Share

Niat Balas Dendam

"Aku berangkat," ucap Angga setelah menghabiskan sarapan paginya. Sedangkan Rania yang masih duduk di tempatnya hanya diam saja tidak menyentuh sedikitpun makanan yang baru saja dibuatnya pagi ini.

Meskipun semalam mereka berselisih paham, Rania tidak pernah melupakan tugasnya sebagai seorang istri. Walaupun mereka memiliki satu orang pembantu, akan tetapi tidak membuat Rania menjadi seorang wanita yang pemalas dan sombong karena memiliki seorang suami yang kaya raya.

"Nanti Mama dan Papa kerumah," ujar Rania tidak menggubris perkataan sang suami. Angga yang sudah berdiri dari tempatnya sejenak terdiam lalu menatap sang istri tanpa ekspresi.

"Pandai-pandailah dalam berkata jika nanti Papa menanyakan tentang keturunan," ujar Angga yang sudah tahu kemana arah pembicaraan jika kedua orang tuanya datang berkunjung.

"Aku ingin bercerai." Singkat padat dan jelas Rania kembali mengutarakan isi hatinya.

"Sudah pukul tujuh, aku harus ke gudang." Angga seolah tidak mendengar perkataan sang istri.

"Apa susahnya menceraikan aku, jika Abang memang tidak mencintaiku sama sekali!" Entah kekuatan dari mana Rania tiba-tiba berteriak di depan suaminya. Hal yang selama ini tidak pernah dia lakukan walaupun sakit hati sekalipun.

"Rania!" Dengan suara tertahan Angga menatap sang istri tajam.

"Kenapa?" tanya Rania dengan mata yang memerah.

Tidak mau melanjutkan pertengkaran Angga memilih pergi dari meja makan dan meraih kunci mobilnya lalu pergi menuju gudang dimana tempatnya mencari uang. Sedangkan Rania hanya bisa menghela nafas kasar melihat sang suami yang hanya diam dan pergi meninggalkannya.

Pikirannya benar-benar kalut, bukan hanya soal suami yang tidak mau mengerti dengan keadaannya. Namun karena kedatangan kedua mertuanya lah yang membuat Rania menjadi gusar.

Bagaimana tidak? Setiap kali sang mertua datang, pasti yang dibahas selalu adalah tentang anak. Terkadang Rania juga sudah kehabisan kata-kata untuk menutupi keadaan rumah tangganya kenapa mereka belum juga dikaruniai anak.

"Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan kepada Mama dan Papa jika nanti mereka masih menanyakan soal cucu mereka?" tanya Rania mengusap wajahnya gusar.

Rania memilih masuk ke dalam kamarnya, sedangkan sarapan yang dibuatnya tadi pagi tidak sedikitpun disentuhnya. Karena permasalahan dengan suaminya, wanita itu tidak merasakan lapar sedikitpun. Langkah kaki wanita itu terhenti ketika melihat bingkai foto yang terpajang bebas di dinding kamarnya.

Foto yang memperlihatkan sepasang suami istri dengan buku nikah masing-masing ditangan. Senyum keduanya terlihat sangat lebar, sehingga memperlihatkan deretan gigi yang sangat putih. Foto yang memperlihatkan betapa bahagianya sepasang pengantin yang baru saja melakukan ijab kabul di dalam sebuah rumah mewah.

Rania tersenyum getir melihat foto dirinya bersama sang suami, tidak ada keterpaksaan yang terlihat dari raut wajah sang suami. Malahan Angga terlihat sangat bahagia di dalam foto itu, dengan baju adat Minang yang membuatnya terlihat sangat tampan.

"Lalu dimana masalahnya, Bang?" tanya Rania menatap foto sang suami dengan mata yang berkaca-kaca.

"Kalau memang kamu terpaksa menikahiku, kenapa tidak berterus terang saja?" tanya Rania dengan emosi tertahan. Wanita itu menghirup oksigen lalu melepaskannya secara kasar, akan tetapi rasa sesak itu tetap bersarang di hatinya.

Akhirnya Rania luruh dan terduduk dengan posisi lutut menyentuh lantai, kepalanya menunduk dengan bahu yang bergetar. Sungguh rasa sakit itu sangat menyiksa Rania, padahal selama setahun ini Rania sudah berusaha payah agar bisa menaruh rasa kepada Angga. Namun balasan dari sang suami bukannya membuat Rania menjadi suka melainkan menimbulkan benih-benih benci di hatinya.

Melihat perbuatan Angga kepadanya, terbesit di pikiran Rania untuk membalas semua perbuatan sang suami kepadanya. Rencana untuk membalas dendam pun mulai tersusun rapi di kepala Rania untuk suaminya.

