"Sekarang... buka baju kamu!"
Lagi-lagi Siran dibuat membelalak. Seketika ia menyilangkan tangannya, refleks tubuhnya saat melindungi diri. "BUKA! ATAU AKU YANG BUKA!" bentak Aksa marah. Kebenciannya semakin besar saat melihat Siran. Entah kenapa, bayang-bayang sang kekasih yang meninggal—yang menurutnya karena Siran—membuat kemarahannya semakin dalam. Melihat Siran yang tak bergeming, Aksa benar-benar menarik baju gadis itu, mengangkatnya dengan paksa hingga menyisakan tank top putih tipis yang ia kenakan. Sangat tipis, hingga kulit tubuh dan bra berwarna hitam yang ia pakai pun terlihat jelas. Siran langsung menutupi tubuhnya. Ia menangis, takut pada Aksa yang kini menatapnya nyalang. Aksa tersenyum sinis. Tubuh Siran yang putih bersih, rambutnya yang terikat rapi mengekspos leher jenjangnya, ditambah kedua gundukan miliknya yang cukup berisi—lebih berisi daripada milik Sinar, sang kekasih—membuat Aksa mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ia membayangkan tubuh itu berada dalam pelukannya. Sial. Kenapa dirinya malah merasa aneh? Dan sialnya lagi... sesuatu milik Aksa mengembang dan mengeras di bawah sana. Aksa merasa seperti sedang menghianati Sinar. "Aku tidak seperti yang kamu pikirkan," bantah Siran. Ia tidak ingin dianggap murahan. "Terus seperti apa?" kata Aksa sinis. "Mana mungkin wanita buangan yang tanpa biaya dari orang tuanya bisa menghidupi dirinya sendiri kalau tidak menjual diri? Terus terang saja... itu yang Sinar ceritakan," lanjutnya lagi, dan kali ini membuat Siran membelalak. Gadis itu benar-benar terkejut. Bukan karena pandangan Aksa yang menganggapnya murahan, tapi karena rasa kecewa yang muncul saat mendengar sang kembaran menceritakan kebohongan tentang dirinya. Benarkah Sinar mengatakan itu? Lagi-lagi Siran merasakan sakit—kali ini terasa ngilu di bagian dadanya. "Tolong jangan mengada-ada. Mana mungkin Sinar mengatakan itu. Dia tahu bagaimana hidupku... bagaimana perjuanganku hingga sekarang. Sinar tidak akan seperti itu," bantah Siran lagi. Dia tahu betul bagaimana Sinar menyayanginya. Mana mungkin sang kembaran memburukkan dirinya? Ini pasti hanya akal-akalan Aksa agar Siran semakin sakit hati. "Cih! Munafik!" kata Aksa kasar. "Buktinya... kamu mau saja dibawa dan hampir dinikahi kakek-kakek," katanya lagi, mengingatkan Siran pada kejadian saat Adiputra ‘membeli’ dirinya dari orang tuanya sebagai uang ganti rugi sebesar tiga miliar. Padahal, bisa saja Siran melarikan diri. "Bisa saja kamu open BO, mana saya tahu," katanya lagi. Siran meringis. Tangannya terkepal. Ingin rasanya menghajar Aksa, menampar mulut lelaki itu agar berhenti merendahkannya. Namun kenyataannya, tangan Siran tak sanggup terangkat. Tubuhnya terasa kaku dengan tangan yang gemetar. Siapa dia hingga berani menampar Aksa? Harusnya Siran cukup tahu diri. Aksa bersikap seperti ini juga karena dirinya—yang tak mampu membela diri, tak mampu menjelaskan kematian Sinar, sang kembaran. Karena jika ia bercerita, maka ia harus membuka kembali traumanya tentang kejadian itu. Cukup polisi yang menjelaskannya. Siran tak akan sanggup. "Itu jalan satu-satunya agar orang tuaku tidak dipenjara. Mana mungkin aku membiarkan mereka mempertanggungjawabkan sesuatu yang bahkan mereka sendiri tidak tahu," bela Siran lagi. "Jadi maksudmu... aku yang salah di sini?" Aksa