Share

Bab 5 - Mommy?

Penulis: Anidania
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-09 11:13:43

Pak Bayu berdeham, lalu terlihat menuliskan sesuatu di sebuah buku besar, setelah beberapa saat, ia mengangguk seraya mengembalikan KTP milikku. “Mulai kerja hari ini, ya. Seragam nanti diambil di gudang. Kamu langsung ikut Bu Ratih dulu, belajar cara kerjanya gimana.”

Aku terbelalak, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. “S-sekarang, Pak?” tanyaku terbata.

“Ya, sekarang,” ujarnya menganggukkan kepala. “Mall ini sudah mau soft opening besok pagi, jadi kami butuh tenaga tambahan segera buat memastikan pengunjung tetap merasa aman dan nyaman. Kalau kamu bersedia, langsung bisa kerja sekarang juga,” jawabnya dengan tenang, seolah itu hal paling biasa di dunia.

Aku menangkupkan tangan di dada, menahan haru yang terus menyerusuk masuk. “Terima kasih banyak, Pak … terima kasih, Bu Ratih …,” ucapku menatap keduanya bergantian.

Bu Ratih menepuk bahuku dan tersenyum hangat. “Lihat, Nak? Tuhan nggak pernah tidur untuk membantu setiap hamba-Nya. Jalannya akan selalu ada, bahkan dari sisi yang tak kita duga sebelumnya. Mulai hari ini, kamu nggak sendirian lagi.”

Aku mengangguk, samar, senyuman kecil terbit di bibirku. Sejenak, aku harus bisa melupakan kondisiku saat ini, aku harus bisa bangkit dan kembali mengejar mimpi-mimpiku yang sudah lama kulepaskan. Aku bertekad akan membalas semua kebaikan Bu Ratih di masa yang akan datang ... dan aku berjanji akan membahagiakannya lebih dari diriku sendiri.

“Ayo,” ucap Bu Ratih membuyarkan lamunanku.

Ia membawaku ke ruang perlengkapan yang berada di belakang gedung. Seorang supervisior menyerahkan seragam kerja baru berupa kemeja biru muda dengan celana hitam polos, serta sepatu hitam mengkilat dan sebuah topi di atasnya. Aku sempat tertegun menatapnya, lalu tersenyum getir. Bukan pakaian mewah seperti dulu ketika masih menjadi “nyonya” di rumah itu, tapi inilah simbol baru kehidupanku yang harus kujalani dengan penuh rasa semangat.

“Ganti dulu, Nak. Habis itu kita mulai kerja, ya,” ujar Bu Ratih lembut.

Aku mengangguk pelan dan masuk ke ruang ganti, tatapanku tertju pada cermin, aku menatap bayanganku di depan sana, nyaris tak mengenali diriku sendiri. Mata sembab, wajah pucat, dan kini dibalut seragam sederhana yang tak pernah bisa kulupakan. Tapi di balik kesederhanaan itu, ada secercah harapan yang muncul dan aku akan segera meraihnya.

Begitu keluar dari ruang ganti, Bu Ratih langsung menyodorkan sapu dan ember pel ke arahku. “Mulai dari sini, nanti sampai ke lorong di lantai dua. Jangan khawatir, kerjaan kita nggak terlalu berat, yang penting telaten dan sabar.”

Aku menelan ludah dengan susah payah, lalu menggenggam gagang sapu erat-erat. “Baik, Bu.”

Langkahku masih terasa kikuk saat mulai menyapu lantai marmer yang begitu luas, bahkan terlalu luas untukku yang tak pernah melakukan pekerjaan ini, kecuali di rumah. Beberapa pengunjung yang kurasa adalah para tenant menatapku sekilas, sebagiannya lagi berlalu begitu saja. Dadaku terasa sesak, seolah mereka bisa membaca kisah getir di balik tubuh yang kini membungkuk menyapu debu-debu yang menempel di lantai.

“Pelan-pelan aja, Nak. Anggap aja ini rumahmu, biar kerjaanmu jadi bersih, biar rapi juga. Kalau hatimu lagi sakit, kerjanya sambil doa, biar setiap usapan itu bisa jadi obat buat kamu,” ingat Bu Ratih yang tengah berdiri di smpingku.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mulai mengepel lantai dengan gerakan yang teratur. Setiap tarikan dan dorongan, kuiringi dengan bisikan lirih dalam hati. Ya Tuhan … beri aku kekuatan. Jangan biarkan aku jatuh terlalu lama.

Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Tangan dan punggungku terasa pegal, keringat mengalir deras mengenai pelipisku. Tapi entah kenapa, ada rasa lega yang perlahan-lahan  mulaimenyingkirkan rasa perih di dadaku.

Saat waktu istirahat tiba, Bu Ratih menghampiriku dan membawaku duduk di kantin karyawan. Ia mengeluarkan sebuah bekal sederhana yang berisi nasi, tempe goreng, dan sayur bening di dalamnya. “Makan bareng, Nak. Kamu belum sempat makan apa-apa, kan?” ujarnya menawarkan padaku.

