Share

Kehidupan Baru

Author: Alverna
last update Last Updated: 2025-09-28 14:04:25

Aira melepas id card kerjanya, memasukkannya ke dalam loker, lalu buru-buru merapikan barang. Ia harus tiba di rumah sebelum Gavin pulang. Hari ini adalah hari pertamanya kembali bekerja setelah tujuh hari cuti menikah.

Banyak temannya iri padanya—bagaimana bisa gadis sederhana seperti Aira menikah dengan cucu konglomerat? Mereka menganggapnya beruntung. Padahal, andai tahu kebenarannya, mereka pasti memilih tetap sendiri daripada menjalani hidup sepertinya.

"Aira, mau saya antar?" suara Raihan, manajernya, membuatnya menoleh. Lelaki itu menatap penuh perhatian—perhatian yang justru membuat Aira tidak nyaman. 

Ia tahu Raihan punya perasaan, tapi sejak Aira memang selalu menjaga menjaga jarak bahkan sebelum ia menikah, alasannya karena ia ingin fokus bekerja.

"Ah, nggak usah, Pak. Saya pulang sendiri," tolak Aira.

Andin, sahabat kerjanya, langsung menyelutuk, "Dia kan istri konglomerat. Masih mending dibolehin kerja. Gajinya di sini paling cuma recehan dibanding uang bulanan suaminya. Aira terlalu bertanggung jawab, masa nunggu sampai akhir bulan dan kita ketemu pengganti dia," kata Andin menyenggol Aira, membuat alasan sendiri padahal tentu saja alasannya bukan itu.

Aira hanya tersenyum kaku. Mana mungkin ia jujur bahwa Gavin bahkan tak pernah peduli padanya? Memberi uang saja tidak.

Raihan akhirnya pamit, meninggalkan Aira dan Andin. Begitu ia pergi, Andin langsung menatap Aira dengan antusias.

"Gue masih nggak habis pikir, gimana lo bisa ketemu cowok sekaya itu. Kasih tipsnya dong. Atau nomor W******p temennya sekalian!"

Aira hanya terkekeh. "Nanti deh."

"Gila ya, lo tiap malam tidur sama cowok ganteng gitu. Gue aja merinding bayanginnya," celetuk Andin blak-blakan.

Aira hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. Entah harus tertawa atau menangis mendengarnya. Padahal kenyataannya bertolak belakang.

"Boro-boro begadang, di ngelirik aku aja enggak," ringis Aira dalam hati.

Teringat dengan Gavin, ia buru-buru melangkah keluar dari tempatnya bekerja. Kurang dari satu jam lagi, Gavin sudah pulang ke rumah.

"Terima kasih, Mas," ucap Aira pada seorang ojek online saat tiba dengan selamat.

Di hadapannya berdiri sebuah rumah kecil minimalis khas perumahan tipe 36. Aira melangkah masuk, tersenyum dalam hati. Paling tidak, kini ia punya tempat untuk pulang. Tempat yang diberikan Eyang Mandala untuk kediaman Gavin dan dirinya.

Mungkin bagi Gavin, rumah ini adalah sebuah penghukuman. Ia diusir dari rumah megah dan hanya diberi tempat yang bahkan kamar lamanya jauh lebih luas. Namun bagi Aira, rumah sederhana ini adalah mimpi yang menjadi nyata. Tempat yang selalu ia damba-dambakan.

Aira mencuci tangan, lalu membuka tudung saji di meja makan. Senyumnya lenyap seketika saat mendapati masakan yang ia buat dengan susah payah tak tersentuh sama sekali—seperti biasanya.

"Mungkin dia makan di luar," gumam Aira kecewa.

Ya, setelah satu minggu berlalu sejak kejadian Gavin kabur dari pernikahan, murka Eyang Mandala pun jatuh. Gavin diusir dari rumah besar keluarga, dan Aira tak punya pilihan selain ikut bersama suaminya. Kalau tidak, Gavin akan mendapat hukuman yang lebih berat dari sang kakek.

Aira masih ingat jelas bagaimana peristiwa itu terjadi dua hari lalu.

