“Bisa-bisanya dia menuduhku berzina sebelum menikah, sementara ia justru berselingkuh di belakangku."
Analea berguman pada dirinya sendiri. Seketika dadanya merasakan sesak dan nyeri. Kedua tangan Analea mengepal erat karena geram.Sekian detik kemudian, Analea melangkah mendekati pintu, lalu menggedornya dengan sedikit kasar. Tidak ada jawaban.Cukup lama ia menunggu.Setelah berkali-kali mengetuk, akhirnya pintu itu terbuka dan muncullah seorang wanita.Analea tertegun, merasa tidak asing dengan sosok wanita yang tengah berpenampilan seksi tersebut–atau lebih tepatnya, wanita itu belum mengenakan pakaiannya dengan benar. Wanita itu pernah beberapa kali Analea temui di rumah Hamid sejak ia belum menikah. Dulu, Analea sempat terheran dengan sambutan ibu mertuanya yang selalu hangat setiap wanita itu datang. Jauh berbeda ketika ia yang datang dan selalu disambut dengan dingin."Nandita, Siapa-?”Ketegaran dan sorot dingin yang sejak tadi berusaha ditampilkan oleh Analea serta usahanya untuk tetap berdiri tegak, seketika goyah saat ia mendengar suara sang suami dari dalam rumah. Tatapan wanita itu beralih pada Hamid yang baru saja menampakkan dirinya.Dada Analea makin bergemuruh saat melihat pakaian yang dikenakan suaminya masih berantakan–kemeja pria itu tidak dikancingkan dengan benar dan rambutnya acak-acakan."Analea ... kamu–" Langkah Hamid terhenti begitu saja. Pria itu tak menyangka orang yang mengetuk pintu berkali-kali di pagi buta itu adalalah istrinya sendiri."Kenapa, Mas? Kaget?” Analea sebisa mungkin menyembunyikan getar dalam suaranya saat bertanya. Tatapannya tajam, menghunjam kedua manik mata Hamid yang tampak terkejut. Kedua tangan wanita itu mengepal kuat di samping kiri dan kanan tubuhnya. Ia berusaha menahan diri agar tidak kehilangan kendali dan menjadi histeris demi menuntut penjelasan. “Ternyata kamu lebih paham seperti apa itu berzina. Bagaimana rasanya, Mas?"Hamid sempat terhenyak melihat kehadiran Analea. Namun ia segera tersadar. Pria itu tiba-tiba melangkah maju dan menarik satu lengan Analea dengan kasar menepi ke dinding. Wajahnya memerah karena marah–sekaligus malu."Diam kamu!” bentaknya. Napasnya memburu. Ia tidak terima dengan kata-kata yang dilontarkan Analea. “Semua ini juga gara-gara kamu!"Analea mengerutkan keningnya. "Gara-gara aku?” ulangnya tidak percaya. “Kamu menyalahkan aku atas perselingkuhan kamu ini, Mas?”Mendengar itu Hamid menghempas napas kasar."Andai saja kamu bisa membuatku nyaman, aku tidak akan tergoda wanita lain!” desis Hamid. Ia memojokkan Analea ke dinding. Dalam posisi ini, Analea bisa melihat urat-urat wajah suaminya yang menonjol, menandakan kemarahan pria itu. “Andai saja kamu tidak menipuku, aku pasti tidak akan selingkuh! Toh, aku baru melakukannya satu kali.”Analea mendengus mendengar ucapan suaminya. “Satu kali?” ulangnya. “Mau satu kali atau sepuluh kali, bagaimana aku bisa tahu kebenarannya? Bagaimana bisa aku percaya ucapan Mas Hamid begitu saja?"Mendengar itu, Hamid terdiam. Analea seakan sedang membalikkan posisi mereka, menempatkan Hamid di pihak yang tidak bisa ia percayai."Kamu harus percaya aku, Analea!" Akhirnya, Hamid berkata tegas dengan wajah merah padam. Sementara cengkraman tangannya semakin menyakiti Analea.Analea tersenyum getir. “Kenapa? Padahal sendirinya kamu tidak percaya padaku,” ucap wanita itu. Suaranya terdengar parau. “Kamu justru menuduhku yang tidak-tidak."Hamid tak menjawab. Pria itu masih berdiri terpaku di depan Analea yang perlahan mencoba melepaskan diri dari cengkraman tangan suaminya.Setelah berhasil melepaskan diri, Analea mendorong Hamid mundur dan mengambil beberapa langkah menjauh sebelum kemudian menarik napas panjang. Ia mencoba untuk menghalau rasa sakit yang begitu dalam.Kemudian wanita itu berkata, "Jika di antara kita sangat sulit untuk saling percaya, untuk apa lagi pernikahan ini dipertahankan, Mas? Lebih baik ... kita berpisah."Sejak tadi, wanita yang dipanggil Nandita oleh Hamid tadi memandang sepasang suami istri itu dengan santai. Tubuhnya bersandar pada tepi pintu dengan kedua tangannya dilipat di depan dada. Mendengar ucapan Analea, wanita itu diam-diam tersenyum penuh kemenangan.“Jangan mempermainkanku, Analea!”Meskipun sempat tertegun saat menyaksikan istrinya berlalu begitu saja usai mengatakan sesuatu yang tidak pernah ia duga sama sekali, Hamid merasa egonya seperti diinjak-injak oleh Analea.Amarah Hamid pun seakan meledak. Ia yang sejak tadi menjaga volume suaranya karena khawatir akan didengar oleh warga sekitar, kini sudah tidak peduli lagi.