Istri yang Kuabaikan

Istri yang Kuabaikan

last updateLast Updated : 2023-03-27
By:  Ina RCompleted
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
2 ratings. 2 reviews
32Chapters
23.7Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Hans yang mencintai istrinya karena fisik begitu kecewa melihat perubahan dratis pada tubuh istrinya Almira. Hal itu dimula saat Almira keguguran tubuhnya semakin tak terkondisikan, dan membuat Hans sering marah. Hal itu pula yang membuat Hans berpaling pada wanita lain. Padahal sebagai istri Almira sudah melakukannya dengan baik. Tapi, Hans masih tak terima karena Almira tak bisa merawat tubuhnya dengan baik. Namun, siapa sangka istri yang dianggapnya tak cantik lagi itu ternyata mempunyai cinta yang begitu tulus. Dimatanya mungkin Almira sudah tak cantik. Tapi, dimata lelaki lain, Almira adalah perempuan impian. Hal itu membuat Hans cemburu, dan sadar. Saat ia ingin memperbaiki semuanya, penyesalan datang terlambat.

View More

Chapter 1

Kutilang

"Hans, kamu gak lupa, 'kan, nanti malam pertunangannya Al. Anaknya Bu Desi tetangga kita dulu?" tanya Mama di ujung ponsel saat aku tengah sarapan.

"Gak kok, Ma aku ingat," jawabku sembari mengunyah nasi goreng yang baru saja kusuapkan ke dalam mulut.

"Kenapa suaramu seperti orang berkumur-kumur gitu? Lagi makan? Kamu ini, gak sopan kalau ngomong sama orang tua sambil ngunyah gitu?" protes Mama, yang terdengar risih.

"Iya, Ma maaf!" jawabku buru-buru minum agar makanan dalam mulut segera masuk ke perut.

Terdengar Mama menghela nafas, mungkin tengah kesal. Tapi, aku yakin Mama gak akan marah. Ya karena bagaimanapun aku ini anak laki-laki kesayangannya sekaligus satu-satunya. Kakakku perempuan, adikku juga perempuan.

"Mama dengar calonnya Al itu anak orang kaya lho." Mama berkata dengan antusias. "Punya usaha sendiri, berpendidikan, mandiri lagi. Coba istrimu juga begitu, " tutur Mama panjang lebar.

Aku sudah biasa mendengar keluhan Mama tentang istri pilihanku. Dulu Mama juga suka memujinya, namun sejak Almira tak bekerja, dan tak punya penghasilan lagi, Mama jadi berubah. Terlebih, Almira belum bisa memberi Mama cucu.

"Ya udah, Mama tutup dulu telponnya. Mama mau bikinin teh dulu buat Bapakmu." Mama berucap setengah berbisik. Lalu, langsung mematikan ponselnya. Sementara aku kembali melanjutkan sarapan yang sempat terjeda.

"Siapa, Mas?" tanya Almira sembari menuangkan air ke gelasku yang sudah hampir habis.

"Mama. Nanti malam aku mau pergi ke acara pertunangan Al, tolong kamu setrikain baju aku yang warna biru langit!"

"Al itu siapa, Mas?"

"Teman Mas waktu kecil, sekaligus tetangga waktu di rumah Mama. Tapi, sekarang mereka udah pindah," jawabku. Almira nampak mengangguk mendengar penjelasanku, sembari mulutnya terlihat ber oh ria.

"Aku ikut ya, Mas!" ucapnya kemudian sembari memegang tanganku.

"Gak usah," jawabku singkat. Malas kalau harus ngajak dia.

"Lho kenapa, Mas?" tanyanya nampak terkejut.

"Langsingin dulu itu badan! Kamu gak lihat badan kamu sekarang udah kayak karung beras begitu? Nanti malah bikin malu," ucapku tanpa peduli perasaannya.

Almira terdiam, sembari menunduk. Barangkali ia tengah kecewa atau terluka hatinya mendengar ucapanku barusan. Tapi, bukankah memang begitu kenyataannya?

Usia pernikahan kami baru memasuki dua tahun, belum juga punya anak. Tapi, badan Almira sudah seperti gentong air. Benar-benar bukan istri yang bisa dibanggakan. Dulu waktu aku menikahinya dia seperti kutilang (Kurus, Tinggi, langsing). Bahkan banyak laki-laki yang menyukainya.

Namun, waktu itu sepertinya takdir baik sedang berpihak padaku. Saat aku mengatakan cinta padanya, bagai gayung bersambut. Ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.

Karena banyak laki-laki yang menyukai Almira, aku tidak mau menunda terlalu lama untuk menghalalkannya. Lagian, usia kami juga tidak lagi muda. Bukan lagi, waktunya pacar-pacaran. Kami memang lulusan SMA yang sama, sudah sejak lama aku menyukainya. Namun, kupendam saja karena waktu itu kami masih sekolah, Bapak melarang pacar-pacaran. Katanya fokus belajar dulu, gak usah pacar-pacaran.

"Memangnya mau ngapain pacaran?" tanya Bapak kala itu, gara-gara Nantri adik perempuanku nemuin surat yang lupa kusimpan. Kalau saja dia bacanya gak kedengeran Bapak juga gak bakalan sampai ditegur, ini sengaja suaranya dikeras-kerasin supaya Bapak dengar.

"Ya gak ngapa-ngapain, Pak," jawabku takut-takut.

