Home / Rumah Tangga / Istri yang Tak Dinafkahi / 7 Aku Adalah Milik Ibuku

Share

7 Aku Adalah Milik Ibuku

Author: Setia_AM
last update Last Updated: 2024-11-24 23:57:23

“Mata kamu kok sembab banget, Sin?” sambut Nesi saat Sindy tiba di resto keesokan harinya. “Berantem lagi sama Ardi?”

“Begitulah, aku sudah nggak kuat ...”

Nesi cepat-cepat menggendong Sisil, dan memotivasi Sindy untuk terus berjuang demi masa depan.

“Kalau Ardi nggak niat kasih nafkah, biarkan saja. Saatnya kamu unjuk gigi dengan jadi tukang masak di resto ini, Pak Zayyan sudah janji mau angkat kamu jadi karyawan tetap kalau resto ramai lagi kan?”

Sindy mengangguk pelan.

“Nah, jangan sia-siakan kesempatan itu! Biarkan Ardi dengan doktrin keluarganya, nanti akan tiba saatnya kamu membalikkan keadaan.”

“Apa aku mampu, Nes?”

“Pasti, kamu punya kelebihan. Jangan ragu untuk maju, Sin. Punya suami dzolim kayak Ardi, harus bikin kamu tahan banting. Cari uang sendiri untuk kamu nikmati sendiri sama Sisil, oke?”

Sindy terdiam sebentar. “Aku bukannya nggak mensyukuri nafkah dari Mas Ardi, berapapun itu pasti aku terima. Asalkan bukan sisa setelah nafkah itu dikurangi untuk kebutuhan orang tua dan keluarganya ...”

“Sinting memang, Ardi nggak ngerti apa itu prioritas.” Nesi geleng-geleng kepala.

“Sinting itu apa, Tante?” celetuk Sisil ingin tahu.

“Eh, maaf! Tante salah bicara ...” Nesi meringis. “Sisil main dulu sama Tante, biar ibu masak sebentar.”

Sembari mengenakan masker, Sindy tetap fokus meracik bumbu dan membakar ikan. Dia tetap berusaha profesional meski matanya bengkak karena menangis cukup lama.

Ardi? Dia tetap berlagak tidak punya salah dan mendiamkan Sindy, berpikir jika istrinya harus diperlakukan demikian supaya sadar diri.

“Mata kamu kenapa?” tanya Zayyan saat berkunjung ke dapur.

“Perih kena asap, Pak.” Sindy beralasan.

“Pakailah kaca mata.”

“Nanti kalau gajian, Pak.”

“Masa beli kaca mata saja tidak mampu?”

Nyesss! Pertanyaan Zayyan terasa mengiris-iris sanubari, tapi Sindy tidak ingin memasukkannya ke dalam hati.

“Saya tidak ingin kondisi mata kamu bikin citarasa ikan bakar ini jadi kacau ...”

“Saya jamin tidak ada pengaruhnya, Pak.”

“Oke, saya pegang omongan kamu.”

Sindy tidak lagi bicara, dia akan buktikan jika resep ikan bakarnya tidak akan berubah hanya karena suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja.

“Bu, mau ikan bakal ...” pinta Sisil saat Sindy bersiap pulang.

“Nunggu ibu gajian ya, Sayang?”

“Ibu kapan gajian?”

Sambil menahan perih di mata, Sindy menarik napas panjang.

“Mungkin ... sebentar lagi.”

Sisil mengerjapkan matanya, demi apa pun air mata Sindy mengalir tak tertahankan lagi. Dia tidak tega jika harus mengumbar janji, sementara gajian pertamanya saja masih lama.

“Nes, aku ... boleh pinjam uang lagi?” Sindy memberanikan diri. “Sisil kepingin ikan bakar, aku sudah nggak ada uang ... Karena berantem kemarin, aku kembalikan uang nafkah itu ke tangan Mas Ardi ... aku nggak pegang uang sama sekali ...”

Nesi menatap Sindy dengan iba. “Kasihan Sisil, ya sudah ... kamu pegang dulu uang aku ...”

“Terima kasih, Sil. Sama satu lagi ... bisa nggak kamu sampaikan ke Pak Zayyan kalau aku minta gajian per minggu? Berapapun itu, aku nggak masalah. Asalkan aku pegang uang dulu untuk makan aku dan Sisil ...”

