Share

Bab 3. Gugatan

“Bisa-bisanya dia menuduhku berzina sebelum menikah, sementara ia justru berselingkuh di belakangku."

Analea berguman pada dirinya sendiri. Seketika dadanya merasakan sesak dan nyeri. Kedua tangan Analea mengepal erat karena geram.

Sekian detik kemudian, Analea melangkah mendekati pintu, lalu menggedornya dengan sedikit kasar. Tidak ada jawaban.

Cukup lama ia menunggu.

Setelah berkali-kali mengetuk, akhirnya pintu itu terbuka dan muncullah seorang wanita.

Analea tertegun, merasa tidak asing dengan sosok wanita yang tengah berpenampilan seksi tersebut–atau lebih tepatnya, wanita itu belum mengenakan pakaiannya dengan benar. Wanita itu pernah beberapa kali Analea temui di rumah Hamid sejak ia belum menikah. Dulu, Analea sempat terheran dengan sambutan ibu mertuanya yang selalu hangat setiap wanita itu datang. Jauh berbeda ketika ia yang datang dan selalu disambut dengan dingin.

"Nandita, Siapa-?”

Ketegaran dan sorot dingin yang sejak tadi berusaha ditampilkan oleh Analea serta usahanya untuk tetap berdiri tegak, seketika goyah saat ia mendengar suara sang suami dari dalam rumah. Tatapan wanita itu beralih pada Hamid yang baru saja menampakkan dirinya.

Dada Analea makin bergemuruh saat melihat pakaian yang dikenakan suaminya masih berantakan–kemeja pria itu tidak dikancingkan dengan benar dan rambutnya acak-acakan.

"Analea ... kamu–" Langkah Hamid terhenti begitu saja. Pria itu tak menyangka orang yang mengetuk pintu berkali-kali di pagi buta itu adalalah istrinya sendiri.

"Kenapa, Mas? Kaget?” Analea sebisa mungkin menyembunyikan getar dalam suaranya saat bertanya. Tatapannya tajam, menghunjam kedua manik mata Hamid yang tampak terkejut. Kedua tangan wanita itu mengepal kuat di samping kiri dan kanan tubuhnya. Ia berusaha menahan diri agar tidak kehilangan kendali dan menjadi histeris demi menuntut penjelasan. “Ternyata kamu lebih paham seperti apa itu berzina. Bagaimana rasanya, Mas?"

Hamid sempat terhenyak melihat kehadiran Analea. Namun ia segera tersadar. Pria itu tiba-tiba melangkah maju dan menarik satu lengan Analea dengan kasar menepi ke dinding. Wajahnya memerah karena marah–sekaligus malu.

"Diam kamu!” bentaknya. Napasnya memburu. Ia tidak terima dengan kata-kata yang dilontarkan Analea. “Semua ini juga gara-gara kamu!"

Analea mengerutkan keningnya. "Gara-gara aku?” ulangnya tidak percaya. “Kamu menyalahkan aku atas perselingkuhan kamu ini, Mas?”

Mendengar itu Hamid menghempas napas kasar.

"Andai saja kamu bisa membuatku nyaman, aku tidak akan tergoda wanita lain!” desis Hamid. Ia memojokkan Analea ke dinding. Dalam posisi ini, Analea bisa melihat urat-urat wajah suaminya yang menonjol, menandakan kemarahan pria itu. “Andai saja kamu tidak menipuku, aku pasti tidak akan selingkuh! Toh, aku baru melakukannya satu kali.”

Analea mendengus mendengar ucapan suaminya. “Satu kali?” ulangnya. “Mau satu kali atau sepuluh kali, bagaimana aku bisa tahu kebenarannya? Bagaimana bisa aku percaya ucapan Mas Hamid begitu saja?"

Mendengar itu, Hamid terdiam. Analea seakan sedang membalikkan posisi mereka, menempatkan Hamid di pihak yang tidak bisa ia percayai.

"Kamu harus percaya aku, Analea!" Akhirnya, Hamid berkata tegas dengan wajah merah padam. Sementara cengkraman tangannya semakin menyakiti Analea.

Analea tersenyum getir. “Kenapa? Padahal sendirinya kamu tidak percaya padaku,” ucap wanita itu. Suaranya terdengar parau. “Kamu justru menuduhku yang tidak-tidak."

Hamid tak menjawab. Pria itu masih berdiri terpaku di depan Analea yang perlahan mencoba melepaskan diri dari cengkraman tangan suaminya.

Setelah berhasil melepaskan diri, Analea mendorong Hamid mundur dan mengambil beberapa langkah menjauh sebelum kemudian menarik napas panjang. Ia mencoba untuk menghalau rasa sakit yang begitu dalam.

Kemudian wanita itu berkata, "Jika di antara kita sangat sulit untuk saling percaya, untuk apa lagi pernikahan ini dipertahankan, Mas? Lebih baik ... kita berpisah."

Sejak tadi, wanita yang dipanggil Nandita oleh Hamid tadi memandang sepasang suami istri itu dengan santai. Tubuhnya bersandar pada tepi pintu dengan kedua tangannya dilipat di depan dada. Mendengar ucapan Analea, wanita itu diam-diam tersenyum penuh kemenangan.

“Jangan mempermainkanku, Analea!”

Meskipun sempat tertegun saat menyaksikan istrinya berlalu begitu saja usai mengatakan sesuatu yang tidak pernah ia duga sama sekali, Hamid merasa egonya seperti diinjak-injak oleh Analea.

