Share

Bab 2. Kembali

"Apakah yang aku lakukan sudah benar?" 

"Semoga saja setelah aku sampai di terminal, aku mendapatkan bis langsung ke terminal." pikir Naira.

Naira berlari melewati gerbang tinggi rumah Rendra. Tidak peduli hari sudah sore, kondisi alam pun sedang tidak baik. Perjalanan menuju kampung Naira pun cukup jauh. 2 jam perjalanan ketika kondisi jalanan lancar tanpa macet dari kota ke kampung Naira. 

Namun karena di tengah jalan hujan. Naira memutuskan untuk berteduh  terlebih dahulu.

Hingga pukul 8 malam Naira baru sampai. Namun, bukan sambutan hangat yang ia dapatkan. Naira malah di usir oleh ibunya untuk kembali ke rumah Rendra.

"Kembali ke rumah suamimu!" titah ibu Naira dengan tegas.

Namun, Naira menggelengkan kepalanya. menolak apa yang ibunya perintahkan. Naira tidak ingin kembali pada suaminya. "Ibu. Aku sudah bilang, dia itu pria jahat Bu, tidak punya perasaan. Dia akan meninggalkan aku setelah aku melahirkan anaknya." Naira mohon izinkan Naira masuk." Dengan kondisi yang lelah dan juga kedinginan Naira memohon kepada Ratih untuk masuk ke dalam rumah.

"Naira!" sentaknya kesal. 

"Kamu itu sekolah tinggi-tinggi. Tidak baik bersikap kabur-kaburan seperti ini. Banyak yang menikah lebih muda dari kamu. Tapi mereka gak ada drama yang namanya kabur setelah sehari menikah. Tidak ada, Naira." Ratih marah pada Naira atas sikapnya yang seperti anak-anak.

Naira menangis mendengar ucapan Ibunya. Niatnya pulang. Ia ingin ibunya membelanya. Bukan dimarahi.

"Ibu."

"Sudah! Naira." Sentak Ratih. "Jangan bersikap seperti anak kecil. Besok, kami akan mengantar kamu kembali ke rumah suamimu." 

Naira menggelengkan kepalanya. Dia menolak.

"Naira gak mau, Bu. Naira gak mau," Isak tangis Naira. Ia memegang tangan ibunya sambil berlutut. Memohon pada ibunya agar tidak mengembalikan dirinya ke rumah suaminya.

"Jangan mempermalukan, Ayah. Naira," tiba-tiba saja Ayah Naira datang. Pak Rahmat berdiri di depan pintu.

"Lihatlah Pak, anakmu ini. Dia membangkang sekali. Dia kabur dari rumah suaminya yang kaya itu."

Naira menangis mendengar ucapan ibunya. 

"Kenapa, Bapak sama Ibu tidak percaya padaku," isak tangis Naira.

"Jangan banyak alasan. Sekarang, kamu masuk ke dalam. Bikin malu aja," ucap ibu Naira dengan terpaksa.

Naira masuk ke dalam kamarnya. Ia menangis, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Haruskah ia kabur dari rumah malam ini juga. Dia tidak mau jika harus kembali ke rumah suaminya yang jahat itu.

Namun, belum sempat Naira menjalankan rencana itu. Suami Naira menjemput pagi-pagi sekali tanpa harus orang tuanya yang mengantarkan.

"Kami minta maaf atas kelakuan Naira," ujar ibu Naira.

"Tidak apa, Bu. Saya mengerti. Naira itu masih labil, usianya masih tergolong muda. Jadi wajar kalau ada salah paham sedikit dia ingin pulang. " 

Sikap Rendra begitu baik di depan orang tua Naira. Sampai mereka tidak percaya apa yang dikatakan oleh Naira.

"Ibu," panggil Naira pelan.

"Ya sudah kalau begitu, Bu. Kami pamit pulang dulu. Insyaallah. Kami akan datang lagi kemari dengan membawa kabar baik."

"Aamiin," ucap Bu Ratih dan juga pak Rahmat. Mereka mengantarkan Rendra dan juga Naira sampai dengan. Keduanya begitu bangga memiliki menantu seperti Rendra, baik, ramah, sopan dan tidak marah atas apa yang dilakukan Naira.

"Ya ampun, suami Naira itu udah baik ganteng mapan pula. Kenapa juga Naira mengatakan suaminya jahat. Mau cari suami yang kaya gimana lagi coba," gumam Ratih sambil melihat mobil Rendra yang membawa Naira semakin jauh dari kampung.

Sedangkan Naira, ia begitu ketakutan ketika bertemu dengan Rendra. Bahkan pada saat dirinya di jemput. Naira beberapa kali melihat kedua orangtuanya, berharap mereka percaya kepadanya. Namun sayang. Mereka lebih percaya apa yang diperlihatkan Rendra saat ini.

Di dalam mobil pun. Naira ia tidak berani dekat Rendra, saking takutnya. Naira sampai merapatkan tubuhnya pada pintu mobil.

Rendra yang melihat itu tidak peduli. Ia memiliki rencana sendiri untuk menghukum istrinya yang berani kabur pada saat hari pertama pernikahan mereka.

"Keluar!" Titah Rendra. Menatap Naira dengan wajah datar. Suaranya dingin tak bernada.

Naira pun tidak berani menatap suaminya, dengan pandangan yang menunduk ke bawah. Naira secara perlahan turun dari mobil dengan perasaan cemas. Bahkan tangannya saat ini terasa dingin.

"Ikut aku!" tanpa melirik Naira. Rendra berjalan ke arah paviliun di belakang rumah, dimana Naira akan tinggal di sana selama menjadi istrinya. 

Naira  dengan langkah pelan. Mengikuti suaminya.

"Lama sekali!" ucap Rendra dengan sinis.