"Kalau gak ngapa-ngapain, ngapain pacaran?"

Aku diam, tak berani menjawab apa lagi membantah. Sejak itu aku tidak berani lagi naruh surat sembarangan, dan memilih mencintai diam-diam, termasuk mencintai Almira yang akhirnya sampai kami lulus menjadi cinta dalam diam.

Aku pikir setelah lulus kami tidak akan bertemu lagi. sekian tahun terpisah akhirnya kami bertemu untuk urusan pekerjaan. Memang ya, kalau jodoh gak kemana, tulang rusuk dan pemilik hati tidak akan tertukar. Gak seperti sendal jepit yang bisa ketukar. Paling juga jagain jodoh orang.

Seperti yang pernah saya baca bahwa jodoh itu seperti 'Alif Lam Mim' ayat pertama dalam surat Al-Baqarah. Artinya yaitu, hanya Allah yang tahu.

Sejak pertemuan itu, kami jadi sering bertemu. Lebih tepatnya aku yang sering berkunjung ke rumahnya walau hanya sekedar untuk numpang minum teh manis atau nganterin jajanan cilok yang sengaja kubeli di pinggir jalan, biar ada alasan untuk bertemu. Karena, kami tidak satu kantor.

Setelah menikah, aku melarang Almira bekerja dengan alasan agar ia fokus mengurus keluarga saja. Almira memang sempat hamil. Namun, keguguran di usia kandungannya memasuki 3 bulan. Karena kata bidannya janin di rahim Almira tidak berkembang.

Aku sempat marah, dan menyalahkannya karena ia tidak becus menjaganya. Bagaimana mungkin bisa tidak berkembang? aku selalu memenuhi kebutuhannya. Makanan bergizi, susu ibu hamil, vitamin dan segala yang ia butuhkan selalu aku penuhi. Tapi, nyatanya tetap saja ia keguguran. Bahkan setelah keguguran, badannya semakin melebar gak ketulungan. Harusnya orang setress itu gak selera makan, ini malah sebaliknya.

"Tapi, Mas ...."

"Udah gak ada tapi-tapian, kamu mau bikin aku malu?" tanyaku dengan ketus.

Almira kembali diam sembari menggelengkan kepala dengan pelan. Kentara sekali wajahnya menggambarkan raut ke khawatiran mendengar bentakan dariku. Kutahu dia adalah tipe istri yang penurut, tidak akan berani membantah.

"Aku berangkat kerja dulu!" ucapku seraya bangkit dari kursi makan. Lalu, Almira pun buru-buru bangkit dan menyambut tanganku.

"Fii amanillah, Mas," ujarnya sembari memberikan tas kerja padaku. Entah apa artinya aku hanya menjawabnya dengan gumaman. Lalu, melangkah pergi.

***

Pukul tujuh lebih lima, aku tiba di kantor. Dengan status sebagai manager membuat keberadaanku cukup dihormati di sini. Sudah beberapa bulan ini pangkatku naik, tentu saja juga mengubah penampilanku semakin kece, ditambah lagi aku tampan, kata orang. Ya walaupun aku juga tidak mau menampikkan dan mengakui itu.

"Selamat pagi, Pak!" sapa security yang jaga pintu depan begitu aku memasuki gedung.

Aku tersenyum dan membalas sapaanya. Lalu, melangkah menuju ruangan kerjaku.

Untuk bisa sampai pada posisiku saat ini tidaklah mudah, butuh waktu dan kerja keras tentunya juga kesungguhan.

Sekarang bisa di bilang aku hampir punya segalanya tampan dan mapan. Tapi, hanya satu yang kusayangkan istriku yang tidak cantik seperti dulu lagi. Harusnya ia bisa merawat diri terlebih saat ini posisiku adalah seorang manager. Mengingat itu membuatku kesal.

***

Malamnya aku tengah bersiap, kulirik Almaira dari cermin saat aku tengah menyisir rambut. Wajahnya terlihat sedih, mungkin karena aku tak mengajaknya untuk pergi.

Aku menghela nafas, sebagai lelaki yang baik hati aku masih punya rasa empati.

"Kamu boleh ikut," ucapku sambil terus pura-pura sibuk menyisir rambut.

Almira langsung menoleh ke arahku, ada raut wajah tak percaya di sana.

"Apa, Mas? kamu seriusan?" tanya Almira, dari cermin aku bisa melihat binar terkejut sekaligus bahagia di matanya.

"Em ... Tapi, ada syaratnya!" ucapku sembari memutar badan menatap ke arahnya.

Dahi Almira berkerut mendengar itu, wajahnya yang tadi terlihat senang berganti dengan ragu.

"S-syarat?" Wajah Almira wajah terlihat ragu menyebut kalimat itu.

Aku mengangguk.

"A-apa syaratnya?"

Aku tersenyum, sembari memasukkan kedua tanganku ke saku celana. Tentu saja syarat yang kuajukan demi kebaikanku. Ah, tidak, tidak lebih tepatnya buat kami.

Bersambung ...

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
Aleeaaz
Suka dengan tokoh wanita yang kuat dan tegar
2025-05-13 14:32:15
0
user avatar
Indah Hayati
seru juga cerita nya terkadang suka kesel lihat sikap hans ke almira pengen segera penyesalan tu datang biar hans nya cepat sadar udah menyia2 isteri sperti almira
2023-03-06 08:02:07
2
32 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status