Kamar itu terasa semakin sunyi setelah ucapan Aisyah. Ia duduk kaku di tepi ranjang, menundukkan wajah dengan air mata yang masih menggenang.
Fahri menatapnya tajam. Jemarinya mengepal kuat. "Apa maksudnya cewe resek ini? dia mencoba tampil menggoda beberapa waktu lalu, membuat gue hampir kehilangan kendali… dan sekarang, dia bilang dia tidak bisa jadi orang lain? Jadi, apa selama ini gue hanya di per mainin?" Batinnya enggan menerima keputusan Aisyah begitu saja. Wajah Fahri mengeras. “Aisyah… kamu ini sebenarnya mau apa, sih?” suaranya dingin. Aisyah tersentak. “Maksud Kamu?” tanyanya hati-hati. Fahri bangkit dari duduknya, berdiri di depan istrinya sambil mendengus keras. “Kamu pikir aku ini mainan, ya? Pertama kamu tampil seperti wanita… yang… seperti wanita lainnya. Sekarang... Kamu bikin aku bingung, kamu bikin aku… hampir... Seenaknya tiba-tiba kamu bilang semua itu salah, dan kamu nggak mau mengulanginya lagi?!” Kata-katanya terputus, namun nada suaranya meninggi. Aisyah terdiam, tubuhnya gemetar. “Fahri… aku... aku hanya merasa itu bukan diriku. Aku salah karena mencoba jadi orang lain hanya demi mencari simpati dan perhatian kamu. Dan sekarang Aku takut berdosa karena melakukan itu...” “Jangan bawa-bawa dosa kalau kamu sendiri sudah mempermainkan perasaanku!” potong Fahri dengan suara tajam. “Kalau dari awal kamu nggak sanggup, jangan coba-coba. Jangan buat aku memperhatikanmu, lalu kamu... Ah, sudahlah! Aku males berbicara denganmu." Fahri melengos begitu saja dari hadapannya. Sangat jelas bertambah kebenciannya pada wanita yang jelas-jelas sudah menjadi istrinya itu. Air mata Aisyah jatuh, suaranya bergetar. “Aku tidak pernah berniat mempermainkan kamu, Fahri. Aku hanya ingin… dicintai, di cintai dengan tulus, dengan versi diriku sendiri, bukan saat aku menjadi orang lain.” Fahri tertawa sinis, suara tawanya penuh getir. “Dicintai? Hah! Kamu pikir cinta bisa datang dari kepura-puraan? Kamu sama saja dengan orang-orang yang munafik. Aku semakin muak, Aisyah. Benar-benar muak.” Aisyah menunduk makin dalam, tangisnya pecah tanpa bisa ia tahan. Fahri melangkah menuju pintu kamar, membuka dengan kasar hingga terdengar bunyi keras. Sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi. Tatapannya dingin, benci, dan penuh luka. “Mulai malam ini, jangan harap aku lagi bisa memandangmu seperti seorang istri. Kamu sudah menunjukkan siapa dirimu yang sebenarnya, dan aku semakin menyesal karena harus menikah denganmu.” Pintu dibanting. Suara itu menggema, meninggalkan Aisyah seorang diri di kamar yang tiba-tiba terasa begitu luas, kosong, dan dingin. Aisyah jatuh berlutut di lantai, memeluk dirinya sendiri sambil menangis terisak. "Ya Allah… apa salahku? Aku hanya ingin mencintai suamiku, aku hanya ingin menjadi istri yang baik. Kenapa akhirnya semua ini membuatku semakin dibenci? apakah salahku Ya, Allah" Ia merasa runtuh. Perjuangan dan pengorbanannya hanya membuat Fahri semakin jauh. Hatinya remuk, tapi sekaligus ia tahu… jalan pernikahan ini tidak akan pernah mudah. Sementara itu, di ruang tengah, Fahri duduk sendiri dengan wajah muram. Ia menyandarkan kepala ke sofa, menatap kosong langit-langit rumah besar keluarganya. "Kenapa gue terus saja terikat sama cewek ini? Kenapa gue tidak bisa melepaskannya, tapi juga tidak bisa menerimanya? Salsa jelas jauh lebih nyata, lebih dari apapun dibandingkan Aisyah, Salsa modis, modern, dan seksi… Aisyah cewek itu cuma seperti ninja Hatori tertutup dan tidak menarik sama sekali, mana pantas seorang Fahri bersanding dengan cewek seperti dia." Hatinya berkecamuk. Kebencian, luka, dan rasa kecewa semakin menumpuk, menutup rapat-rapat celah kecil yang tadinya sempat terbuka untuk menerima Aisyah. Fahri