Setelah acara pernikahan, Gavin pulang dalam keadaan mabuk. Tubuhnya terhuyung masuk, disambut histeris Nenek Sarah yang menangis karena khawatir cucunya tak ditemukan di mana pun.

"Astaga, Gavin… apa yang kamu lakukan?" tanya sang nenek, mencium bau alkohol yang menyengat.

Gavin tak menghiraukan. Kepalanya pening, ia hanya ingin merebahkan diri di kamar yang dulu begitu ia cintai.

"Ayo… sini, Nenek bantu," Sarah berusaha memapahnya, dibantu Mbok Ijah. Ia takut Eyang Mandala mendengar kegaduhan ini, karena ia tahu betul amarah suaminya belum mereda.

"Dia sudah pergi, Nek. Dia meninggalkan aku…" racau Gavin. Sarah mengerti maksud cucunya. Gavin masih belum bisa melupakan Lyra. Ia tahu, Gavin memilih mabuk karena duka itu.

"Dia sudah tenang di sana. Sekarang kamu harus menata hidupmu lagi, mencari yang lebih baik," ucap Sarah lembut, mencoba menenangkan.

"Mana mungkin aku bisa melupakannya? Itu mustahil, Nek!" Gavin menggeram, suaranya penuh emosi.

Sarah memeluk cucunya. Ia tahu betapa besar cinta Gavin pada Lyra. Untuk pertama kalinya, ia melihat cucunya hancur sehancur ini.

"LEPASKAN DIA!"

Suara menggelegar dari ruang tamu membuat semua orang terkejut. Eyang Mandala berdiri dengan tatapan membara.

Sarah refleks melepaskan cucunya. Ia tahu, jika membela Gavin, maka ia sendiri pun harus siap terusir dari rumah.

PLAK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Gavin. Lelaki mabuk itu pun terhuyung jatuh.

"Cucu tak tahu diri! Kamu tahu betapa malunya aku di hadapan para investor karena ulahmu?! Dan sekarang berani-beraninya kamu kembali menunjukkan wajahmu di sini?! Harusnya mati saja kau!" teriak Eyang Mandala, membuat seluruh penghuni rumah berkumpul di ruang tamu. Termasuk Aira, yang hanya bisa meringis melihat wajah suaminya memerah.

"Dasar tua bangka! Beraninya kau memukulku!" balas Gavin, kata-katanya dikuasai alkohol.

Semua orang menahan napas. Eyang Mandala menggeram, rahangnya mengeras, tangannya mencengkeram tongkat dengan begitu kuat seolah sedang menahan amarah yang hampir meledak.

PRANG!

Sebuah guci mahal pecah berkeping-keping akibat hantaman tongkat sang eyang.

Aira menggigit bibir, memberanikan diri mendekat. Bagaimanapun, Gavin adalah suaminya. Ia mencoba membantu Gavin berdiri, meski yang didapat hanya penolakan.

"Jangan sentuh aku, wanita murahan! Semua ini gara-gara kamu!" teriak Gavin, bau alkohol menyembur dari mulutnya. Seberapa banyak ia meneguk minuman hingga mabuk di siang bolong begini? Apakah sesakit itu ia ditinggalkan Lyra?

Namun Aira tetap tak bergeming. Ia tetap mencoba menopang suaminya.

"LEPASKAN DIA! DIA HARUS MENDAPAT HUKUMAN ATAS KELAKUKANNYA!" bentakan Eyang Mandala menggema, membuat seisi rumah membeku ketakutan.

Sarah menangis, takut cucunya benar-benar akan dibinasakan oleh amarah suaminya. Ia tahu betul, Mandala tak pernah melepaskan mangsanya.

Eyang Mandala tiba-tiba menyentuh dadanya. Rasa nyeri menusuk jantungnya. Dengan cepat, istri ketiganya memapahnya ke kursi.

"Dasar tidak berguna! Jangan pernah lagi kau menginjakkan kaki di rumah ini! Jangan pernah memakai uangku lagi! Pergi, dan jangan kembali!" ucapnya terbata-bata, menahan sakit di dadanya.

Itu keputusan bulat. Gavin harus menjalani hukuman itu.

Tatapan Eyang Mandala lalu beralih ke Aira yang menunduk pasrah.

