Pak Bayu berdeham, lalu terlihat menuliskan sesuatu di sebuah buku besar, setelah beberapa saat, ia mengangguk seraya mengembalikan KTP milikku. “Mulai kerja hari ini, ya. Seragam nanti diambil di gudang. Kamu langsung ikut Bu Ratih dulu, belajar cara kerjanya gimana.”
Aku terbelalak, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. “S-sekarang, Pak?” tanyaku terbata.
“Ya, sekarang,” ujarnya menganggukkan kepala. “Mall ini sudah mau soft opening besok pagi, jadi kami butuh tenaga tambahan segera buat memastikan pengunjung tetap merasa aman dan nyaman. Kalau kamu bersedia, langsung bisa kerja sekarang juga,” jawabnya dengan tenang, seolah itu hal paling biasa di dunia.
Aku menangkupkan tangan di dada, menahan haru yang terus menyerusuk masuk. “Terima kasih banyak, Pak … terima kasih, Bu Ratih …,” ucapku menatap keduanya bergantian.
Bu Ratih menepuk bahuku dan tersenyum hangat. “Lihat, Nak? Tuhan nggak pernah tidur untuk membantu setiap hamba-Nya. Jalannya akan selalu ada, bahkan dari sisi yang tak kita duga sebelumnya. Mulai hari ini, kamu nggak sendirian lagi.”
Aku mengangguk, samar, senyuman kecil terbit di bibirku. Sejenak, aku harus bisa melupakan kondisiku saat ini, aku harus bisa bangkit dan kembali mengejar mimpi-mimpiku yang sudah lama kulepaskan. Aku bertekad akan membalas semua kebaikan Bu Ratih di masa yang akan datang ... dan aku berjanji akan membahagiakannya lebih dari diriku sendiri.
“Ayo,” ucap Bu Ratih membuyarkan lamunanku.
Ia membawaku ke ruang perlengkapan yang berada di belakang gedung. Seorang supervisior menyerahkan seragam kerja baru berupa kemeja biru muda dengan celana hitam polos, serta sepatu hitam mengkilat dan sebuah topi di atasnya. Aku sempat tertegun menatapnya, lalu tersenyum getir. Bukan pakaian mewah seperti dulu ketika masih menjadi “nyonya” di rumah itu, tapi inilah simbol baru kehidupanku yang harus kujalani dengan penuh rasa semangat.
“Ganti dulu, Nak. Habis itu kita mulai kerja, ya,” ujar Bu Ratih lembut.
Aku mengangguk pelan dan masuk ke ruang ganti, tatapanku tertju pada cermin, aku menatap bayanganku di depan sana, nyaris tak mengenali diriku sendiri. Mata sembab, wajah pucat, dan kini dibalut seragam sederhana yang tak pernah bisa kulupakan. Tapi di balik kesederhanaan itu, ada secercah harapan yang muncul dan aku akan segera meraihnya.
Begitu keluar dari ruang ganti, Bu Ratih langsung menyodorkan sapu dan ember pel ke arahku. “Mulai dari sini, nanti sampai ke lorong di lantai dua. Jangan khawatir, kerjaan kita nggak terlalu berat, yang penting telaten dan sabar.”
Aku menelan ludah dengan susah payah, lalu menggenggam gagang sapu erat-erat. “Baik, Bu.”
Langkahku masih terasa kikuk saat mulai menyapu lantai marmer yang begitu luas, bahkan terlalu luas untukku yang tak pernah melakukan pekerjaan ini, kecuali di rumah. Beberapa pengunjung yang kurasa adalah para tenant menatapku sekilas, sebagiannya lagi berlalu begitu saja. Dadaku terasa sesak, seolah mereka bisa membaca kisah getir di balik tubuh yang kini membungkuk menyapu debu-debu yang menempel di lantai.
“Pelan-pelan aja, Nak. Anggap aja ini rumahmu, biar kerjaanmu jadi bersih, biar rapi juga. Kalau hatimu lagi sakit, kerjanya sambil doa, biar setiap usapan itu bisa jadi obat buat kamu,” ingat Bu Ratih yang tengah berdiri di smpingku.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mulai mengepel lantai dengan gerakan yang teratur. Setiap tarikan dan dorongan, kuiringi dengan bisikan lirih dalam hati. Ya Tuhan … beri aku kekuatan. Jangan biarkan aku jatuh terlalu lama.
Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Tangan dan punggungku terasa pegal, keringat mengalir deras mengenai pelipisku. Tapi entah kenapa, ada rasa lega yang perlahan-lahan mulaimenyingkirkan rasa perih di dadaku.
Saat waktu istirahat tiba, Bu Ratih menghampiriku dan membawaku duduk di kantin karyawan. Ia mengeluarkan sebuah bekal sederhana yang berisi nasi, tempe goreng, dan sayur bening di dalamnya. “Makan bareng, Nak. Kamu belum sempat makan apa-apa, kan?” ujarnya menawarkan padaku.
