"Apakah yang aku lakukan sudah benar?"
"Semoga saja setelah aku sampai di terminal, aku mendapatkan bis langsung ke terminal." pikir Naira.
Naira berlari melewati gerbang tinggi rumah Rendra. Tidak peduli hari sudah sore, kondisi alam pun sedang tidak baik. Perjalanan menuju kampung Naira pun cukup jauh. 2 jam perjalanan ketika kondisi jalanan lancar tanpa macet dari kota ke kampung Naira.
Namun karena di tengah jalan hujan. Naira memutuskan untuk berteduh terlebih dahulu.
Hingga pukul 8 malam Naira baru sampai. Namun, bukan sambutan hangat yang ia dapatkan. Naira malah di usir oleh ibunya untuk kembali ke rumah Rendra.
"Kembali ke rumah suamimu!" titah ibu Naira dengan tegas.
Namun, Naira menggelengkan kepalanya. menolak apa yang ibunya perintahkan. Naira tidak ingin kembali pada suaminya. "Ibu. Aku sudah bilang, dia itu pria jahat Bu, tidak punya perasaan. Dia akan meninggalkan aku setelah aku melahirkan anaknya." Naira mohon izinkan Naira masuk." Dengan kondisi yang lelah dan juga kedinginan Naira memohon kepada Ratih untuk masuk ke dalam rumah.
"Naira!" sentaknya kesal.
"Kamu itu sekolah tinggi-tinggi. Tidak baik bersikap kabur-kaburan seperti ini. Banyak yang menikah lebih muda dari kamu. Tapi mereka gak ada drama yang namanya kabur setelah sehari menikah. Tidak ada, Naira." Ratih marah pada Naira atas sikapnya yang seperti anak-anak.
Naira menangis mendengar ucapan Ibunya. Niatnya pulang. Ia ingin ibunya membelanya. Bukan dimarahi.
"Ibu."
"Sudah! Naira." Sentak Ratih. "Jangan bersikap seperti anak kecil. Besok, kami akan mengantar kamu kembali ke rumah suamimu."
Naira menggelengkan kepalanya. Dia menolak.
"Naira gak mau, Bu. Naira gak mau," Isak tangis Naira. Ia memegang tangan ibunya sambil berlutut. Memohon pada ibunya agar tidak mengembalikan dirinya ke rumah suaminya.
"Jangan mempermalukan, Ayah. Naira," tiba-tiba saja Ayah Naira datang. Pak Rahmat berdiri di depan pintu.
"Lihatlah Pak, anakmu ini. Dia membangkang sekali. Dia kabur dari rumah suaminya yang kaya itu."
Naira menangis mendengar ucapan ibunya.
"Kenapa, Bapak sama Ibu tidak percaya padaku," isak tangis Naira.
"Jangan banyak alasan. Sekarang, kamu masuk ke dalam. Bikin malu aja," ucap ibu Naira dengan terpaksa.
Naira masuk ke dalam kamarnya. Ia menangis, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Haruskah ia kabur dari rumah malam ini juga. Dia tidak mau jika harus kembali ke rumah suaminya yang jahat itu.
Namun, belum sempat Naira menjalankan rencana itu. Suami Naira menjemput pagi-pagi sekali tanpa harus orang tuanya yang mengantarkan.
"Kami minta maaf atas kelakuan Naira," ujar ibu Naira.
"Tidak apa, Bu. Saya mengerti. Naira itu masih labil, usianya masih tergolong muda. Jadi wajar kalau ada salah paham sedikit dia ingin pulang. "
Sikap Rendra begitu baik di depan orang tua Naira. Sampai mereka tidak percaya apa yang dikatakan oleh Naira.
"Ibu," panggil Naira pelan.
"Ya sudah kalau begitu, Bu. Kami pamit pulang dulu. Insyaallah. Kami akan datang lagi kemari dengan membawa kabar baik."
"Aamiin," ucap Bu Ratih dan juga pak Rahmat. Mereka mengantarkan Rendra dan juga Naira sampai dengan. Keduanya begitu bangga memiliki menantu seperti Rendra, baik, ramah, sopan dan tidak marah atas apa yang dilakukan Naira.
"Ya ampun, suami Naira itu udah baik ganteng mapan pula. Kenapa juga Naira mengatakan suaminya jahat. Mau cari suami yang kaya gimana lagi coba," gumam Ratih sambil melihat mobil Rendra yang membawa Naira semakin jauh dari kampung.
Sedangkan Naira, ia begitu ketakutan ketika bertemu dengan Rendra. Bahkan pada saat dirinya di jemput. Naira beberapa kali melihat kedua orangtuanya, berharap mereka percaya kepadanya. Namun sayang. Mereka lebih percaya apa yang diperlihatkan Rendra saat ini.
