Ballroom hotel itu dipenuhi cahaya lampu kristal yang memantul ke meja akad nikah yang dihias sederhana namun elegan. Warna putih dan emas mendominasi ruangan, bunga mawar segar berjajar di sepanjang meja, sementara kamera dari tim dokumentasi bersiap mengabadikan momen sakral.
Para tamu duduk rapi di kursi, menanti detik-detik ijab kabul. Suasana hening, hanya terdengar lantunan ayat suci yang baru saja selesai dibacakan. Penghulu duduk di posisi tengah, diapit oleh dua saksi resmi. Di hadapannya, Arya Suseno, ayah mempelai perempuan, duduk berhadapan dengan Fahri Zidan, sang calon mempelai pria. Fahri mengenakan jas putih modern dipadukan peci dengan warna senada, wajahnya tenang namun dingin. Penghulu membuka prosesi dengan khutbah nikah singkat, lalu memberi isyarat kepada ayah mempelai. Dengan suara mantap, Arya Suseno mengucapkan kalimat ijab. "Saya, Arya Suseno bin Prasetyo, menikahkan engkau, Fahri Zidan dengan putri kandung saya, Aisyah Humaira, dengan mas kawin berupa tiga puluh lima gram emas dibayar tunai!." Ruangan menjadi lebih hening lagi. Semua mata kini tertuju kepada Fahri. Dengan suara tegas, jelas, dan hanya dengan sekali tarikan nafas, Fahri menjawab kabul. "Saya terima nikahnya Aisyah Humaira binti Arya Suseno anak kandung bapak dengan mas kawin berupa emas tiga puluh lima gram dibayar tunai." Sesaat sunyi, lalu kedua saksi menegaskan serempak. “Sah.” Disusul gema suara saksi lain. “Sah.” Hadirin pun mengucap “Alhamdulillah” dengan serentak, beberapa menepuk tangan pelan. Suasana haru menyelimuti ruangan. MC acara mengambil alih dengan suara lantang dari pengeras suara: "Alhamdulillah telah sah menjadi pasangan suami istri, Fahri Zidan dan Aisyah Humaira. Mari kita doakan semoga pernikahan mereka menjadi sakinah, mawaddah wa rahmah." Di balik tirai, Aisyah menunduk, air matanya jatuh perlahan. Sementara Fahri tetap duduk dengan wajah datar, hanya menghela napas panjang, seolah menyelesaikan sebuah kewajiban, bukan meraih sebuah kebahagiaan. Sorak doa dan senyum tamu undangan menutup prosesi, namun ada nuansa berbeda di antara kedua mempelai, satu penuh pasrah, satu penuh dingin. POV Aisyah Hari ini… seharunya menjadi hari yang disebut-sebut sebagai hari paling bahagia bagi seorang wanita. Tapi bagiku, hari ini terasa seperti jeruji besi yang menutup semua pintu kebebasan. Aku duduk bersimpuh di pelaminan, senyum terpaksa menghiasi bibirku meskipun wajahku tertutup cadar putih, sementara di dalam dada, hanya ada sesak yang tiada henti. Tamu-tamu berdatangan, memberi selamat, menyalami, mengucapkan doa. Semua orang tersenyum, kecuali aku, dan... kecuali Fahri, pria yang saat ini telah sah menjadi suamiku. Ya, lelaki itu duduk di sampingku, dengan wajah dingin dan datar, seakan acara sakral ini hanyalah pementasan murahan. Tangannya hanya menangkup seperlunya ketika bersalaman, bibirnya nyaris tak pernah bergerak mengucap kata ramah. Aku bisa merasakan… bahkan sebelum perjalanan rumah tangga ini dimulai, hati kami sudah terpisah begitu jauh. Malam pertama setelah resepsi. Aku duduk di ujung ranjang, menunduk, meremas ujung jilbab panjang yang sengaja masih kupakai. Jantungku berdegup kencang, bukan karena malu, tapi karena takut. Takut akan apa yang akan terjadi. Fahri masuk kamar dengan langkah malas. Jas pengantinnya sudah ia tanggalkan, kini hanya mengenakan kemeja yang digulung asal di