Share

Tidak Ingin Berpisah

Angga tersenyum manis menatap kedua orang tuanya yang juga sedang menatapnya. Sedangkan Rania yang tidak tahu kenapa suaminya tiba-tiba berada di rumah, hanya bisa menghela nafas pelan lalu membuang muka ke arah lain.

Rasa sesak akibat pertengkaran mereka tadi malam dan masih berlanjut sampai pagi tadi membuat Rania jengkel dan tidak ingin berinteraksi dengan sang suami. 

"Kamu tidak ke gudang, Ngga?" tanya laki-laki paruh baya yang masih terlihat garis ketampanannya.

"Ke gudang, Pa. Cuma tadi ada berkas yang tertinggal makanya balik lagi ke rumah," jawab Angga menjelaskan kenapa dia kembali kerumah.

"Lalu, kenapa kau berada di jendela seperti orang sedang ingin mencuri?" tanya sang mama sambil menunjuk dimana Angga tadi berdiri.

Angga sejenak terdiam mendengar pertanyaan sang mama, lalu dengan enteng menjawab, "Biasa, Ma. Kan aku mau liat dulu gimana istri dan orang tua aku mengobrol." Sambil menaik-naikan kedua alisnya, sedangkan Rania yang mendengar penjelasan sang suami hanya diam saja tidak ingin menyela pembicaraan anak dan Ibu itu.

"Nia, Sayang. Abang boleh minta tolong ambilkan berkas-berkas Abang di kamar," ujar Angga membuat Rania sontak membulatkan mata menatap ke arahnya.

"Di atas meja. Tadi Abang menaruhnya di sana sebelum berangkat," sambung Angga membuat Rania tidak mengerti dengan sikap sang suami yang tiba-tiba lembut kepadanya.

Tidak ingin berdebat dan mempermasalahkan sikap Angga yang tiba-tiba berubah, Rania hanya mengangguk lalu pamit kepada mertuanya untuk kembali ke kamar. Walaupun sebenarnya wanita itu sangat ingin mencaci maki sang suami yang ternyata sangat pandai berbohong. 

"Angga, sampai kapan kalian akan membuat kami menunggu?" tanya Dewi menatap tajam sang putra. 

"Menunggu apa, Ma?" tanya Angga pura-pura tidak tahu kemana arah pembicaraan sang Ibu.

"Sudahlah, Angga. Mama tidak mau bertele-tele, ini sudah setahun kalian menikah dan masih belum ada tanda-tanda kalau Rania akan hamil," ujar Dewi mengeluarkan unek-uneknya. 

"Ma, itu urusan Tuhan. Kami hanya menerima saja, jika Tuhan belum memberikan kami keturunan, berarti Dia belum percaya kepada kami untuk menjadi orang tua," jawab Angga membela dirinya dan Rania. Kesal, adalah salah satu yang dirasakannya saat ini, karena orang tuanya selalu menuntut kehadiran sang buah hati. Sedangkan sampai saat ini, dia masih belum menyentuh Rania sedikitpun.

"Bang, berkasnya tidak ada," seru Rania dari ambang pintu kamar. 

Angga yang mendengar teriakan istrinya, langsung bangkit lalu pamit kepada orang tuanya untuk menemui Rania di kamar. 

"Kamu tidak menemukannya?" tanya Angga dengan salah satu alis terangkat.

"Abang bilang berkasnya di atas meja, tapi mejanya saja kosong," jawab Rania sedikit kesal, seperti sedang dipermainkan oleh suaminya sendiri.

"Coba aku lihat," sahut Angga menutup pintu kamar lalu mengekor di belakang Rania. Namun, bukannya melihat berkas yang dicarinya Angga malah mencengkram salah satu tangan Rania, sehingga membuat gadis itu meringis kesakitan.

"Apa kamu memberitahu mama dan papa tentang pertengkaran kita?" tanya Angga menatap tajam ke arah Rania.

 

Rania meringis kesakitan dan mencoba melepaskan tangannya yang sedang dicengkram oleh sang suami.

"Jawab, Nia!" Sebuah bentakan dari Angga mampu membuat Rania terdiam kaku di tempatnya.

"Ada apa denganmu?" tanya Rania setelah beberapa detik terdiam. 

"Apa maksudmu?" Angga balik bertanya.

"Lepaskan!" Rania mengusap tangannya yang sudah dilepaskan oleh Angga.

"Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Bang? Kenapa abang menyiksaku seperti ini? Jika Abang tidak menginginkan pernikahan ini, lalu kenapa Abang tidak mau menceraikanku?" teriak Rania hampir putus asa dengan sikap sang suami. Mendengar istrinya setengah berteriak, dengan cepat Angga kembali meraih tangan Rania lalu membawanya ke dalam pelukan.