Nesi mengangguk. “Aku akan coba bantu.”

“Terima kasih ya, Nes? Aku nggak tahu lagi harus gimana kalau nggak ada kamu, suatu saat aku akan balas budi baik kamu.”

“Nggak usah repot-repot, Sin. Pak Zayyan menjanjikan aku bonus kalau resto ini ramai lagi,” hibur Nesi. “Soalnya aku dianggap berjasa membawa kamu ke sini.”

“Sekali lagi terima kasih, Nes.”

“Yes, pulanglah dan masak ikan bakar untuk Sisil. Kalau bisa, Ardi nggak usah dikasih.”

Sindy tertawa, kemudian menerima uang pinjaman dari Nesi.

“Wah, enak nih! Sisil makan apa?” Ardi langsung menyapa putrinya begitu dia pulang dari bekerja di gudang.

“Ikan bakal, Yah.”

Ardi mengedarkan pandangan ke meja dan mendapati kepala ikan berserta durinya saja yang tersisa.

“Ikan bakarnya nggak ada lagi, Sil?”

“Habis Yah, Sisil suka!”

Sindy diam saja, meski dia sudah menghidangkan secangkir kopi dan juga tempe mendoan hangat untuk Ardi.

Dia melakukannya semata-mata untuk menghindari predikat istri durhaka.

“Kok cuma ini?” Ardi melirik mendoan hangat yang Sindy sajikan. “Harusnya ikan bakarnya disimpankan satu ...”

“Kamu kasih uang belanja nggak?” Sindy menyahut.

“Aku kan sudah kasih, kamu yang nolak. Salah sendiri, tapi buktinya kamu masih bisa masak ikan bakar. Pasti pakai uang yang kemarin-kemarin aku kasih ...” Ardi menggerutu.

Sindy melengos, menahan diri untuk langsung menyembur Ardi.

“Sisil cuci tangan dulu, setelah itu main di kamar ya?”

“Ya, Bu!”

“Anak solehah!”

Setelah Sisil berlalu pergi dari hadapan mereka, Sindy menatap Ardi dengan tajam.

“Kamu bilang apa tadi? Aku pakai uang yang kamu kasih kemarin-kemarin?”

Ardi mengangguk sambil mencomot sepotong tempe mendoan.

“Helllooooo, uang kamu mana pernah ada sisa, Mas! Yang ada kurang terus, karena selalu kamu kasih ke ibu kamu!”

Sindy lantas membereskan piring-piring bekas makan dirinya dan Sisil.

“Yang istri kamu tuh siapa sih? Aku apa ibu kamu?”

“Ya kamulah pakai nanya.”

“Terus kenapa malah ibu kamu yang selalu dinomorsatukan?”

Ardi terdiam, sementara mata Sindy menyorot tajam.

“Karena sampai kapanpun aku adalah milik ibuku, jadi wajar kalau aku menomorsatukan ibu dan keluargaku.”

Sindy tertawa sinis. “Ya sudah, kalau begitu nikah saja sama ibu kamu ...”

“Sindy!”

“Apa aku salah bicara? Aku masih bisa terima kalau nggak dikasih tahu berapa nominal gaji kamu yang sebenarnya, tapi setidaknya kalau kamu naik gaji, kamu wajib mendahulukan kebutuhan aku sama Sisil. Bukan orang tua dan keluarga besar kamu!”

“Nggak usah ngatur, yang penting kan aku tetap kasih kamu nafkah ...”

“Apa, nafkah sisa? Harusnya kamu kasih aku dulu, baru ke orang tua kamu kalau memang ada lebihan. Bukan sebaliknya, masa istri selalu dapat sisa. Padahal istri itu kan orang yang kamu pilih untuk kamu nikahi, tanggung jawab dong. Jangan setengah-setengah!”

Ardi berdecak. Inilah yang tidak dia sukai dari Sindy, setiap diberi pengertian pasti selalu membantah.

Benar-benar harus dididik seperti kata ibunya.

“Terserah apa kamu bilang, pokoknya sebagai istri kamu harus terima apa pun yang aku putuskan.” Ardi meraih secangkir kopi dan menyesapnya hingga tandas.

“Ya sudah, mulai sekarang silakan atur keuangan rumah ini. Aku nggak mau lagi,” tolak Sindy tegas.

