Share

Sakit

Dengan menggerakan kaki yang sangat pelan, Rania berusaha bangkit dari atas ranjang lalu berjalan menuju kamar mandi dengan wajah yang menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Sesekali Rania meringis karena menahan rasa sakit yang sangat terasa tepat di bagian intimnya.

Rania menangis, terduduk di dalam bathtub yang sudah terisi dengan air. Rasa kecewa dan juga terluka akibat perbuatan sang suami benar-benar membuat Rania sakit hati. Dirinya tak ubah seperti wanita malam ketika Angga menggagahinya dengan sangat penuh nafsu.

Mungkin, malam pertama adalah sebuah malam yang sangat sakral bagi pasangan pengantin yang baru saja melakukan acara akad sebelumnya. Malam yang yang selalu ditunggu-tunggu oleh kedua mempelai setelah sehari menjadi ratu dan raja. Lalu mereka akan menyatu dalam sebuah ikatan halal dengan mengubah status mereka dari lajang dan juga kehidupan mereka.

Sebuah malam yang tidak akan pernah terlupakan sakralnya, karena menyatukan dua hati dalam segenap cinta dan juga kasih sayang. Namun tidak bagi Rania, setelah menunggu setahun lamanya akhirnya gadis yang sudah resmi menjadi wanita itu harus merelakan malam pertamanya setelah melewati malam-malam yang menyakitkan.

Tidak hanya itu saja, malam yang dia pikir akan menjadi sebuah pengalaman dan kenangan terindah didalam hidupnya harus berakhir dengan rasa kecewa yang begitu sangat mendalam. Perlakuan Angga yang memaksakan keinginannya, membuat harga diri Rania terkoyak walaupun Angga adalah suaminya sendiri.

Dengan tangis yang berderai Rania tergugu dengan tangan memeluk lutut. Jika hanya rasa sakit dibadan yang dirasakannya, mungkin Rania masih bisa menahannya jika yang mereka lakukan tadi atas dasar cinta. Namun, apa yang Rania rasakan tadi, hanyalah sebuah penyiksaan dan juga pemaksaan.

Lalu haruskah dia melaporkan sang suami kepada pihak yang berwajib atas apa yang telah dilakukannya? Bukankah mereka nanti hanya akan menjadi bahan tertawa ketika sudah berada di kantor polisi.

Suami memperkosa istri! Sangat tidak lucu dan tidak masuk akal di dalam sebuah hubungan yang bernama pernikahan. Dengan rasa sakit yang begitu mendalam, Rania hanya bisa merutuki dirinya sendiri. Seharusnya dia tidak memancing amarah sang suami, sehingga membuat Angga lepas kendali lalu dengan emosi melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukannya, walaupun sebenarnya dia berhak.

"Apa aku harus sesakit ini?" tanya Rania setelah lama berendam.

"Bukankah apa yang dilakukannya tadi adalah haknya dan juga kewajibannya sebagai seorang suami. Lalu kenapa aku tidak bisa terima dengan perlakuannya?" tahya Rania mulai berdebat dengan dirinya sendiri.

"Seharusnya dia memperlakukanku sebagai seorang istri, bukannya seperti wanita malam," lirih Rania kembali menangis.

"Jika saja dia meminta haknya dengan lembut dan juga sopan, aku pasti akan memberikannya." Tak henti-hentinya Rania meracau dalam isakan tangis.

"Sudah selesai mandinya?"

Rania tersentak kaget ketika mendengar suara Angga yang sudah berada di ambang pintu. Entah sudah sejak kapan lelaki itu berada di sana, akan tetapi tatapan matanya yang tajam membuat Rania hanya bisa menunduk setelah menoleh sebentar.

"Jangan merepotkanku, Nia!" Angga dengan santainya membawa Rania dalam gendongannya lalu membawa istrinya kembali ke atas ranjang, tanpa memperdulikan teriakan wanita itu.

Rania yang tadinya mencoba memberontak ketika sang suami menggendongnya, hanya bisa pasrah karena tenaganya yang tidak sebanding dengan Angga.

"Selimut!" Titah Angga setelah membawa Rania ke atas ranjang, dimana kejadian panas tadi sudah berlangsung. Sejenak Angga terdiam ketika kedua netranya tidak sengaja melihat noda darah di atas seprai.

Rania yang melihat tatapan Angga, langsung menoleh ke arah penglihatan lelaki itu. Darahnya langsung berdesir ketika melihat noda merah di atas seprai, sebuah tanda kalau dirinya masih perawan ketika sang suami menggaulinya.

Dengan tatapan dingin, Angga berjalan ke sudut kamar lalu meraih jaketnya dan pergi keluar kamar. Namun, sebelum kakinya benar-benar menuju keluar kamar laki-laki itu sejenak berhenti lalu mengucapkan sebuah kalimat yang membuat Rania semakin terluka.