"Jangan berteriak, jangan marah," bisik Angga ketika Rania sudah berada dalam pelukannya. 

"Lepaskan aku, Bang. Jangan seperti ini," tolak Rania mencoba melepaskan pelukan Angga. Namun seolah tuli, Angga tidak mendengarkan penolakan Rania.

Sedangkan Rania yang mendapat perlakuan berbeda dari Angga hanya bisa memejamkan mata dan menghela nafas kasar. Rania benar-benar tidak mengerti dengan sikap sang suami yang tiba-tiba berubah lembut setelah tadi dia baru saja mencengkram dan membentaknya.

"Jangan berpisah," lirih Angga pelan masih memeluk Rania. Ada desir aneh yang menjalar di dalam tubuh Rania, ketiak Angga meminta permohonan dalam pelukannya. Perlahan kedua mata wanita itu memanas ingin menumpahkan segala rasa yang berkecamuk di dalam hatinya.

Apakah suaminya saat ini sudah berubah? Atau hanya sekedar kamuflase agar permintaannya dikabulkan. Entahlah, Rania benar-benar tidak mengerti dengan sikap sang suami yang benar-benar membuatnya hampir kehabisan akal.

"Apa kalian selama ini tidak memiliki waktu berdua sehingga mengabaikan kami?" tanya wanita yang telah melahirkan Angga dengan kesal. Entah sejak kapan, dia sudah berada di depan pintu kamar Angga dan Rania.

Langsung saja Angga melepaskan pelukannya lalu membiarkan Rania memperbaiki rambutnya yang sedikit kusut karena berada diperlukannya tadi. 

"Mama kenapa tidak mengetuk pintu dulu sebelum masuk ke dalam kamar sih?" tanya Angga kurang suka dengan kehadiran Mamanya.

"Kenapa? Takut ketahuan sedang berduaan. Makanya pintu itu dikunci dari dalam kalau mau memadu kasih," jawab Mama Angga tak kalah sewot mendengar pertanyaan sang putra.

Angga dan Rania hanya saling pandang dengan wajah sama-sama menahan malu karena kepergok oleh wanita yang dituakan di rumah itu. 

"Rania Angga, besok ikut Mama ke rumah sakit buat periksa apa ada kesalahan di antara kalian berdua sehingga kalian belum kasih mama cucu sampai saat ini," ujar mama Angga yang lebih tepatnya perintah.

Angga dan Rania yang sama-sama tidak percaya mendengar perintah wanita paruh baya di depan mereka saat ini hanya terdiam dengan ekspresi wajah yang tidak bisa dibayangkan. Bagaimana mungkin mereka cek kesehatan di rumah sakit, sementara kesalahan utama dari permasalahan mereka adalah Angga sendiri.

"Sudah lah, Ma. Kami pasti bakal dikasih anak kok sa Tuhan, waktunya saja yang belum tepat," tolak Angga kembali membawa Rania ke dalam pelukannya. 

Jika saja saat ini mertuanya tidak berada di depannya, ingin sekali Rania mencakar dan meremas mulut sang suami yang bisa berkata seenaknya. Punya anak? Rania tersenyum kecut mendengar ucapan Angga kalau mereka akan segera memiliki anak. Sedangkan selama ini dia tidak pernah disentuh sama sekali oleh laki-laki yang telah menikahinya selama setahun ini.

"Tidak ada penolakan, Angga. Ini sudah setahun, dan tidak ada yang namanya di keluarga kita yang telat memiliki anak setelah menikah. Dan jika kalian tetap tidak mau, maka jangan salahkan mama jika tidak menganggap kalian anak dan menantu lagi," bantah Mama Angga sembari memberikan ancaman yang membuat kedua pasangan suami istri itu mulai menunjukkan wajah gelisah.

"Tapi, Ma ,,,,."

"Cukup, Angga! Mama tidak mau mendengar penolakan lagi," potong Mama Angga menyela ucapan Angga.

"Ma, tidak ada gunanya pergi kerumah sakit. Karena tidak akan ditemukan kesalahan apapun dari kami," lirih Rania pelan dengan mata yang mulai berkaca-kaca menatap ke arah mertuanya.

Angga yang mendengar ucapan Rania langsung menoleh ke arah sang istri dan menatap Rania dengan tajam. Sedangkan mertuanya yang tidak mengerti dengan ucapan sang menantu hanya mengernyit lalu mulai berjalan mendekat ke arah anak dan menantunya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status