Saat kembali ke kamar hotel. Adrian mendapati Raisa sudah lebih dulu duduk di bibir ranjang membuka gaun pengantin dengan gurat wajah yang lelah.
“Jadi malam ini kita harus berpura-pura bahagia juga, Pak?” Tanya Raisa dengan suara datar, tanpa menoleh ke Adrian. Laki-laki yang berdiri dekat jendela kaca besar hotel itu tak menjawab. Dia mengeluarkan tangan kiri yang masuk di saku celananya seraya berjalan ke arah minibar dan menuangkan segelas anggur merah dan meneguknya dalam diam. Adrian tak tahu mana yang lebih buruk. Pernikahan tanpa cinta ini atau ancaman Kirana yang kini menggantung di atas kepalanya? Dadanya bertalu-talu macam ada gunung yang hendak meletus. Pemandangan kota Jambi yang berkilauan di malam hari, dinding hotel berlapis kayu dengan sentuhan emas berpadu dengan wallpaper cream tiba-tiba meredup. Gaun Raisa yang biru muda dan bibirnya yang merah juga mendadak luntur menjadi monokrom, hilang warna, kemudian mengabu. Yang jelas, ucapan Kirana adalah satu hal yang pasti. Ini baru lah permulaan. Malam pertama yang diidam-idamkan setiap pengantin adalah hal yang mustahil untuk Adrian dan Raisa. Jangankan sentuhan, satu patah kata pun tidak ada yang lolos dari mulut Adrian. Adrian tertidur di sofa empuk di samping meja marmer kecil yang dihiasi bunga segar. Sementara itu, Raisa tidur di ranjang king-size. Keesokan harinya, mereka berangkat bekerja seperti biasa. Namun, kali ini dengan kondisi yang berbeda. Demi menjaga citranya tetap baik di hadapan semua orang, Adrian mengangkat Raisa menjadi seorang direktur di perusahaannya. Adrian tak ingin orang-orang memandang rendah istrinya itu sebagai cleaning service. Medengar kabar itu, hari Mira semakin panas. Setiap jam pulang kantor Raisa selalu menyempatkan diri untuk menjenguk papa dan kedua adik laki-lakinya untuk memastikan semua kebutuhannya terpenuhi dengan baik. Raisa juga rutin mengantar Raihadi untuk terapi setiap sepekan sekali. Setelah itu, dia akan kembali ke rumah mewah yang dibeli Adrian yang mereka tingggali bersama. Rumah yang ditempati Raisa luas, megah, tetapi sunyi. Dindingnya berdiri kokoh, namun dingin tanpa kehangatan. Di dalamnya ada dua manusia yang berjalan di lorong yang sama, duduk di meja makan yang sama, mereka tinggal di satu atap yang sama, namun tidak benar-benar hidup bersama. Suasana ini jauh berbeda dengan rumahnya yang sempit, namun penuh kehangatan. Tidak ada lagi moment di mana adik-adiknya berebut bungkusan makanan setiap pulang kerja. Tidak ada lagi rengekan si bungsu yang selalu minta dibelikan mainan Lego. Raisa dengan sabar menjalankan perannya dengan sempurna. Menjadi seorang istri, wanita karir sekaligus inteligent untuk mengusut kematian ibunya. Akan tetapi, bagi Raisa itu bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Dia rela mengesampingkan perasaan dan masa depannya asalkan kematian ibunya segera terungkap. Jika suatu saat dia menjatuhkan perasaannya kepada Ardian baginya itu adalah sebuah ketidaksengajaan. *** Malam itu, Adrian duduk di ruang kerjanya dengan pikiran yang berdesakan masuk di kepala. Tumpukan dokumen di atas meja membuatnya harus lembur dengan beberapa karyawan kantor. Termasuk Raisa yang tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menjalankan misinya. Di sela kesibukannya berjibaku dengan beberapa dokumen tiba-tiba berkelebat di kepalanya tentang sosok Raisa. Semakin lama dia mengenal Raisa, semakin banyak kejanggalan yang muncul. Cara Raisa menghadapi tekanan di perusahaan, kecerdasannya dalam membaca situasi, bahkan keberaniannya melawan para direksi. Adrian tak menyangka orang yang pernah menjadi cleaning service itu terlalu terlatih untuk hal seperti itu. ”Ini berkasnya, Bos.” Salah satu detektif suruhan Adrian