Home / Romansa / Istri yang Terabaikan / Mulai Ada Titik Terang

Share

Mulai Ada Titik Terang

Author: Alverna
last update Last Updated: 2025-10-01 11:28:54

Gavin memijit pelipisnya yang terasa berdenyut, mencoba memfokuskan diri pada laporan keuangan anak cabang yang terbuka di hadapannya.

Namun, sekuat apa pun ia berusaha, pikirannya tetap melayang ke tempat lain.

Semua itu karena kata-kata sang Detektif yang bertemu dengannya pagi-pagi sekali. Pertemuan itu menyangkut Lyra—dan Gavin benar-benar ingin tahu kebenarannya.

"Tersangkanya sudah ditemukan, ada dua orang. Mereka sengaja membuat seakan-akan terjadi pembegalan, mengejar motor korban, lalu menjatuhkannya agar terlihat seperti kecelakaan. Setelah korban tak berdaya, mereka memukul dengan balok yang mereka bawa, lalu mencekik hingga tewas. Polisi menyatakan ini pembunuhan berencana," jelas Detektif itu.

Mata Gavin membola, tubuhnya terasa lemas mendengar kenyataan pahit tersebut. Benar seperti dugaannya: Lyra memang dibunuh. Tapi siapa musuh tunangannya itu? Setahunya, Lyra tidak pernah punya musuh.

Detektif kembali melanjutkan.

"Salah satu pelaku mengaku, mereka disuruh oleh pacar Nona Aira. Tapi entah bagaimana, justru Nona Lyra yang menjadi korban. Kemungkinan besar, salah sasaran."

Kalimat itu terus bergema di benak Gavin.

Jadi Aira bukan dalang dari semuanya. Mungkin Aira bahkan tidak tahu jika kekasihnya sendiri berniat membunuhnya. Kalau benar begitu, berarti Aira juga dalam bahaya.

Namun tetap saja, kenyataan bahwa Lyra meninggal karena ada kaitannya dengan Aira, membuat tangan Gavin terkepal kuat.

***

Aira melirik jam dinding, sudah hampir pukul setengah sembilan. Ia baru saja selesai mengepel lantai dan membersihkan meja bersama Andin.

Kini, Aira berdiri di depan pintu bersama Andin serta tiga karyawan pria lainnya, bersiap menyambut tamu undangan yang akan datang.

"Njir... gue kok deg-degan, ya. Kata temen gue, karyawan Adiro Group tuh cantik-cantik, ganteng-ganteng. Kali aja ada yang nyantol di gue," ucap Andin penuh semangat. Perempuan berambut sebahu itu membusungkan dada dengan percaya diri.

Aira mengernyit bingung melihat tingkahnya.

"Sengaja... biar kelihatan dada gue makin berisi," lanjut Andin sambil terkekeh.

Aira tak tahan dan tertawa.

"Yang ada malah kayak busung lapar. Hahaha!"

Andin langsung manyun, melempar tatapan mengancam. Tiga rekan pria mereka hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Andin yang memang selalu centil.

"Shhh... mereka datang!" bisik Hamid. Spontan mereka berlima langsung memposisikan diri. Para koki dan staf dapur pun ikut berbaris menyambut tamu.

Langkah Aira mendadak terhenti ketika matanya menangkap sosok yang begitu dikenalnya.

Tubuh tinggi tegap dalam balutan jas mahal, rambut hitam yang tersisir rapi klimis, membuatnya terlihat semakin menawan.

Jantung Aira berdegup kencang. Ia menunduk cepat-cepat, merasa gugup saat Gavin melangkah melewatinya. Seakan ada tatapan lelaki itu yang sengaja menembus dirinya.

Para tamu mulai duduk di kursi yang sudah disusun rapi. Namun Andin tak berhenti mencolek Aira sejak tadi.

"Anjir... lo liat nggak tuh? Idaman banget kan? Gila, gue kebayangin dia di atas. Tubuh atletis, ototnya menggoda banget buat disentuh. Bibir seksi, pasti enak banget kalau nyium. Ah panas... hamilin aku, bang..." bisik Andin yang berlebihan sampai bikin Aira hampir tersedak.

Andin sama sekali tidak tahu, lelaki itu adalah suami Aira sendiri.

Maklum, Aira memang tidak mengundang teman-temannya ketika akad nikah.

Aira memberanikan diri menatap Gavin dari jauh. Jantungnya berdebar makin kencang. Benar kata Andin—dari penampilan luar, Gavin memang pria idaman setiap wanita.

"Hush! Kedengeran orangnya, malu nanti," bisik Aira menahan wajah panasnya sendiri.

Aira dan Andin sontak menoleh ketika mendengar suara Raihan, sang manajer, berdiri di samping mereka dengan senyum tipis. Rupanya ia sudah cukup lama berada di belakang, menyimak obrolan konyol keduanya.

Seketika wajah Aira memerah karena malu.

"Hehehe... biarin, Pak. Kali aja saya dibawa ke hotel, gratis juga nggak apa-apa," celetuk Andin tanpa dosa.

Aira langsung menepuk jidatnya sendiri.

"Dih... murahan."

Andin malah nyengir lebar.

"Kalau cowoknya sekeren itu, aku yang bayar juga rela, Pak," tambahnya lagi.

Raihan hanya bisa menggeleng pelan. "Udah, sana! Ambil order makanan mereka. Sambil mereka meeting, kita siapkan pesanan."

Andin langsung berlari kecil menuju meja para tamu, sementara Raihan mendekati Aira yang sedang berdiri di balik kasir.

"Gimana luka kamu, Aira? Sudah pulih betul?" tanyanya sambil memeriksa mesin kasir.

Refleks, Aira menyentuh kepalanya yang masih menyimpan bekas jahitan. "Udah sembuh, Pak. Tinggal bekasnya aja," jawabnya lirih.

"Mana? Sini saya lihat," ujar Raihan, kini berdiri sangat dekat. Ia menyibak sedikit rambut Aira, mengamati bekas luka di kepalanya.

"Masih belum pulih sepenuhnya. Luka di kepala harus hati-hati, rawan infeksi. Bisa bahaya," ujarnya dengan nada khawatir.

Aira buru-buru menurunkan tangan Raihan dengan sopan.

"Terima kasih sudah mengingatkan, Pak."

Padahal kenyataannya, ia sering abai. Bahkan perban sempat dilepas paksa oleh ibunya.

Andin kembali datang sambil membawa orderan di tangan. "Pak, ini pesanannya. Mereka minta tepat jam setengah sebelas semua sudah siap."

Raihan menatap daftar panjang itu lalu tersenyum. Menu utama, tanpa ada diskon—keuntungan besar bagi restoran.

"Andin, kamu bantu di dapur. Aira, kamu tunggu di depan kalau mereka butuh sesuatu."

Keduanya mengangguk patuh. Sebelum pergi, Raihan sempat melirik Aira sambil tersenyum samar. Aira hanya menautkan alis bingung dengan maksud senyum itu.

Tatapannya kemudian beralih ke arah para karyawan Adiro Group. Beberapa wanita cantik dengan blazer rapi duduk anggun, sebagian pria tampak gagah. Seketika bayangan Lyra, saudara kembarnya, muncul di benak Aira. Hatinya terasa nyeri.

“Andai malam itu aku tidak minta jemput Lyra... mungkin sekarang dia duduk di sana, berdampingan dengan Gavin, tampak serasi.

Andai aku tidak mengajaknya menikmati malam dengan motor, Lyra masih bisa menatapku sambil tertawa.” batin Aira merasa bersalah.

Malam itu masih jelas dalam ingatannya. Sehabis shift malam, Lyra datang menjemput. Mereka berencana makan malam bersama di rumah. Lyra menjemput Aira menggunakan motor.

Sepanjang jalan, angin malam menerpa rambut mereka, tawa dan canda tak henti mengalir.

Namun semuanya buyar saat dua pria berjaket kulit muncul dengan motor, mencoba memepet mereka. Lyra panik, gas ditarik kencang. Jalanan sepi melewati jam sebelas, membuat situasi semakin mencekam.

Kedua pria itu berteriak memaksa mereka menepi. Lyra ketakutan, bahkan sempat menangis. Motor mereka ditabrak berkali-kali hingga oleng. Meski Lyra berusaha bertahan, akhirnya motor kehilangan kendali.