Di dalam mobil pun. Naira ia tidak berani dekat Rendra, saking takutnya. Naira sampai merapatkan tubuhnya pada pintu mobil.
Rendra yang melihat itu tidak peduli. Ia memiliki rencana sendiri untuk menghukum istrinya yang berani kabur pada saat hari pertama pernikahan mereka.
"Keluar!" Titah Rendra. Menatap Naira dengan wajah datar. Suaranya dingin tak bernada.
Naira pun tidak berani menatap suaminya, dengan pandangan yang menunduk ke bawah. Naira secara perlahan turun dari mobil dengan perasaan cemas. Bahkan tangannya saat ini terasa dingin.
"Ikut aku!" tanpa melirik Naira. Rendra berjalan ke arah paviliun di belakang rumah, dimana Naira akan tinggal di sana selama menjadi istrinya.
Naira dengan langkah pelan. Mengikuti suaminya.
"Lama sekali!" ucap Rendra dengan sinis.
"Apa perkataanku semalam kurang jelas!" hardik Rendra. Membuat Naira terkejut.
"Wanita kampungan dan bodoh seperti dirimu, seperti apa aku harus menjelaskannya." Rendra mencengkram tangan Naira.
"Lepasss, Mas," pinta Naira. meringis kesakitan.
"Kenapa sejak tadi diam saja. Hah!" bentak Rendra.
"Aku tidak ingin hamil anakmu," jawab Naira berani.
"Wow, kalau begitu baiklah. Aku akan melepaskanmu. Tapi sebelum itu harus membayar uang seratus juta yang telah aku keluarkan untuk menikahimu. Apa kau sanggup!" kata Rendra dengan tegas.
Naira yang mendengar uang sebanyak itu seketika hatinya merasa sesak. Pikiran buruk pun menyerang pikirannya.
"Apa iya, Bapak dan Ibu menjual ku dengan uang seratus juta," pikir Naira.
"Kenapa diam? Tidak sanggup." Rendra tersenyum sinis.
"Kata siapa aku tidak sanggup. Aku sanggup. Tapi ceraikan aku dulu. Maka aku akan menggantinya."
"Aku akan bekerja dan mencicil semuanya. Aku bukan wanita bodoh dan lemah yang bisa ditindas."
"Cicil? Kau pikir aku melamarmu dicicil? Aku mau uang cash!" Kata Rendra dengan tegas.
Rendra yakin. Jika Naira tidak bisa membayar semuanya.
"Baik, aku akan meminta orang tuaku untuk mengembalikannya. Aku yakin kedua orangtuaku belum memakai uang itu," ucap Naira yakin.
Hal itu membuat Rendra mengepalkan tangannya erat.
Naira langsung saja membuka ponselnya dan menghubungi orangtuanya.
"Assalamu'alaikum."
"Ada apa, Naira. Jangan bilang kalau kamu mau bilang kalau suami kamu itu jahat dan lainnya. Kalau iya. Kami gak mau dengar."
"Enggak, Bu. Mas Rendra mau menceraikan aku. Tapi dia mau uang itu kembali."
"Apa!" Teriak Ibu Naira di sebrang telpon.
"Kamu berbuat apa sampai suami kamu mau menceraikan kamu, Naira!" marah ibu Naira.
"Naira tidak melakukan apapun, Bu. Tapi itu kemauan Mas Rendra sendiri yang ingin menceraikan Naira."
"Jangan bohong kamu. Naira. Mau ditaruh di mana wajah Ibu sama Bapak kalau kamu diceraikan setelah sehari pernikahan. Cepat bujuk suami kamu untuk tidak menceraikan kamu. Lagipula uang itu sudah ibu pakai beli sawah sama kebun."
"Tapi uangnya masih ada sisanya kan, Bu?" tanya Naira menggigit bibirnya. Hatinya sedih ketika ibunya bilang jika uangnya sudah dipakai untuk membeli sawah dan lebih menyakitkannya. Ibunya mengatakan jika sisa uangnya sudah dibelikan motor untuk Kakak laki-lakinya.
"Uangnya sudah ibu belikan motor."
Tubuh Naira lemas seketika mendengar ucapan ibunya.
"Kenapa, Bu. Kenapa Ibu lakuin itu," ucap Naira dengan suara serak menahan tangis.
"Sudahlah, jangan banyak menangis, Naira. Lebih baik kamu bujuk suami kamu untuk tidak bercerai. Jangan hubungi Ibu kalau itu adalah kabar buruk."
Panggilan pun terputus. Naira yang melihat itu hanya bisa menatap ponselnya dengan nanar. Kenapa? Kenapa ibunya bisa melakukan hal itu kepada dirinya.
"Sudah, cepat kembalikan uangnnya."