lengannya. Ia melempar pandangan sekilas ke arahku, lalu menghela napas panjang. "Jangan terlalu berharap apa-apa," katanya tiba-tiba, suaranya dingin dan berat. Wajahku terangkat dan kaget. "Maksudnya?" tanyaku lirih. Fahri bersandar di kursi, melipat tangan di dada. Pandangannya tajam menusukku, tanpa ada rasa simpati sedikit pun. "Aku menikahimu karena Papa. Bukan karena aku mau. Jadi jangan pernah berpikir aku akan mencintaimu." Tubuhku menegang. Kata-kata itu menamparku begitu keras. Aku menunduk, air mataku jatuh tanpa bisa ku tahan. "Aku…" suaraku tercekat, "aku tidak meminta cintamu. Aku hanya berharap kita bisa sama-sama belajar, saling menguatkan dalam ketaatan." Fahri tertawa sinis. "Ketaatan? Kau pikir aku menikah denganmu untuk jadi ustadz? Jangan naif, Aisyah. Kau terlalu menutup diri, terlalu fanatik dengan cadar itu. Aku muak setiap kali melihat perempuan seperti kau berjalan di hadapanku. Kaku. Dingin. Seakan kau lebih suci dari orang lain." Dadaku terasa diremas. Aku ingin membela diri, ingin berkata bahwa cadarku bukan soal kesombongan, tapi tentang ketaatan pada Allah. Tapi lidahku kelu. Bagaimana bisa aku menjelaskan sesuatu kepada lelaki yang bahkan tidak berniat mendengar? Fahri berdiri, berjalan mendekat. Tatapannya tetap dingin, penuh rasa tidak suka. "Jadi, jangan pernah berharap aku akan berubah pikiran. Aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu. Sampai kapan pun." Aku menggigit bibirku erat-erat. Air mata jatuh deras, membasahi jilbab putihku. Hari-hari berikutnya terasa seperti penjara. Aku bangun pagi, menyiapkan sarapan, mengurus rumah, berusaha menjadi istri yang baik. Tapi Fahri hampir tidak pernah peduli. Ia berangkat kerja tanpa pamit, pulang larut malam tanpa sapa. Jika aku mencoba menyapanya, ia hanya mengangguk dingin atau bahkan melewatkan ku seakan aku tak pernah ada. "Apa yang harus kulakukan, Ya Allah?" doaku dalam sujud panjang. "Aku ingin menjadi istri sholehah, tapi suamiku menolak keberadaan ku. Aku ingin dicintai, tapi aku hanyalah beban di matanya." Aku mulai merasa diriku… tidak berharga. Suatu malam, aku memberanikan diri mendekatinya. "Fahri," panggilku lirih. Ia duduk di ruang tamu, sibuk menatap layar ponsel. "Apa?" jawabnya datar, tanpa mengangkat kepala. Aku menelan ludah. "Boleh… bolehkah kita bicara sebentar?" Ia mendengus. "Tentang apa lagi? Kau mau menceramahi aku dengan dalilmu?" Hatiku sakit mendengar itu. Aku menggeleng cepat. "Tidak… aku hanya ingin kita saling mengenal. Kita suami istri. Bukankah seharusnya kita belajar memahami satu sama lain?" Fahri akhirnya mendongak. Pandangannya tajam, penuh kejengkelan. "Dengar baik-baik, Aisyah. Aku tidak butuh mengenalmu. Aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Kau bukan wanita yang aku harapkan. Sejak awal aku muak melihatmu, dengan cadar yang kau pakai, dengan sikapmu yang terlalu kaku. Aku tidak suka. Dan aku tidak akan pernah suka." Tubuhku membeku. Kata-kata itu seperti pisau yang diseret pelan ke dalam dadaku. "Kenapa…" suaraku parau, "kenapa kau berkata begitu? Bukankah aku istrimu sekarang?" "Ya," ia mengangkat bahu acuh. "Istriku, tapi bukan berarti aku mencintaimu. Jadi jangan pernah menuntut apapun dariku." Aku hampir terjatuh, kalau saja tidak cepat-cepat ku topang tubuhku dengan tangan. Air mata ku membanjir lagi. "Aku hanya ingin menjadi istri yang baik," bisikku hampir