menyalakan sebatang rokok, hanya untuk mencari ketenangan. "Hufff" Beberapa kali sebatang rokok itu ia hisap dengan panjang dan mengeluarkan asap-asap membentuk lingkaran di udara. Ia memang sangat minim ilmu agama, berbanding terbalik dengan harapan Aisyah yang menginginkan suami sholeh dan taat. Jangankan membimbing sekedar kewajiban sholat 5 waktu saja sangat jarang ia lakukan. "Fahri, kenapa belum tidur, jam segini!" Tegur Mahendra. Suaranya berat dan juga dingin. Fahri dengan cepat mematikan rokoknya, dan beringsut tanpa sepatah katapun. Ia benci dengan ancaman papanya yang tidak akan memberikan sepeserpun warisan jika ia tidak menikah dengan Aisyah. Ia benci dengan semua yang saat ini ia lalui. "Fahri!" Suara Mahendra meninggi. Dengan langkah acuh, akhirnya Fahri terpaksa mendekat pada Papanya. "Ya, Pa, apa lagi sih, ribet banget." Matanya melirik ke seluruh ruangan, enggan menatap mata Mahendra. "Jangan seperti anak kecil kamu, ingat kamu harus bahagiakan Aisyah. Besok kalian harus pergi bulan madu!." "What!!!!!" Matanya melotot seakan ingin melompat dari tempatnya. "Bulan madu?! ogah pa, Fahri nggak mau bulan madu sama Ninja Hatori seperti itu." "Fahri, Aisyah itu wanita terbaik yang Papa pilihkan untukmu... Kau..." Belum selesai Mahendra berbicara. "Hust, ya udah Papa aja sana yang menikah sama cewek itu." Fahri pergi meninggalkan Mahendra tanpa mau ber basa basi lagi. Akankah Fahri Zidan dan Aisyah Humaira akhirnya pergi berbulan madu?POV Fahri ZidanSetelah kejadian semalam, akhirnya Gue dipanggil Papa ke ruangannya, Gue duduk di ruang kerja Papa, memandangi peta kecil yang beliau buka di meja. Mata Papa berbinar penuh semangat, seakan-akan... “Papa sudah pesan resort di Lombok. Tempatnya indah, suasananya tenang. Pas buat kalian berdua mulai saling mengenal,” katanya dengan senyum penuh harap.Pantas saja sedari tadi Papa senyum penuh semangat, ternyata rencana bulan madu itu benar-benar bakalan terjadi.Gue mendengus, berpura-pura nggak peduli. “Pa, buat apa sih repot-repot? Gue nggak merasa butuh bulan madu.”Papa menatap gue tajam, tatapannya menusuk tapi penuh kasih. “Fahri, jangan keras kepala. Kalian baru menikah. Aisyah butuh kesempatan, kamu juga. Papa yakin kalau kalian pergi berdua, tanpa campur tangan keluarga, kamu bisa lihat sisi Aisyah yang sebenarnya.”Gue terdiam. Dalam hati, ada sesuatu yang bergerak. Iya, jujur, gue juga pengen. Gue pengen ngerasain hidup berdua aja sama Aisyah, jauh dari tata
Kamar itu terasa semakin sunyi setelah ucapan Aisyah. Ia duduk kaku di tepi ranjang, menundukkan wajah dengan air mata yang masih menggenang.Fahri menatapnya tajam. Jemarinya mengepal kuat."Apa maksudnya cewe resek ini? dia mencoba tampil menggoda beberapa waktu lalu, membuat gue hampir kehilangan kendali… dan sekarang, dia bilang dia tidak bisa jadi orang lain? Jadi, apa selama ini gue hanya di per mainin?" Batinnya enggan menerima keputusan Aisyah begitu saja.Wajah Fahri mengeras. “Aisyah… kamu ini sebenarnya mau apa, sih?” suaranya dingin.Aisyah tersentak. “Maksud Kamu?” tanyanya hati-hati.Fahri bangkit dari duduknya, berdiri di depan istrinya sambil mendengus keras. “Kamu pikir aku ini mainan, ya? Pertama kamu tampil seperti wanita… yang… seperti wanita lainnya. Sekarang... Kamu bikin aku bingung, kamu bikin aku… hampir... Seenaknya tiba-tiba kamu bilang semua itu salah, dan kamu nggak mau mengulanginya lagi?!” Kata-katanya terputus, namun nada suaranya meninggi. Aisyah terd