Aku terdiam, menatap bekal itu dengan mata berkaca-kaca. “Bu … saya … nggak tau harus membalas kebaikan Ibu dengan cara seperti apa …”

Bu Ratih tersenyum lembut, tangannya bergerak mengelus punggung tanganku. “Nggak usah dipikir, Nak. Kamu cukup jaga dirimu baik-baik dan jangan berhenti berjuang, nanti kalau sudah kamu mapan, kamu bisa menolong orang lain yang nasibnya sama kayak kamu sekarang. Itu udah lebih dari cukup buat Ibu.”

Aku tersenyum penuh haru, lalu mulai meraih sendok yang diulurkan oleh Bu Ratih. Kami makan dalam kesederhanaan, berbagi tanpa rasa sungkan, dan itu cukup untuk membuatku kembali bersyukur.

Setelah selesai makan siang, aku kembali berusaha menegakkan tubuh, mencoba menghapus bayangan pahit dari pikiranku. “Mulai sekarang aku harus kuat,” bisikku pada diri sendiri.

Aku kembali meraih pel dan sapu yang tersimpan di depan ruangan, menatap penampilanku agar tetap terlihat rapi. Kuhembuskan napas panjang, mengumpulkan semua energi untuk kembali memulai langkah yang baru, berat memang, tetapi aku harus yakin jika aku bisa melewatinya.

“Safira, sore kamu kebagian di area VIP lounge, ya. Nanti ada CEO dan beberapa tenant besar yang bakal survei ke sini untuk mengecek persiapan akhir. Kamu harus selalu memastikan kebersihan tetap terjaga, rapiin meja, sama siapin minuman kalau ada yang meminta,” ujar supervisor dengan ramah.

Aku hanya mengangguk patuh. "Baik Mbak," jawabku sopan.

Langkahku bergerak membawa ke sebuah ruangan luas dengan pintu yang tertutup di depan sana. Mataku menyisir menatap mall yang mulai di penuhi oleh para pengunjung yang tengah menyiapkan tenantnya masing-masing.

“Mommy!!”

Aku mendongak, kaget dan menatap seorang anak laki-laki mungil, mungkin tiga tahun usianya, yang tengah berlari dan tiba-tiba melompat ke pelukanku.

Aku terkejut, tanganku sontak menjauhkan pel dan sapu yang berada di genggamanku begitu saja. “Eh…?”

“Mommy! Aku kangen Mommy!” serunya dengan tangis yang pecah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   MJIC 22 - Perhatian Raynard

    Malam hari berjalan dengan begitu cepat, Sus Rini sedang merapikan mainan di sudut ruangan. Aku duduk di sebelah Kenzo, mencoba fokus pada TV yang menyala, tapi jauh di dalam hati, aku masih terbayang kejadian di mall tadi siang.Notifikasi video call berbunyi di ponselku, sontak mengalihkan perhatian kami. Aku dengan cepat mengangkat ponsel dan menerima panggilan itu.“Hallo.”Kenzo langsung berdiri di sofa begitu mendengar suara dari ponselku. “Daddy! Daddy!” teriaknya girang, lalu duduk tepat di pangkuanku.Wajah Raynard muncul di layar—tengah berdiri di sebuah ruangan hotel dengan lampu kuning temaram, ia mengenakan kemeja putih dan dasi yang sudah sedikit longgar, wajahnya mengisyaratkan rasa lelah yang begitu kentara.Tapi begitu melihat Kenzo ... wajahnya kembali melunak.“Kenzo,” sapanya pelan.“Daddy!! Aku kangen! Monty juga!” ujar Kenzo sembari mengangkat bonekanya tepat ke kamera, membuat Raynard mengangkat alisnya.“Oh begitu?” jawab Raynard menatapku sekilas di layar. Tat

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 21 - Mereka Jahat

    Sus Rini yang berjalan di sampingku tampak menatapku sekilas, lalu menunduk, mungkin menyadari ada sesuatu yang tidak beres dari raut wajahku. “Safira, kamu nggak apa-apa?” tanyanya hati-hati.Aku menggeleng pelan, memaksakan senyum. Tapi senyum itu langsung pudar ketika pandanganku tanpa sengaja bertemu pantulan kaca di etalase toko — menampilkan wajahku sendiri yang terlihat pucat dan tegang.Melihat perubahanku, berdeham. “Tadi ... mereka itu siapa?” tanyanya pelan, seolah takut salah bicara.Aku menarik napas panjang, mencoba mengatur nada suaraku agar tetap tenang. “Itu ... mantan suami,” jawabku lirih. “Dan perempuan yang bersamanya ... sepupunya.”Sus menatapku kaget tapi cepat-cepat menundukkan kepala, merasa bersaah. “Oh ... maaf, saya nggak tahu.”Aku tersenyum tipis, menganggukkan kepala sekali. “Nggak apa-apa, Sus. Saya juga nggak nyangka bisa ketemu mereka di sini,” jawabku diiringi tawa getir.“Monty kenapa?” tanya Kenzo polos, ketika menunggu antrean di depan kasir..Ak

