Home / Romansa / Istri yang Terabaikan / Penghangat Ranjang

Share

Penghangat Ranjang

Author: Alverna
last update Last Updated: 2025-09-05 16:54:10

"Nona, baik-baik saja?"

Lamunan Aira pudar saat seorang pembantu menyentuh pundaknya. Mata Aira yang sayu dan wajahnya yang pucat membuat pembantu di keluarga Mandala merasa bersimpati pada calon istri cucu dari majikannya.

Aira tersenyum.

"Saya baik-baik saja," jawabnya. Namun siapa pun tahu, di balik wajah sok tegar itu tersimpan beban yang sangat besar.

Pembantu keluarga Mandala sangat tahu apa yang gadis ini alami di rumah ini—mendapat rundungan dan kebencian dari kedua istri pertama dan ketiga Tuan Mandala pasti sangat berat. Ditambah lagi dengan calon suaminya Gavin, yang selalu bersikap dingin, padahal beberapa hari lagi acara pernikahan akan berlangsung.

"Mbak Aira,"

Elvand, lelaki seumurannya itu, menghampirinya dengan tersenyum.

Inah yang mendapati tuan mudanya mendekat, memilih pergi ke dapur—takut mengganggu.

"Aku disuruh Ayah nganter Mbak ke butik langganan jam empat sore buat fitting baju pengantin. Gavin juga akan ke sana. Mau bareng Gavin atau aku yang antar?"

"Sama kamu," kata Aira cepat.

"Oke, siap!"

"Panggilnya nggak usah pakai 'Mbak', boleh ya? Berasa kayak brondong-brondong gitu aku. Aira aja boleh, nggak?" tanya Elvand tengil.

"Kita kan seumuran? Panggil aja aku Elvand," lanjutnya lagi.

Aira mengangguk menyetujui.

"Terserah kamu saja," jawabnya, membuat Elvand kembali menyunggingkan senyum. Ia buru-buru mengalihkan tatapannya ke arah lain.

"Hmm ... Elvand, aku boleh minta tolong tidak?"

"Tentu saja boleh, apa pun itu. Kamu nggak usah sungkan-sungkan gitu, dong. Anggap aja aku teman," kata Elvand yang sedikit risih melihat kecanggungan Aira.

Aira menggigit bibirnya. Ia memang tidak biasa merepotkan orang.

"Bisa antar aku ke tempat kerjaku sebentar? Aku mau ngambil barang dan ngisi form cuti. Tanpa isi itu, gaji aku bisa dipotong," katanya.

Memang selama Aira bekerja di salah satu restoran, ia tidak tinggal bersama keluarganya. Restoran tersebut menyediakan mes untuk karyawannya dan mendapat makan dua kali sehari. Setelah lulus SMA dan sang nenek meninggal, Aira merantau memilih tinggal di kota yang sama dengan keluarganya untuk bekerja. Walau Aira tahu, ia tidak diterima. Tapi dengan begitu, ia bisa lebih dekat dengan Lyra, sang kembaran.

"Ke mana pun Anda pergi, saya siap antar," kata Elvand sambil membungkukkan sedikit badan, seperti seorang pelayan.

"Hahaha ... sudah cocok belum aku jadi ajudan?" lanjutnya lagi, membuat Aira ikut tersenyum.

Kegembiraan dari Elvand membuat Aira mau tak mau ikut merasa senang. Paling tidak, selama beberapa hari di sini, Elvand dan ibunya masih bersikap baik padanya.

"Ayuk, kita berangkat sekarang saja," ajak Elvand yang tanpa sadar menggandeng tangan Aira, membuat Aira terkejut beberapa saat.

"Dia berangkat sama gue!"

Langkah Aira dan Elvand terhenti saat suara berat seseorang terdengar. Gavin—lelaki itu berdiri di tangga.

Wajahnya datar dan tatapannya dingin. Membuat suasana seketika mencekam dan kembali membuat Aira gemetar. Jantungnya berdegup kencang saat langkah lelaki itu mendekat ke arah mereka.

"Dia berangkat sama gue, denger gak?!" ulang Gavin lagi saat sudah berada di hadapan Aira dan Elvand.

Spontan, Elvand sadar dan melepaskan tangannya dari pergelangan Aira. Ia pun bingung kenapa bisa sampai menggandeng tangan gadis itu.