"Dan kau, Aira… bawa suamimu pergi. Katakan padanya… jangan pernah berharap belas kasihku sebelum kau hamil! Semua fasilitas kutarik, dan baru kukembalikan saat kau hamil!"

Ia berhenti sejenak, napasnya terengah.

"Dan siapa pun yang berani membantu mereka tanpa sepengetahuanku… siap-siap angkat kaki dari rumah ini!"

Kata-kata itu terpatri kuat di ingatan Aira.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri yang Terabaikan   Meminta Izin

    Selama satu bulan terkurung di apartemen, ia benar-benar merasa bosan, apalagi hanya ditemani Mbok Inah.Ia terbiasa bekerja keras, terbiasa mengurus semuanya sendiri. Tiba-tiba harus diam di rumah berbulan-bulan membuat kepalanya penuh dan dadanya sesak oleh rasa jenuh yang menumpuk.Tapi Gavin melarangnya.Tanpa izin Gavin, Aira bahkan tak diperbolehkan keluar. Ia memilih menurut daripada membuat lelaki itu marah dan berujung pada hukuman yang membuat Aira merinding.Kemarin ia melanggar larangan Gavin dan hampir berakhir ciu man panas.Namun, selama satu bulan itu pula, Gavin berubah begitu manis. Ia terus menghubunginya, memberitahu di mana ia berada, apa yang ia lakukan. Aira sampai merasa mereka seperti sepasang kekasih yang menjalani LDR.“Memangnya diizinkan sama Tuan?” tanya Mbok Inah sambil menata gurame asam manis ke atas piring, lalu meletakkannya di meja. Beberapa potong ayam goreng turut disajikan. “Mau makan nasi atau lauknya saja?” tanyanya lagi saat hendak mengambil

  • Istri yang Terabaikan   LDR

    Gavin yang mendengar meradang. Pagi-pagi emosinya dibuat naik oleh Elvand.“Apa yang barusan lo bilang?”“Tuh, nyatanya juga tuli. Sini, cepat! Takut ngamuk,” kata Elvand masih tidak peduli pada Gavin. Bahkan ia menyuruh Aira agar beralih padanya.Aira yang mendengar langsung terkekeh, bahkan hampir tertawa nyaring.“Lo mau gue bunuh?” kata Gavin tajam. Tatapannya dingin, menusuk.Elvand langsung menatap balik, tak kalah panas.“Santai, Bro. Cuma bercanda kok. Biar pagi-pagi nggak tegang,” katanya nyengir, puas karena berhasil memancing emosi Gavin.“Lagian hidup tuh jangan terlalu kaku. Santai dikit… biar nggak cepat tua,” lanjutnya. “Nanti Aira malah beralih cari brondong. Iya, kan, Aira? Nggak masalah banget kalau berondongnya yang paling dekat. Misalnya… gue,” ujarnya sambil mengedipkan mata ke arah Aira.Tangan Gavin langsung mengepal.“Ayo pulang. Ngapain buang waktu ngobrol sama keledai bodoh? Takut kebagian bego,” katanya dingin, sengaja menekankan kata itu. Menurut Gavin, Elv

  • Istri yang Terabaikan   Anggap Sebagai Hukuman

    Sekali lagi kecupan mendarat, kali ini di bibir Aira, walau hanya sekilas namun cukup membuat Aira membatu di tempat.“Oke. Satu kali kamu memanggil aku dengan sebutan Tuan, berarti kamu sengaja meminta aku untuk menyentuhmu. Anggap itu sebagai hukuman karena terus menggodaku,” kata Gavin memberi peringatan. Tapi lebih tepatnya mencari kesempatan.Dan membuat milikku terasa ngilu, batin Gavin melanjutkan kata-katanya.Aira masih mematung. Kali ini ia benar-benar harus mengingat untuk berhenti memanggil Gavin dengan sebutan Tuan. Ia merasa seperti perempuan murahan, seolah sengaja meminta untuk disentuh, padahal ia baru saja diperingatkan, namun tetap saja mengulanginya lagi dan lagi.Hening kembali menyelimuti mereka.Sepertinya Aira takut pada ancaman Gavin.“Kamu ingin mandi lebih dulu?” tanya Gavin akhirnya, memecah keheningan. “Sepertinya kita harus pulang. Aku tidak mau bertemu dengan ‘mereka’ di meja makan, karena aku yakin Eyang Mandala akan mengumpulkan kita lagi. Masalah mala