“Apa maksud kamu?”

“Kalau kamu saja setengah-setengah dalam memberi nafkah, maka aku juga akan setengah-setengah menjalankan kewajibanku.”

“Oh, sudah mulai berani melawan kamu ya!”

“Melawan kezaliman adalah wajib!”

Ardi mengepalkan tangannya melihat keberanian Sindy.

“Oke, mulai sekarang aku yang akan urus keuangan. Kamu, jangan mimpi dapat jatah uang lagi.”

“Oke, deal!”

“Kita lihat nanti, sejauh mana kamu bisa bertahan.” Ardi mencela. “Tiga ratus ribu saja ngeluh nggak cukup, eh ini malah nantang nggak mau lagi ngurus keuangan.”

Sindy tidak menjawab, baginya cukup sampai di sini dia menunjukkan perlawanannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri yang Tak Dinafkahi    138

    Namun, dia tidak ingin Zayyan berpikir macam-macam tentangnya.Memang ada yang salah kalau Aftar dekat dengan Mita?“Kamu kenapa gelisah begitu?” tanya Zayyan seolah mengerti dengan gelagat istrinya. “Mungkin Aftar dan adiknya Ardi cuma teman biasa.”“Kamu yakin, Mas?”“Ya namanya juga pergaulan, kita tidak bisa ikut menyeleksi siapa-siapa saja yang berinteraksi sama adik-adikku. Kecuali terbukti ada yang membawa pengaruh buruk bagi mereka, baru di saat itulah aku akan bertindak.” Zayyan menjelaskan.“Semoga ini cuma prasangka buruk aku saja, mau gimana lagi ... Mita itu kan dulunya gencar sekali ngejar-ngejar kamu, aku curiga dia ...”Zayyan menunggu Sindy menyelesaikan ucapannya.“Takutnya Mita dekat-dekat Aftar cuma buat modus,” sambung Sindy dengan wajah muram.“Dia mau ngapain kek, yang penting aku tidak akan menanggapi. Jadi kamu tidak perlu khawatir, oke?”Sindy tidak menjawab.“Kok malah diam?”“Tidak apa-apa ...”“Jangan dipikirkan selama adiknya Ardi tidak mengus

  • Istri yang Tak Dinafkahi    137

    Usai Affan pergi, Roni menoleh ke arah Sindy."Itu nggak apa-apa adiknya Pak Bos disuruh-suruh, Mbak?""Nggak apa-apa lagi, Mas. Mereka kan memang ngisi waktu libur di sini, sama Pak Bos juga digaji kok.""Wah, salut aku.""Kenapa, Mas?""Sejak muda sudah dididik cari uang, nggak semua begitu soalnya.""Iya, mungkin karena perbedaan prinsip atau latar belakang."Mereka berdua tidak lagi mengobrol, melainkan kembali fokus dengan pekerjaan masing-masing."Kak!"Sindy menoleh dan melihat salah satu si kembar muncul di dapur."Sebentar lagi matang, Fan!""Aku Aftar, Kak.""Oh, kamu ada pesanan?"Aftar menggeleng ragu. "Aku tadi pesan minum sama Mbak Nesi, tapi katanya tinggal bikin saja di dapur.""Memang iya, khusus pegawai nggak usah bayar di kasir." Sindy menjelaskan sambil menghias piring saji untuk ikan bakarnya. "Kamu bisa bikin kopi atau teh di sini, Tar."Sebelum Aftar menjawab, tiba-tiba muncul saudara kembarnya."Ngapain kamu, ada pesanan?" Tanya Affan.Sebelum Aftar menjawab, S

  • Istri yang Tak Dinafkahi    136

    Sindy menatap Zayyan. "Namanya juga anak muda, Mas. Mungkin Aftar mau kumpul-kumpul selagi masih liburan di sini ...""Tapi biasanya anak itu lebih suka di rumah sama Affan, setahu aku libur mereka juga tidak terlalu lama. Ini sudah lebih dari dua mingguan kan?"Tidak berselang lama, terdengar deru suara motor yang melaju pergi meninggalkan rumah."Laki-laki mana ada yang anak rumahan, jarang." Sindy berkomentar."Mungkin, ya sudahlah. Kita lanjutkan, sampai mana tadi?""Belum sampai mana-mana ...""Kelamaan kan ini," kata Zayyan tidak sabar."Sabar ..." Sindy sedikit berdebar karena malam itu Zayyan menginginkan pengaman di antara mereka tidak perlu digunakan lagi. Ada rasa was-was jika penyatuan mereka langsung membuahkan hasil, jujur saja sindy belum merasa siap lahir batin.Keesokan harinya, dapur sudah ramai seperti biasa saat Sindy dan Zayyan turun untuk sarapan."Kemarin kamu pulang jam berapa?" Tanya Keke kepada Aftar, sementara satu tangannya terulur meraih tangan Sisil. "Cuc

