Share

Istri yang tak Berharga
Istri yang tak Berharga
Penulis: Ray

Bab 1 Dijodohkan

Penulis: Ray
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-31 10:49:15

(POV Aisyah Humaira)

"Aisyah…"

Suara ayah terdengar berat, menusuk seperti petir yang mengguncang dada. Aku masih menunduk, jemariku meremas ujung gamis hitam yang kupakai. Di ruang tamu itu, hanya ada aku, Ayah, dan Ibu. Aroma kopi pahit bercampur dengan ketegangan yang membuat udara menjadi pengap.

"Kamu sudah dewasa," lanjut ayah, suaranya tenang tapi berwibawa. "Sudah waktunya menikah. Kami sudah memilihkan calon untukmu."

Aku mendongak perlahan, jantungku berdetak begitu keras hingga seakan bisa terdengar oleh mereka berdua. Menikah? Tentu saja setiap wanita sholehah menginginkan pernikahan. Tapi hatiku serasa ditikam tajam ketika nama yang keluar dari bibir Ayah bukanlah nama yang kuharapkan.

"Fahri Zidan."

Aku tersentak. Bibirku bergetar, hampir ingin mengucap penolakan, tapi cepat-cepat ku tahan. Seumur hidupku, aku tak pernah benar-benar punya keberanian untuk berkata tidak pada orang tuaku. Aku sebisa mungkin selalu menuruti apapun keinginan orang tuaku. Tapi...

"Fahri?" bisikku, hampir tak terdengar.

Ibu mengangguk mantap. "Iya, Fahri Zidan. Anak teman lama Ayah. Ayahnya Pak Mahendra dan Ayahmu sudah berteman sangat dekat sedari dulu. Fahri dan kamu cocok untuk di sandingkan. Agar hubungan keluarga semakin dekat."

Dadaku sesak. Aku tahu siapa Fahri. Lelaki yang selama ini tak banyak orang berbicara, dingin, jarang tersenyum, dan… minim ilmu agama. Setidaknya itu yang kudengar dari beberapa teman yang mengenalnya di kampus.

Aku masih ingat bagaimana dulu aku sering memanjatkan doa, memohon agar Allah menghadirkan seorang suami yang sholeh, yang bisa membimbingku semakin dekat dengan-Nya.

Tapi sekarang, aku harus menerima seseorang yang bahkan belum tentu mampu menuntunku?

"Ayah… Ibu…" Suaraku bergetar, aku mencoba sekuat tenaga mengumpulkan keberanian.

"Bolehkan Aisyah… memilih sendiri? Aisyah ingin suami yang bisa mengajarkan agama, yang bisa menjadi imam dunia akhirat…"

Tangan Ayah menepuk meja cukup keras. Degup jantungku semakin kacau.

"Aisyah! Jangan banyak bicara. Sebagai anak, tugasmu hanya patuh. Kami tahu yang terbaik untukmu. Fahri Zidan itu lelaki baik. Tidak perlu kau bandingkan dengan imajinasimu."

Aku menggigit bibir bawahku. Air mata mulai berkumpul di pelupuk. Rasanya ingin menjerit, tapi lidahku kelu.

Ibu menambahkan, "Kalau kamu betul-betul anak sholehah, buktikan dengan taat. Jangan mempermalukan keluarga. Besok keluarga Fahri datang melamar. Kamu hanya perlu mengangguk."

Aku terdiam.

Hati kecilku ingin berkata tidak, tapi aku dibesarkan untuk selalu menjawab iya.

Hari-hari sebelum lamaran terasa bagai mimpi buruk. Aku mengunci diri di kamar, bersujud lama di atas sajadah.

"Ya Allah…" bisikku dalam doa panjang, "Aku ingin suami yang mencintai-Mu, yang membuatku semakin dekat dengan-Mu. Tapi jika jalan ini yang Kau pilih, kuatkan aku, ya Rabb… jangan biarkan aku lemah."

Aku memejamkan mata. Air mata jatuh membasahi sajadah. Tapi bagaimana mungkin aku bisa bahagia dengan lelaki yang bahkan jarang terlihat di masjid? Yang dingin tatapannya, seolah semua tak berarti apa-apa?

Hari lamaran itu akhirnya datang.