menyodorkan dokumen tebal yang menyelidiki latar belakang Raisa. Jantung Adrian berdengung kencang saat membuka halaman pertama. Nama asli Raisa bukanlah Raisa Puteri. Dokumen itu berisi riwayat hidupnya— masa kecil yang sulit. Orang tua yang meninggal secara misterius serta jejaknya yang menghilang bertahun-tahun sebelum tiba-tiba muncul sebagai cleaning service perusahaannya. Adrian memutuskan untuk menanyakan secara langsung kepada Raisa malam itu juga. Adrian mengayunkan kaki dengan dada yang membuncah. “Raisa!” Suara Adrian menggema ke seluruh Ruangan. Namun, setelah menyadari Raisa tidak ada di ruang kerjanya Adrian segera melangkahkan kaki ke ruangan arsip yang berada di lantai bawah. Sementara itu di saat yang sama, Raisa berada di ruang arsip lantai bawah, memegang sebuah berkas tua dengan tangan gemetar. Dia tahu waktunya sudah hampir habis. Adrian terlalu pintar untuk tidak menyadari sesuatu. Ketukan suara sepatu terdengar berirama dari kejauhan. Raisa terlonjak mendengar pintu ditutup di belakangnya dan gegas dia memasukkan dokumen itu ke dalam tasnya dengan tangan berkeringat. ”Apa yang kau sembunyikan Raisa,” lirih Adrian. Tatapannya tajam seperti pedang, seolah mampu menembus ke dalam jiwa seseorang. Raisa cepat mengendalikan ekspresinya, “saya tidak mengerti maksud Anda, Pak,” balas Raisa tersenyum tipis berusaha tenang. Adrian melemparkan berkas dari detektifnya ke dada Raisa. Dia tidak peduli bahwa Raisa itu adalah istrinya. Berkas itu jatuh dan berhamburan di lantai. “Nama aslimu bukan Raisa Puteri. Kau bukan hanya seorang cleaning service biasa. Apa sebenarnya tujuanmu datang ke perusahaanku?”cecar Adrian seraya memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Ketiaknya terbuka sedikit. Sorot matanya tajam dan penuh determinasi, menunjukkan bahwa dia tahu apa yang harus dilakukan. Raisa bergeming. Matanya menyapu seluruh isi dokumen yang tergeletak di lantai. Sejenak dia tampak ragu, tetapi akhirnya menghela napas dan menatap Adrian dengan dengan ekspresi serius. “Aku memang bukan Raisa Puteri. Dan aku bukan cleaning service biasa. Tapi aku juga bukan musuhmu, Adrian,” lirih Raisa. Kini dia bersikap lebih berani. Adrian mendekat, “lalu siapa kau? Apa yang kau cari di sini?” Tanya Adrian dengan mata yang menyala. Kedua tangannya masuk ke saku celana. Raisa menarik bibir bawah antara giginya, “Aku mencari kebenaran tentang kematian orang tuaku. Dan perusahaanmu terhubung dengan semuanya. “Perusahaanku tidak ada hubungannnya dengan itu!” dengus Adrian. Jawaban yang dilontarkan Raisa tak pernah dia duga sebelumnya. Kedua tangan kekar itu mencengkeram kuat lengan Raisa. Kedua mata mereka bertemu untuk kedua kalinya setelah insiden tak sengaja terjebak di gudang waktu itu. Mata itu kembali bertemu di saat yang tidak tepat. Tapi tanpa mereka sadari, dari tatapan itu benih cinta mulai bersemi di antara keduanya. Raisa berusaha mengambil alih kesadarannya. Bibir tipis itu melengkung menciptakan tertawa getir dan menepis kedua tangan Ardian sampai terlepas. ”Benarkah? Aku sudah menyelidikinya selama bertahun-tahun Adrian. Ada sesuatu yang tersembunyi di sini. Dan aku akan menemukannya,” seloroh Raisa dengan menyilangkan kedua tangannya. Di kondisi yang lain seorang pria mengenakan jas hitam yang tampak sedikit lusuh. Sepatu kulit pria bertubuh tegap itu bergema di lantai basement yang sepi. Ketukan sepatunya mencekam macam sirine ambulance yang siap menyampaikan kabar kematian seseorang. Tatapannya liar penuh kewaspadaan seolah mencari sesuatu yang bisa meledakkan kapan saja. Baru saja Adrian hendak menjawab ucapan Raisa, suara gadung terdengar dari luar. Dia menorobos masuk dengan mata penuh amarah. ”Raisa! Berhenti mencari tahu kematian ibumu! atau kau akan ikut mati bersama ibumu!" ancam laki-laki bertubuh kekar itu. Matanya, satu-satunya bagian yang terlihat, bersinar dingin. Adrian reflek menarik Raisa di belakangnya untuk melindungi. Sementara Raisa menatap pria itu dengan mata penuh ketakutan dan dendam. ”Siapa dia?” Adrian berbisik pada Raisa. ”Aku tidak tau,” lirih Raisa. Wajahnya mendadak menjadi kosong.