menatap Siran. Mata cokelatnya terlihat penuh kebencian. "Bu-kan... bukan seperti it—" "Keluar!" potong Aksa tegas. "A-apa?" ucap Siran terkejut mendengar pengusiran Aksa. Bagaimana mungkin ia diturunkan dalam keadaan seperti ini? Tanpa baju? Yang ada, mungkin saja ia dilecehkan oleh orang-orang di luar sana. "Aku mohon, jangan. Atau... paling tidak, tolong kembalikan bajuku," pinta Siran memelas. Ia tidak mau orang-orang melihat lekuk tubuhnya. Mendengar rengekan Siran, Aksa tertawa nyaring. Namun bagi Siran, tawa Aksa bagaikan malaikat pencabut nyawa. Membuatnya semakin gemetar, seolah berada di ambang penghabisan. "Keluar dari mobil ini! Atau kamu memang mengharapkan lebih di sini," kata Aksa dingin, penuh penekanan. Ia bahkan melempar baju Siran ke bagian belakang mobil, sengaja agar Siran kesulitan mengambilnya. Siran masih tergugu. Untuk mengambil baju yang jaraknya cukup jauh, pasti Aksa bisa melihat lekuk tubuhnya. Seketika ia gemetar saat melihat mata Aksa yang seakan melahapnya—tatapan itu saja sudah cukup membuat nyalinya ciut. Siran lebih memilih untuk terus menutupi tubuhnya, menyelamatkan harga diri yang masih tersisa. "Jadi memang ingin itu terjadi, ya? Dasar murahan!" kata Aksa kejam. Sengaja membuat harga diri Siran jatuh ke titik terendah. Siran yang mendengar merasa seakan ada sesuatu yang mencubit hatinya. Kata-kata yang terlampau kasar itu membekas, meninggalkan luka. Serendah itukah dirinya di mata Aksa? Aksa tidak peduli dengan tangisan Siran. Baginya, gadis itu pantas mendapatkannya. Walaupun hati kecilnya menolak, tapi kebenciannya pada Siran telah mengalahkan segalanya. Untuk pertama kalinya, ia bersikap kasar pada seorang wanita—melupakan janjinya pada sang Ayah untuk selalu bersikap lembut. Tapi baginya, wanita munafik seperti Siran tak layak diperlakukan baik. Takut ancaman itu benar-benar terjadi, perlahan Siran membuka pintu. Aksa bahkan sengaja menurunkannya di jalanan yang ramai, penuh dengan orang, agar ia dipermalukan. Kemudian, mobil itu melaju—tanpa mempedulikan Siran. Air matanya terus mengalir, tak terbendung. Ia merasa malu, sungguh! Apalagi tatapan tajam dari orang-orang yang lewat seakan mengulitinya hidup-hidup. Bisik-bisik tak mengenakkan dari pengguna jalan makin menghancurkan harga dirinya. Ditambah lagi, ada beberapa orang yang memotret dirinya. Ia seperti badut yang dijadikan tontonan gratis di tengah jalan. Sekarang ia harus bagaimana? Untuk membeli pakaian, tampaknya mustahil. Ia hanya memiliki selembar uang dua puluh ribuan—itu sebabnya tadi ia ingin ke mes restoran, untuk mengambil ATM yang tertinggal. Ia baru saja menerima gaji. Siran masih berdiri terpaku di tempatnya saat seorang ibu-ibu menghampirinya. Mungkin kasihan melihatnya menangis. "Astaga, Nak. Kamu kenapa?" tanya ibu itu sambil menutupi tubuh Siran dengan jaket yang ia kenakan. Lusuh memang, tapi Siran sangat bersyukur. Paling tidak, kini ia tidak terlihat seperti telanjang. Setelah tubuh Siran tertutup, beberapa orang mulai mengerumuninya. Mungkin karena Siran menangis, atau mungkin karena penampilannya yang membuat orang-orang mengira ia baru saja mengalami pelecehan. "Apa yang terjadi? Saya ingat nomor plat mobilnya. Kita bisa laporkan ke polisi," kata seorang bapak-bapak, mengenakan jaket serupa dengan ibu tadi. Sepertinya mereka petugas kebersihan