tak terdengar. Fahri menoleh dingin. "Kau bisa jadi apa saja, tapi tidak akan pernah jadi wanita yang kucintai." Malam ini aku menangis sejadi-jadinya di kamar. Aku menutup wajah dengan bantal, agar isak ku tidak terdengar olehnya. "Apa aku tidak pantas dicintai? Apa aku tidak berharga di matanya?" Aku memeluk Al-Qur’an erat-erat. Hanya kalamullah yang menenangkan hatiku. Aku membaca surah demi surah, mencari penguat, mencari jawaban. Namun, setiap kali kuingat wajah dingin Fahri kata-kata kasarnya, hatiku hancur lagi. Hari-hari berlalu. Semakin jelas, Fahri tidak berniat membuka hati. Ia pulang hanya untuk tidur, pergi tanpa pernah memberi kabar. Rumah ini serasa sangat asing bagi seorang yang dianggap tamu seperti ku. "Sampai kapan aku akan terus bertahan dengan rumah tangga seperti ini?"POV Fahri ZidanSetelah kejadian semalam, akhirnya Gue dipanggil Papa ke ruangannya, Gue duduk di ruang kerja Papa, memandangi peta kecil yang beliau buka di meja. Mata Papa berbinar penuh semangat, seakan-akan... “Papa sudah pesan resort di Lombok. Tempatnya indah, suasananya tenang. Pas buat kalian berdua mulai saling mengenal,” katanya dengan senyum penuh harap.Pantas saja sedari tadi Papa senyum penuh semangat, ternyata rencana bulan madu itu benar-benar bakalan terjadi.Gue mendengus, berpura-pura nggak peduli. “Pa, buat apa sih repot-repot? Gue nggak merasa butuh bulan madu.”Papa menatap gue tajam, tatapannya menusuk tapi penuh kasih. “Fahri, jangan keras kepala. Kalian baru menikah. Aisyah butuh kesempatan, kamu juga. Papa yakin kalau kalian pergi berdua, tanpa campur tangan keluarga, kamu bisa lihat sisi Aisyah yang sebenarnya.”Gue terdiam. Dalam hati, ada sesuatu yang bergerak. Iya, jujur, gue juga pengen. Gue pengen ngerasain hidup berdua aja sama Aisyah, jauh dari tata
Kamar itu terasa semakin sunyi setelah ucapan Aisyah. Ia duduk kaku di tepi ranjang, menundukkan wajah dengan air mata yang masih menggenang.Fahri menatapnya tajam. Jemarinya mengepal kuat."Apa maksudnya cewe resek ini? dia mencoba tampil menggoda beberapa waktu lalu, membuat gue hampir kehilangan kendali… dan sekarang, dia bilang dia tidak bisa jadi orang lain? Jadi, apa selama ini gue hanya di per mainin?" Batinnya enggan menerima keputusan Aisyah begitu saja.Wajah Fahri mengeras. “Aisyah… kamu ini sebenarnya mau apa, sih?” suaranya dingin.Aisyah tersentak. “Maksud Kamu?” tanyanya hati-hati.Fahri bangkit dari duduknya, berdiri di depan istrinya sambil mendengus keras. “Kamu pikir aku ini mainan, ya? Pertama kamu tampil seperti wanita… yang… seperti wanita lainnya. Sekarang... Kamu bikin aku bingung, kamu bikin aku… hampir... Seenaknya tiba-tiba kamu bilang semua itu salah, dan kamu nggak mau mengulanginya lagi?!” Kata-katanya terputus, namun nada suaranya meninggi. Aisyah terd
Malam itu Aisyah duduk di sudut kamar setelah selesai menunaikan shalat tahajud. Matanya masih basah, sujudnya terasa lebih lama dari biasanya. Ia tak sanggup segera bangkit, karena hatinya terasa berat oleh rasa bersalah. "Ya Allah… apa yang hamba lakukan? Apa pantas hamba mengubah diri hanya demi seorang suami yang bahkan tak pernah menginginkan kehadiran hamba?" Air matanya menetes, membasahi sajadah. Ia teringat malam ketika ia memberanikan diri berpakaian lebih terbuka di hadapan Fahri. Ia yang sejak kecil dididik menjadi gadis sopan, pemalu, dan menjaga diri, tiba-tiba mengkhianati semua itu. Bukan karena ia ingin, tapi karena rasa cinta yang diam-diam tumbuh pada suaminya. Meskipun Fahri tidak menerimanya, tapi Ia berusaha selalu membuka hati dan berusaha mencintai pria yang telah sah menjadi suaminya itu. Aisyah menutup wajah dengan kedua tangannya. “Astaghfirullah… Astaghfirullah... Astaghfirullah” bisiknya lirih.Hari-hari di rumah itu begitu sulit baginya. Namun ia
Pagi itu, ruang makan keluarga Mahendra terasa ramai. Maryam duduk di kursi utama, Aluna di sampingnya, sementara Fahri hanya fokus pada ponselnya. Aisyah duduk dengan tenang, di samping Fahri. Ia mencoba menuangkan air minum untuk semua, tanpa banyak bicara. Namun obrolan yang tercetus membuat hatinya bergetar. “Ma, ingat nggak dulu waktu Kak Fahri sama Mbak Salsabila Hana?” tanya Aluna dengan suara penuh semangat. “Cantik banget ya, Ma. Badannya… ya ampun, seksi terjaga. Siapa sih yang nggak bakal jatuh cinta.” Maryam terkekeh tipis. “Iya, Mama juga masih ingat. Wajahnya modern, modis, pinter bawa diri. Mama kira dulu Kakak mu itu bakalan nikah sama dia.” Aluma mengangguk cepat, matanya melirik sekilas ke arah Aisyah. “Sayang banget ya, Ma, harus putus. Padahal Kak Salsabila itu tipe cewek yang cocok buat Kak Fahri. Nggak kaku, nggak ketinggalan zaman.” Aisyah yang sedang menunduk hanya bisa mendengar setiap kata menusuk jantungnya. Tangannya sedikit gemetar saat menuangka
Malam kini sudah sangat larut, aku memberanikan diri lagi. Aku duduk di meja makan, menunggu kepulangannya dengan hidangan sederhana yang kususun sepenuh hati. Saat ia pulang, aku menyapanya. "Fahri, aku sudah siapkan makan malam." Ia menatap hidangan itu sebentar, lalu berkata dingin, "Aku sudah makan di luar." Aku tercekat. "Tapi… aku sudah menyiapkannya sejak sore." Fahri menghela napas panjang, seakan kesal dengan keberadaanku. "Kenapa repot-repot? Aku tidak butuh kau layani. Aku bisa hidup sendiri. Urus saja dirimu sendiri." Aku menunduk. Air mataku jatuh ke piring yang masih utuh. Malam itu, aku kembali berdoa. "Ya Allah, aku tahu jodoh adalah takdir-Mu. Aku tahu Engkau tidak pernah salah memilihkan jalan untuk hamba-Mu. Tapi hati ini sakit, Rabb… Hatiku remuk, tubuhku lelah. Aku ingin kuat, tapi aku merasa hancur. Jika memang jalan ini adalah ujian, kuatkan aku. Tapi jika aku memang tidak berharga di matanya, jangan biarkan aku merasa tidak berharga juga di mata-M
Ballroom hotel itu dipenuhi cahaya lampu kristal yang memantul ke meja akad nikah yang dihias sederhana namun elegan. Warna putih dan emas mendominasi ruangan, bunga mawar segar berjajar di sepanjang meja, sementara kamera dari tim dokumentasi bersiap mengabadikan momen sakral. Para tamu duduk rapi di kursi, menanti detik-detik ijab kabul. Suasana hening, hanya terdengar lantunan ayat suci yang baru saja selesai dibacakan. Penghulu duduk di posisi tengah, diapit oleh dua saksi resmi. Di hadapannya, Arya Suseno, ayah mempelai perempuan, duduk berhadapan dengan Fahri Zidan, sang calon mempelai pria. Fahri mengenakan jas putih modern dipadukan peci dengan warna senada, wajahnya tenang namun dingin. Penghulu membuka prosesi dengan khutbah nikah singkat, lalu memberi isyarat kepada ayah mempelai. Dengan suara mantap, Arya Suseno mengucapkan kalimat ijab. "Saya, Arya Suseno bin Prasetyo, menikahkan engkau, Fahri Zidan dengan putri kandung saya, Aisyah Humaira, dengan mas kawin beru