Share

Hari Pernikahan

Author: Alverna
last update Last Updated: 2025-09-05 17:05:32

Aira menatap bayangannya di balik cermin. Sesekali ia mencoba tersenyum, lalu mengubah cara senyumnya lagi hanya untuk memastikan bahwa ia terlihat baik-baik saja. Nyatanya, senyumnya tetap terlihat menyedihkan.

Ini adalah hari bahagianya—seharusnya begitu—karena hari ini adalah hari pernikahannya. Namun, tatapan redup di kedua matanya sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan. Tidak ada orangtua di sampingnya, tidak ada keluarga yang benar-benar mendukungnya. Ia hanya sendiri, di ruangan bercat putih yang kini menjadi kamarnya.

Kebaya putih yang ia pakai terlihat mewah dan anggun. Make up dari tangan MUA profesional membuat Aira semakin cantik. Seandainya saja ia menikah dengan lelaki yang tepat, seseorang yang benar-benar mencintainya, mungkin hari ini akan menjadi hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Pertama kalinya ia memakai gaun cantik, riasan indah, dan duduk sebagai pemeran utama dalam kisah hidupnya.

Aira menarik napas panjang. Ada beban berat yang menggelayuti dadanya. Sebentar lagi ia akan resmi menjadi istri dari Gavin Aksa Mandala, dan perasaan takut menyeruak begitu ia mengingat kejadian beberapa hari lalu, saat Gavin menurunkannya dan mempermalukannya di jalanan. Itu mungkin baru permulaan—Aira yakin Gavin akan jauh lebih menyiksanya setelah mereka menikah.

Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Mbok Ijah masuk dengan senyum ramah, membawa sepasang sepatu putih di tangannya.

“Astaga... saya sampai pangling. Kamu cantik sekali,” pujinya tulus.

Aira mencoba tersenyum. “Makasih, Mbok.”

“Semua tamu sudah datang. Mbok disuruh menjemput kamu. Ayahmu juga sudah duduk dekat penghulu,” kata Mbok Ijah.

Mata Aira berbinar. “Ibuku datang juga?”

Mbok Ijah mengangguk. Senyumnya melebar saat melihat rona kebahagiaan singkat muncul di wajah Aira. Dalam hatinya, ia kasihan pada gadis itu. Seharusnya seorang pengantin wanita dikelilingi keluarga, bukan menjalani hari sakral ini dengan penuh keterpaksaan.

“Sepatu ini titipan dari istri kedua Eyang Mandala. Setelah pakai, kita langsung ke bawah. Sebentar lagi ijab kabul Mas Gavin dimulai.”

Jari-jari Aira saling meremas. Gugup semakin menguasai dirinya. Apa semua ini mimpi? Ia tak pernah membayangkan menikah secepat ini, apalagi dengan cucu seorang konglomerat besar yang punya segalanya. Perlahan, ia menggandeng tangan Mbok Ijah, membuka pintu, dan melangkah menuruni tangga dengan hati yang berdebar hebat.

Pesta pernikahan itu begitu meriah. Eyang Mandala memang tidak tanggung-tanggung. Tamu undangan datang dari kalangan pejabat, rekan bisnis, hingga orang-orang berpengaruh. Semua terlihat kagum pada kemegahan acara.

Aira duduk di samping Gavin. Lelaki itu tampak gagah dalam jas putih senada dengan kebaya yang ia kenakan. Namun wajahnya dingin, tatapannya kosong. Aira yakin, dalam hatinya, Gavin sangat ingin pergi dari tempat itu.

Tatapan Aira beralih pada Ahmad, ayahnya. Lelaki itu tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Entah ia terharu atau justru sedih karena yang bersanding dengan Gavin adalah Aira, bukan Lyra. Sedangkan ibunya, Indah, hanya menatap dengan ekspresi sulit ditebak—antara benci, kecewa, dan marah.

“Bagaimana... bisa kita mulai?” tanya penghulu. Gavin hanya diam, wajahnya kaku. Penghulu mengulurkan tangan untuk dijabat, namun Gavin tetap menahan diri hingga Eyang Mandala berdehem keras.