jalanan. Siran menggeleng cepat. "Jangan!" tolaknya. Ia menghapus air matanya. "Suami saya marah karena suatu hal... tapi setelah ini, dia akan baik lagi kok," katanya berdusta. Melaporkan Aksa sama saja dengan mencari mati. Yang ada, Tuan Adiputra akan semakin marah dan malah orang tuanya yang akan dipenjara. Atau lebih parah lagi—dirinya yang dilaporkan balik karena pencemaran nama baik. "Yakin baik-baik saja? Ini termasuk KDRT, loh. Dia bisa mengulanginya lagi kalau Nona berbuat salah sedikit saja," kata bapak tadi. Siran mencoba tersenyum, berusaha terlihat baik-baik saja. "Dia memang sedang marah pada saya. Tapi nanti... dia akan kembali lembut," jelas Siran, masih berusaha melindungi Aksa. “Semoga saja,” batinnya lirih. "Saya boleh pinjam jaket ini dulu, Bu? Besok saya kembalikan," pinta Siran. Ia tak mungkin pulang ke mes dengan tank top setipis ini. Yang ada, teman-temannya di restoran akan menanyai macam-macam. Siran terlalu lelah untuk menjelaskan. Mereka hanya akan mendengar, lalu menjadikannya bahan gunjingan—bukan benar-benar peduli. "Silakan... maaf ya, jaketnya bau. Ibu lagi kerja," jawab ibu itu lembut. Siran ingin menangis—di saat seperti ini, masih ada juga orang baik yang peduli. "Tidak apa-apa, Bu. Saya yang harusnya berterima kasih. Ibu kerjanya selalu di sini, ya? Nanti saya cuci dulu, lalu saya kembalikan," kata Siran lagi, dan ibu itu mengangguk. "Hati-hati ya, Neng. Kalau terjadi lagi, lebih baik cari pertolongan atau lapor polisi," kata ibu itu mengingatkan. Siran hanya tersenyum. Dalam hati, ia berkata: “Ya… seandainya saja ada yang berpihak padaku. Tapi nyatanya, semua orang justru mengabaikanku.”"Sekarang... buka baju kamu!"Lagi-lagi Siran dibuat membelalak. Seketika ia menyilangkan tangannya, refleks tubuhnya saat melindungi diri."BUKA! ATAU AKU YANG BUKA!" bentak Aksa marah. Kebenciannya semakin besar saat melihat Siran. Entah kenapa, bayang-bayang sang kekasih yang meninggal—yang menurutnya karena Siran—membuat kemarahannya semakin dalam.Melihat Siran yang tak bergeming, Aksa benar-benar menarik baju gadis itu, mengangkatnya dengan paksa hingga menyisakan tank top putih tipis yang ia kenakan. Sangat tipis, hingga kulit tubuh dan bra berwarna hitam yang ia pakai pun terlihat jelas.Siran langsung menutupi tubuhnya. Ia menangis, takut pada Aksa yang kini menatapnya nyalang.Aksa tersenyum sinis. Tubuh Siran yang putih bersih, rambutnya yang terikat rapi mengekspos leher jenjangnya, ditambah kedua gundukan miliknya yang cukup berisi—lebih berisi daripada milik Sinar, sang kekasih—membuat Aksa mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ia membayangkan tubuh itu berada dalam peluk
"Nona, baik-baik saja?"Lamunan Siran pudar saat seorang pembantu menyentuh pundaknya. Mata Siran yang sayu dan wajahnya yang pucat membuat pembantu di keluarga Adiputra merasa bersimpati pada calon istri cucu dari majikannya.Siran tersenyum."Saya baik-baik saja," jawabnya. Namun siapa pun tahu, di balik wajah sok tegar itu tersimpan beban yang sangat besar.Pembantu keluarga Adiputra sangat tahu apa yang gadis ini alami di rumah ini—mendapat rundungan dan kebencian dari kedua istri pertama dan ketiga Tuan Adiputra pasti sangat berat. Ditambah lagi dengan calon suaminya Aksa, , yang selalu bersikap dingin, padahal beberapa hari lagi acara pernikahan akan berlangsung."Mbak Siran,"Panggilan seseorang membuat Siran menoleh mencari pemilik suara. Abimayu, lelaki seumurannya itu, menghampirinya dengan tersenyum.Inah yang mendapati tuan mudanya mendekat, memilih pergi ke dapur—takut mengganggu."Aku disuruh Ayah nganter Mbak ke butik langganan jam empat sore buat fitting baju pengantin