"Anggap kejadian malam ini tidak pernah terjadi, Nia. Karena jika dalam keadaan sadar dan tidak emosi, aku tidak akan pernah menyentuhmu!" Dengan tanpa rasa bersalah, Angga pun pergi meninggalkan sang istri tanpa memikirkan perasaan Rania sedikitpun.

Seakan disambar petir, Rania mendengar perkataan suaminya. Bukan hanya sakit fisik, akan tetapi sakit di dalam hatinya begitu sangat dalam ditorehkan oleh Angga kepadanya. Dengan tangan gemetar Rania meremas selimut yang sedang membungkus tubuh telanjangnya.

Rania meringkuk dengan bahu bergetar, sebenci itukah suaminya, sehingga menyuruhnya untuk melupakan apa yang baru saja mereka lakukan. Malam yang seharusnya menjadi malam terindah bagi Rania, harus berakhir dengan malam terlaknat yang dirasakan oleh wanita itu.

…..

Rania membuang muka ketika Angga menatapnya saat berada di dalam kamar. Setelah kejadian semalam, tidak ada yang bersuara di antara mereka. Rania yang sudah terlanjur sakit hati, sudah membulatkan hatinya untuk berpisah dengan sang suami.

"Untuk apa itu?" tanya Angga melihat Rania mengumpulkan beberapa berkas termasuk surat nikah mereka.

Rania yang enggan berbicara dengan Angga, hanya diam saja dan terus melanjutkan pekerjaannya. Ya, setelah mereka pulang dari rumah orang tua Angga nanti, Rania akan langsung menuju pengadilan untuk melakukan gugatan cerai kepada Angga.

"Rania."

"Ayo berangkat!" Ucap Rania setelah selesai dengan berkas-berkasnya.

"Kenapa kamu membawa itu?" tanya Angga masih penasaran dengan berkas yang dibawa oleh sang istri.

"Bukan urusanmu!" Ketus Rania menjawab pertanyaan Angga.

Angga mengernyit mendengar jawaban ketus dari sang istri, lalu memilih diam karena tidak mau berdebat dengan Rania disaat mereka mau bepergian. Saat berada di dalam mobil pun tidak ada yang memulai pembicaraan satu sama lain.

Sebenarnya dalam hati kecilnya, Angga sedikit merasa bersalah setelah melakukan pemaksaan kepada sang istri tadi malam. Namun, karena sikap sang istri yang merendahkannya membuat Angga tidak terima dan sampai lupa diri sehingga melakukan hal yang selama ini ditahannya.

Apalagi setelah mendengar Isak tangis Rania dari balik pintu kamar, setelah dia meninggalkan wanita itu sendirian selepas perbuatannya. Namun, masih karena ego, Angga akhirnya tidak memperdulikan isakan tangis dari sang istri, dan benar-benar pergi dari kamar yang telah menjadi saksi bisu percintaan mereka.

Karena sibuk melamun, tanpa Angga sadari kalau mobil mereka telah sampai di persimpangan. Tanpa melihat kanan dan kiri, laki-laki itu tidak mengurangi sedikitpun pedal gas, hanya Rania yang terpekik ketika matanya melihat sebuah mobil truk dari arah persimpangan dan dengan sekejap langsung menghantam mobil mereka.

Ya, hanya dalam sekejap mobil yang tadinya mewah itu mulai ringsek dengan keadaan yang hampir tiga kali terbalik karena ditabrak oleh truk yang sedang bermuatan. Kaca-kaca mobil yang tadi nya utuh, hancur berserakan di jalanan, mobil yang mesinnya masih menyala itu mulai mengeluarkan asap.

Sejenak keadaan menjadi hening, hanya suara mobil yang rusak terdengar. Sedangkan di dalam mobil yang sudah berubah bentuk itu, Angga berusaha untuk menyadarkan dirinya sendiri. Darah mengucur dari pelipisnya dan mengenai wajahnya yang terluka.

"Nia, kau tidak apa-apa?" tanya Angga pelan mencoba menoleh ke arah sang istri. Sedangkan Rania yang keadaanya tak kalah parah dari Angga, hanya terdiam dengan mata yang terpejam.

"Tidak, Nia. Jangan diam saja, buka matamu," perintah Angga dengan nada yang bergetar. Untuk pertama kalinya Angga merasa ketakutan akan kehilangan sang istri yang saat ini hanya diam saja dengan keadaan yang bersimbah darah.

"Aku mohon buka matamu, Nia. Jangan tinggalkan aku," pinta Angga dengan mata memerah, perlahan cairan bening lolos begitu saja dari sudut mata lelaki itu. Ya, untuk pertama kalinya Angga menangisi perempuan yang telah menjadi istrinya itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status