Akhirnya, dengan berat hati Gavin menjabat tangan penghulu.

“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, Gavin Aksa Mandala bin Adi Putra Mandala, dengan Aira Winara binti Ahmad Prasetyo Winara, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat salat dan uang seratus juta tunai.”

Dengan lantang, Gavin menjawab, “Saya terima nikah dan kawinnya Lyra Winandra binti Ahmad Prasetyo Winara dengan maskawinnya tersebut tunai.”

Sontak para tamu gaduh. Penghulu pun berulang kali melihat dokumen pernikahan. Nama yang disebut berbeda. Aira menoleh, menatap Gavin. Di balik tatapan dingin itu, ia menangkap kesedihan mendalam. Ia tahu, Gavin masih sulit melepaskan Lyra.

Indah langsung menitikkan air mata. Mendengar nama Lyra disebut membuat rindunya semakin membuncah. Andai saja Lyra yang kini duduk di pelaminan, ia pasti menjadi ibu paling bahagia. Sebaliknya, Aira merasa makin terkucil. Sorot kebencian ibunya semakin tajam menusuknya.

“Sepertinya ada kesalahan nama. Bisa kita ulang?” kata penghulu hati-hati. Gavin menarik napas panjang, lalu mengulang dengan nama Aira.

“SAH!” seru para saksi dan tamu.

Aira resmi menjadi istri Gavin. Ia mencium tangan suaminya, namun Gavin hanya menatapnya dingin.

“Jangan kamu kira pernikahan ini berarti aku menerimamu. Jangan mimpi,” bisiknya lirih, cukup untuk membuat jantung Aira berdegup kencang.

Setelah itu, Gavin pergi meninggalkannya sendirian di pelaminan. Para tamu sibuk menikmati hidangan, tak menyadari mempelai pria menghilang hampir sejam lamanya.

Aira meremas jarinya. nenek Gavin berusia tujuh puluh tahun, menghampirinya.

“Kemana Gavin?” tanyanya. Aira hanya menggeleng.

“Tidak berguna!” gerutunya lirih, lalu berjalan ke arah Eyang Mandala dan membisikkan sesuatu.

Wajah Eyang Mandala langsung berubah tegang. Aira menunduk, perasaan takut kembali menyelimutinya. Namun tiba-tiba, suara hangat memanggilnya.

“Anak Ayah...”

Ahmad berdiri di depannya, lalu memeluknya erat. Aira tercekat. Tangisnya pecah ketika mendengar ayahnya berkata,

 “Maafkan Ayah, Nak. Selama ini Ayah gagal jadi ayah yang baik. Ayah pilih kasih, membiarkanmu jadi korban atas kesalahan kami. Tapi percayalah, Ayah sayang kamu. Maafkan Ayah.”

Hati Aira bergetar. Kata-kata itu menjadi obat di tengah luka. Selama ini ia merasa dibuang, diabaikan, namun kini ia tahu ayahnya tetap menyayanginya.

“Jangan minta maaf, Yah. Sebenarnya Aira yang memilih. Aira tidak ingin Ayah dan Ibu masuk penjara. Jadi biarlah Aira yang jalani ini,” katanya berusaha tersenyum, meski air matanya tetap mengalir.

Ahmad memeluknya semakin erat. Tubuhnya bergetar, menangis. Namun momen haru itu cepat terputus. Indah menarik lengan suaminya.

“Kalian ini, malu dilihat orang. Sudahlah, ayo kita pulang.”

Kini Indah berdiri di hadapan Aira. Gadis itu menunggu ibunya bicara, berharap ada kata-kata lembut meski hanya sedikit. Namun yang ia dapat hanyalah tatapan dingin penuh kebencian.

“Mah...” suara Aira lirih. “Maafkan Aira.”