  • Istri yang Tak Dinafkahi    135

    "Cukup ya, aku sudah tahan-tahan sejak tadi. Tapi kamu semakin berburuk sangka sama sindy," tegas Zayyan habis sabar. Kalau bukan karena ada Sisil di dekatnya, dia pasti sudah membuat perhitungan dengan Ardi sedari tadi."Aku bicara kenyataan, sindy pasti sudah berhasil memengaruhi Sisil supaya nggak mau ikut aku menginap ...""Cukup, silakan pulang. Aku selalu rutin ajak Sisil jalan-jalan ke taman setiap sore, jadi tolong pengertiannya." Wajah Ardi semakin masam ketika Zayyan terang-terangan mengusirnya di depan Sisil dan Mita.**"Kalau Ardi tetap menggugat hak asuh Sisil melalui meja hijau bagaimana, Mas?"Sejak Zayyan memberi tahu tentang niat Ardi tentang perebutan hak asuh, hati Sindy semakin tidak tenang dari hari ke hari."Aku tidak bermaksud meremehkan ayahnya Sisil, tapi memangnya dia mampu?" "Begitulah, Mas ...""Kalau dia mampu secara keuangan, kenapa tidak memikirkan nafkah Sisil saja? Apa karena dia merasa bahwa semua kebutuhan Sisil sudah tercukupi sama kamu?" "Aku j

  • Istri yang Tak Dinafkahi    134

    Sindy membelalakkan matanya mendengar permintaan Ardi.Lebih tepatnya tuntutan."Hak asuh Sisil? Beraninya kamu ...""Apa salahnya? Sisil anak kandung aku."Sindy melirik Zayyan, seolah meminta izin untuk mengamuk detik itu juga."Sebentar, ini tadi rencananya kan cuma mau bertemu Sisil. Kenapa jadi bahas masalah hak asuh anak?" Tanya Zayyan tidak senang."Sekalian saja mumpung kalian ada di sini, aku nggak mau kalau sampai Sisil melupakan aku sebagai ayah kandungnya atau lebih dekat sama orang lain yang bukan siapa-siapa."Sorot mata Ardi menyala-nyala ketika mengucapkan hal itu, seakan selama ini dia telah dipisahkan dengan sangat sadis oleh sindy."Sebaiknya kamu bawa Sisil kayak dulu," pinta Zayyan kepada Sindy."Iya, mas ...""Tunggu, mau dibawa ke mana anakku? Aku belum puas bertemu sama dia," protes Ardi keras."Kita tidak bisa membicarakan hal-hal seperti ini di depan Sisil," kata Zayyan tenang. "Jadi biarkan dia sama sindy di dalam dulu.""Tapi urusanku cuma sama sindy ...""

  • Istri yang Tak Dinafkahi    133

    “Boleh minta, Nek?” Celetuk Sisil, perhatiannya terpecah saat menyaksikan Mita ngemil.“Tentu saja, Sisil ambil yang disuka.”“Terima kasih, nek.”“Sama-sama, Sayang.”Hati Ardi terasa aneh ketika melihat interaksi yang cukup akrab antara Sisil dan nenek barunya, padahal selama ini dia jarang sekali melihat Ratna bisa sedekat itu dengan sang cucu semata wayang.“Ayah, minum!” Kata Sisil ceria.“Iya, Sil ...” Meski canggung karena seolah Keke mengawasi, Ardi meneguk es sirup yang dihidangkan.Tidak berapa lama kemudian, mobil Zayyan menepi di depan halaman rumah. Begitu mesin mobil berhenti, sindy dan Zayyan langsung turun.“Itu Ibu sama papa Yayan!” Tunjuk Sisil, fokusnya kini teralihkan sepenuhnya kepada mereka berdua.Membuat Ardi kesal saja.“Jadi gimana, Sil? Mau ya ikut sama ayah menginap di rumah nenek Ratna?” Tanya Ardi tanpa bosan sementara Mita lebih memilih untuk melanjutkan ngemilnya.“Gak, Yah ...”“Kok nggak mau sih?”Kali ini Keke diam saja karena sindy dan