Aira terlempar. Setelah itu, gelap. Ia baru sadar di rumah sakit—dengan luka di kepala dan tuduhan ibunya yang menyalahkannya atas kematian Lyra.

"Americano."

Aira tersentak. Suara berat itu membuyarkan lamunannya. Ia mendongak, dan hampir terlonjak kaget.

Di depannya berdiri Gavin. Lelaki yang beberapa hari terakhir menghilang entah ke mana.

Aira membeku, menatapnya tanpa bisa berkata apa-apa saat melihat Gavin seakan tak mengenalnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri yang Terabaikan   Meminta Izin

    Selama satu bulan terkurung di apartemen, ia benar-benar merasa bosan, apalagi hanya ditemani Mbok Inah.Ia terbiasa bekerja keras, terbiasa mengurus semuanya sendiri. Tiba-tiba harus diam di rumah berbulan-bulan membuat kepalanya penuh dan dadanya sesak oleh rasa jenuh yang menumpuk.Tapi Gavin melarangnya.Tanpa izin Gavin, Aira bahkan tak diperbolehkan keluar. Ia memilih menurut daripada membuat lelaki itu marah dan berujung pada hukuman yang membuat Aira merinding.Kemarin ia melanggar larangan Gavin dan hampir berakhir ciu man panas.Namun, selama satu bulan itu pula, Gavin berubah begitu manis. Ia terus menghubunginya, memberitahu di mana ia berada, apa yang ia lakukan. Aira sampai merasa mereka seperti sepasang kekasih yang menjalani LDR.“Memangnya diizinkan sama Tuan?” tanya Mbok Inah sambil menata gurame asam manis ke atas piring, lalu meletakkannya di meja. Beberapa potong ayam goreng turut disajikan. “Mau makan nasi atau lauknya saja?” tanyanya lagi saat hendak mengambil

  • Istri yang Terabaikan   LDR

    Gavin yang mendengar meradang. Pagi-pagi emosinya dibuat naik oleh Elvand.“Apa yang barusan lo bilang?”“Tuh, nyatanya juga tuli. Sini, cepat! Takut ngamuk,” kata Elvand masih tidak peduli pada Gavin. Bahkan ia menyuruh Aira agar beralih padanya.Aira yang mendengar langsung terkekeh, bahkan hampir tertawa nyaring.“Lo mau gue bunuh?” kata Gavin tajam. Tatapannya dingin, menusuk.Elvand langsung menatap balik, tak kalah panas.“Santai, Bro. Cuma bercanda kok. Biar pagi-pagi nggak tegang,” katanya nyengir, puas karena berhasil memancing emosi Gavin.“Lagian hidup tuh jangan terlalu kaku. Santai dikit… biar nggak cepat tua,” lanjutnya. “Nanti Aira malah beralih cari brondong. Iya, kan, Aira? Nggak masalah banget kalau berondongnya yang paling dekat. Misalnya… gue,” ujarnya sambil mengedipkan mata ke arah Aira.Tangan Gavin langsung mengepal.“Ayo pulang. Ngapain buang waktu ngobrol sama keledai bodoh? Takut kebagian bego,” katanya dingin, sengaja menekankan kata itu. Menurut Gavin, Elv

  • Istri yang Terabaikan   Anggap Sebagai Hukuman

    Sekali lagi kecupan mendarat, kali ini di bibir Aira, walau hanya sekilas namun cukup membuat Aira membatu di tempat.“Oke. Satu kali kamu memanggil aku dengan sebutan Tuan, berarti kamu sengaja meminta aku untuk menyentuhmu. Anggap itu sebagai hukuman karena terus menggodaku,” kata Gavin memberi peringatan. Tapi lebih tepatnya mencari kesempatan.Dan membuat milikku terasa ngilu, batin Gavin melanjutkan kata-katanya.Aira masih mematung. Kali ini ia benar-benar harus mengingat untuk berhenti memanggil Gavin dengan sebutan Tuan. Ia merasa seperti perempuan murahan, seolah sengaja meminta untuk disentuh, padahal ia baru saja diperingatkan, namun tetap saja mengulanginya lagi dan lagi.Hening kembali menyelimuti mereka.Sepertinya Aira takut pada ancaman Gavin.“Kamu ingin mandi lebih dulu?” tanya Gavin akhirnya, memecah keheningan. “Sepertinya kita harus pulang. Aku tidak mau bertemu dengan ‘mereka’ di meja makan, karena aku yakin Eyang Mandala akan mengumpulkan kita lagi. Masalah mala

