LOGINSelama satu bulan terkurung di apartemen, ia benar-benar merasa bosan, apalagi hanya ditemani Mbok Inah.Ia terbiasa bekerja keras, terbiasa mengurus semuanya sendiri. Tiba-tiba harus diam di rumah berbulan-bulan membuat kepalanya penuh dan dadanya sesak oleh rasa jenuh yang menumpuk.Tapi Gavin melarangnya.Tanpa izin Gavin, Aira bahkan tak diperbolehkan keluar. Ia memilih menurut daripada membuat lelaki itu marah dan berujung pada hukuman yang membuat Aira merinding.Kemarin ia melanggar larangan Gavin dan hampir berakhir ciu man panas.Namun, selama satu bulan itu pula, Gavin berubah begitu manis. Ia terus menghubunginya, memberitahu di mana ia berada, apa yang ia lakukan. Aira sampai merasa mereka seperti sepasang kekasih yang menjalani LDR.“Memangnya diizinkan sama Tuan?” tanya Mbok Inah sambil menata gurame asam manis ke atas piring, lalu meletakkannya di meja. Beberapa potong ayam goreng turut disajikan. “Mau makan nasi atau lauknya saja?” tanyanya lagi saat hendak mengambil
Gavin yang mendengar meradang. Pagi-pagi emosinya dibuat naik oleh Elvand.“Apa yang barusan lo bilang?”“Tuh, nyatanya juga tuli. Sini, cepat! Takut ngamuk,” kata Elvand masih tidak peduli pada Gavin. Bahkan ia menyuruh Aira agar beralih padanya.Aira yang mendengar langsung terkekeh, bahkan hampir tertawa nyaring.“Lo mau gue bunuh?” kata Gavin tajam. Tatapannya dingin, menusuk.Elvand langsung menatap balik, tak kalah panas.“Santai, Bro. Cuma bercanda kok. Biar pagi-pagi nggak tegang,” katanya nyengir, puas karena berhasil memancing emosi Gavin.“Lagian hidup tuh jangan terlalu kaku. Santai dikit… biar nggak cepat tua,” lanjutnya. “Nanti Aira malah beralih cari brondong. Iya, kan, Aira? Nggak masalah banget kalau berondongnya yang paling dekat. Misalnya… gue,” ujarnya sambil mengedipkan mata ke arah Aira.Tangan Gavin langsung mengepal.“Ayo pulang. Ngapain buang waktu ngobrol sama keledai bodoh? Takut kebagian bego,” katanya dingin, sengaja menekankan kata itu. Menurut Gavin, Elv
Sekali lagi kecupan mendarat, kali ini di bibir Aira, walau hanya sekilas namun cukup membuat Aira membatu di tempat.“Oke. Satu kali kamu memanggil aku dengan sebutan Tuan, berarti kamu sengaja meminta aku untuk menyentuhmu. Anggap itu sebagai hukuman karena terus menggodaku,” kata Gavin memberi peringatan. Tapi lebih tepatnya mencari kesempatan.Dan membuat milikku terasa ngilu, batin Gavin melanjutkan kata-katanya.Aira masih mematung. Kali ini ia benar-benar harus mengingat untuk berhenti memanggil Gavin dengan sebutan Tuan. Ia merasa seperti perempuan murahan, seolah sengaja meminta untuk disentuh, padahal ia baru saja diperingatkan, namun tetap saja mengulanginya lagi dan lagi.Hening kembali menyelimuti mereka.Sepertinya Aira takut pada ancaman Gavin.“Kamu ingin mandi lebih dulu?” tanya Gavin akhirnya, memecah keheningan. “Sepertinya kita harus pulang. Aku tidak mau bertemu dengan ‘mereka’ di meja makan, karena aku yakin Eyang Mandala akan mengumpulkan kita lagi. Masalah mala
Gavin bangun dengan mata yang berkantung. Setelah hampir semalaman tidak bisa tidur karena hasratnya terus meronta ingin diberi jatah, lelaki itu baru bisa terlelap sekitar jam empat subuh.Matanya mengerjap beberapa kali saat mencoba membiasakan diri dengan cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden yang sedikit terbuka.Ah … sudah jam enam pagi rupanya.Gavin merasa pergelangan tangannya sedikit kebas, karena posisi Aira masih tidur menindih lengan itu.Dengan lembut Gavin mengangkat kepala Aira dan mengganjalnya dengan bantal untuk menggantikan tangannya.Aira yang masih nyenyak dalam mimpi tampak begitu damai, bahkan bunyi dengkuran halus pun terdengar.Kali ini Gavin tidak mendengar igauan apa pun dari Aira. Biasanya wanita itu selalu tidur dengan wajah cemas, lalu saat sudah nyenyak akan mengigau hingga menangis.Senyenyak itu dia tidur, seolah tak peduli Gavin yang sedang berusaha mengatur detak jantungnya yang menggila dan rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuh karena
Gavin menoleh. Tanpa sadar ia tertawa, membayangkan Aira yang lembut itu menampar ibu tirinya, rasanya membuatnya lucu. Melukai hewan saja Aira tak tega, bagaimana bisa menampar penyihir.Tapi ia mengangguk sambil menimpali candaan Aira.“Bolak-balik, kalau perlu. Kalau bisa kamu ikut hajar juga tadi.”Aira ikut tersenyum dan melanjutkan, “Kalau perlu, biar aku saja yang maju. Biar Eyang Mandala percaya padamu.”Kali ini Gavin terdiam. Aira benar. Ia tidak menyangka sang Eyang justru berpihak pada Ayahnya.Mungkin Eyang Mandala mulai membuka hati untuk memaafkan Ayahnya, begitu pun Neneknya yang terang-terangan mengundang keluarga mereka. Padahal mereka semua tahu Gavin masih sangat membenci mereka.Tangan Aira terulur, menyentuh pipi Gavin yang masih tampak merah bekas tamparan Adimas. Gavin membeku begitu saja oleh sentuhan itu.Aira mengusapnya lembut, seakan dengan sentuhan itu rasa sakit di pipi Gavin akan hilang tanpa sisa.Gavin menatap mata Aira lekat-lekat, lalu tersenyum. Ta
Aira mencoba mengangkat wajahnya untuk melihat Gavin, tetapi ketika ia ingin merenggangkan pelukan, Gavin justru menahannya erat.“Jangan pergi… kumohon,” suara Gavin pecah dan serak, membuat Aira terdiam.Untuk pertama kalinya, Aira melihat Gavin benar-benar jatuh. Sosok yang selama ini tampak tegar dan tak tersentuh itu tampak hancur di pelukannya. Luka lama yang kembali terkoyak dengan kedatangan keluarga yang merusak masa kecilnya— ternyata masih menyisakan sakit yang begitu dalam.“Tidak apa-apa, aku di sini bersama kamu,” bisik Aira lembut.Ia menepuk-nepuk punggung Gavin, merasakan bagaimana dada lelaki itu naik turun tak teratur, sementara aroma maskulin suaminya perlahan menenangkan dirinya sendiri.Mendengar kata-kata Aira, Gavin semakin menenggelamkan wajahnya di lekuk lehernya, seakan mencari tempat berlindung terakhir yang ia punya. Getar di tubuhnya perlahan mereda. Aira bisa merasakan Gavin menarik napas panjang sebelum akhirnya merenggangkan pelukan mereka.Gavin men