“Jika kita akan cerai, harusnya Aku yang menalakmu, karena sudah bohongi Aku! Lebih baik Kamu coba ngaca dulu dan pikirkan kesalahan yang telah kamu lakukan padaku!”Analea memejamkan matanya sesaat dan menghela napas. Sedetik kenudian ia meneruskan langkahnya meninggalkan Hamid. Namun, kata-kata pria itu masih saja terus berdengung di telinganya.Wanita itu mengayunkan kakinya tanpa arah. Di kepalanya terus terlintas bayangan Hamid dan perempuan selingkuhannya. Kejadian yang baru saja ia alami membuatnya tak mampu berkonsentrasi dengan baik. Hingga saat tiba di jalan besar, sebuah mobil mewah nyaris saja menyerempet tubuhnya.“Aaah!”Suara rem berdecit terdengar keras di pagi yang masih sepi itu.Analea jatuh dengan posisi terduduk di tepi jalan. Setelah beberapa detik, baru ia merasakan sakit akibat benturan aspal. Hal itu membuat Analea spontan meloloskan tangisan, sesuatu yang ia tahan sejak tadi."Mbak ... Mbak nggak apa-apa, kan?" Sopir dari mobil yang tadi hampir menabraknya turun dan menghampiri Analea. Namun, wanita itu tak menghiraukan dan justru malah terus menangis. Sang sopir kebingungan. “Mbak?”Suara tangisan Analea tampaknya mengganggu sesosok pria yang ada di kursi belakang mobil mewah tersebut.Tidak sabar, pria asing itu memutuskan untuk turun dan langsung disuguhi sebuah pemandangan di mana seorang wanita yang tidak ia kenal tengah terduduk di pinggir jalan sambil menangis. Wajah wanita tersebut tampak sembab, pakaian bawahnya sedikit kotor lantaran terjatuh.Pandangan pria dalam balutan jas mahal warna biru itu tiba-tiba bertemu dengan sepasang mata yang sudah basah milik Analea . Dilihatnya, wanita itu perlahan berdiri sembari meminta maaf."M-maaf ..., maafkan saya!"Dengan suara serak, Analea meminta maaf pada sopir dan sosok pria asing di hadapannya dengan wajah tertunduk, Ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang sembab.Hening. Tidak ada tanggapan dari sopir maupun pria berjas di hadapannya selama beberapa waktu, sementara air mata Analea terus berjatuhan.Sebuah sapu tangan berwarna abu-abu tiba-tiba disodorkan pada Analea."Tenangkan dirimu." Suara bariton pria pemilik mobil itu terdengar jernih saat berucap, membuat Analea mencoba menghentikan tangisnya dan menerima sapu tangan tersebut untuk mengusap air matanya. “Mari saya antar ke rumah sakit terdekat.”Analea spontan menggeleng."T-tidak perlu. S-saya tidak apa-apa," sahut Analea sedikit gugup. Ia menunduk makin dalam. “Sekali lagi, maafkan kecerobohan saya.”"Hmm ...”Analea tetap menunduk, menanti tanggapan lebih lanjut dari pria di hadapannya. Namun, wanita itu tidak mendengar pria itu kembali bersuara. Baru ketika Analea mendongak untuk melihat wajah dingin tersebut, pria itu berkata, “Pak, panggilkan taksi untuk Nona ini."Sepasang mata Analea melebar, apalagi saat sang sopir mengangguk dan bergegas menyetop taksi yang kebetulan lewat."T-tidak usah, Tuan," tolak Analea. Namun, tidak dihiraukan.Usai mendapatkan taksi, Analea dibantu masuk ke dalam mobil tersebut oleh sopir. Sedangkan Pria yang tampaknya berusia akhir tiga puluhan tersebut merogoh sesuatu dari balik jasnya, lalu menyodorkan sejumlah uang pada sopir taksi."Ini adalah bentuk tanggung jawab saya," ujar pria tersebut sambil melirik pada Analea yang baru saja duduk di kursi penumpang bagian belakang. Lalu, pada sopir taksi ia berkata, “Antarkan Nona ini sampai rumahnya.”Analea hanya mengangguk samar. Tanpa ia sadari, satu tangannya masih menggenggam erat saputangan pria itu.***"Loh, ternyata Mbak Ana? Dari mana? Kok pulang pagi?"Baru saja Analea turun dari mobil, suara familiar ibu-ibu tetangganya langsung menyapa. Rupanya sudah ada segerombolan ibu-ibu di depan rumahnya, mengelilingi gerobak sayur.Merasa terlalu lelah, Analea hanya menanggapinya dengan senyuman tipis.Namun, seperti tidak memedulikan kelelahan Analea, ibu-ibu yang lainnya justru menimpali, "Tumben beda, pakaiannya rapi banget! Habis ketemu siapa sih?"Suara centil ibu-ibu itu mengundang cekikikan dari para ibu lain. Namun, Analea mengabaikan mereka. Ia berusaha tidak memikirkan gunjingan apa yang akan mereka ucapkan dan masuk ke dalam rumah.Namun, baru saja membuka pintu, terdengar suara bentakan dari Bu Irma."Dari mana saja!? Bagus ya, suami tidak di rumah malah keluyuran malam-malam! Memang dasar perempuan nggak benar!""Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu