Share

Diabaikan

Author: Alverna
last update Last Updated: 2025-09-28 14:37:51

Aira menarik napas berat saat mengingat kata-kata Eyang Mandala, spontan ia menyentuh perutnya.

Bagaimana bisa hamil, sedangkan Gavin saja tak pernah mau berdekatan dengannya? Lelaki itu seakan membangun tembok tinggi yang tak bisa Aira terobos.

Kebencian Gavin padanya semakin besar, pengabaian pun selalu menjadi hadiah yang Aira terima.

Aira tahu semua ini salahnya. Karena itu ia tetap memilih menjalani perannya sebagai seorang istri yang bertanggung jawab.

Setiap hari ia membeli sayuran dari pedagang depan komplek, lalu memasak untuk Gavin. Walaupun uang yang dipakai adalah miliknya, Aira tidak mempermasalahkannya.

Tatapan Aira teralihkan saat orang yang memenuhi pikirannya baru saja masuk rumah dengan wajah lelah.

“Kamu baru pulang… mau kumasakkan sesuatu?” tanya Aira pelan. Gavin hanya melirik sekilas dengan wajah dingin, tanpa suara yang keluar dari bibirnya.

Aira menggigit bibir, menahan perih. “Mau nasi goreng? Atau spaghetti? Atau kamu mau mandi dulu? … akan kusiapkan air hangat,” ujarnya lagi, berusaha keras mendapat respon.

Namun jawaban itu tak pernah datang. Gavin hanya melewatinya, masuk ke kamar, seolah Aira hanyalah bayangan.

Aira terduduk di kursi ruang makan.

Keberadaannya seakan tak pernah dianggap. Sejak hari pertama menempati rumah ini, Gavin tidak pernah peduli. Rasanya hati Aira seperti tercubit, nyeri menusuk dadanya.

Ia ingin memperbaiki keadaan, ingin menjadi istri yang berbakti. Tapi sikap Gavin membuatnya ingin menyerah. Bagaimanapun kesalahan Aira, tetap saja ia hanyalah seorang wanita yang rapuh saat terus-menerus diabaikan.

Tak mau larut dalam sedih, Aira memilih memasak nasi goreng. Ia melirik lauk tadi pagi yang masih utuh, tak tersentuh.

Ia memilih membuang makanan itu lalu menyibukkan diri mencuci piring dan menyiapkan hidangan baru, karena ia tahu Gavin tidak pernah makan makanan yang dingin.

Sementara itu, Gavin merebahkan diri dengan tubuh lelah.

Dasi yang tadi menjerat lehernya, kini ia lempar sembarangan. Kamarnya sudah seperti kapal pecah. Bukan karena Aira tak membersihkan, melainkan karena Gavin sendiri yang melarang wanita itu masuk ke ruang pribadinya.

Ada sedikit penyesalan. Mengapa ia begitu keras melawan Eyang Mandala, hingga harus menerima hukuman ini?

Hidup tanpa fasilitas mewah, hanya mengandalkan gaji bulanan yang sangat pas-pasan—itulah siksaan terbesar baginya.

Ah! Gavin harus segera meminta maaf dan bersujud di kaki sang kakek.

Tidur di kasur keras saja sudah membuatnya tersiksa, apalagi jika harus bertahun-tahun.

semua fasilitasnya di ambil. Uang di dompetnya kini tinggal tiga ratus ribu, padahal baru beberapa hari lalu gajian.

Gavin memijat keningnya yang berdenyut. Biasanya, gajinya hanya habis untuk membeli sesuatu bagi Lyra, kekasihnya.

Dulu, ia tidak pernah pusing soal uang karena selalu mendapat kiriman bulanan dari Neneknya. Pekerjaan hanyalah formalitas untuk memantaskan diri mewarisi perusahaan keluarga.

Sekarang? Ia harus bertahan hidup dengan uang yang bahkan tak mencapai dua digit. Bagaimana mungkin?

Yang lebih menyakitkan, teman-temannya yang dulu selalu ada saat bersenang-senang, kini menjauh satu per satu ketika ia meminta bantuan.

Apa harus menghamili Aira agar diterima kembali oleh Eyang Mandala? Gavin menggeleng cepat. Ia tidak sudi memiliki anak dari wanita munafik seperti Aira.

Tangannya meraih ponsel di sisi kasur. Foto seksi Lyra terpampang jelas di layar.

Rasa rindunya membuncah.

Dengan cepat, Gavin membuka kontak dan menekan sebuah nomor.

“Gimana, Ron? Sudah ada perkembangan?” tanyanya.

"Belum, Tuan. Untuk pelaku masih belum diketahui, karena lokasi kejadian terlalu sepi dan tidak ada CCTV. Satu-satunya saksi hanya kembarannya," jawab Ronny di seberang sana, agen mata-mata yang Gavin bayar mahal.

Mendengar laporan itu, semangat Gavin seketika jatuh.

"Namun benar kata Tuan, menurut hasil forensik memang ada kejanggalan dalam meninggalnya Nona Lyra. Di kepalanya terdapat luka hantaman benda keras, bukan akibat jatuh menghantam aspal. Benda itu seperti balok, dan di sekitar lokasi jatuh sama sekali tidak ditemukan balok. Ditambah lagi ada patahan tulang leher yang dipastikan akibat cekikan. Polisi akan mendalami lebih jauh dan menganggap kasus ini sebagai pembunuhan … bukan kecelakaan."

Penjelasan Ronny membuat mata Gavin membulat, rahangnya mengeras, dan tangannya terkepal kuat.

Benar dugaannya. Melihat jasad Lyra yang sedikit tidak wajar memang sudah menimbulkan kecurigaan bahwa tunangannya sengaja dicelakai atau bahkan dibunuh. Dan wanita yang paling ia curigai adalah Aira.

Setelah kejadian itu, Aira hanya mengatakan bahwa ia tidak sadar. Bagi Gavin, bisa jadi Aira bagian dari komplotan dalang pembunuhan. Karena itulah Gavin semakin membenci Aira—baginya, Aira hanyalah wanita munafik berwajah polos.

"Jadi kembarannya adalah satu-satunya saksi dan bisa saja pelakunya, begitu?" tanyanya tajam.

"Iya. Polisi akan mendalami lagi dan akan meminta keterangan lebih lanjut pada kembarannya. Tapi belum bisa dipastikan dia pelaku, karena saat kejadian dia juga mengalami luka cukup parah di kepala. Untuk sadar saja mungkin sulit … kecuali memang dia sangat kuat." jawab Ronny.

Gavin menutup matanya frustasi. Tapi siapa pun pelakunya, ia berjanji akan menghukumnya.

*

Sudah dua bulan pernikahannya dengan Gavin, tapi sikap lelaki itu justru semakin dingin dan acuh pada Aira.

Setiap pagi Aira selalu bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, memasak air hangat, hingga menyiapkan pakaian kerja Gavin. Ia berusaha menjalani tugasnya sebagai istri yang berbakti, paling tidak untuk sedikit mengurangi rasa bersalahnya pada sang kembaran.

Setelah semua selesai, Aira berangkat bekerja. Karena jaraknya lumayan jauh, ia harus berangkat pagi-pagi sekali.

Seperti hari ini, tepat pukul tujuh pagi Aira sudah tiba di restoran. Gadis itu segera memasang ID card dan mengenakan celemek.

Teman-temannya sudah berkumpul. Seperti biasa, pembagian tugas dilakukan oleh kepala koki. Hari ini Aira mendapat bagian di depan, bersama Andin dan tiga pegawai pria lainnya.

"Hari ini restoran kita sudah dibooking pukul sembilan pagi. Kita harus benar-benar memberi pelayanan terbaik karena tamu kita dari perusahaan besar yang ada di depan, PT Adiro Group. Sekalian memperkenalkan makanan kita agar mereka tahu bahwa kualitas di sini tidak kalah dengan restoran bintang lima," jelas kepala koki. Manager pun mengangguk menyetujuinya.

Wajah Aira mendadak tegang. Setahunya, perusahaan itu adalah cabang milik keluarga Eyang Mandala.