Aku terdiam, menatap bekal itu dengan mata berkaca-kaca. “Bu … saya … nggak tau harus membalas kebaikan Ibu dengan cara seperti apa …”
Bu Ratih tersenyum lembut, tangannya bergerak mengelus punggung tanganku. “Nggak usah dipikir, Nak. Kamu cukup jaga dirimu baik-baik dan jangan berhenti berjuang, nanti kalau sudah kamu mapan, kamu bisa menolong orang lain yang nasibnya sama kayak kamu sekarang. Itu udah lebih dari cukup buat Ibu.”
Aku tersenyum penuh haru, lalu mulai meraih sendok yang diulurkan oleh Bu Ratih. Kami makan dalam kesederhanaan, berbagi tanpa rasa sungkan, dan itu cukup untuk membuatku kembali bersyukur.
Setelah selesai makan siang, aku kembali berusaha menegakkan tubuh, mencoba menghapus bayangan pahit dari pikiranku. “Mulai sekarang aku harus kuat,” bisikku pada diri sendiri.
Aku kembali meraih pel dan sapu yang tersimpan di depan ruangan, menatap penampilanku agar tetap terlihat rapi. Kuhembuskan napas panjang, mengumpulkan semua energi untuk kembali memulai langkah yang baru, berat memang, tetapi aku harus yakin jika aku bisa melewatinya.
“Safira, sore kamu kebagian di area VIP lounge, ya. Nanti ada CEO dan beberapa tenant besar yang bakal survei ke sini untuk mengecek persiapan akhir. Kamu harus selalu memastikan kebersihan tetap terjaga, rapiin meja, sama siapin minuman kalau ada yang meminta,” ujar supervisor dengan ramah.
Aku hanya mengangguk patuh. "Baik Mbak," jawabku sopan.
Langkahku bergerak membawa ke sebuah ruangan luas dengan pintu yang tertutup di depan sana. Mataku menyisir menatap mall yang mulai di penuhi oleh para pengunjung yang tengah menyiapkan tenantnya masing-masing.
“Mommy!!”
Aku mendongak, kaget dan menatap seorang anak laki-laki mungil, mungkin tiga tahun usianya, yang tengah berlari dan tiba-tiba melompat ke pelukanku.
Aku terkejut, tanganku sontak menjauhkan pel dan sapu yang berada di genggamanku begitu saja. “Eh…?”
“Mommy! Aku kangen Mommy!” serunya dengan tangis yang pecah.
Ayahnya kini sudah berdiri tepat di depan kami. Sorot matanya begitu menusuk, aura dinginnya membuatku semakin sulit bernapas. “Lepaskan dia,” perintahnya dengan suara rendah.Tanganku terayun di udara, sementara bibirku hendak merespon ucapanya, tapi Kenzo lebih dulu menjawabnya, “Nggak! Aku nggak mau! Aku takut kalau Mommy pergi lagi … Aku nggak bakal lepasin!”Ayahnya menarik napas berat, rahangnya terlihat semakin mengeras, jelas ia tengah menahan sesuatu di dalam dadanya. Tangannya terulur, hendak memisahkan kami dengan paksa. Namun, begitu jemarinya menyentuh bahu kecil Kenzo, bocah itu kembali menjerit histeris, memelukku lebih erat lagi, seolah tubuh mungilnya menolak disentuh siapa pun kecuali aku. “Nggak! Aku mau Mommy!”Aku semakin terpaku dibuatnya, otakku seakan tak bisa mencari jalan keluar dari situasi ini, mataku hanya bisa menatap balik tatapan dingin pria itu, sementara hatiku sendiri semakin diremuk oleh tangisan anak kecil yang bahkan baru saja kukenal.Tanganku te
“A-aku … Mommy?” bisikku, bingung, tatapanku menoleh kanan-kiri mencari siapa orangtuanya.Bocah itu… entah kenapa tatapannya begitu menusuk hati, seolah aku benar-benar orang yang ia cari selama ini. “Mommy … jangan tinggalin aku lagi…” rengeknya dengan memeluk pinggangku erat.“Sayang … kamu salah orang …” bisikku pelan, tapi justru kalimat itu berhasil membuat tangisnya pecah semakin keras. Air mataku jatuh tanpa bisa kucegah. Jemariku gemetar saat menyentuh rambut hitamnya yang begitu lebat. “Maafkan Tante, Nak… Tante bukan orang yang kamu cari…,” gumanku dengan suara parau.Tapi bocah itu menggeleng kuat-kuat, tangannya masih menempel erat pada tubuhku, seolah tengah menyampaikan rasa rindunya pada sosok yang ia panggil Mommy. “Enggak! Kamu Mommy! Aku hafal tubuh Mommy! Aku hafal wajah Mommy!”Aku memejamkan mataku sejenak, kata-katanya menusuk begitu dalam, seakan ia benar-benar yakin kalau aku adalah ibunya. Sementara itu, aku hanya bisa berdiri di tengah-tengah mall, memeluk s
