itu yang selalu menunjukkan ketulusan. “Kenzo ... kan semalem kamu udah janji sama Monty kalau kamu mau
Raynard menyipitkan matanya dan menatapku dari spion kecil, lalu menggelengkakn kepala. “Kalau kau tidak pantas, saya tidak akan pernah menawari kontrak itu. Kau hanya harus belajar untuk percaya ... entah pada dirimu, atau pada saya, dan orang lain.”Deg. Ada sesuatu yang menohok tepat di dadaku, kata ‘percaya’ yang selama ini aku sematkan pada keluargaku ... namun pada kenyataannya, mereka mengkhianatiku dengan rasa sakit yang luar biasa. Aku buru-buru memalingkan wajahku, berusaha menyembunyikan perasaan yang membuncah entah apa namanya.Tak lama kemudian keadaan mobil menjadi hening sampai pada akhirnya mobil berhenti tepat di halaman rumah. Aku buru-buru meraih tas kecilku dan menyelempangkan di pundak, sementara satu tanganku meraih tangan Kenzo untuk kugenggam, aku bersiap membuka pintu, tapi belum sempat aku membkanya, pintu di sampingku sudah lebih dulu terbuka dari luar membuatku sedikit terlonjak. Raynard berdiri di sana, dengan badan yang tegap dan tatapan dingin, tapi tan