  • Istri yang Terabaikan   Hasrat yang Tertahan

    Gavin bangun dengan mata yang berkantung. Setelah hampir semalaman tidak bisa tidur karena hasratnya terus meronta ingin diberi jatah, lelaki itu baru bisa terlelap sekitar jam empat subuh.Matanya mengerjap beberapa kali saat mencoba membiasakan diri dengan cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden yang sedikit terbuka.Ah … sudah jam enam pagi rupanya.Gavin merasa pergelangan tangannya sedikit kebas, karena posisi Aira masih tidur menindih lengan itu.Dengan lembut Gavin mengangkat kepala Aira dan mengganjalnya dengan bantal untuk menggantikan tangannya.Aira yang masih nyenyak dalam mimpi tampak begitu damai, bahkan bunyi dengkuran halus pun terdengar.Kali ini Gavin tidak mendengar igauan apa pun dari Aira. Biasanya wanita itu selalu tidur dengan wajah cemas, lalu saat sudah nyenyak akan mengigau hingga menangis.Senyenyak itu dia tidur, seolah tak peduli Gavin yang sedang berusaha mengatur detak jantungnya yang menggila dan rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuh karena

  • Istri yang Terabaikan   Aku Menginginkanmu...

    Gavin menoleh. Tanpa sadar ia tertawa, membayangkan Aira yang lembut itu menampar ibu tirinya, rasanya membuatnya lucu. Melukai hewan saja Aira tak tega, bagaimana bisa menampar penyihir.Tapi ia mengangguk sambil menimpali candaan Aira.“Bolak-balik, kalau perlu. Kalau bisa kamu ikut hajar juga tadi.”Aira ikut tersenyum dan melanjutkan, “Kalau perlu, biar aku saja yang maju. Biar Eyang Mandala percaya padamu.”Kali ini Gavin terdiam. Aira benar. Ia tidak menyangka sang Eyang justru berpihak pada Ayahnya.Mungkin Eyang Mandala mulai membuka hati untuk memaafkan Ayahnya, begitu pun Neneknya yang terang-terangan mengundang keluarga mereka. Padahal mereka semua tahu Gavin masih sangat membenci mereka.Tangan Aira terulur, menyentuh pipi Gavin yang masih tampak merah bekas tamparan Adimas. Gavin membeku begitu saja oleh sentuhan itu.Aira mengusapnya lembut, seakan dengan sentuhan itu rasa sakit di pipi Gavin akan hilang tanpa sisa.Gavin menatap mata Aira lekat-lekat, lalu tersenyum. Ta

  • Istri yang Terabaikan   Aku Di sini...

    Aira mencoba mengangkat wajahnya untuk melihat Gavin, tetapi ketika ia ingin merenggangkan pelukan, Gavin justru menahannya erat.“Jangan pergi… kumohon,” suara Gavin pecah dan serak, membuat Aira terdiam.Untuk pertama kalinya, Aira melihat Gavin benar-benar jatuh. Sosok yang selama ini tampak tegar dan tak tersentuh itu tampak hancur di pelukannya. Luka lama yang kembali terkoyak dengan kedatangan keluarga yang merusak masa kecilnya— ternyata masih menyisakan sakit yang begitu dalam.“Tidak apa-apa, aku di sini bersama kamu,” bisik Aira lembut.Ia menepuk-nepuk punggung Gavin, merasakan bagaimana dada lelaki itu naik turun tak teratur, sementara aroma maskulin suaminya perlahan menenangkan dirinya sendiri.Mendengar kata-kata Aira, Gavin semakin menenggelamkan wajahnya di lekuk lehernya, seakan mencari tempat berlindung terakhir yang ia punya. Getar di tubuhnya perlahan mereda. Aira bisa merasakan Gavin menarik napas panjang sebelum akhirnya merenggangkan pelukan mereka.Gavin men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status