Share

Paksaan Menikah

Author: Alverna
last update Last Updated: 2025-09-05 16:35:18

Tubuh Siran menggigil, demamnya semakin parah. Namun, rasa sakit di tubuhnya tidak sebanding dengan penderitaan yang sedang ia jalani.

Berada di rumah megah tanpa satu pun orang yang ia kenal membuatnya ingin menangis. Ia berusaha keras menahan air mata agar tidak jatuh.

Sebentar lagi, ia harus mengubur mimpinya. Ia akan menikah dengan pria tua—sesuatu yang tak pernah dibayangkannya. Siran tak pernah menyangka nasibnya akan semenyedihkan ini.

Namun, suka tidak suka, Siran harus berkorban. Ia baru saja mengetahui permasalahan yang sebenarnya terjadi. Ia tak sanggup membayangkan kedua orang tuanya masuk penjara, atau hidup luntang-lantung di jalanan setelah aset mereka diambil oleh Adiputra.

Seburuk apa pun perlakuan Wina terhadapnya, Siran tetap menyayangi kedua orang tuanya.

Ia mencoba memahami keadaan. Mungkin karena itulah ayahnya tidak menolongnya. Tapi sekeras apa pun ia mencoba mengerti, rasa sakit karena dijual dan harus menanggung kesalahan yang bukan perbuatannya tetap menggores hatinya dalam-dalam.

Kini, ia duduk di tengah keluarga besar Adiputra. Kakinya terasa lunglai dan gemetar karena gugup menghadapi apa yang akan terjadi.

Ia merasa seperti dihakimi, dipaksa menanggung kesalahan yang bahkan tidak ia pahami.

“Jangan bilang kamu mau menikahinya?” tanya Lia, istri ketiga Adiputra. Usianya yang baru tiga puluh tahunan membuat nyali Siran ciut. Istri ketiga Adiputra lebih muda dari setengah usia suaminya. Siran takut, Adiputra benar-benar berniat menikahinya.

“Kalau dia mau, kenapa tidak,” jawab Adiputra sekenanya, membuat seluruh ruangan terkejut dan siap melontarkan protes.

Siran semakin menunduk. Detak jantungnya yang begitu kencang membuat tubuhnya terasa makin lemah.

“Ngawur kamu! Dia sangat muda, seperti anakmu sendiri. Aku tidak setuju!” seru Sarah, istri pertama Adiputra yang meski sudah berumur tujuh puluhan, masih terlihat anggun dan cantik.

“Lagi pula, dia itu kekasih cucumu! Jangan mengada-ada,” lanjut Sarah tanpa mengetahui bahwa Sinar—kekasih cucunya—telah meninggal. Kata-katanya membuat Aksa mengangkat wajahnya dan menatap sang nenek. Ingatan tentang Sinar kembali menyayat hatinya.

Kebenciannya terhadap Siran semakin dalam. Andai saja Siran tidak meminta dijemput sepulang kerja, mungkin Sinar masih hidup dan bersamanya saat ini.

Aksa menunduk. “Dia sudah meninggal, Nek,” ucap Aksa pelan namun cukup untuk mengejutkan semua orang di ruangan itu.

“Maksudmu? Lalu ini siapa?” tanya Mia, istri kedua Adiputra yang memang mengenal Sinar dengan baik. Selama tujuh tahun pacaran, Sinar sudah diperkenalkan kepada seluruh keluarga.

“Dia kembarannya,” jawab Adiputra, membuat semua orang mengangguk mengerti. “Tapi bukan itu alasan saya mengumpulkan kalian di sini,” lanjutnya.

“Ayah benar-benar mau menikah lagi? Aku tidak setuju! Dia lebih cocok jadi istriku,” protes Abimayu, anak dari istri kedua Adiputra. Pria 23 tahun itu tak terima ayahnya akan menikah dengan wanita yang seumuran dengannya.

Aksa yang mendengarnya, entah mengapa merasa sedikit puas. Seakan lega melihat Siran yang akan menderita menjadi istri keempat kakeknya.

Adiputra melempar kulit kacang ke arah Abimayu. “Saya bilang bukan itu! Dengarkan saya!” serunya, membuat ruangan kembali sunyi.

“Dia hamil, Ayah? Gila, gue masih jomblo, ayah malah ngebuntingin anak orang,” celetuk Abimayu, membuat semua orang menatapnya tajam.

Abimayu meringis. “Maaf… maaf, saya diam,” ucapnya cepat sambil mengunci mulut. Ia tahu, jika masih bicara, tongkat sang ayah pasti akan melayang ke kepalanya.

“Aksa dan kekasihnya telah menggelapkan uang perusahaan, hampir delapan miliar totalnya. Memberinya hukuman penjara adalah langkah yang adil karena dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya,” ujar Adiputra dengan nada tegas, membuat Aksa mulai panik. Vonis dari sang kakek terasa semakin dekat dan sungguh tak menyangka bahwa dirinya yang akan dinikahkan dengan Siran.

“Apa?! Cucuku tidak mungkin melakukannya!” seru Sarah yang tidak bisa menerima kenyataan. Ia berdiri, lalu memeluk Aksa.

“Aku tidak terima. Lagipula, aku bisa mengganti uang delapan miliar itu. Jual saja asetku sebagai gantinya,” lanjutnya, membuat sorot mata Adiputra semakin tajam.

“Kalau begitu, kamu ikut angkat kaki bersamanya.”

“Adiputra!”

Sarah tak menyangka akan diusir semudah itu. Seketika, tangisnya pecah. Suasana ruangan berubah mencekam karena sikap dingin dan keras Adiputra.

Keputusan Adiputra seakan mutlak, tak bisa diganggu gugat oleh siapa pun.

Istri ketiga Aidputra berdiri, lalu duduk di samping Adiputra, mencoba menenangkan sang suami. Wanita berusia 30 tahun dengan penampilan glamor itu mengusap punggung suaminya dengan lembut.

“Tolong pertimbangkan lagi. Memenjarakan Aksa sama saja mempermalukan keluarga kita. Apa kata orang-orang nanti? Para investor bisa menarik diri,” ucap Lia, berusaha membujuk agar Adiputra mempertimbangkan ulang keputusannya.

Adiputra berpikir. Kerutan di keningnya semakin dalam, menegaskan usia yang mulai menua namun tetap menyimpan wibawa yang kuat.

"Lalu, hukuman apa yang pantas untuk cucu pecundangku ini?" suaranya berat, dingin.

"Perusahaan yang aku bangun dengan susah payah hampir tercoreng karena kelakuannya. Memang, uangnya tidak seberapa. Tapi aku paling benci pada orang yang tidak bisa bertanggung jawab. Aku tidak akan melepaskannya begitu saja."

Aksa hanya diam. Ia tahu betul—kakeknya tidak akan pernah melepaskannya semudah itu.

Tuk! Tuk! Tuk!

Suara tongkat Adiputra kembali menggema, menghantam lantai marmer dengan ritme tenang namun mengintimidasi. Sebuah ciri khas, penanda bahwa keputusan besar sedang dipertimbangkan.

"Lima tahun penjara untuk penggelapan dana perusahaan. Dan saya juga bisa menjeratmu dengan pencurian karena mengambil kartu kredit nenekmu tanpa izin." Adiputra memandang tajam ke arah cucunya. "Kalau dihitung, tujuh tahun penjara. Cukup membuatmu jera."

Aksa menahan napas. Tapi sebelum ia sempat bereaksi, suara sang kakek kembali terdengar.

"Tapi..." Adiputra menatap cucunya lekat-lekat. "Saya bisa mempertimbangkan dan membatalkan laporan—dengan satu syarat."

Aksa tercengang. Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna kata-kata itu. Matanya berbinar, seolah melihat cahaya harapan di ujung lorong gelap.

"Benarkah? Apa syaratnya, Kek? Aku janji tidak akan mengulanginya lagi!" ucapnya bersemangat, suara sedikit gemetar. Bayangan tujuh tahun di balik jeruji besi cukup membuatnya berpikir mati pun lebih baik.

Senyum sinis muncul di sudut bibir Adiputra. "Kakek hanya ingin melihat kamu menjadi orang yang bertanggung jawab."

"Aku berjanji. Apa pun yang kakek perintahkan, aku akan lakukan, aku akan bertanggung jawab." ujar Aksa dengan penuh kesungguhan.

Istri-istri Adiputra tersenyum kecil. Jarang sekali seorang Adiputra memaafkan seseorang yang telah melukai kepercayaannya.

Adiputra mengusap dagunya perlahan.

"Kalau begitu, buktikan. Nikahi Siran—dan bertanggung jawablah atas hidupnya. Karena kamu, dia dibenci oleh keluarganya."

Deg.

Siran yang sejak tadi hanya menunduk, langsung mendongak. Matanya membelalak, wajah pucatnya semakin memucat. Ia menggigit bibirnya, gugup, tubuhnya mulai bergetar.

Menikah? Dengan Aksa? Kekasih kembarannya? Orang yang membencinya?

Siran menggeleng dalam hati. Itu tidak mungkin. Aksa pasti akan menyiksanya. Dendam, kebencian, dan bayang-bayang Sinar akan selalu menghantui pernikahan itu.

Aksa pun membeku. "A-a... apa?" ucapnya tercekat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

"TIDAK MUNGKIN! Kakek bercanda?! Dia... dia membunuh tunanganku!" Aksa menolak keras, wajahnya memerah karena emosi.

Siran menggigit bibir bawahnya, menahan isak. Tuduhan itu lagi. Ia merasa ditusuk, seakan tak ada ruang lagi untuk bernapas.

Adiputra tak menggubris protes cucunya. Matanya kini beralih pada Siran. "Bagaimana menurutmu, Siran?"

Siran gelagapan, tangan mungilnya meremas jemarinya sendiri.

"Be-benar kata Mas Aksa... Ini ti-tidak mungkin..." jawabnya dengan suara bergetar.

Senyum tipis muncul di wajah Adiputra. Bukan senyum hangat—melainkan senyum licin penuh tekanan.

"Kalau begitu... siap-siap ibumu yang harus masuk penjara. Seseorang harus bertanggung jawab," ucapnya dingin.

Siran tersentak. "Jangan!" serunya spontan.

Ia meringis, jemarinya semakin erat tergenggam, menahan rasa takut dan getir yang menyesakkan dada.

"Baiklah..." ucapnya lirih, nyaris tak terdengar. "Apa pun keputusan Tuan... saya bersedia."

Aksa mendengus keras. Tatapannya menusuk tajam ke arah Siran, penuh kemarahan dan kebencian.

"Bagaimana, Aksa? Dia sudah setuju," ucap Adiputra, nadanya seolah mengejek.

"TIDAK AKAN!" teriak Aksa lantang.

Bentakan itu membuat wajah Adiputra mengeras. Aura mengerikan langsung menyelimuti ruangan. Dengan gerakan perlahan namun penuh tekanan, Adiputra berdiri dari kursinya.

"Tidak ada bantahan!" suaranya menggelegar. "Minggu depan, kalian menikah!"

Aksa semakin emosi, tubuhnya tegang menahan amarah. Sementara Siran hanya bisa terduduk lesu, menatap kosong ke arah lantai. Kepalanya tertunduk, memikirkan nasib yang kini seolah tak bisa lagi ia tolak.

Tak ada yang berani membantah keputusan Adiputra ketika emosinya sudah terpancing. Bahkan, istri-istrinya hanya bisa diam membisu—mengasihani sang cucu yang kini hidupnya akan berubah sepenuhnya... entah ke arah mana.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri yang Terabaikan   Sisi Kejam Aksa

    "Sekarang... buka baju kamu!"Lagi-lagi Siran dibuat membelalak. Seketika ia menyilangkan tangannya, refleks tubuhnya saat melindungi diri."BUKA! ATAU AKU YANG BUKA!" bentak Aksa marah. Kebenciannya semakin besar saat melihat Siran. Entah kenapa, bayang-bayang sang kekasih yang meninggal—yang menurutnya karena Siran—membuat kemarahannya semakin dalam.Melihat Siran yang tak bergeming, Aksa benar-benar menarik baju gadis itu, mengangkatnya dengan paksa hingga menyisakan tank top putih tipis yang ia kenakan. Sangat tipis, hingga kulit tubuh dan bra berwarna hitam yang ia pakai pun terlihat jelas.Siran langsung menutupi tubuhnya. Ia menangis, takut pada Aksa yang kini menatapnya nyalang.Aksa tersenyum sinis. Tubuh Siran yang putih bersih, rambutnya yang terikat rapi mengekspos leher jenjangnya, ditambah kedua gundukan miliknya yang cukup berisi—lebih berisi daripada milik Sinar, sang kekasih—membuat Aksa mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ia membayangkan tubuh itu berada dalam peluk

  • Istri yang Terabaikan   Penghangat Ranjang

    "Nona, baik-baik saja?"Lamunan Siran pudar saat seorang pembantu menyentuh pundaknya. Mata Siran yang sayu dan wajahnya yang pucat membuat pembantu di keluarga Adiputra merasa bersimpati pada calon istri cucu dari majikannya.Siran tersenyum."Saya baik-baik saja," jawabnya. Namun siapa pun tahu, di balik wajah sok tegar itu tersimpan beban yang sangat besar.Pembantu keluarga Adiputra sangat tahu apa yang gadis ini alami di rumah ini—mendapat rundungan dan kebencian dari kedua istri pertama dan ketiga Tuan Adiputra pasti sangat berat. Ditambah lagi dengan calon suaminya Aksa, , yang selalu bersikap dingin, padahal beberapa hari lagi acara pernikahan akan berlangsung."Mbak Siran,"Panggilan seseorang membuat Siran menoleh mencari pemilik suara. Abimayu, lelaki seumurannya itu, menghampirinya dengan tersenyum.Inah yang mendapati tuan mudanya mendekat, memilih pergi ke dapur—takut mengganggu."Aku disuruh Ayah nganter Mbak ke butik langganan jam empat sore buat fitting baju pengantin

  • Istri yang Terabaikan   Paksaan Menikah

    Tubuh Siran menggigil, demamnya semakin parah. Namun, rasa sakit di tubuhnya tidak sebanding dengan penderitaan yang sedang ia jalani.Berada di rumah megah tanpa satu pun orang yang ia kenal membuatnya ingin menangis. Ia berusaha keras menahan air mata agar tidak jatuh.Sebentar lagi, ia harus mengubur mimpinya. Ia akan menikah dengan pria tua—sesuatu yang tak pernah dibayangkannya. Siran tak pernah menyangka nasibnya akan semenyedihkan ini.Namun, suka tidak suka, Siran harus berkorban. Ia baru saja mengetahui permasalahan yang sebenarnya terjadi. Ia tak sanggup membayangkan kedua orang tuanya masuk penjara, atau hidup luntang-lantung di jalanan setelah aset mereka diambil oleh Adiputra.Seburuk apa pun perlakuan Wina terhadapnya, Siran tetap menyayangi kedua orang tuanya.Ia mencoba memahami keadaan. Mungkin karena itulah ayahnya tidak menolongnya. Tapi sekeras apa pun ia mencoba mengerti, rasa sakit karena dijual dan harus menanggung kesalahan yang bukan perbuatannya tetap menggor

  • Istri yang Terabaikan   Di Jual Sebagai Pertanggungjawaban

    "Terus bagaimana ini? Kalian pikir saya tidak tahu bahwa kalian memeras cucu saya untuk membiayai hidup kalian selama ini hanya karena cucu saya mencintai putri kalian?" Suara berat dari lelaki berumur delapan puluh tahun terdengar tegas, membuat suasana terasa mencekam.Agung dan Wina terus tertunduk saat mereka dihakimi, tak berani melawan, karena siapa pun tahu, Adiputra adalah orang yang memiliki kuasa, orang yang paling kaya di daerah mereka sekaligus orang yang sangat kejam. Punya banyak perusahaan, pengusaha tambang dan kelapa sawit yang tanahnya berhektare-hektare, bahkan nama perusahaannya terkenal sampai mancanegara.Adiputra menarik senyum sinis."Bahkan hampir 8 miliar selama 7 bulan bekerja! Dengan rincian biaya yang dibuat tak masuk akal, yang sebenarnya digunakan untuk biaya membeli tas, mobil, sepatu merek terkenal, biaya jalan-jalan ke luar negeri, dan biaya foya-foya. Kalian pikir saya tidak tahu?" kata Adiputra lagi sambil menyerahkan kertas catatan berisi hasil t

  • Istri yang Terabaikan   Permata yang Terabaikan

    "Kenapa bukan kamu aja yang mati!”Teriaknya semakin kencang, tidak peduli dengan para pelayat yang menatap iba pada seorang gadis yang sedari tadi terduduk diam dengan tangis tanpa suara. Siran duduk membisu. Ibunya menyalahkannya atas kematian kembarannya, Sinar.Ibunya mendorong bahu Siran yang diam."Ini semua gara-gara kamu! Seharusnya kamu yang mati, bukan anakku!" teriak Wina kejam. Wanita ini bahkan mendorong Siran hingga terjengkang."Mah... jangan begini. Apa kata orang yang dengar nantinya?" Agung, sang suami, masih berusaha menenangkan istrinya.Siran meringis. Luka di telapak tangannya terasa semakin perih saat tanah basah masuk ke dalam lukanya hingga kembali berdarah."Maaf, maafkan Siran.""Berhenti meminta maaf! Dasar anak sial!"Siran membeku. Bahkan ibunya sama sekali tidak khawatir dengan luka-luka di tubuhnya.Lagi-lagi, Siran hanya bisa meminta maaf. Ia tahu sang ibu sangat membencinya sedari dulu. Bagai permata dan batu kerikil, Siran bagi ibunya hanyalah batu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status