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 20 - Sombongnya Nesya

    Mereka berjalan beriringan, tangannya menggenggam lengan Alvin dengan manja, sementara pria itu hanya tersenyum tipis seperti biasa—senyum yang dulu begitu kukenal.Tubuhku terasa dingin. Aku ingin berbalik, berpura-pura tidak melihat, tapi suara mereka sudah terlalu dekat.“Oh, aku nggak salah lihat ternyata,” suara Nesya terdengar lembut tapi penuh nada sinis. “Safira?” ulangnya memastikan.Aku menatapnya perlahan, mencoba mempertahankan sisa ketenangan di wajahku. “Nesya,” sapaku singkat.Matanya menelusuri tubuhku dari atas ke bawah, dari baju sederhana dan rambut yang diikat seadanya, lalu berhenti pada tangan kecil Kenzo yang menggenggam jariku erat. Senyum miring terbit di bibirnya. “Sekarang kamu kerja jadi babysitter, ya?”Aku menelan ludah, tak tahu harus menjawab apa. Suaranya bukan sekadar bertanya—tapi penghinaan halus yang menusuk lebih dalam daripada rasa sakit yang ia berikan sebelumnya.Sementara Alvin, mantan suamiku, hanya berdiri diam di sebelahnya. Wajahnya datar,

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 19 - Pertemuan Tak Terduga

    “Jangan sampai dia merasa kehilangan sosok ayah, meskipun saya nggak ada di sini,” ucapnya singkat setelah menimbang beberapa saat.Aku menelan ludahku sendiri, mencoba menyembunyikan debaran di dadaku yang semakin keras. “Baik, Tuan. Saya akan berusaha,” janjiku, menganggukkan kepalaku sekali.Dengan satu helaan napas panjang, Raynard melangkah keluar, tannpa kata perpisahan sedikitpun untuk ... ya, Kenzo. Pintu tertutup dengan pelan, meninggalkan keheningan yang langsung memenuhi seisi ruangan. Tatapanku tertoleh pada Kenzo yang masih menatap pintu dengan wajah yang semakin sendu, membuat mobil-mobilannya terhimpit erat dalam genggamannya.Bocah kecil itu akhirnya menoleh padaku, dengan mata yang terus menahan kepedihan. “Monty ... Daddy pulang lagi kan?” tanyanya polos, suaranya yang lirih membuat hatiku seolah diremas oleh rasa sakit yang tak terhingga.Aku berjongkok, menyejajarkan badanku dengannya, menangkup pipinya dengan lembut seraya menganggukkan kepalaku pelan. “Iya, Sayan

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 18 - Berpamitan

    Pagi hari kembali menyapa, menampakkan cahaya matahari yang menembus melalui tipis tirai di jendela kamar. Aku baru saja selesai merapikan tempat tidur ketika suara langkah kecil terdengar dari luar kamarku. Pintu kamar terbuka dengan perlahan membuatku menoleh, di ambang pintu, menampakan wajah Kenzo yang masih setengah mengantuk, rambutnya berantakan, dan boneka kecilnya tergenggam erat di tangan mungilnya.“Monty ...,” panggilnya pelan sambil menyeret langkahnya masuk.Aku memaksakan senyum, walaupun masih terkejut dengan kedatangannya, lalu buru-buru berjongkok dan merentangkan tangan untuk menyambutnya. “Kenzo, udah bangun? Kenapa nggak sama Sus Rini?” tanyaku mengusap rambutnya.Bocah itu menggelengkan kepala, sementara matanya kembali berkaca-kaca. “Aku nggak mau pergi kalau Monty nggak ikut ...,” ujarnya dengan lirih.Aku kembali terdiam, hatiku tercekat melihat wajah mungil itu yang selalu menunjukkan ketulusan. “Kenzo ... kan semalem kamu udah janji sama Monty kalau kamu mau

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 17 - Ajakan Ke Luar Negeri

    Raynard menyipitkan matanya dan menatapku dari spion kecil, lalu menggelengkakn kepala. “Kalau kau tidak pantas, saya tidak akan pernah menawari kontrak itu. Kau hanya harus belajar untuk percaya ... entah pada dirimu, atau pada saya, dan orang lain.”Deg. Ada sesuatu yang menohok tepat di dadaku, kata ‘percaya’ yang selama ini aku sematkan pada keluargaku ... namun pada kenyataannya, mereka mengkhianatiku dengan rasa sakit yang luar biasa. Aku buru-buru memalingkan wajahku, berusaha menyembunyikan perasaan yang membuncah entah apa namanya.Tak lama kemudian keadaan mobil menjadi hening sampai pada akhirnya mobil berhenti tepat di halaman rumah. Aku buru-buru meraih tas kecilku dan menyelempangkan di pundak, sementara satu tanganku meraih tangan Kenzo untuk kugenggam, aku bersiap membuka pintu, tapi belum sempat aku membkanya, pintu di sampingku sudah lebih dulu terbuka dari luar membuatku sedikit terlonjak. Raynard berdiri di sana, dengan badan yang tegap dan tatapan dingin, tapi tan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status