"Apa perkataanku semalam kurang jelas!" hardik Rendra. Membuat Naira terkejut.

"Wanita kampungan dan bodoh seperti dirimu, seperti apa aku harus menjelaskannya." Rendra mencengkram tangan Naira.

"Lepasss, Mas," pinta Naira.  meringis kesakitan.

"Kenapa sejak tadi diam saja. Hah!" bentak Rendra.

"Aku tidak ingin hamil anakmu," jawab Naira berani.

"Wow, kalau begitu baiklah. Aku akan melepaskanmu. Tapi sebelum itu harus membayar uang seratus juta yang telah aku keluarkan untuk menikahimu. Apa kau sanggup!" kata Rendra dengan tegas.

Naira yang mendengar uang sebanyak itu seketika hatinya merasa sesak. Pikiran buruk pun menyerang pikirannya.

"Apa iya, Bapak dan Ibu menjual ku dengan uang seratus juta," pikir Naira.

"Kenapa diam? Tidak sanggup." Rendra tersenyum sinis.

"Kata siapa aku tidak sanggup. Aku sanggup. Tapi ceraikan aku dulu. Maka aku akan menggantinya."

"Aku akan bekerja dan mencicil semuanya. Aku bukan wanita bodoh dan lemah yang bisa ditindas."

"Cicil? Kau pikir aku melamarmu dicicil? Aku mau uang cash!" Kata Rendra dengan tegas.

Rendra yakin. Jika Naira tidak bisa membayar semuanya.

"Baik, aku akan meminta orang tuaku untuk mengembalikannya. Aku yakin kedua orangtuaku belum memakai uang itu," ucap Naira yakin.

Hal itu membuat Rendra mengepalkan tangannya erat. 

Naira langsung saja membuka ponselnya dan menghubungi orangtuanya.

"Assalamu'alaikum."

"Ada apa, Naira. Jangan bilang kalau kamu mau bilang kalau suami kamu itu jahat dan lainnya. Kalau iya. Kami gak mau dengar."

"Enggak, Bu. Mas Rendra mau menceraikan aku. Tapi dia mau uang itu kembali."

"Apa!" Teriak Ibu Naira di sebrang telpon.

"Kamu berbuat apa sampai suami kamu mau menceraikan kamu, Naira!" marah ibu Naira.

"Naira tidak melakukan apapun, Bu. Tapi itu kemauan Mas Rendra sendiri yang ingin menceraikan Naira."

"Jangan bohong kamu. Naira. Mau ditaruh di mana wajah Ibu sama  Bapak kalau kamu diceraikan setelah sehari pernikahan. Cepat bujuk suami kamu untuk tidak menceraikan kamu. Lagipula uang itu sudah ibu pakai beli sawah sama kebun."

"Tapi uangnya masih ada sisanya kan, Bu?" tanya Naira menggigit bibirnya. Hatinya sedih ketika ibunya bilang jika uangnya sudah dipakai untuk membeli sawah dan lebih menyakitkannya. Ibunya mengatakan jika sisa uangnya sudah dibelikan motor untuk Kakak laki-lakinya.

"Uangnya sudah ibu belikan motor."

Tubuh Naira lemas seketika mendengar ucapan ibunya. 

"Kenapa, Bu. Kenapa Ibu lakuin itu," ucap Naira dengan suara serak menahan tangis.

"Sudahlah, jangan banyak menangis, Naira. Lebih baik kamu bujuk suami kamu untuk tidak bercerai. Jangan hubungi Ibu kalau itu adalah kabar buruk."

Panggilan pun terputus. Naira yang melihat itu hanya bisa menatap ponselnya dengan nanar. Kenapa? Kenapa ibunya bisa melakukan hal itu kepada dirinya.

"Sudah, cepat kembalikan uangnnya."

Naira hanya bisa menundukkan kepalanya dan menangis mendengar ucapan Rendra.

"Tidak bisakan? Kau memang wanita yang sangat merepotkan. Kau tau, gara-gara dirimu aku harus membatalkan perjalanan bisnisku hanya gara-gara wanita tidak berguna seperti dirimu."

Naira diam. Tidak menanggapi ucapan Rendra, yang dilakukannya hanya mengusap air matanya yang terus saja menetes. Kenapa?  tidak ada yang peduli dan mengerti perasaan dirinya termasuk ibunya sendiri.

Meskipun dia tahu, kalau wanita yang sudah menikah itu bukan lagi tanggung jawab kedua orangtuanya tapi tidak bisakah mereka tetap menjadi sandarannya. Apa pantas seorang wanita diperlukan seperti ini di hari pertama pernikahannya. 

Kemana dia harus mengadu ketika sedih dan terluka selain pundak ibu dan suaminya.

"Jadilah wanita yang baik dan penurut, aku memberikanmu satu kali kesempatan."

Rendra meninggalkan Naira di kamarnya sendirian. Ia akan pergi ke rumah utama untuk menemui keluarga intinya.

"Bibi jaga Naira, ingat jangan sampai dia bertemu dengan keluarga anggota yang lain. Dan jangan sampai dia menginjak rumah utama."

"Baik, Tuan."

Setelah mengatakan itu, Rendra pun meninggalkan Naira di kamarnya sendirian.

Sedangkan Naira dia tidak peduli. Kemana Rendra akan pergi. Dia masih sedih atas sikap orang tuanya yang lebih percaya pada Rendra dari pada dirinya. Akan tetapi, Naira tidak akan menyerah. Dia akan membuktikan kepada orang tuanya, kalau Rendra bukalah pria yang tepat untuknya.

Sementara Rendra saat ini. Menatap seluruh keluarganya dengan wajah tak berekspresi.

"Ada apa kalian memanggilku?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status