"Ayo, cepat!"

Tanpa persetujuan Aira, Gavin menarik lengan gadis itu dengan kasar, membuat Aira hampir saja terjerembab. Sementara Elvand hanya diam di tempatnya. Ia ingin membantu, tapi tahu permasalahan hanya akan semakin panjang.

Elvand tahu betul—Gavin adalah lelaki keras kepala yang jika sedang marah, tak bisa diganggu gugat. Padahal umurnya lebih tua daripada Elvand, namun sifatnya jelas turunan Mandala—sama-sama menyebalkan.

Berdekatan dengan Gavin membuatnya senam jantung. Entah karena takut, atau karena berusaha agar tidak terpukau dengan ketampanan lelaki itu.

Bahkan beberapa kali ia hampir tersandung karena sulit mengikuti langkah Gavin yang cepat. Entah lelaki itu sengaja melakukannya atau tidak.

Tiba di garasi, Aira terpana melihat deretan mobil mewah. Gavin mendekati sebuah mobil Ferrari merah dan masuk ke dalamnya.

Aira masih terdiam, menatap penampilannya yang lusuh. Kaos biru dan celana jeans yang sama-sama terlihat memudar karena terlalu sering ia pakai. Ia memang tidak memiliki baju-baju bagus karena separuh dari gajinya selalu ia serahkan kepada sang ibu.

Aira masih diam saat mobil itu berhenti tepat di hadapannya.

Gavin menurunkan kaca mobil, membuat lamunan Aira buyar.

"Cepat masuk! Apa perlu aku membukakan pintu untukmu?!" ucap Gavin ketus, lebih tepatnya sebuah sindiran.

Aira meremas jemarinya, duduk di samping Gavin membuatnya minder. Apalagi membayangkan bahwa lelaki itu sebentar lagi akan menjadi suaminya.

Perhatiannya teralihkan pada sebuah figura kecil dari plastik yang berada di atas dashboard mobil.

Tanpa sadar, Aira mengambilnya dan menatapnya dengan senyum mengembang.

"Foto ini sama dengan foto yang ada di dompet Lyra. Dia mengenalkan kamu lewat foto ini," kata Aira hampir seperti gumaman, namun Gavin dapat mendengarnya.

Aira mengusap lembut wajah Lyra yang ada di foto itu—foto berdua dengan Gavin, yang mungkin diambil di sebuah kamar. Lyra berbaring di lengan Gavin, dan Gavin mencium Lyra.

"Lyra bilang, dia sangat beruntung memiliki kamu. Kamu banyak mengubah hidupnya. Katanya... dia sangat mencintai kamu. Dia bercerita penuh semangat saat itu," ujar Aira lagi, mengenang saat sang kembaran bercerita. Tanpa sadar, air mata menggenang di pelupuk matanya.

Chiiiittttt...

Hampir saja kepala Aira menabrak dashboard saat Gavin menghentikan mobilnya tiba-tiba.

"Lepaskan foto itu!"

Aira terkejut. Tatapan Gavin yang tajam dan mengerikan membuatnya membatu.

"TULI YA? LEPASKAN FOTO ITU!" bentak Gavin lagi, mengulangi perintahnya. Dengan tangan gemetar, Aira menaruh figura tersebut ke tempatnya.

Gadis itu masih membatu.

Senyum sinis terukir di wajah Gavin yang dingin. Jujur, sedari tadi ia menahan emosi—apalagi dengan lancangnya Aira menyentuh figuranya bersama sang kekasih.

Gavin mengerti sekarang. Aira iri pada Lyra. Terbukti dari cerita gadis itu yang ingin seperti Lyra.

"Jangan-jangan ini semua rencana kamu? Melenyapkan Lyra, kemudian mendekatiku agar bisa berada di posisinya?" katanya dengan suara berat.

Namun, tahukah Gavin—kata-katanya sungguh melukai Aira. Mana mungkin ia membunuh satu-satunya orang yang menyayanginya?

"Kenapa kaget? Wanita seperti kamu sudah bisa ditebak. Oke... baiklah. Kamu bisa menggantikannya, tapi hanya sebagai penghangat ranjangku," kata Gavin lagi, yang mampu membuat Aira membelalak. 

Tanpa sadar air mata Aira menetes. Namun, segera dihapus.

"Itu kan yang kamu mau? Aku bisa memberikan pengalaman yang tak akan pernah kamu lupakan."

Harga dirinya jatuh seketika.

Gavin tidak main-main. Ia memang merencanakan agar membuat Aira benci hidup di dunia... dan memilih mati.

"A-aku ti-dak seperti itu," gumam Aira terbata, mencoba membela diri. Namun Gavin tidak peduli.

Baginya, Aira hanyalah wanita munafik yang melakukan segala cara agar mendapat apa pun yang ia inginkan. Bahkan sampai sekarang, Gavin tidak tahu bagaimana kronologi kematian sang kekasih. Bisa saja memang Aira lah dalang di balik semuanya.

Benar kata ibunya—Aira adalah pembawa sial. Pantas saja dia selalu diabaikan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri yang Terabaikan   Perubahan Sikap Aira

    Tapi Aira tidak peduli. Ia justru keluar kamar, mengabaikan suara Gavin seolah lelaki itu tidak ada.Berada satu ruangan dengan Gavin membuat Aira merasa tercabik-cabik.Cukup. Ia sudah tidak sanggup. Sejak awal ia memang ragu tinggal di Penthouse Gavin. kalau boleh menilih, Aira jauh lebih memilih rumah tipe 36 pemberian Eyang Mandala, rumah pertamanya, kecil, tetapi hangat dan terasa aman.Namun karena memikirkan Mbok Inah, ia memilih menuruti keinginan Eyang Mandala. Ia tahu betul, jika Eyang murka, beliau bisa menjadi sangat kejam dan ia tidak ingin Mbok Inah menerima imbasnya.Maka Aira patuh. Tapi menghadapi Gavin yang seperti ini membuatnya benar-benar tidak kuat.Satu ruangan dengannya seakan menyeret Aira masuk ke neraka.Melihat Aira mengabaikannya, Gavin mengepalkan tangan.Tembok itu… kini makin tinggi. Aira membangun benteng agar Gavin tak lagi bisa memasukinya. Wanita itu bersikap acuh, dingin, dan menjauh.Gavin memejamkan mata, memijit pelipisnya. Pusing itu kembali da

  • Istri yang Terabaikan   Gavin Menggila

    Gavin menatapnya, dan seketika ingatan Aira tentang lelaki itu bersama Mitha kembali berputar di kepalanya. Rasa jijik langsung membuat perutnya mual.Aira berusaha terlihat baik-baik saja, meski napasnya terasa cepat. Ia menahan air matanya sekuat tenaga. Ia tidak boleh menangis di depan Gavin. Ia harus terlihat kuat. Gavin tidak boleh melihat kelemahannya.“Sepertinya Mbok Inah salah memberiku kamar. Ini kamarmu?” tanya Aira pelan. Ia menurunkan kakinya dari ranjang dan berusaha bangkit. Ia tidak ingin berada satu ruangan dengan pria itu. Dekat dengan Gavin saja sudah membuat dadanya sesak.Aira ingin keluar, tetapi saat mereka berpapasan, tangan Gavin menangkap pergelangannya dengan keras.“Tadi kamu ke kantorku?” tanya Gavin, suaranya dingin. Ia menoleh, menatap Aira tajam, mencoba membaca ekspresi wanita hamil itu.Aira meringis. Kenangan di kantor Gavin kembali menghantamnya, membuat dadanya perih.“Tidak. Pak Tarno yang ke kantor Tuan,” jawab Aira. Suaranya setengah bergetar,

  • Istri yang Terabaikan   Menemui Aira

    Aira dan Mbok Inah menatap bangunan tinggi di hadapan mereka, mereka sudah sampai di l Penthouse milik Gavin. Bangunan dua puluh tingkat itu menjulang megah, elegan, dan jelas hanya bisa dimiliki oleh kalangan atas mengingat harganya yang fantastis."Ayo, Nona, kita masuk," kata Mbok Inah. Di tangannya terdapat kantong belanja berisi sayuran dan kebutuhan dapur. Mereka sempat mampir ke minimarket karena yakin Penthouse Gavin pasti tidak memiliki bahan-bahan sederhana seperti ini.Lelaki itu memang sangat jarang pulang ke apartemen megah ini, kecuali dulu saat bersama Lyra, kekasihnya. Setelah Lyra meninggal, tempat ini tak pernah lagi Gavin datangi.Aira mengangguk. Saat memasuki lobi apartemen dengan dominasi warna hijau dan emas yang elegan, matanya langsung dimanjakan kemewahan interiornya.Mereka tiba di lantai dua puluh, tepat di depan pintu penthouse milik Gavin. Aira menyerahkan kunci yang diberikan Eyang Mandala kepada Pak Tarno, dan lelaki itu segera membukanya.Begitu pint

  • Istri yang Terabaikan   Panik!