Tubuh Siran menggigil, demamnya semakin parah. Namun, rasa sakit di tubuhnya tidak sebanding dengan penderitaan yang sedang ia jalani.Berada di rumah megah tanpa satu pun orang yang ia kenal membuatnya ingin menangis. Ia berusaha keras menahan air mata agar tidak jatuh.Sebentar lagi, ia harus mengubur mimpinya. Ia akan menikah dengan pria tua—sesuatu yang tak pernah dibayangkannya. Siran tak pernah menyangka nasibnya akan semenyedihkan ini.Namun, suka tidak suka, Siran harus berkorban. Ia baru saja mengetahui permasalahan yang sebenarnya terjadi. Ia tak sanggup membayangkan kedua orang tuanya masuk penjara, atau hidup luntang-lantung di jalanan setelah aset mereka diambil oleh Adiputra.Seburuk apa pun perlakuan Wina terhadapnya, Siran tetap menyayangi kedua orang tuanya.Ia mencoba memahami keadaan. Mungkin karena itulah ayahnya tidak menolongnya. Tapi sekeras apa pun ia mencoba mengerti, rasa sakit karena dijual dan harus menanggung kesalahan yang bukan perbuatannya tetap menggor
"Terus bagaimana ini? Kalian pikir saya tidak tahu bahwa kalian memeras cucu saya untuk membiayai hidup kalian selama ini hanya karena cucu saya mencintai putri kalian?" Suara berat dari lelaki berumur delapan puluh tahun terdengar tegas, membuat suasana terasa mencekam.Agung dan Wina terus tertunduk saat mereka dihakimi, tak berani melawan, karena siapa pun tahu, Adiputra adalah orang yang memiliki kuasa, orang yang paling kaya di daerah mereka sekaligus orang yang sangat kejam. Punya banyak perusahaan, pengusaha tambang dan kelapa sawit yang tanahnya berhektare-hektare, bahkan nama perusahaannya terkenal sampai mancanegara.Adiputra menarik senyum sinis."Bahkan hampir 8 miliar selama 7 bulan bekerja! Dengan rincian biaya yang dibuat tak masuk akal, yang sebenarnya digunakan untuk biaya membeli tas, mobil, sepatu merek terkenal, biaya jalan-jalan ke luar negeri, dan biaya foya-foya. Kalian pikir saya tidak tahu?" kata Adiputra lagi sambil menyerahkan kertas catatan berisi hasil t
"Kenapa bukan kamu aja yang mati!”Teriaknya semakin kencang, tidak peduli dengan para pelayat yang menatap iba pada seorang gadis yang sedari tadi terduduk diam dengan tangis tanpa suara. Siran duduk membisu. Ibunya menyalahkannya atas kematian kembarannya, Sinar.Ibunya mendorong bahu Siran yang diam."Ini semua gara-gara kamu! Seharusnya kamu yang mati, bukan anakku!" teriak Wina kejam. Wanita ini bahkan mendorong Siran hingga terjengkang."Mah... jangan begini. Apa kata orang yang dengar nantinya?" Agung, sang suami, masih berusaha menenangkan istrinya.Siran meringis. Luka di telapak tangannya terasa semakin perih saat tanah basah masuk ke dalam lukanya hingga kembali berdarah."Maaf, maafkan Siran.""Berhenti meminta maaf! Dasar anak sial!"Siran membeku. Bahkan ibunya sama sekali tidak khawatir dengan luka-luka di tubuhnya.Lagi-lagi, Siran hanya bisa meminta maaf. Ia tahu sang ibu sangat membencinya sedari dulu. Bagai permata dan batu kerikil, Siran bagi ibunya hanyalah batu