LOGINTubuh Aira menggigil. Demam yang sejak siang belum reda membuat keringat dingin membasahi pelipisnya. Tapi rasa sakit di tubuhnya tak ada apa-apanya dibanding penderitaan yang menekan dadanya malam itu.
Ia duduk di ruang keluarga besar yang megah, di tengah orang-orang asing yang menatapnya penuh kecurigaan. Udara sejuk dari pendingin ruangan seakan menusuk kulit, membuatnya merasa lebih kecil dan tak berdaya. Semua pandangan bagai penghakiman. “Jangan bilang kau mau menikahinya?” suara istri ketiga Mandala, memecah keheningan. Nada suaranya tajam, sorot matanya menusuk Aira yang hanya bisa menunduk. Tok! Tok! Tok! Eyang Mandala mengetuk tongkatnya tiga kali ke lantai marmer. Dentumannya bergema, membuat semua orang menoleh. “Kalau dia mau, kenapa tidak?” ucapnya tenang, seolah sedang membicarakan hal biasa. Serentak ruangan berguncang oleh protes. “Ngawur!” seru Sarah,istri pertama Mandala, nenek kandung Gavin Meski sudah berusia lanjut, wibawanya masih terasa. “Dia masih sangat muda, pantasnya cucumu, bukan istrimu!” Aira menunduk makin dalam, jantungnya berdegup kencang. Tangannya meremas ujung gaun sederhana yang dipakainya, menahan gemetar. “Lagi pula, dia kekasih cucumu sendiri!” tambah Sarah, geram. Kata-kata itu membuat Gavian mengangkat wajah. Rahangnya mengeras, matanya berkilat. “Nek… Lyra sudah meninggal.” Seketika ruangan terdiam. Semua kepala menoleh pada Gavin. “Apa?” tanya istri kedua, dengan wajah terkejut. “Lalu ini siapa?” “Kembarannya,” jawab Mandala dingin. “Tapi bukan itu alasan saya mengumpulkan kalian malam ini.” Aira menahan napas. Semua ini bukan sekadar pertemuan keluarga. Ada keputusan besar yang akan diucapkan. "Ayah menghamili dia?" celetuk seorang lelaki tampan yang tengah duduk di tengah-tengah ruangan, menatap kaget sang ayah. "Aku saja belum punya pacar, ayah sudah mau menikah dengan wanita ke empat," lanjutnya yang kini mendapat tatapan tajam dari Mandala. Dia adalah Elvander, anak dari Eyang manggala dari istri ke dua. "Diam kamu!" bentak Manggala pada sang anak yang membuat lelaki ini bungkam. Mandala bersandar ke kursi, menatap cucunya. “Gavin bersama kekasihnya telah menggelapkan hampir delapan miliar dari perusahaan. Hukuman penjara pantas untuknya.” Wajah Sarah memucat. Ia berdiri gemetar, lalu meraih lengan cucunya. “Tidak mungkin! Gavin bukan anak seperti itu. Kalau uang, biar aku yang ganti. Jual saja aset ku, Jangan masukkan cucuku ke penjara!” Mandala menatapnya tajam, dingin. “Kalau begitu, kau ikut pergi bersamanya.” Tangis Sarah pecah. Ruangan semakin mencekam. Mandala menghentakkan tongkatnya lagi. “Lima tahun penjara karena penggelapan. Dua tahun tambahan karena kartu kredit. Tujuh tahun. Itu hukumannya.” “Apa?!” Gavin menelan ludah, wajahnya pucat pasi. “Kek, jangan! Aku janji berubah. Tolong… beri aku kesempatan!” Mandala menatap cucunya lama. Senyum tipis muncul di bibirnya. “Kesempatan ada. Tapi ada harga yang harus dibayar.” Gavin menunduk cepat, nadanya penuh harap. “Apa pun, Kek! Katakan saja. Aku akan lakukan!” Mandala mengalihkan tatapannya ke arah Aira. Gadis itu membeku. Tubuhnya kian bergetar, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Ia bisa merasakan arah pembicaraan, dan hatinya langsung mencelos. “Nikahi dia,” ucap Mandala perlahan, tenang, namun mengiris lebih tajam daripada pisau. “Buktikan kau bisa bertanggung jawab. Karena akibatmu, gadis ini kehilangan segalanya.” Aira tersentak, wajah pucatnya semakin memutih. Suara tercekat keluar dari bibirnya. Sungguh, lantak menyangkal bahwa akan di nikahkan dengan Gavin bukan dengan sang kakek tua. “Ti-tidak mungkin…” “APA?!” Gavin menggebrak meja. Suara kerasnya membuat beberapa orang terlonjak. “Kek bercanda?! Aku tidak akan menikahi pembunuh tunanganku!” Air mata Aira jatuh tanpa bisa ditahan. Ia pun takut dengan hal itu. “Aku tidak membunuh Lyra…” suaranya nyaris tak terdengar. Hatinya perih mendengar tuduhan itu lagi. Mandala tak peduli pada protes cucunya. Tatapannya kini tertuju penuh pada Aira. “Bagaimana, Aira? Kau setuju?” Aira terdiam. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Ia menggeleng pelan. "Kalau begitu siap-siap ibumu masuk penjara dan semua aset keluargamu serahkan padaku, itu pun belum mencukupi dengan kerugian yang keluargamu lakukan!" kata Manggala yang membuat Aura membola. Tidak! Ia tidak akan membiarkan itu. Ia merasa seakan terjebak di ruang tanpa pintu keluar. Tangannya bergetar, menggenggam erat roknya. Perlahan ia mengangguk, suaranya lirih, nyaris patah. “Saya… bersedia.” Gavin memukul meja sekali lagi. “Tidak akan! Aku tidak mau! Lebih baik aku masuk penjara!” Wajah Mandala mengeras. Aura dingin dan mengerikan memancar darinya. Dengan gerakan perlahan namun penuh tekanan, ia berdiri dari kursinya. “Tidak ada bantahan,” suaranya menggelegar memenuhi ruangan. “Minggu depan, kalian menikah!” Keheningan menelan semua yang hadir. Sarah hanya bisa menangis memeluk cucunya, meski tahu tak ada daya menahan keputusan MandalMiaIstri kedua dan ketiga saling pandang, ragu untuk bicara. Elvand terdiam, tak berani melawan. Aira menunduk, bahunya bergetar, air mata mengalir deras. Di dalam hatinya, ia menjerit. Ia baru saja kehilangan kembaran yang paling ia cintai, dan kini dirinya sendiri dipaksa masuk ke neraka pernikahan yang tak ia inginkan. Gavin menatapnya dengan kebencian membara. Tatapannya menusuk, seolah ingin merobek-robek hati Aira. Baginya, keputusan ini bukan hanya hukuman—tapi juga pengkhianatan terbesar dari kakeknya sendiri. Mandala duduk kembali dengan wajah puas, seolah baru saja mengetuk palu vonis. Baginya, keputusan itu mutlak, tak ada ruang untuk protes. Malam itu, nasib dua jiwa muda berubah selamanya. Aira—gadis sakit yang baru kehilangan saudara kembar—dan Gavin, lelaki yang terjebak di antara penjara dan pernikahan. Dan tak seorang pun berani menentang titah Mandala. "Minggu depan, Siap-siap lah kalian menikah! Tidak ada bantahan!"Tapi Aira tidak peduli. Ia justru keluar kamar, mengabaikan suara Gavin seolah lelaki itu tidak ada.Berada satu ruangan dengan Gavin membuat Aira merasa tercabik-cabik.Cukup. Ia sudah tidak sanggup. Sejak awal ia memang ragu tinggal di Penthouse Gavin. kalau boleh menilih, Aira jauh lebih memilih rumah tipe 36 pemberian Eyang Mandala, rumah pertamanya, kecil, tetapi hangat dan terasa aman.Namun karena memikirkan Mbok Inah, ia memilih menuruti keinginan Eyang Mandala. Ia tahu betul, jika Eyang murka, beliau bisa menjadi sangat kejam dan ia tidak ingin Mbok Inah menerima imbasnya.Maka Aira patuh. Tapi menghadapi Gavin yang seperti ini membuatnya benar-benar tidak kuat.Satu ruangan dengannya seakan menyeret Aira masuk ke neraka.Melihat Aira mengabaikannya, Gavin mengepalkan tangan.Tembok itu… kini makin tinggi. Aira membangun benteng agar Gavin tak lagi bisa memasukinya. Wanita itu bersikap acuh, dingin, dan menjauh.Gavin memejamkan mata, memijit pelipisnya. Pusing itu kembali da
Gavin menatapnya, dan seketika ingatan Aira tentang lelaki itu bersama Mitha kembali berputar di kepalanya. Rasa jijik langsung membuat perutnya mual.Aira berusaha terlihat baik-baik saja, meski napasnya terasa cepat. Ia menahan air matanya sekuat tenaga. Ia tidak boleh menangis di depan Gavin. Ia harus terlihat kuat. Gavin tidak boleh melihat kelemahannya.“Sepertinya Mbok Inah salah memberiku kamar. Ini kamarmu?” tanya Aira pelan. Ia menurunkan kakinya dari ranjang dan berusaha bangkit. Ia tidak ingin berada satu ruangan dengan pria itu. Dekat dengan Gavin saja sudah membuat dadanya sesak.Aira ingin keluar, tetapi saat mereka berpapasan, tangan Gavin menangkap pergelangannya dengan keras.“Tadi kamu ke kantorku?” tanya Gavin, suaranya dingin. Ia menoleh, menatap Aira tajam, mencoba membaca ekspresi wanita hamil itu.Aira meringis. Kenangan di kantor Gavin kembali menghantamnya, membuat dadanya perih.“Tidak. Pak Tarno yang ke kantor Tuan,” jawab Aira. Suaranya setengah bergetar,
