Share

Malam pertama yang menyakitkan

"Apa maksudmu, Sayang?" tanya Reta Mama Angga menatap wajah menantunya.

"Karena ,,,,." Rania tercekat tidak bisa meneruskan kalimatnya, karena bagaimanapun juga apa yang akan disampaikannya nanti akan berpengaruh besar terhadap hubungan mereka.

"Katakan saja," ucap Reta mulai tidak sabar.

"Karena kami telah pernah periksa dan  tidak ditemukan masalah apapun pada kami, Ma," jawab Angga menyela pembicaraan istri dan Mamanya. Sedangkan Rania yang mendengar suara suaminya, hanya bisa menelan ludah lalu dengan tergesa pergi dari hadapan suami dan mertuanya.

"Maaf, Ma. Aku keluar dulu," pamit Rania serak sebelum meninggalkan anak dan Ibu itu. Dia tidak bisa berlama-lama berada di hadapan mertuanya, apalagi membahas tentang anak, tidak. Rania tidak sekuat itu.

"Apakah itu benar?" tanya Reta mencari jawaban dari Angga.

"Buat apa kamu berbohong, Ma. Dan tolong mama jangan bahas soal anak lagi jika di depan Rania, aku tidak mau melihat istriku selalu menderita karena Mama dan Papa selalu menekannya karena belum memiliki keturunan," ujar Angga menjawab pertanyaan sang mama.

Reta sejenak terdiam mendengar penuturan sang anak, lalu dengan kasar dia menghela nafas lelah. "Baiklah, besok temui Mama di rumah. Mama akan bawa kalian ke Mak Raji," ujar Reta akhirnya dengan memberikan sebuah perintah.

"Mak Raji siapa lagi, Ma? Mama masih nggak percaya sama kami?"

"Bukan tidak percaya, Angga! Mama mau membawa istrimu ke tukang pijat perut. Tempat mama sering dipijat, dan Mak Raji itu juga bisa memijat perut agar cepat punya anak," jelas Reta memberitahukan siapa itu Mak Raji.

"Tapi, Ma."

"Tidak ada tapi-tapian! Kamu harus dengarkan perkataan Mama. Kalau tidak, jangan pernah jadi anak Mama lagi!" Ancam Reta dengan ketus lalu pergi meninggalkan Angga yang terdiam di tempatnya.

Reta yang merasa bersalah kepada menantunya langsung mencari dimana keberadaan Rania. Wanita paruh baya itu ingin meminta maaf kepada Rania, karena selalu mendesaknya untuk cepat hamil.

"Sayang." Reta mengusap bahu Rania yang sedang terduduk di bangku kecil di halaman rumahnya. Rania menoleh lalu tersenyum tipis ke arah mertuanya.

Reta pun duduk di samping sang menantu, membiarkan keheningan tercipta di antara mereka. Sedangkan Rania ingin sekali bercerita kepada sang mertua kalau dirinya belum bisa hamil karena suaminya sendiri yang belum pernah menyentuhnya sama sekali. 

"Maafkan Mama karena selalu menuntutmu untuk cepat memiliki anak," ujar Reta memulai pembicaraan. Rania hanya tersenyum tidak membalas ucapan sang mertua. Hatinya selalu sakit jika sang mertua selalu membahas tentang anak kepadanya.

"Seharusnya mama tidak terlalu menuntut kalian, apalagi kalau kalian ternyata sudah cek kesehatan dan hasilnya baik-baik saja," sambung Reta meraih jemari putih menantunya.

Rania masih diam mendengarkan penuturan sang mertua yang sudah dianggapnya sebagai ibunya sendiri.

Sedangkan Reta yang melihat menantunya hanya diam, mengelus rambut panjang milik Rania.

Rania adalah menantu idaman untuk Reta, memiliki menantu yang tidak banyak tingkah, sudah membuat Reta sangat bersyukur memiliki Rania. Hanya saja terkadang sebagai mertua atau Ibu dari Angga, Reta ingin sekali menimang cucu dari anak lelakinya itu.

"Semoga kalian cepat diberikan keturunan sama Allah," ujar Reta mendoakan menantunya itu.

"Makasih, Ma. Semoga saja Allah memberikan kami kepercayaan untuk menjaga titipannya nanti," sahut Rania tak juga berharap. Mereka pun saling melemparkan senyum, lalu saling berpelukan untuk beberapa detik.

"Nia, besok ke rumah Mama ya," ujar Reta mencoba membujuk menantunya itu. 

"Iya, Ma. Aku juga sudah lama nggak main ke rumah mama," ujar Rania mengiyakan permintaan sang Mertua.

"Ya sudah, kalau begitu mama dan papa pamit pulang dulu ya," pamit Reta kepada menantunya.

"Loh, kok cepat sekali, Ma. Nggak makan dulu?" Rania mencoba menawarkan karena dari tadi hanya minuman saja yang disajikan oleh pembantunya.

"Ah, Kamu. Giliran mama udah mau pulang baru ditawari, dari tadilah," ujar Reta menggoda menantunya. Rania hanya terkekeh pelan mendengar ledekan sang mertua kepadanya.

"Ya sudah, mama dan papa hati-hati di jalan ya," pesan Rania berdiri lalu mengantarkan mertuanya ke arah mobil.

Rania melambaikan tangannya dan melihat kepergian sang mertua dari halaman rumahnya. Setelah tidak melihat mobil mertuanya lagi, Rania pun langsung masuk ke dalam rumah dan menemui suaminya.