  • Istri yang Tak Dinafkahi    132

    “aku akan telepon mama dan memintanya untuk tidak meninggalkan Sisil sendirian, kamu tenang ya?” Bujuk Zayyan, dia sangat mengerti dengan kegelisahan yang dirasakan sindy.“Cepat, Mas! Atau kamu bisa pulang duluan, aku benar-benar tidak tenang ini ...”Zayyan menyentuh lengan sindy sebagai isyarat untuk diam sejenak karena sambungan dengan Keke mulai terhubung.“Halo, Zay?”“Ma, ayah kandung Sisil mau datang ke rumah. Aku minta tolong jangan pernah tinggalkan Sisil sama dia, ini sindy sudah ketakutan setengah mati soalnya.”“Memangnya ada apa, Zay? Ayahnya Sisil Cuma datang buat bertemu, kan?”“Ceritanya panjang, ma. Pokoknya aku minta tolong jangan biarkan Sisil sendirian, tolong ya, Ma?”“Oke, kamu tenang saja. Mama akan jaga Sisil,” sahut Keke buru-buru.Usai pembicaraan dengan ibunya berakhir, Zayyan menoleh memandang Sindy.“Mama sudah aku kasih tahu soal Ardi, jadi kamu tenang saja.”Sindy hanya bisa mengangguk, meski dalam hati rasanya ingin cepat pulang ke rumah.“K

  • Istri yang Tak Dinafkahi    131

    Sindy mengangguk, dia percaya jika Zayyan yang bicara.**Hari yang direncanakan tiba, Ardi harus menekan ego-nya sampai ke dasar demi bisa menemui putri semata wayangnya.Ditemani Mita, dia meluncur pergi ke restoran Zayyan sepulang kerja untuk meminta alamat rumah mereka."Resto sudah tutup belum ya jam segini, Mit?""Masih buka biasanya, kita kan cuma minta alamat rumah kakak bos. Malah lebih nyaman kalau kita bisa menemui Sisil tanpa kehadiran mereka kan, Kak?"Ardi mengangguk setuju. "Betul juga kamu, Mit.""Ayo kita berangkat sekarang, keburu pulang mereka nanti!"Ardi segera menyalakan motornya dan melaju kencang bersama menuju ke restoran Zayyan."Nes, panggil bos kamu sekarang." Ardi memerintah ketika dia tiba di resto dan langsung menemui Nesi di meja kasir."Ada urusan apa kalau boleh tahu?" Tanya Nesi formal."Ada deh, ini urusan aku sama bos kamu. Cepat panggil," perintah Ardi lagi, membuat wajah Nesi seketika masam. Meski begitu, dia langsung meraih gagang telepon dan me

  • Istri yang Tak Dinafkahi    130

    Selama beberapa saat mereka berdua terdiam dan sibuk dengan isi pikiran masing-masing."Apa kita harus membutuhkan pengakuan langsung darinya kalau ingin meneruskan kasus itu?" Tanya Zayyan masih penasaran."Memang tidak harus, asalkan ada bukti yang kuat. Masalahnya adalah kita baru menyelidiki sendiri karena ternyata pihak berwajib kurang gesit dalam menangani kasus Anda, dalam kurun waktu tersebut saya yakin sudah banyak bukti yang entah tercecer, entah tersamarkan." Boby menjawab dengan raut wajah serius."Wah, wah, dia benar-benar bermain cantik dan rapi.""Lebih tepatnya karena didukung situasi juga, Pak. Anda yang saat itu kecelakaan cukup parah, kemudian lanjut terapi, sehingga Nyonya Keke hanya fokus terhadap kesembuhan Anda, dan dia datang sebagai malaikat penolong di saat yang benar-benar tepat."Zayyan mengangguk setuju. "Jadi dia memiliki alibi untuk berkelit kalau kita mendesaknya sekarang?""Saya pikir begitu, terpaksa kita harus bersabar dan tetap memantau pergerakan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status