Sebenarnya jauh dari dalam lubuk hatinya Rania tidak mau membalas perbuatan Angga kepadanya, akan tetapi lelaki itu sepertinya ingin melihat sisi lain dari dirinya. Lelah berlutut, Rania pun berdiri dari duduknya lalu menuju ke dalam kamar mandi dan segera membersihkan dirinya.

Air dingin membasuh seluruh tubuh Rania, wanita itu sengaja membiarkan dirinya berada dibawah guyuran air berharap rasa sakit yang menyelimuti hatinya perlahan habis karena tersiram air dingin. Namun, sekuat apapun wanita itu mencoba untuk menghilangkan rasa sakit yang ditorehkan oleh Angga, tetap saja rasa itu semakin menjadi menggerogoti hati Rania.

Rania memejamkan matanya, perlahan kenangan satu tahun silam muncul di kepalanya. Bagaimana keluarga Angga yang waktu itu datang kerumah untuk melamar dirinya yang tidak tahu menahu soal perjodohan yang telah terjadi sewaktu dia masih kecil.

Tidak ada yang salah saat itu, Rania tidak melihat ada kejanggalan dalam acara lamaran itu. Bahkan semua anggota keluarga terlihat bahagia ketika Rania dengan senyum manisnya menerima lamaran dari teman ayahnya. Meskipun sebenarnya waktu itu Rania tidak menginginkan sama sekali perjodohan itu.

Sebagai seorang anak yang selalu patuh dan menuruti kata orang tuanya, Rania dengan terpaksa harus menerima perjodohan yang telah dilakukan oleh orang tuanya.

"Aku tidak menyangka kalau kau akan merawat putrimu secantik ini, Lal," ujar Rendi Papa Angga kepada Jalal ayah Rania.

"Sudah ku bilang, aku tidak akan mengingkari janjiku padamu. Hanya saja, aku takut kau sendiri yang akan berubah pikiran karena status kita yang saat ini jauh berbeda," sahut Jalal menyeruput kopi buatan istrinya.

"Hahahaha, mana mungkin. Janji tetap janji, lagian aku juga tidak akan percaya sama anak gadis sekarang. Apalagi melihat putraku dan keadaan kami saat ini, saya takut mereka hanya memanfaatkan Angga saja," ujar Rendi diiringi dengan tawa.

Mereka pun kembali berbicara membahas hal-hal lain, sedangkan Rania yang tidak sengaja mendengar obrolan kedua lelaki paruh baya itu hanya bisa menghela nafas pelan. Terlihat jelas sekali bagaimana kedua lelaki itu menaruh harap kepada anak-anak mereka, Rania yang sangat menyayangi ayahnya terpaksa harus menuruti keinginan sang Ayah.

"Rania." Panggil sang Ibu mengusap bahu putrinya. Wanita paruh baya itu menatap sendu ke arah sang putri yang sedang menatap ke arah jari manisnya, terpasang sebuah cincin emas dua puluh empat karat sebagai tanda jadi di antara mereka.

"Ibu," sahut Rania tersenyum manis ketika melihat sang Ibu sudah duduk di depannya.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya sang Ibu kuatir. Rania menatap sang Ibu lalu meraih tangan yang sudah merawatnya dari kecil itu.

Rania mengangguk lalu menjawab, "Aku tidak apa-apa, Bu. Aku malahan senang, bisa menikah dengan pilihan kedua orang tuaku," ujar Rania berbohong kepada sang Ibu.

Mendengar jawaban dari sang putri, membuat norma, Ibu Rania menjadi lega dan rasa ketakutannya pun langsung hilang. Apalagi melihat wajah putrinya yang bahagia, membuat Norma berharap kalau keputusan mereka adalah yang terbaik untuk putrinya.

Walaupun sebenarnya hati Rania masih belum yakin dengan keputusannya saat ini. Namun, ketika melihat senyum dari kedua orang tuanya Rania yakin jika menikah dengan pilihan Ayahnya adalah hal yang tepat.

Tok tok tok. Lamunan Rania buyar ketika kamar mandinya diketuk berulang kali oleh seseorang. Wanita itu tersadar kalau sudah hampir setengah jam dia berada di dalam kamar mandi. Rania meraih handuk yang bertengger manis di gantungan dinding kamar mandi, lalu membuka pintu secara hati-hati dan sangat pelan.

"Kau." Rania membulatkan matanya ketika melihat sosok yang sedang berdiri gugup di depan kamar mandinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status