Malam itu Aisyah duduk di sudut kamar setelah selesai menunaikan shalat tahajud. Matanya masih basah, sujudnya terasa lebih lama dari biasanya. Ia tak sanggup segera bangkit, karena hatinya terasa berat oleh rasa bersalah. "Ya Allah… apa yang hamba lakukan? Apa pantas hamba mengubah diri hanya demi seorang suami yang bahkan tak pernah menginginkan kehadiran hamba?" Air matanya menetes, membasahi sajadah. Ia teringat malam ketika ia memberanikan diri berpakaian lebih terbuka di hadapan Fahri. Ia yang sejak kecil dididik menjadi gadis sopan, pemalu, dan menjaga diri, tiba-tiba mengkhianati semua itu. Bukan karena ia ingin, tapi karena rasa cinta yang diam-diam tumbuh pada suaminya. Meskipun Fahri tidak menerimanya, tapi Ia berusaha selalu membuka hati dan berusaha mencintai pria yang telah sah menjadi suaminya itu. Aisyah menutup wajah dengan kedua tangannya. “Astaghfirullah… Astaghfirullah... Astaghfirullah” bisiknya lirih.Hari-hari di rumah itu begitu sulit baginya. Namun ia
Pagi itu, ruang makan keluarga Mahendra terasa ramai. Maryam duduk di kursi utama, Aluna di sampingnya, sementara Fahri hanya fokus pada ponselnya. Aisyah duduk dengan tenang, di samping Fahri. Ia mencoba menuangkan air minum untuk semua, tanpa banyak bicara. Namun obrolan yang tercetus membuat hatinya bergetar. “Ma, ingat nggak dulu waktu Kak Fahri sama Mbak Salsabila Hana?” tanya Aluna dengan suara penuh semangat. “Cantik banget ya, Ma. Badannya… ya ampun, seksi terjaga. Siapa sih yang nggak bakal jatuh cinta.” Maryam terkekeh tipis. “Iya, Mama juga masih ingat. Wajahnya modern, modis, pinter bawa diri. Mama kira dulu Kakak mu itu bakalan nikah sama dia.” Aluma mengangguk cepat, matanya melirik sekilas ke arah Aisyah. “Sayang banget ya, Ma, harus putus. Padahal Kak Salsabila itu tipe cewek yang cocok buat Kak Fahri. Nggak kaku, nggak ketinggalan zaman.” Aisyah yang sedang menunduk hanya bisa mendengar setiap kata menusuk jantungnya. Tangannya sedikit gemetar saat menuangka
Malam kini sudah sangat larut, aku memberanikan diri lagi. Aku duduk di meja makan, menunggu kepulangannya dengan hidangan sederhana yang kususun sepenuh hati. Saat ia pulang, aku menyapanya. "Fahri, aku sudah siapkan makan malam." Ia menatap hidangan itu sebentar, lalu berkata dingin, "Aku sudah makan di luar." Aku tercekat. "Tapi… aku sudah menyiapkannya sejak sore." Fahri menghela napas panjang, seakan kesal dengan keberadaanku. "Kenapa repot-repot? Aku tidak butuh kau layani. Aku bisa hidup sendiri. Urus saja dirimu sendiri." Aku menunduk. Air mataku jatuh ke piring yang masih utuh. Malam itu, aku kembali berdoa. "Ya Allah, aku tahu jodoh adalah takdir-Mu. Aku tahu Engkau tidak pernah salah memilihkan jalan untuk hamba-Mu. Tapi hati ini sakit, Rabb… Hatiku remuk, tubuhku lelah. Aku ingin kuat, tapi aku merasa hancur. Jika memang jalan ini adalah ujian, kuatkan aku. Tapi jika aku memang tidak berharga di matanya, jangan biarkan aku merasa tidak berharga juga di mata-M
Ballroom hotel itu dipenuhi cahaya lampu kristal yang memantul ke meja akad nikah yang dihias sederhana namun elegan. Warna putih dan emas mendominasi ruangan, bunga mawar segar berjajar di sepanjang meja, sementara kamera dari tim dokumentasi bersiap mengabadikan momen sakral. Para tamu duduk rapi di kursi, menanti detik-detik ijab kabul. Suasana hening, hanya terdengar lantunan ayat suci yang baru saja selesai dibacakan. Penghulu duduk di posisi tengah, diapit oleh dua saksi resmi. Di hadapannya, Arya Suseno, ayah mempelai perempuan, duduk berhadapan dengan Fahri Zidan, sang calon mempelai pria. Fahri mengenakan jas putih modern dipadukan peci dengan warna senada, wajahnya tenang namun dingin. Penghulu membuka prosesi dengan khutbah nikah singkat, lalu memberi isyarat kepada ayah mempelai. Dengan suara mantap, Arya Suseno mengucapkan kalimat ijab. "Saya, Arya Suseno bin Prasetyo, menikahkan engkau, Fahri Zidan dengan putri kandung saya, Aisyah Humaira, dengan mas kawin beru