Aku duduk bersimpuh di ruang tamu, dengan balutan gamis dan jilbab berwarna krem, wajahku tertutup cadar. Tanganku bergetar saat nampan teh kuserahkan kepada keluarga Fahri. Suasana hening, hanya suara detak jam dinding yang terdengar begitu jelas.

Kemudian pandangan mataku bertemu sekilas dengan Fahri. Lelaki itu duduk di samping ayahnya. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi. Ia menunduk, seakan pertemuan ini hanyalah formalitas yang tak berarti.

Aku merasakan dada kian sesak.

Dalam hati aku berdoa, "Ya Allah, jika dia memang jodohku, lunakkan hatinya. Tapi jika tidak, lepaskan aku dari jalan ini…"

Namun, doa itu tak pernah ku ucapkan dengan suara keras. Aku hanya bisa mengulang dalam hati, sementara di hadapan semua orang aku tetap menampilkan diri sebagai anak yang penurut.

Malam setelah lamaran, aku memberanikan diri mendekati Ibu di kamar.

"Ibu…" suaraku lirih. "Aisyah takut… Aisyah merasa tidak mampu…"

Ibu menoleh sekilas. "Takut apa? Menikah itu ibadah. Bukankah kamu ingin jadi istri sholehah? Fahri sudah dipilihkan untukmu. Jangan berandai-andai, jangan banyak protes. Semua wanita butuh suami, dan kamu sudah diberi calon yang sangat cocok buatmu."

Aku tercekat. Kata-kata itu seperti tamparan keras.

"Tapi Bu… bagaimana kalau dia tidak bisa membimbing Aisyah? Bagaimana kalau dia tidak menjaga sholatnya? Bagaimana kalau dia tidak paham syar'iat? Aisyah ingin…"

"Cukup!" potong Ibu tajam. "Kamu itu anak perempuan. Jangan sok tahu. Sudah, ikut saja. Besok-besok juga kamu akan terbiasa."

"Apalagi kalau dia belum memenuhi kriteriamu, kamu bisa bantu membimbing dia."

Aku diam. Tidak ada lagi ruang untuk bicara.

Suara hatiku terkubur di bawah dinding keinginan orang tua. Bagaimana mungkin aku membimbing seseorang yang seharusnya membimbingku?

Hari pernikahan sudah semakin dekat.

Setiap malam aku menangis dalam sujud panjang. Aku membaca Al-Qur’an, memohon kekuatan. Tapi setiap kali mengingat wajah Fahri, hatiku kecut. Ia memang tampan, berwibawa, tapi matanya kosong, tidak ada sinar iman yang pernah kubayangkan, yang seharusnya ada dalam diri seorang imam.

Aku mencoba menenangkan diri. Mungkin aku salah menilai. Mungkin Allah akan membimbingku lewat pernikahan ini.

Namun, satu kalimat dari Fahri Menghantamku keras saat kami akhirnya dipertemukan dalam ta’aruf singkat.

"Aku menikah hanya karena Ayahku," ucapnya datar, tatapannya menusuk dingin. "Aku tidak punya pilihan. Jadi jangan berharap aku bisa menjadi seperti yang kamu inginkan."

Tubuhku seketika membeku. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada pisau.

Aku hanya bisa menunduk, menahan gemetar.

Dalam hati aku berteriak, Ya Allah… ini jalan-Mu?

Malam sebelum akad nikah, aku tidak bisa tidur. Suara takbir dari masjid sekitar terasa menambah sesak dadaku. Aku takut jika malam cepat berganti siang. Aku tidak ingin cepat bertemu hari esok.

Aku menulis di buku harianku.

"Besok aku resmi menjadi istri Fahri Zidan. Lelaki yang bahkan tidak menginginkan aku, sebagaimana aku juga tidak pernah menginginkan dia. Tapi aku tidak bisa melawan. Aku tidak bisa berkata tidak. Aku hanya bisa menerima, meski hatiku hancur."

Air mataku membasahi lembaran itu.

Aku menutup mata, memeluk erat mushaf kecil di dada.

"Ya Allah… bila pernikahan ini adalah jalan menuju ridha-Mu, maka kuatkan aku. Tapi jika ini hanya jalan untuk menjerumuskan aku, lepaskanlah… bahkan bila aku harus terluka."

Aku terdiam lama. Dalam hening, aku tahu… besok hidupku tidak akan pernah sama lagi.

Aku akan menikah dengan lelaki yang bahkan tidak mencintaiku, tidak menginginkanku, dan mungkin… tidak akan pernah bisa membimbingku.

Akankah pernikahan Aisyah dan Fahri tetap berjalan semestinya? ataukah ada sesuatu yang lain?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri yang tak Berharga    Bab 7 Ego dan Gengsi

    POV Fahri ZidanSetelah kejadian semalam, akhirnya Gue dipanggil Papa ke ruangannya, Gue duduk di ruang kerja Papa, memandangi peta kecil yang beliau buka di meja. Mata Papa berbinar penuh semangat, seakan-akan... “Papa sudah pesan resort di Lombok. Tempatnya indah, suasananya tenang. Pas buat kalian berdua mulai saling mengenal,” katanya dengan senyum penuh harap.Pantas saja sedari tadi Papa senyum penuh semangat, ternyata rencana bulan madu itu benar-benar bakalan terjadi.Gue mendengus, berpura-pura nggak peduli. “Pa, buat apa sih repot-repot? Gue nggak merasa butuh bulan madu.”Papa menatap gue tajam, tatapannya menusuk tapi penuh kasih. “Fahri, jangan keras kepala. Kalian baru menikah. Aisyah butuh kesempatan, kamu juga. Papa yakin kalau kalian pergi berdua, tanpa campur tangan keluarga, kamu bisa lihat sisi Aisyah yang sebenarnya.”Gue terdiam. Dalam hati, ada sesuatu yang bergerak. Iya, jujur, gue juga pengen. Gue pengen ngerasain hidup berdua aja sama Aisyah, jauh dari tata

  • Istri yang tak Berharga    Bab 6 Merasa dipermainkan

    Kamar itu terasa semakin sunyi setelah ucapan Aisyah. Ia duduk kaku di tepi ranjang, menundukkan wajah dengan air mata yang masih menggenang.Fahri menatapnya tajam. Jemarinya mengepal kuat."Apa maksudnya cewe resek ini? dia mencoba tampil menggoda beberapa waktu lalu, membuat gue hampir kehilangan kendali… dan sekarang, dia bilang dia tidak bisa jadi orang lain? Jadi, apa selama ini gue hanya di per mainin?" Batinnya enggan menerima keputusan Aisyah begitu saja.Wajah Fahri mengeras. “Aisyah… kamu ini sebenarnya mau apa, sih?” suaranya dingin.Aisyah tersentak. “Maksud Kamu?” tanyanya hati-hati.Fahri bangkit dari duduknya, berdiri di depan istrinya sambil mendengus keras. “Kamu pikir aku ini mainan, ya? Pertama kamu tampil seperti wanita… yang… seperti wanita lainnya. Sekarang... Kamu bikin aku bingung, kamu bikin aku… hampir... Seenaknya tiba-tiba kamu bilang semua itu salah, dan kamu nggak mau mengulanginya lagi?!” Kata-katanya terputus, namun nada suaranya meninggi. Aisyah terd

  • Istri yang tak Berharga    Bab 5 Aku bukan Salsa

    Malam itu Aisyah duduk di sudut kamar setelah selesai menunaikan shalat tahajud. Matanya masih basah, sujudnya terasa lebih lama dari biasanya. Ia tak sanggup segera bangkit, karena hatinya terasa berat oleh rasa bersalah. "Ya Allah… apa yang hamba lakukan? Apa pantas hamba mengubah diri hanya demi seorang suami yang bahkan tak pernah menginginkan kehadiran hamba?" Air matanya menetes, membasahi sajadah. Ia teringat malam ketika ia memberanikan diri berpakaian lebih terbuka di hadapan Fahri. Ia yang sejak kecil dididik menjadi gadis sopan, pemalu, dan menjaga diri, tiba-tiba mengkhianati semua itu. Bukan karena ia ingin, tapi karena rasa cinta yang diam-diam tumbuh pada suaminya. Meskipun Fahri tidak menerimanya, tapi Ia berusaha selalu membuka hati dan berusaha mencintai pria yang telah sah menjadi suaminya itu. Aisyah menutup wajah dengan kedua tangannya. “Astaghfirullah… Astaghfirullah... Astaghfirullah” bisiknya lirih.Hari-hari di rumah itu begitu sulit baginya. Namun ia