    Gavin keluar dari ruangannya. Lelaki itu celingukan, mencari Pak Tarno yang mungkin saja masuk untuk menemuinya. Namun saat melihat ruang tunggu, tak ada siapa pun di sana.Selly yang baru datang menghentikan langkahnya. Tatapannya pada Gavin terkejut, ada kecanggungan terselip jelas di balik ekspresinya.Gavin berusaha mengabaikan ekspresi itu, seolah tak terjadi apa-apa.“Di mana Pak Tarno? Orang yang saya suruh mengantar dokumen saya,” tanyanya pada Selly.Selly menelan ludah. Membayangkan wanita di dalam sana menggoda Gavin, membuat bayangan sosok sempurna Gavin runtuh seketika.Terlebih setelah melihat Aira keluar dari ruangan itu dengan mata berkabut sedih. Gavin tampak seperti lelaki paling bajingan saat ini, istrinya hamil, dia malah berciuman dengan wanita lain.Kalau Selly yang jadi Aira, mungkin ia sudah mengamuk, menghajar Gavin sampai habis dan mencabuti rambut pelakor itu sampai kulit kepalanya terkelupas.Tapi Aira berbeda. Dengan elegen ia meninggalkan tempat itu, berp

  • Istri yang Terabaikan   Tontonan Menyakitkan

    Aira meringis. Ia langsung berbalik, tidak sanggup lagi melihat. Tangannya yang gemetar membuat berkas itu terlepas tanpa sengaja, jatuh berserakan di lantai. Cepat-cepat Aira melangkah keluar dan menutup pintu perlahan, takut kalau Gavin maupun Mitha menyadari keberadaannya, menyadari bahwa ia baru saja menjadi saksi dari adegan menjijikkan itu.Dengan kasar Aira mengusap air matanya. Napasnya ditarik dalam, tapi justru terasa makin menyesakkan. Satu menit… dua menit… ia berusaha keras menenangkan diri.Ia tidak boleh hancur seperti ini. Toh… Gavin bukan miliknya. Lelaki itu tidak mencintainya.Tanpa sadar Aira mengelus perutnya, seolah menenangkan janin kecil di dalam sana, memberi isyarat sabar, meski barusan mata mereka menyaksikan ayahnya berbuat hal memuakkan dengan wanita yang katanya hanyalah “teman lama”, sahabat Lyra.Cih! Ternyata wanita itu benar-benar membuktikan ucapannya bahwa ia bisa merebut Gavin. Kasihan sekali Lyra memiliki sahabat seperti itu.Hanya bertemu bebera

  • Istri yang Terabaikan   Desahan Di Ruangan Gavin

    Keputusan Kakek Mandala sudah bulat—Aira harus menuju penthouse milik Gavin. Namun sebelum keberangkatan itu, sang kakek terlebih dahulu memerintahkan Pak Tarno, supir kepercayaannya, untuk mengantarkan beberapa berkas penting kepada Gavin di kantornya.Pak Tarno mengemudi dengan sangat hati-hati, sesuai pesan Kakek Mandala agar tidak tergesa-gesa. Perjalanan memakan waktu hampir empat puluh menit karena ia sengaja tidak mengebut, memastikan Aira dan Mbok Inah tetap nyaman di kursi belakang.Aira yang sempat terlelap terbangun ketika mobil perlahan berhenti. Ia menatap keluar jendela, melihat gedung tinggi menjulang dengan logo perusahaan Gavin terpampang jelas di puncaknya. Ada sedikit rasa gugup yang menjalari dadanya.“Sudah sampai, Nona,” ucap Pak Tarno sopan sebelum turun membawa map berisi berkas. Ia berjalan masuk ke gedung, sementara Aira dan Mbok Inah menunggu di dalam mobil.Beberapa menit berlalu. Pak Tarno akhirnya kembali dengan wajah sedikit bingung. Ia membuka pintu dep

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status