Apa mungkin Gavin juga akan datang?

"Aira, kamu bertugas meng-handle minuman dan kasir bersama Dimas. Andin, kamu antar makanan bersama Hamid," lanjut kepala koki.

Aira menggigit bibirnya. Bagaimana kalau benar Gavin datang?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri yang Terabaikan   Meminta Izin

    Selama satu bulan terkurung di apartemen, ia benar-benar merasa bosan, apalagi hanya ditemani Mbok Inah.Ia terbiasa bekerja keras, terbiasa mengurus semuanya sendiri. Tiba-tiba harus diam di rumah berbulan-bulan membuat kepalanya penuh dan dadanya sesak oleh rasa jenuh yang menumpuk.Tapi Gavin melarangnya.Tanpa izin Gavin, Aira bahkan tak diperbolehkan keluar. Ia memilih menurut daripada membuat lelaki itu marah dan berujung pada hukuman yang membuat Aira merinding.Kemarin ia melanggar larangan Gavin dan hampir berakhir ciu man panas.Namun, selama satu bulan itu pula, Gavin berubah begitu manis. Ia terus menghubunginya, memberitahu di mana ia berada, apa yang ia lakukan. Aira sampai merasa mereka seperti sepasang kekasih yang menjalani LDR.“Memangnya diizinkan sama Tuan?” tanya Mbok Inah sambil menata gurame asam manis ke atas piring, lalu meletakkannya di meja. Beberapa potong ayam goreng turut disajikan. “Mau makan nasi atau lauknya saja?” tanyanya lagi saat hendak mengambil

  • Istri yang Terabaikan   LDR

    Gavin yang mendengar meradang. Pagi-pagi emosinya dibuat naik oleh Elvand.“Apa yang barusan lo bilang?”“Tuh, nyatanya juga tuli. Sini, cepat! Takut ngamuk,” kata Elvand masih tidak peduli pada Gavin. Bahkan ia menyuruh Aira agar beralih padanya.Aira yang mendengar langsung terkekeh, bahkan hampir tertawa nyaring.“Lo mau gue bunuh?” kata Gavin tajam. Tatapannya dingin, menusuk.Elvand langsung menatap balik, tak kalah panas.“Santai, Bro. Cuma bercanda kok. Biar pagi-pagi nggak tegang,” katanya nyengir, puas karena berhasil memancing emosi Gavin.“Lagian hidup tuh jangan terlalu kaku. Santai dikit… biar nggak cepat tua,” lanjutnya. “Nanti Aira malah beralih cari brondong. Iya, kan, Aira? Nggak masalah banget kalau berondongnya yang paling dekat. Misalnya… gue,” ujarnya sambil mengedipkan mata ke arah Aira.Tangan Gavin langsung mengepal.“Ayo pulang. Ngapain buang waktu ngobrol sama keledai bodoh? Takut kebagian bego,” katanya dingin, sengaja menekankan kata itu. Menurut Gavin, Elv

  • Istri yang Terabaikan   Anggap Sebagai Hukuman

    Sekali lagi kecupan mendarat, kali ini di bibir Aira, walau hanya sekilas namun cukup membuat Aira membatu di tempat.“Oke. Satu kali kamu memanggil aku dengan sebutan Tuan, berarti kamu sengaja meminta aku untuk menyentuhmu. Anggap itu sebagai hukuman karena terus menggodaku,” kata Gavin memberi peringatan. Tapi lebih tepatnya mencari kesempatan.Dan membuat milikku terasa ngilu, batin Gavin melanjutkan kata-katanya.Aira masih mematung. Kali ini ia benar-benar harus mengingat untuk berhenti memanggil Gavin dengan sebutan Tuan. Ia merasa seperti perempuan murahan, seolah sengaja meminta untuk disentuh, padahal ia baru saja diperingatkan, namun tetap saja mengulanginya lagi dan lagi.Hening kembali menyelimuti mereka.Sepertinya Aira takut pada ancaman Gavin.“Kamu ingin mandi lebih dulu?” tanya Gavin akhirnya, memecah keheningan. “Sepertinya kita harus pulang. Aku tidak mau bertemu dengan ‘mereka’ di meja makan, karena aku yakin Eyang Mandala akan mengumpulkan kita lagi. Masalah mala

