Share

Rumah Sakit

Di ruangan serba putih, seorang wanita terlihat sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Selang infus bertengger manis di punggung tangan sebelah kiri, sedangkan di bagian atas mulut selang oksigen masih terpasang rapi.

Perlahan, salah satu jari wanita itu bergerak untuk sesaat dan mulai terdengar lenguhan kecil dari mulut yang terlihat kering dan pucat itu. Sedangkan seorang perawat yang baru saja menukar cairan infus, tersentak kaget mendengar pasien yang sedang dirawatnya saat ini mulai tersadar.

“Dokter, pasien sudah sadar,” ucap perawat cantik itu setelah sesaat keluar dari ruangan pasien.

Bergegas dokter dan beberapa perawat lain masuk ke dalam ruangan dan mulai mengecek keadaan wanita yang sudah beberapa hari tidak sadarkan diri.

“Syukurlah keadaannya mulai membaik, cepat kabari keluarga nya,” ujar dokter setelah memastikan keadaan pasiennya.

Tidak menunggu lama, perawat yang diperintah sudah pergi meninggalkan ruangan lalu menuju ruangan yang satunya. Sedangkan dokter yang mengecek keadaan pasiennya tadi, masih berdiri menatap wajah wanita yang masih memejamkan matanya itu.

Di ruangan lainnya, Angga mengusap wajahnya lega setelah mendengar kabar sang istri yang sudah siuman. Laki-laki yang sama-sama mengalami kecelakaan dengan istrinya itu, tidak hentinya mengucapkan syukur karena Tuhan akhirnya menjawab doa-doanya selama ini.

“Apa kau tidak ingin menemuinya?”

Angga diam, tidak menjawab pertanyaan yang membuatnya dilema saat ini. Haruskah dia menemui Rania saat ini? Atau tetap diam di dalam ruangannya dan memastikan keadaan sang istri lewat perantara.

Entahlah, untuk pertama kalinya Angga bingung mengambil keputusan yang menyangkut dirinya dan sang istri. Padahal, sebelum kecelakaan terjadi Angga selalu mengambil keputusan semaunya sendiri, tanpa memikirkan perasaan sang istri.

…..

“Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri?” Rania bertanya setelah perawat membantunya untuk duduk dan bersandar di kepala ranjang rumah sakit.

“Lima hari, Buk,” jawab perawat mulai menyuapi Rania dengan makanan rumah sakit.

Rania terdiam sejenak mendengar jawaban wanita yang mungkin seumuran dengannya. Lima hari tidak sadarkan diri, adakah sang suami menjenguk nya ke sini. Tapi tunggu, bukankah mereka sama-sama mengalami kecelakaan? Lalu kenapa dia tidak sekamar dengan sang suami, apakah suaminya masih hidup?

Segala pertanyaan berputar di kepala Rania, hingga membuat wanita itu meringis kesakitan ketika mencoba mengingat peristiwa yang telah dialaminya sebelum akhirnya menginap beberapa hari di rumah sakit.

“Jangan terlalu banyak pikiran, Buk. Rileks dan tetaplah tenang,” ujar perawat yang memang dikhususkan untuk merawat Rania, dan tentunya itu dari Angga.

“Apa, suami saya baik-baik saja?” tanya Rania lirih dan cemas. Biar bagaimanapun sifat dan sikap sang suami kepadanya selama ini, Angga tetaplah suaminya yang pernah dia cintai, bahkan sampai saat ini.

“Bapak, baik-baik saja, Buk. Mungkin sebentar lagi dia akan menjenguk Ibuk,” jawab sang perawat tersenyum, lalu kembali menyuapi Rania.

“Apa lukanya parah, sampai tidak bisa melihatku saat ini? Bahkan, kami tidak sekamar?” tanya Rania dengan raut bingung dan juga sedih. Apakah sang suami begitu membencinya, sehingga tidak mau sekamar dengannya.

Rania kembali mengingat bagaimana keadaan mereka sebelum kejadian naas itu terjadi. Mereka yang ingin mengunjungi kediaman orang tua Angga, harus berakhir di rumah sakit. Tubuh Rania seketika menegang, ketika mengingat kalau dirinya ingin menggugat cerai sang suami setelah Angga melakukan sesuatu kepadanya.

“Saya permisi dulu, Bu,” pamit perawat mencoba menghindari pertanyaan yang baru saja dilontarkan Rania.

“Apa suami saya baik-baik saja?” tanya Rania kembali memastikan keadaan sang suami. Sedangkan wanita muda di depannya tersenyum ramah lalu mengangguk.

“Sayang, kamu sudah sadar?” tanya Dewi, mertua Rania yang baru sampai setelah mendapat kabar kalau menantunya itu sudah sadarkan diri.