Naira hanya bisa menundukkan kepalanya dan menangis mendengar ucapan Rendra.
"Tidak bisakan? Kau memang wanita yang sangat merepotkan. Kau tau, gara-gara dirimu aku harus membatalkan perjalanan bisnisku hanya gara-gara wanita tidak berguna seperti dirimu."
Naira diam. Tidak menanggapi ucapan Rendra, yang dilakukannya hanya mengusap air matanya yang terus saja menetes. Kenapa? tidak ada yang peduli dan mengerti perasaan dirinya termasuk ibunya sendiri.
Meskipun dia tahu, kalau wanita yang sudah menikah itu bukan lagi tanggung jawab kedua orangtuanya tapi tidak bisakah mereka tetap menjadi sandarannya. Apa pantas seorang wanita diperlukan seperti ini di hari pertama pernikahannya.
Kemana dia harus mengadu ketika sedih dan terluka selain pundak ibu dan suaminya.
"Jadilah wanita yang baik dan penurut, aku memberikanmu satu kali kesempatan."
Rendra meninggalkan Naira di kamarnya sendirian. Ia akan pergi ke rumah utama untuk menemui keluarga intinya.
"Bibi jaga Naira, ingat jangan sampai dia bertemu dengan keluarga anggota yang lain. Dan jangan sampai dia menginjak rumah utama."
"Baik, Tuan."
Setelah mengatakan itu, Rendra pun meninggalkan Naira di kamarnya sendirian.
Sedangkan Naira dia tidak peduli. Kemana Rendra akan pergi. Dia masih sedih atas sikap orang tuanya yang lebih percaya pada Rendra dari pada dirinya. Akan tetapi, Naira tidak akan menyerah. Dia akan membuktikan kepada orang tuanya, kalau Rendra bukalah pria yang tepat untuknya.
Sementara Rendra saat ini. Menatap seluruh keluarganya dengan wajah tak berekspresi.
"Ada apa kalian memanggilku?"
"Darimana kamu Mas? ? Kenapa semalam gak pulang?" cerca Bianca pada saat Rendra baru pulang. "Dari apartemen Naira." Rendra mengatakan itu dengan tanpa rasa bersalah. "Wow! Gampang banget ya jawaban kamu. Dari apartemen Naira." "Kamu itu punya otak gak sih, Mas. Sudah tahu Naira itu bersalah karena sudah mencoba mencelakai Keyla. Tapi kenapa tetap saja mempertahankan wanita itu hah!" teriak Bianca. "Ini masih pagi. Aku tidak ingin ribut, aku harus cepat-cepat pergi ke kantor." "Tidak, aku ingin kita bicara. Aku mau kita selesaikan masalah kamu sama Naira sekarang juga!" "Sudah aku katakan, pagi ini aku tidak ingin bertengkar. Lain kali kita akan membicarakan soal masalah ini." "Arghhh!" Bianca melempar vas bunga yang ada di meja. Rendra yang melihat itu hanya meliriknya sekilas dan masuk ke dalam kamar mereka lalu mengganti pakaiannya. Hari ini adalah hari terbaik menurut Rendra setelah apa yang terjadi semalam. Untuk itu Rendra tidak ingin merusak harinya dengan berten
Rendra marah ketika mendengar jika orang yang berusaha mencelakai putrinya itu tidak mau buka suara siapa orang yang sudah menyuruhnya mencelakai putrinya. Dan hal yang paling membuatnya marah adalah ternyata tujuan perawat bohongan itu adalah membunuh putrinya. "Sialan! Siapa yang berani bermain-main denganku. Apalagi sampai melibatkan anak kecil yang tidak tau apapun!" Rendra memukul meja kerja yang ada di kantornya. Setelah insiden perawatan bohongan masuk. Keesokan paginya Keyla sudah Kem pulang ke apartemen. Demi menjaga keselamatan Keyla. Rendra memutuskan untuk menjawab beberapa pengawal untuk menjaga keamanan Keyla. Bukan hanya itu saja Rendra juga memasang CCTV semakin banyak di apartemennya, bahkan di setiap sudutnya tidak luput dari pantauan kamera CCTV dan perekam suara jika seandainya memang ada orang dalam yang mencelakai putrinya. Hingga beberapa hari berlalu kasus perencanaan pembunuhan Keyla tidak berhasil dipecahkan. Sore harinya setelah Rendra pulang dari kantor
Bianca melihat ponselnya. Ada beberapa panggilan tidak terjawab dan pesan yang belum ia baca dari Rendra. "Pasti Rendra menyuruhku ke rumah sakit untuk menjaga Keyla," dengus Bianca kesal. "Semuanya, gue balik dulu." "Udah sono balik, urus anak lo." "Baru juga mau bersenang-senang ada aja gangguannya." "Itu adalah resiko yang harus ditanggung bagi wanita yang sudah menikah dan memiliki anak." "Hah!" Bianca menghembuskan nafasnya kasar. Jujur saja Bianca mulai lelah dengan keadaan ini, dimana ya dimadu oleh suaminya dan mengharuskan mengasuh anak dari madunya itu. Wanita mana yang tahan dengan posisinya sekarang. Kalau bukan harta warisan yang akan dimilikinya nanti. Bianca ogah mengasuh Keyla dan membiarkan suaminya berlama-lama dengan Naira. "Sebaiknya aku cepat pergi ke rumah sakit kalau tidak ingin mendengar kemarahan Rendra," ucap Bianca dalam hati. Hingga tidak lama kemudian Bianca sudah sampai di rumah sakit dan menemukan wajah suaminya yang sudah dipenuhi oleh emosi.