Pak Bayu berdeham, lalu terlihat menuliskan sesuatu di sebuah buku besar, setelah beberapa saat, ia mengangguk seraya mengembalikan KTP milikku. “Mulai kerja hari ini, ya. Seragam nanti diambil di gudang. Kamu langsung ikut Bu Ratih dulu, belajar cara kerjanya gimana.”Aku terbelalak, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. “S-sekarang, Pak?” tanyaku terbata.“Ya, sekarang,” ujarnya menganggukkan kepala. “Mall ini sudah mau soft opening besok pagi, jadi kami butuh tenaga tambahan segera buat memastikan pengunjung tetap merasa aman dan nyaman. Kalau kamu bersedia, langsung bisa kerja sekarang juga,” jawabnya dengan tenang, seolah itu hal paling biasa di dunia.Aku menangkupkan tangan di dada, menahan haru yang terus menyerusuk masuk. “Terima kasih banyak, Pak … terima kasih, Bu Ratih …,” ucapku menatap keduanya bergantian.Bu Ratih menepuk bahuku dan tersenyum hangat. “Lihat, Nak? Tuhan nggak pernah tidur untuk membantu setiap hamba-Nya. Jalannya akan selalu ada, bahkan
“Nak … kamu kenapa? Kok nangis di sini?” suara lembut seorang ibu paruh baya menembus kabut pilu di hatiku.Aku menoleh pelan ke arahnya, sementara tanganku buru-buru mengusap pipi dan menyeka air mata secepat mungkin. “Saya … baru aja diusir, Bu …” jawabku dengan nada tercekat. “Ak-akta cerai,” tambahku memperlihatkan selembar kertas, satu-satunya barang yang kubawa dari rumah itu.Ibu itu tersenyum samar, lalu menepuk pelan punggungku. “Sabar ya, Nak. Hidup memang kadang nggak adil buat kita. Tapi bukan berarti hidup kamu harus berhenti di sini. Kamu masih muda, masih bisa kerja, dan masih bisa berdiri lagi buat buktiin kalo kamu kuat menghadapi dunia yang nggak adil ini.”Aku menundukkan kepala, menatap kaki yang sudah membawaku melangkah berjam-jam dan jauh dari rumah hingga ke tempat ini. “Tapi saya nggak punya siapa-siapa, Bu. Saya nggak tau harus kemana....”“Kebetulan, di mall tempat Ibu kerja, masih ada lowongan kerja buat office girl. Kerjanya bersih-bersih aja, ringan kok .
"Betul!" pekik ibu mertua lantang. "Saya yang udah ngurus semuanya! Mulai hari ini kamu BUKAN lagi istri anak saya! Kamu itu aib bagi keluarga ini, Safira! Dan saya nggak mau satu atap lagi sama orang kayak kamu!" murka ibu mertua tanpa mempedulikan perasaanku.Tubuhku terduduk di lantai yang terasa dingin, serasa semua otot-otot dan tulangku melunak, mataku menatap penuh harap pada ibu mertua. "Bu … to-long … jangan … saya … saya masih istri sah Mas Alvin …," bisikku menahan isak. Rasanya, aku belum siap menghadapi situasi seperti ini seorang diri setelah semua yang aku korbankan untuk keluarga ini.Ibu mertua bertolak pinggang, dan tatapan yang begitu nyalang. "SAH apanya?!" potongnya tak terima. "Kalau Alvin sendiri udah rela tanda tangan cerai dan ngurus semuanya, buat apa kamu masih bertahan di sini?! Harusnya kamu bilang seperti itu ketika dalam persidangan ... tapi, semuanya sudah telat, Safira!"Aku mengerjapkan mataku, menoleh sekali lagi ke arah suamiku, berharap ia memberi
Itu gerakan yang sama. Yang dia lakukan padaku saat dia bilang aku satu-satunya wanita di hatinya. Saat dia bilang cinta tak akan berubah. Tapi sekarang, semua itu dia bagikan … pada orang lain. Pada keluarganya sendiri.Aku berdiri mematung, dadaku naik-turun menahan amarah dan luka secara bersamaan. Tapi bibirku tak mampu mengeluarkan satu kata pun. Mataku mulai panas melihat adegan yang begitu menjijikan. Aku ingin berteriak! Ingin marah pada mereka, tapi ... aku tak memiliki tenaga. Aku hancur. Aku hancur!"Mas ... lebih dalam ...," desahan Nesya mengiris gendang telingaku seperti pecahan kaca, tanganya menggelayut pada tengkuk suamiku dan kakinya mengapit badan suamiku, lidah mereka saling beradu satu sama lain, bertukar saliva tanpa merasa bersalah.Seakan menuruti permintaannya, suamiku menggerakkan badannya lebih cepat, ia memompa miliknya begitu semangat seakan ini menjadi permainan terakhir untuk mereka, "Kamu milikku malam ini … eh, pagi ini," ia terkekeh lalu menghentakkan