Amarah Hamid pun seakan meledak. Ia yang sejak tadi menjaga volume suaranya karena khawatir akan didengar oleh warga sekitar, kini sudah tidak peduli lagi.

“Jika kita akan cerai, harusnya Aku yang menalakmu, karena sudah bohongi Aku! Lebih baik Kamu coba ngaca dulu dan pikirkan kesalahan yang telah kamu lakukan padaku!”

Analea memejamkan matanya sesaat dan menghela napas. Sedetik kenudian ia  meneruskan langkahnya meninggalkan Hamid. Namun, kata-kata pria itu masih saja terus berdengung di telinganya.

Wanita itu mengayunkan kakinya tanpa arah. Di kepalanya terus terlintas bayangan Hamid dan perempuan selingkuhannya. Kejadian yang baru saja ia alami membuatnya tak mampu berkonsentrasi dengan baik. Hingga saat tiba di jalan besar, sebuah mobil mewah nyaris saja menyerempet tubuhnya.

“Aaah!”

Suara rem berdecit terdengar keras di pagi yang masih sepi itu.

Analea jatuh dengan posisi terduduk di tepi jalan. Setelah beberapa detik, baru ia merasakan sakit akibat benturan aspal. Hal itu membuat Analea spontan  meloloskan tangisan, sesuatu yang ia tahan sejak tadi.

"Mbak ... Mbak nggak apa-apa, kan?" Sopir dari mobil yang tadi hampir menabraknya turun dan menghampiri Analea. Namun, wanita itu tak menghiraukan dan justru malah terus menangis. Sang sopir kebingungan. “Mbak?”

Suara tangisan Analea tampaknya mengganggu sesosok pria yang ada di kursi belakang mobil mewah tersebut.

Tidak sabar, pria asing itu memutuskan untuk turun dan langsung disuguhi sebuah pemandangan di mana seorang wanita yang tidak ia kenal tengah terduduk di pinggir jalan sambil menangis. Wajah wanita tersebut tampak sembab, pakaian bawahnya sedikit kotor lantaran terjatuh.

Pandangan pria dalam balutan jas mahal warna biru itu tiba-tiba bertemu dengan sepasang mata yang sudah basah milik Analea . Dilihatnya, wanita itu perlahan berdiri sembari meminta maaf.

"M-maaf ..., maafkan saya!"

Dengan suara serak, Analea meminta maaf pada sopir dan sosok pria asing di hadapannya dengan wajah tertunduk, Ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang sembab.

Hening. Tidak ada tanggapan dari sopir maupun pria berjas di hadapannya selama beberapa waktu, sementara air mata Analea terus berjatuhan.

Sebuah sapu tangan berwarna abu-abu tiba-tiba disodorkan pada Analea.

"Tenangkan dirimu." Suara bariton pria pemilik mobil itu terdengar jernih saat berucap, membuat Analea mencoba menghentikan tangisnya dan menerima sapu tangan tersebut untuk mengusap air matanya. “Mari saya antar ke rumah sakit terdekat.”

Analea spontan menggeleng.

"T-tidak perlu. S-saya tidak apa-apa," sahut Analea sedikit gugup. Ia menunduk makin dalam. “Sekali lagi, maafkan kecerobohan saya.”

"Hmm ...”

Analea tetap menunduk, menanti tanggapan lebih lanjut dari pria di hadapannya. Namun, wanita itu tidak mendengar pria itu kembali bersuara. Baru ketika Analea mendongak untuk melihat wajah dingin tersebut, pria itu berkata, “Pak, panggilkan taksi untuk Nona ini."

Sepasang mata Analea melebar, apalagi saat sang sopir mengangguk dan bergegas menyetop taksi yang kebetulan lewat.

"T-tidak usah, Tuan," tolak Analea. Namun, tidak dihiraukan.

Usai mendapatkan taksi, Analea dibantu masuk ke dalam mobil tersebut oleh sopir. Sedangkan Pria yang tampaknya berusia akhir tiga puluhan tersebut merogoh sesuatu dari balik jasnya, lalu menyodorkan sejumlah uang pada sopir taksi.

"Ini adalah bentuk tanggung jawab saya," ujar pria tersebut sambil melirik pada Analea yang baru saja duduk di kursi penumpang bagian belakang. Lalu, pada sopir taksi ia berkata, “Antarkan Nona ini sampai rumahnya.”

Analea hanya mengangguk samar. Tanpa ia sadari, satu tangannya masih menggenggam erat saputangan pria itu.

***

"Loh, ternyata Mbak Ana? Dari mana? Kok pulang pagi?"

Baru saja Analea turun dari mobil, suara familiar ibu-ibu tetangganya langsung menyapa. Rupanya sudah ada segerombolan ibu-ibu di depan rumahnya, mengelilingi gerobak sayur.

Merasa terlalu lelah, Analea hanya menanggapinya dengan senyuman tipis.

Namun, seperti tidak memedulikan kelelahan Analea, ibu-ibu yang lainnya justru menimpali, "Tumben beda, pakaiannya rapi banget! Habis ketemu siapa sih?"

Suara centil ibu-ibu itu mengundang cekikikan dari para ibu lain. Namun, Analea mengabaikan mereka. Ia berusaha tidak memikirkan gunjingan apa yang akan mereka ucapkan dan masuk ke dalam rumah.

Namun, baru saja membuka pintu, terdengar suara bentakan dari Bu Irma.

"Dari mana saja!? Bagus ya, suami tidak di rumah malah keluyuran malam-malam! Memang dasar perempuan nggak benar!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Just Rara
dasar ni si bu irma,nanti setalah tau klu analea kaya raya baru menyesal dia
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status