Naira beberapa kali mengusap air matanya yang jatuh membasahi pipinya. Naira tidak bisa menahan kesedihannya kala mengingat kondisi putrinya saat ini. Rasanya Naira ingin melihat Keyla di rumah sakit. Akan tetapi Rendra tidak memperbolehkan dirinya keluar dari apartemen. "Keyla, maaf kan Mama karena gak bisa jaga Keyla. Keyla harus tau Mama ingin sekali bersama dengan kamu. Tapi Papa tidak mengizinkan Mama keluar," Isak tangis Naira. "Kamu harus kuat, buat anak kamu Keyla. Kamu gak boleh sedih, kamu harus kuat." Naira mencoba memberikan semangat untuk dirinya sendiri. "Keyla…." panggil Naira lirih. Di rumah sakit saat ini, Raffi dan Laras tengah menjenguk Keyla. Raffi begitu khawatir dengan keadaan cucunya saat ini. Begitu juga dengan Laras yang saat ini pura-pura menunjukkan raut wajah khawatirnya. "Aduh Keyla cucuku. Kenapa kamu bisa seperti ini? Apakah ini semua ulah pengasuh baru itu. Memang ya orang kampung tidak tahu diri." Maki Laras. "Laras, jangan berkata kasar di depan
Sejak polisi membebaskan Naira. Sikap Rendra berubah menjadi lebih dingin dan tidak peduli pada Naira rasa kecewanya mengalahkan rasa cintanya pada Naira. Keyla adalah anak yang sudah lama dia nantikan, tapi dengan seenaknya. Naira mencoba membunuh anaknya. Rendra tidak terima akan hal itu. "Mas…" Panggil Naira. Ia ingin mencoba menjelaskan pada Rendra bahwa dirinya sama sekali tidak meracuni anaknya. Akan tetapi sangat sulit membuat Rendra percaya. Entah apa yang harus di lakukan Naira. Hingga tidak terasa akhirnya mereka sampai di apartemen mereka. Rendra langsung saja masuk ke dalam apartemen dan berjalan menuju kamar Naira. Tanpa mengatakan apapun, Rendra mengeluarkan seluruh barang-barang milik Naira dengan kasar. "Mas….," panggil Naira. Naira tidak tau kenapa semua barang-barangnya dikeluarkan oleh suaminya itu. "Mulai saat ini, kamu pergi dari apartemen ini!" usir Rendra. "Tapi, Mas. Aku ingin dekat dengan Keyla." Naira menggelengkan kepalanya. Dia tidak mau keluar dari
Rendra dan Bianca keduanya sudah sampai di rumah sakit untuk melihat keadaan Keyla yang ternyata sudah sadar. "Bunda, Ayah!" panggil Keyla. Ia membuka tangannya lebar meminta untuk dipeluk. Tentu Renda yang melihat kode itu pun memeluk Keyla dengan erat. Dia begitu bahagia melihat anaknya baik-baik saja dan bisa tersenyum ceria. "Anak Ayah bagaimana kabarnya? Apakah ada yang sakit?" tanya Rendra dengan nada lembut. Tidur lupa ia sesekali mengecup harum rambut anaknya. "Aku baik, Ayah. Tapi Mbak Naira mana? Kenapa gak ada datang untuk jenguk Keyla?" tanya Keyla. Rendra yang mendengar pertanyaan anaknya tentang Naira seketika ia mengetatkan rahangnya. Kenapa Keyla harus bertanya tentang Naira. "Sayang, Mbak Naira lagi sibuk, gak bisa ke sini." "Yah, padahalkan Keyla mau bertemu dengan Mbak Naira. Keyla rindu, Keyla ingin makan merasakannya Mbak Naira." "Stop Keyla, mulai saat ini kamu tidak boleh makan makanan yang di buat oleh Mbak Naira. Kamu paham." "Tapi kenapa Ayah? Bukanka