Indah tidak menjawab. Ia hanya berbalik, menuruni pelaminan bersama Ahmad. Meninggalkan Aira sendirian, dengan perasaan campur aduk. Kini... ia benar sendirian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri yang Terabaikan   Perubahan Sikap Aira

    Tapi Aira tidak peduli. Ia justru keluar kamar, mengabaikan suara Gavin seolah lelaki itu tidak ada.Berada satu ruangan dengan Gavin membuat Aira merasa tercabik-cabik.Cukup. Ia sudah tidak sanggup. Sejak awal ia memang ragu tinggal di Penthouse Gavin. kalau boleh menilih, Aira jauh lebih memilih rumah tipe 36 pemberian Eyang Mandala, rumah pertamanya, kecil, tetapi hangat dan terasa aman.Namun karena memikirkan Mbok Inah, ia memilih menuruti keinginan Eyang Mandala. Ia tahu betul, jika Eyang murka, beliau bisa menjadi sangat kejam dan ia tidak ingin Mbok Inah menerima imbasnya.Maka Aira patuh. Tapi menghadapi Gavin yang seperti ini membuatnya benar-benar tidak kuat.Satu ruangan dengannya seakan menyeret Aira masuk ke neraka.Melihat Aira mengabaikannya, Gavin mengepalkan tangan.Tembok itu… kini makin tinggi. Aira membangun benteng agar Gavin tak lagi bisa memasukinya. Wanita itu bersikap acuh, dingin, dan menjauh.Gavin memejamkan mata, memijit pelipisnya. Pusing itu kembali da

  • Istri yang Terabaikan   Gavin Menggila

    Gavin menatapnya, dan seketika ingatan Aira tentang lelaki itu bersama Mitha kembali berputar di kepalanya. Rasa jijik langsung membuat perutnya mual.Aira berusaha terlihat baik-baik saja, meski napasnya terasa cepat. Ia menahan air matanya sekuat tenaga. Ia tidak boleh menangis di depan Gavin. Ia harus terlihat kuat. Gavin tidak boleh melihat kelemahannya.“Sepertinya Mbok Inah salah memberiku kamar. Ini kamarmu?” tanya Aira pelan. Ia menurunkan kakinya dari ranjang dan berusaha bangkit. Ia tidak ingin berada satu ruangan dengan pria itu. Dekat dengan Gavin saja sudah membuat dadanya sesak.Aira ingin keluar, tetapi saat mereka berpapasan, tangan Gavin menangkap pergelangannya dengan keras.“Tadi kamu ke kantorku?” tanya Gavin, suaranya dingin. Ia menoleh, menatap Aira tajam, mencoba membaca ekspresi wanita hamil itu.Aira meringis. Kenangan di kantor Gavin kembali menghantamnya, membuat dadanya perih.“Tidak. Pak Tarno yang ke kantor Tuan,” jawab Aira. Suaranya setengah bergetar,

  • Istri yang Terabaikan   Menemui Aira

    Aira dan Mbok Inah menatap bangunan tinggi di hadapan mereka, mereka sudah sampai di l Penthouse milik Gavin. Bangunan dua puluh tingkat itu menjulang megah, elegan, dan jelas hanya bisa dimiliki oleh kalangan atas mengingat harganya yang fantastis."Ayo, Nona, kita masuk," kata Mbok Inah. Di tangannya terdapat kantong belanja berisi sayuran dan kebutuhan dapur. Mereka sempat mampir ke minimarket karena yakin Penthouse Gavin pasti tidak memiliki bahan-bahan sederhana seperti ini.Lelaki itu memang sangat jarang pulang ke apartemen megah ini, kecuali dulu saat bersama Lyra, kekasihnya. Setelah Lyra meninggal, tempat ini tak pernah lagi Gavin datangi.Aira mengangguk. Saat memasuki lobi apartemen dengan dominasi warna hijau dan emas yang elegan, matanya langsung dimanjakan kemewahan interiornya.Mereka tiba di lantai dua puluh, tepat di depan pintu penthouse milik Gavin. Aira menyerahkan kunci yang diberikan Eyang Mandala kepada Pak Tarno, dan lelaki itu segera membukanya.Begitu pint

  • Istri yang Terabaikan   Panik!