  • Istri yang tak Berharga    Bab 4 Terjebak Pesona Aisyah

    Pagi itu, ruang makan keluarga Mahendra terasa ramai. Maryam duduk di kursi utama, Aluna di sampingnya, sementara Fahri hanya fokus pada ponselnya. Aisyah duduk dengan tenang, di samping Fahri. Ia mencoba menuangkan air minum untuk semua, tanpa banyak bicara. Namun obrolan yang tercetus membuat hatinya bergetar. “Ma, ingat nggak dulu waktu Kak Fahri sama Mbak Salsabila Hana?” tanya Aluna dengan suara penuh semangat. “Cantik banget ya, Ma. Badannya… ya ampun, seksi terjaga. Siapa sih yang nggak bakal jatuh cinta.” Maryam terkekeh tipis. “Iya, Mama juga masih ingat. Wajahnya modern, modis, pinter bawa diri. Mama kira dulu Kakak mu itu bakalan nikah sama dia.” Aluma mengangguk cepat, matanya melirik sekilas ke arah Aisyah. “Sayang banget ya, Ma, harus putus. Padahal Kak Salsabila itu tipe cewek yang cocok buat Kak Fahri. Nggak kaku, nggak ketinggalan zaman.” Aisyah yang sedang menunduk hanya bisa mendengar setiap kata menusuk jantungnya. Tangannya sedikit gemetar saat menuangka

  • Istri yang tak Berharga    Bab 3 pindah rumah

    Malam kini sudah sangat larut, aku memberanikan diri lagi. Aku duduk di meja makan, menunggu kepulangannya dengan hidangan sederhana yang kususun sepenuh hati. Saat ia pulang, aku menyapanya. "Fahri, aku sudah siapkan makan malam." Ia menatap hidangan itu sebentar, lalu berkata dingin, "Aku sudah makan di luar." Aku tercekat. "Tapi… aku sudah menyiapkannya sejak sore." Fahri menghela napas panjang, seakan kesal dengan keberadaanku. "Kenapa repot-repot? Aku tidak butuh kau layani. Aku bisa hidup sendiri. Urus saja dirimu sendiri." Aku menunduk. Air mataku jatuh ke piring yang masih utuh. Malam itu, aku kembali berdoa. "Ya Allah, aku tahu jodoh adalah takdir-Mu. Aku tahu Engkau tidak pernah salah memilihkan jalan untuk hamba-Mu. Tapi hati ini sakit, Rabb… Hatiku remuk, tubuhku lelah. Aku ingin kuat, tapi aku merasa hancur. Jika memang jalan ini adalah ujian, kuatkan aku. Tapi jika aku memang tidak berharga di matanya, jangan biarkan aku merasa tidak berharga juga di mata-M

  • Istri yang tak Berharga    Bab 2 Pernikahan yang tak diinginkan

    Ballroom hotel itu dipenuhi cahaya lampu kristal yang memantul ke meja akad nikah yang dihias sederhana namun elegan. Warna putih dan emas mendominasi ruangan, bunga mawar segar berjajar di sepanjang meja, sementara kamera dari tim dokumentasi bersiap mengabadikan momen sakral. Para tamu duduk rapi di kursi, menanti detik-detik ijab kabul. Suasana hening, hanya terdengar lantunan ayat suci yang baru saja selesai dibacakan. Penghulu duduk di posisi tengah, diapit oleh dua saksi resmi. Di hadapannya, Arya Suseno, ayah mempelai perempuan, duduk berhadapan dengan Fahri Zidan, sang calon mempelai pria. Fahri mengenakan jas putih modern dipadukan peci dengan warna senada, wajahnya tenang namun dingin. Penghulu membuka prosesi dengan khutbah nikah singkat, lalu memberi isyarat kepada ayah mempelai. Dengan suara mantap, Arya Suseno mengucapkan kalimat ijab. "Saya, Arya Suseno bin Prasetyo, menikahkan engkau, Fahri Zidan dengan putri kandung saya, Aisyah Humaira, dengan mas kawin beru

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status