  • Istri yang Terabaikan   Hasrat yang Tertahan

    Gavin bangun dengan mata yang berkantung. Setelah hampir semalaman tidak bisa tidur karena hasratnya terus meronta ingin diberi jatah, lelaki itu baru bisa terlelap sekitar jam empat subuh.Matanya mengerjap beberapa kali saat mencoba membiasakan diri dengan cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden yang sedikit terbuka.Ah … sudah jam enam pagi rupanya.Gavin merasa pergelangan tangannya sedikit kebas, karena posisi Aira masih tidur menindih lengan itu.Dengan lembut Gavin mengangkat kepala Aira dan mengganjalnya dengan bantal untuk menggantikan tangannya.Aira yang masih nyenyak dalam mimpi tampak begitu damai, bahkan bunyi dengkuran halus pun terdengar.Kali ini Gavin tidak mendengar igauan apa pun dari Aira. Biasanya wanita itu selalu tidur dengan wajah cemas, lalu saat sudah nyenyak akan mengigau hingga menangis.Senyenyak itu dia tidur, seolah tak peduli Gavin yang sedang berusaha mengatur detak jantungnya yang menggila dan rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuh karena

  • Istri yang Terabaikan   Aku Menginginkanmu...

    Gavin menoleh. Tanpa sadar ia tertawa, membayangkan Aira yang lembut itu menampar ibu tirinya, rasanya membuatnya lucu. Melukai hewan saja Aira tak tega, bagaimana bisa menampar penyihir.Tapi ia mengangguk sambil menimpali candaan Aira.“Bolak-balik, kalau perlu. Kalau bisa kamu ikut hajar juga tadi.”Aira ikut tersenyum dan melanjutkan, “Kalau perlu, biar aku saja yang maju. Biar Eyang Mandala percaya padamu.”Kali ini Gavin terdiam. Aira benar. Ia tidak menyangka sang Eyang justru berpihak pada Ayahnya.Mungkin Eyang Mandala mulai membuka hati untuk memaafkan Ayahnya, begitu pun Neneknya yang terang-terangan mengundang keluarga mereka. Padahal mereka semua tahu Gavin masih sangat membenci mereka.Tangan Aira terulur, menyentuh pipi Gavin yang masih tampak merah bekas tamparan Adimas. Gavin membeku begitu saja oleh sentuhan itu.Aira mengusapnya lembut, seakan dengan sentuhan itu rasa sakit di pipi Gavin akan hilang tanpa sisa.Gavin menatap mata Aira lekat-lekat, lalu tersenyum. Ta

  • Istri yang Terabaikan   Aku Di sini...

    Aira mencoba mengangkat wajahnya untuk melihat Gavin, tetapi ketika ia ingin merenggangkan pelukan, Gavin justru menahannya erat.“Jangan pergi… kumohon,” suara Gavin pecah dan serak, membuat Aira terdiam.Untuk pertama kalinya, Aira melihat Gavin benar-benar jatuh. Sosok yang selama ini tampak tegar dan tak tersentuh itu tampak hancur di pelukannya. Luka lama yang kembali terkoyak dengan kedatangan keluarga yang merusak masa kecilnya— ternyata masih menyisakan sakit yang begitu dalam.“Tidak apa-apa, aku di sini bersama kamu,” bisik Aira lembut.Ia menepuk-nepuk punggung Gavin, merasakan bagaimana dada lelaki itu naik turun tak teratur, sementara aroma maskulin suaminya perlahan menenangkan dirinya sendiri.Mendengar kata-kata Aira, Gavin semakin menenggelamkan wajahnya di lekuk lehernya, seakan mencari tempat berlindung terakhir yang ia punya. Getar di tubuhnya perlahan mereda. Aira bisa merasakan Gavin menarik napas panjang sebelum akhirnya merenggangkan pelukan mereka.Gavin men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status