    Gavin keluar dari ruangannya. Lelaki itu celingukan, mencari Pak Tarno yang mungkin saja masuk untuk menemuinya. Namun saat melihat ruang tunggu, tak ada siapa pun di sana.Selly yang baru datang menghentikan langkahnya. Tatapannya pada Gavin terkejut, ada kecanggungan terselip jelas di balik ekspresinya.Gavin berusaha mengabaikan ekspresi itu, seolah tak terjadi apa-apa.“Di mana Pak Tarno? Orang yang saya suruh mengantar dokumen saya,” tanyanya pada Selly.Selly menelan ludah. Membayangkan wanita di dalam sana menggoda Gavin, membuat bayangan sosok sempurna Gavin runtuh seketika.Terlebih setelah melihat Aira keluar dari ruangan itu dengan mata berkabut sedih. Gavin tampak seperti lelaki paling bajingan saat ini, istrinya hamil, dia malah berciuman dengan wanita lain.Kalau Selly yang jadi Aira, mungkin ia sudah mengamuk, menghajar Gavin sampai habis dan mencabuti rambut pelakor itu sampai kulit kepalanya terkelupas.Tapi Aira berbeda. Dengan elegen ia meninggalkan tempat itu, berp

  • Istri yang Terabaikan   Tontonan Menyakitkan

    Aira meringis. Ia langsung berbalik, tidak sanggup lagi melihat. Tangannya yang gemetar membuat berkas itu terlepas tanpa sengaja, jatuh berserakan di lantai. Cepat-cepat Aira melangkah keluar dan menutup pintu perlahan, takut kalau Gavin maupun Mitha menyadari keberadaannya, menyadari bahwa ia baru saja menjadi saksi dari adegan menjijikkan itu.Dengan kasar Aira mengusap air matanya. Napasnya ditarik dalam, tapi justru terasa makin menyesakkan. Satu menit… dua menit… ia berusaha keras menenangkan diri.Ia tidak boleh hancur seperti ini. Toh… Gavin bukan miliknya. Lelaki itu tidak mencintainya.Tanpa sadar Aira mengelus perutnya, seolah menenangkan janin kecil di dalam sana, memberi isyarat sabar, meski barusan mata mereka menyaksikan ayahnya berbuat hal memuakkan dengan wanita yang katanya hanyalah “teman lama”, sahabat Lyra.Cih! Ternyata wanita itu benar-benar membuktikan ucapannya bahwa ia bisa merebut Gavin. Kasihan sekali Lyra memiliki sahabat seperti itu.Hanya bertemu bebera

  • Istri yang Terabaikan   Desahan Di Ruangan Gavin

    Keputusan Kakek Mandala sudah bulat—Aira harus menuju penthouse milik Gavin. Namun sebelum keberangkatan itu, sang kakek terlebih dahulu memerintahkan Pak Tarno, supir kepercayaannya, untuk mengantarkan beberapa berkas penting kepada Gavin di kantornya.Pak Tarno mengemudi dengan sangat hati-hati, sesuai pesan Kakek Mandala agar tidak tergesa-gesa. Perjalanan memakan waktu hampir empat puluh menit karena ia sengaja tidak mengebut, memastikan Aira dan Mbok Inah tetap nyaman di kursi belakang.Aira yang sempat terlelap terbangun ketika mobil perlahan berhenti. Ia menatap keluar jendela, melihat gedung tinggi menjulang dengan logo perusahaan Gavin terpampang jelas di puncaknya. Ada sedikit rasa gugup yang menjalari dadanya.“Sudah sampai, Nona,” ucap Pak Tarno sopan sebelum turun membawa map berisi berkas. Ia berjalan masuk ke gedung, sementara Aira dan Mbok Inah menunggu di dalam mobil.Beberapa menit berlalu. Pak Tarno akhirnya kembali dengan wajah sedikit bingung. Ia membuka pintu dep

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status