"Sudah puas Bang!" Bentak Rania tidak bisa menahan emosinya.

"Sudahlah, Nia. Jangan buat masalah."

"Yang buat masalah itu kamu, Bang. Bukan aku!" Dengan penuh emosi Rania membentak suaminya.

"Lalu maumu apa? Mau punya anak juga! Ya sudah ayo!" Dengan menahan emosi Angga berjalan pelan menuju ke arah Rania.

"Heh, nggak usah belagu, Bang. Kamu pikir aku tidak tahu akal bulusmu itu, kamu hanya seorang pengecut yang tidak mempunyai keberanian," umpat Rania yang membuat wajah Angga langsung berubah masam.

"Apa katamu? Pengecut?" tanya Angga berulang, sedangkan posisinya sudah berada di depan Rania.

"Lalu apa namanya kalau bukan pengecut,  untuk seorang laki-laki yang tidak pernah menyentuh istrinya tanpa alasan yang jelas?" tantang Rania dengan mata yang memerah. 

Dengan wajah memerah Angga menatap tajam ke arah sang istri. Lalu hanya dengan satu hentakan saja Rania sudah berada dalam pelukan Angga setelah laki-laki itu meraih pinggangnya dengan sebelah tangan kanan.

Rania yang tidak memiliki persiapan sama sekali kaget karena tiba-tiba saja dia sudah berada dalam pelukan sang suami. Sedangkan Angga yang memeluk pinggang Rania semakin memperlihatkan pelukannya lalu tangan kirinya menutup pintu kamar dan menguncinya.

"Apa kau benar-benar menginginkanku?" tanya Angga berbisik yang membuat bulu badan Rania meremang. Namun, gadis itu itu masih berusaha kuat agar tidak terpancing oleh tingkah sang suami.

"Jika kau benar-benar menginginkannya, mari kita lakukan," bisik Angga kembali membuat jantung Rania hampir lepas dari tempatnya. Sedangkan Angga semakin memperlihatkan pelukannya, bahkan kepala lelaki itu sudah berada di leher Rania.

"Ceraikan saja aku, Bang," ucap Rania singkat padat dan jelas. Angga seketika terdiam mendengar permintaan Rania yang kembali ingin berpisah dengannya.

"Tidak akan!" Tolak Angga.

"Kenapa menyiksaku jika tidak ingin berpisah?!" Teriak Rania sambil mendorong tubuh Angga yang sudah menempel sempurna dengan badannya.

"Rania!" Bentak Angga ketika tubuhnya hampir saja terjerembab.

"Aku ingin berpisah!" Kukuh Rania dengan pendiriannya.

"Tidak."

"Jangan siksa aku hidup seperti ini. Hidup seperti di dalam penjara yang entah kapan bisa terbebasnya!" Pinta Rania dengan terisak.

Angga terdiam melihat Rania yang terisak, ini adalah hal yang pertama kalinya dia melihat sang istri begitu terpukul. Entah apa yang dipikirkannya, untuk sesaat Angga ingin memeluk Rania lalu menenangkannya.

"Kau ingin hamil bukan?" tanya Angga kembali mendekat. 

"Tidak! Aku ingin berpisah!"

"Baiklah mari kita lakukan," ucap Angga lalu membawa Rania ke dalam pelukan lalu membawa sang istri ke atas ranjang.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Rania yang mulai sadar ketika Angga sudah berada di atasnya. Rania langsung menahan tubuh Angga dan mencoba untuk lepas dari kukungan laki-laki itu.

"Lepaskan. Aku tidak mau seperti ini!" Tolak Rania ketika Angga mencoba menyentuhnya.

"Aku akan membuatmu hamil, Nia," ujar Angga dengan nafas yang mulai memburu.

"Tidak! Tidak seperti ini! Jangan, Bang. Tolong lepaskan aku!" Rania masih berusaha untuk menolak. Ya, dia memang ingin sekali memiliki anak dari sang suami, akan tetapi tidak dengan cara seperti ini.

Rania ingin Angga melakukannya dengan rasa cinta yang dalam kepadanya, dengan perasaan yang tulus. Tidak seperti saat ini, Rania yang masih berusaha untuk menolak ketika Angga menyentuhnya. 

Seperti seorang gadis yang hendak diperkosa oleh laki-laki yang bukan muhrimnya. Namun, seberapapun kuatnya Rania menolak, tidak bisa menandingi kekuatan Angga yang sudah dikuasai oleh nafsu. Kata-kata Rania tadi benar-benar sudah memancing emosinya sehingga membuat lelaki itu melupakan satu hal yang seharusnya tidak dilakukannya.

 Rania terisak pilu di tengah permainan yang sedang dilakukan oleh suaminya sendiri. Namun, karena telah dikuasai oleh nafsu Angga tidak memperdulikan tangisan sang istri. Dalam kepuasannya lelaki yang sudah sah menjadi suami Rania itu masih saja melakukan aktivitasnya sebagai seorang suami.

Kewajiban yang seharusnya sudah dilakukannya setahun yang lalu dengan rasa cinta dan kebahagiaan luar biasa sebagai sepasang pengantin baru. Namun harus berakhir menjadi sebuah nafsu semata yang membuat sang istri merasa hina. 

"Aku membencimu, Angga! Aku membencimu!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status