“Mama,” ucap Rania menerima pelukan dari sang mertua.

“Syukurlah kamu sudah sadar, Sayang,” ujar Dewi mengusap rambut Rania.

“Iya, Ma. Ternyata Tuhan masih ingin aku hidup di dunia ini, Ma,” jawab Rania penuh haru dan juga senang. Dewi pun kembali memeluk menantunya itu dengan hangat.

“Papa, mana, Ma?” tanya Rania tidak melihat mertua laki-lakinya.

“Papa sedang ada kerja ke luar negeri, Nak. Jadi tidak bisa ke sini,” jawab Dewi memberitahu dimana suaminya saat ini berada. Sedangkan Rania sedikit kaget karena mertua laki-lakinya itu masih sempat keluar negeri untuk urusan pekerjaan, sedangkan di sini anak dan menantunya sedang berjuang untuk hidup dari kematian.

“Ma, Bang Angga kenapa tidak ke sini?” tanya Rania mengalihkan pembicaraan.

Seketika Dewi terlihat tegang, dan gugup ketika sang menantu menanyakan putranya.

“Mama kenapa?” tanya Rania ketika melihat raut wajah mertuanya tiba-tiba berubah.

Entah apa yang harus dijawab oleh Dewi setelah Rania memberikan pertanyaan yang sangat dihindarinya. Sebelum menjawab wanita paruh baya itu mengusap rambut menantunya lalu tersenyum teduh.

“Angga, suamimu baik-baik saja.”

“Lalu, kenapa dia tidak di sini?” tanya Rania dengan wajah sendu. Berbagai macam pikiran mulai kembali memenuhi kepalanya. Apakah suaminya tidak senang melihatnya sadar? Atau memang sekarang laki-laki itu mau menuruti keinginannya untuk bercerai.

Tiba-tiba saja Rania teringat akan kejadian sebelum menimpa mereka. Surat-surat yang dibawanya untuk pergi ke pengadilan agama setelah mereka pulang dari mengunjungi rumah mertua.

“Dimana surat-surat itu?” Rania membatin.

“Sayang, apa kau mau mengunjungi suamimu?” tanya Dewi setelah melihat Rania terdiam beberapa saat.

“Hah, aku?” tanya Rania menunjuk diri sendiri. Bukankah seharusnya suaminya itu yang mengunjunginya karena dia yang terlebih dahulu sadar daripada dirinya sendiri.

“Iya, kenapa, Sayang?”

“Bukankah seharusnya Bang Angga yang menjengukku, Ma?” tanya Rania polos.

Dewi tersenyum tipis mendengar pertanyaan menantunya, lalu perlahan menggenggam jemari Rania dengan lembut. Wanita itu tahu, apa yang sedang dipikirkan oleh Rania, karena bagaimanapun juga jika dia yang berada dalam posisi Rania, sudah pasti pertanyaan yang sama akan keluar dari bibirnya.

Sebelum berbicara, Dewi menghela nafas pelan, “Mungkin ini memang salah, akan tetapi jika kamu ingin menemuinya pergilah ke kamar ujung sebelah kiri. Di sana suamimu dirawat,” ujar Dewi memberitahu dimana putranya dirawat saat ini.

“Maksud, Mama?” tanya Rania tidak paham dengan ucapan sang mertua. Kamar ujung sebelah kiri? Kenapa suaminya dirawat di sana? Bukankah mereka bisa satu kamar dengan kekuasaan yang mereka miliki.

“Mama keluar dulu, jangan banyak pikiran,” sahut Dewi memilih pamit dari hadapan menantunya. Tidak lupa wanita yang sudah menjadi mertua Rania itu mengelus pipis tirus menantunya sebelum pergi dari ruangan Rania.

Dewi menghela nafas kasar setelah menutup pintu kamar Rania dan bersandar dibalik pintu rawat inap menantunya. Rasa sesak yang dari tadi ditahannya terlepas sudah setelah dia keluar dari ruangan serba putih itu. Pertanyaan Rania tentang putranya, benar-benar membuatnya sedih dan tidak tahu harus berbuat apa.

Mengusap sudut matanya, Dewi pun memilih pergi dari depan ruangan Rania menuju ke taman rumah sakit untuk menenangkan sedikit pikirannya. Keadaan Angga putranya, tentang Rania yang ingin tahu bagaimana kondisi sang suami hampir membuat wanita paruh baya itu stres. Ditambah dengan sang suami yang saat ini tidak berada disisinya.

"Ya Tuhan, bagaimana jika Rania tahu tentang kondisi Angga saat ini?" tanya Dewi menatap nanar hamparan bunga yang baru akan mekar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status