  • Istri yang Terabaikan   Hasrat yang Tertahan

    Gavin bangun dengan mata yang berkantung. Setelah hampir semalaman tidak bisa tidur karena hasratnya terus meronta ingin diberi jatah, lelaki itu baru bisa terlelap sekitar jam empat subuh.Matanya mengerjap beberapa kali saat mencoba membiasakan diri dengan cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden yang sedikit terbuka.Ah … sudah jam enam pagi rupanya.Gavin merasa pergelangan tangannya sedikit kebas, karena posisi Aira masih tidur menindih lengan itu.Dengan lembut Gavin mengangkat kepala Aira dan mengganjalnya dengan bantal untuk menggantikan tangannya.Aira yang masih nyenyak dalam mimpi tampak begitu damai, bahkan bunyi dengkuran halus pun terdengar.Kali ini Gavin tidak mendengar igauan apa pun dari Aira. Biasanya wanita itu selalu tidur dengan wajah cemas, lalu saat sudah nyenyak akan mengigau hingga menangis.Senyenyak itu dia tidur, seolah tak peduli Gavin yang sedang berusaha mengatur detak jantungnya yang menggila dan rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuh karena

  • Istri yang Terabaikan   Aku Menginginkanmu...

    Gavin menoleh. Tanpa sadar ia tertawa, membayangkan Aira yang lembut itu menampar ibu tirinya, rasanya membuatnya lucu. Melukai hewan saja Aira tak tega, bagaimana bisa menampar penyihir.Tapi ia mengangguk sambil menimpali candaan Aira.“Bolak-balik, kalau perlu. Kalau bisa kamu ikut hajar juga tadi.”Aira ikut tersenyum dan melanjutkan, “Kalau perlu, biar aku saja yang maju. Biar Eyang Mandala percaya padamu.”Kali ini Gavin terdiam. Aira benar. Ia tidak menyangka sang Eyang justru berpihak pada Ayahnya.Mungkin Eyang Mandala mulai membuka hati untuk memaafkan Ayahnya, begitu pun Neneknya yang terang-terangan mengundang keluarga mereka. Padahal mereka semua tahu Gavin masih sangat membenci mereka.Tangan Aira terulur, menyentuh pipi Gavin yang masih tampak merah bekas tamparan Adimas. Gavin membeku begitu saja oleh sentuhan itu.Aira mengusapnya lembut, seakan dengan sentuhan itu rasa sakit di pipi Gavin akan hilang tanpa sisa.Gavin menatap mata Aira lekat-lekat, lalu tersenyum. Ta

  • Istri yang Terabaikan   Aku Di sini...

    Aira mencoba mengangkat wajahnya untuk melihat Gavin, tetapi ketika ia ingin merenggangkan pelukan, Gavin justru menahannya erat.“Jangan pergi… kumohon,” suara Gavin pecah dan serak, membuat Aira terdiam.Untuk pertama kalinya, Aira melihat Gavin benar-benar jatuh. Sosok yang selama ini tampak tegar dan tak tersentuh itu tampak hancur di pelukannya. Luka lama yang kembali terkoyak dengan kedatangan keluarga yang merusak masa kecilnya— ternyata masih menyisakan sakit yang begitu dalam.“Tidak apa-apa, aku di sini bersama kamu,” bisik Aira lembut.Ia menepuk-nepuk punggung Gavin, merasakan bagaimana dada lelaki itu naik turun tak teratur, sementara aroma maskulin suaminya perlahan menenangkan dirinya sendiri.Mendengar kata-kata Aira, Gavin semakin menenggelamkan wajahnya di lekuk lehernya, seakan mencari tempat berlindung terakhir yang ia punya. Getar di tubuhnya perlahan mereda. Aira bisa merasakan Gavin menarik napas panjang sebelum akhirnya merenggangkan pelukan mereka.Gavin men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status