Aira dan Mbok Inah menatap bangunan tinggi di hadapan mereka, mereka sudah sampai di l Penthouse milik Gavin. Bangunan dua puluh tingkat itu menjulang megah, elegan, dan jelas hanya bisa dimiliki oleh kalangan atas mengingat harganya yang fantastis."Ayo, Nona, kita masuk," kata Mbok Inah. Di tangannya terdapat kantong belanja berisi sayuran dan kebutuhan dapur. Mereka sempat mampir ke minimarket karena yakin Penthouse Gavin pasti tidak memiliki bahan-bahan sederhana seperti ini.Lelaki itu memang sangat jarang pulang ke apartemen megah ini, kecuali dulu saat bersama Lyra, kekasihnya. Setelah Lyra meninggal, tempat ini tak pernah lagi Gavin datangi.Aira mengangguk. Saat memasuki lobi apartemen dengan dominasi warna hijau dan emas yang elegan, matanya langsung dimanjakan kemewahan interiornya.Mereka tiba di lantai dua puluh, tepat di depan pintu penthouse milik Gavin. Aira menyerahkan kunci yang diberikan Eyang Mandala kepada Pak Tarno, dan lelaki itu segera membukanya.Begitu pint
Gavin keluar dari ruangannya. Lelaki itu celingukan, mencari Pak Tarno yang mungkin saja masuk untuk menemuinya. Namun saat melihat ruang tunggu, tak ada siapa pun di sana.Selly yang baru datang menghentikan langkahnya. Tatapannya pada Gavin terkejut, ada kecanggungan terselip jelas di balik ekspresinya.Gavin berusaha mengabaikan ekspresi itu, seolah tak terjadi apa-apa.“Di mana Pak Tarno? Orang yang saya suruh mengantar dokumen saya,” tanyanya pada Selly.Selly menelan ludah. Membayangkan wanita di dalam sana menggoda Gavin, membuat bayangan sosok sempurna Gavin runtuh seketika.Terlebih setelah melihat Aira keluar dari ruangan itu dengan mata berkabut sedih. Gavin tampak seperti lelaki paling bajingan saat ini, istrinya hamil, dia malah berciuman dengan wanita lain.Kalau Selly yang jadi Aira, mungkin ia sudah mengamuk, menghajar Gavin sampai habis dan mencabuti rambut pelakor itu sampai kulit kepalanya terkelupas.Tapi Aira berbeda. Dengan elegen ia meninggalkan tempat itu, berp
Aira meringis. Ia langsung berbalik, tidak sanggup lagi melihat. Tangannya yang gemetar membuat berkas itu terlepas tanpa sengaja, jatuh berserakan di lantai. Cepat-cepat Aira melangkah keluar dan menutup pintu perlahan, takut kalau Gavin maupun Mitha menyadari keberadaannya, menyadari bahwa ia baru saja menjadi saksi dari adegan menjijikkan itu.Dengan kasar Aira mengusap air matanya. Napasnya ditarik dalam, tapi justru terasa makin menyesakkan. Satu menit… dua menit… ia berusaha keras menenangkan diri.Ia tidak boleh hancur seperti ini. Toh… Gavin bukan miliknya. Lelaki itu tidak mencintainya.Tanpa sadar Aira mengelus perutnya, seolah menenangkan janin kecil di dalam sana, memberi isyarat sabar, meski barusan mata mereka menyaksikan ayahnya berbuat hal memuakkan dengan wanita yang katanya hanyalah “teman lama”, sahabat Lyra.Cih! Ternyata wanita itu benar-benar membuktikan ucapannya bahwa ia bisa merebut Gavin. Kasihan sekali Lyra memiliki sahabat seperti itu.Hanya bertemu bebera
Keputusan Kakek Mandala sudah bulat—Aira harus menuju penthouse milik Gavin. Namun sebelum keberangkatan itu, sang kakek terlebih dahulu memerintahkan Pak Tarno, supir kepercayaannya, untuk mengantarkan beberapa berkas penting kepada Gavin di kantornya.Pak Tarno mengemudi dengan sangat hati-hati, sesuai pesan Kakek Mandala agar tidak tergesa-gesa. Perjalanan memakan waktu hampir empat puluh menit karena ia sengaja tidak mengebut, memastikan Aira dan Mbok Inah tetap nyaman di kursi belakang.Aira yang sempat terlelap terbangun ketika mobil perlahan berhenti. Ia menatap keluar jendela, melihat gedung tinggi menjulang dengan logo perusahaan Gavin terpampang jelas di puncaknya. Ada sedikit rasa gugup yang menjalari dadanya.“Sudah sampai, Nona,” ucap Pak Tarno sopan sebelum turun membawa map berisi berkas. Ia berjalan masuk ke gedung, sementara Aira dan Mbok Inah menunggu di dalam mobil.Beberapa menit berlalu. Pak Tarno akhirnya kembali dengan wajah sedikit bingung. Ia membuka pintu dep