“Ya,” jawab Pak Brengos singkat yang tetap menatap layar ponselnya ketika aku berada di depan meja kerjanya. Lelaki itu belum dikatakan tua. Dari penampakannya kutaksir usianya masih tiga puluh lima sampai empat puluh tahun. Tentang kenapa semua orang memanggilnya ‘Brengos’ mungkin wajahnya terlalu banyak bulu hingga agak menyeramkan.“Saya ingin meminta pabrik ini untuk lebih memperhatikan limbahnya. Saya membawa laporan bahwa pabrik Bapak ini membuang limbah ke sembarang tempat. Hingga bahan kimia-nya meracuni tanah di kebun duku dan durian kami, Pak.”“Ngomong sama manajer sana!”Astaga. Apa semua orang di pabrik ini segitu cueknya dengan orang lain. Sedari tadi aku selalu bertemu dengan orang yang tiada kepedulian terhadap tamu. Satpam yang meremehkan, staf yang tak menghargai, dan kepala pabrik yang sama tak pedulinya. Aku mengelus dada, menarik napas dalam. Sabat, Cinta.“Maaf, tapi Bapak kepala pabrik.”Tatapannya baru terarah kepadaku, membuatku agak menunduk agar tatapan kam
KUTUTUP PINTU ruangan direktur. Kami beranjak menuju lift. Namun, betapa terkejut di dekat lift api sudah membakar besar sekali.“Astaghfirullah, Allahuakbar,” pekikku. Aku menarik Mas Rama menuju jalan darurat di tangga belakang. Namun kudapati di sana api pun sudah membesar. Kami terjebak. Kalau aku nekad melewati api itu, bisa-bisa sebagian besar tubuhku ikut tebakar pula. Belum lagi Mas Rama yang masih lambat, ia tak bisa berlari melewati api.Bagaimana ini? Aku berpikir. Namun detak jantung kecemasan terlanjur menguasai kalbu hingga ketakutan yang ada.“Bu Cinta, Pak Rama, anda di dalam sana?” suara Dennis terdengar memekik dari lantai bawah. “Iya, Den. Kami di sini. Apinya besar, Den.”“Mumpung apinya masih kecil, terobos, Pak, Bu!”“Mas, ayo kita terobos apinya.” Aku menarik tangan Mas Rama. Namun suamiku itu malah terbengong. Ya Allah, di saat seperti ini biasanya Mas Rama orang yang menengkanku. Dia orang pertama yang membuatku merasa sejuk dalam hati, ringan dalam napas. Na
“ULYA, jaga mulut kamu!” ucapku dengan tegas pada dokter muda nan cantik itu. Apa, cantik? Hilang semua kecantikannya, terbatalkan oleh akhlak kasarnya. Kalimatnya barusan meruntuhkan semua image-nya.“Auu.” Ulya memegangi pipinya. “Kurang ajar kamu, Cinta.”Tamparanku memang tak seberapa kerasnya. Mungkin ia tak merasa sakit sama sekali, tapi aku hanya ingin menunjukkan kalau aku tak mau kalah dengan serangan mentalnya itu. Aku paham ia hanya menjatuhkan keyakinanku pada diriku sendiri, agar perlahan mundur dari Mas Rama. Tentu saja tidak semudah itu.“Mulutmu yang harus disekolahkan. Bisa bicara yang menenangkan aja saat seperti ini? Pahami kondisi. Jangan asal ceplos, di saat yang salah dan pada orang yang salah.”Tap tap. Suara langkah Dennis mendekat. Dengan segera ia memasangkan badan di depan diriku, menjadi tameng.“Maaf, saya tidak akan membiarkan Bu Cinta lebih jauh lagi berbicara dengan anda,” ucap Dennis.Ulya tersenyum sebelah bibir. “I don’t care.”Ulya melangkahkan kaki
“Aku hanya berjaga-jaga,” jawab Raisa menghindari tatapan Adrian. “Berjaga-jaga dari siapa?” Adrian sebenarnya tahu bahwa akan ada banyak orang yang mengincar Raisa. Termasuk pria bertopeng itu. Orang yang pernah menikam lengan Raisa. Kemudian, Kirana atau bisa jadi orang suruhan Selena. Raisa terdiam dengan napasnya tersengal-sengal. Adrian menyentuh tangannya lembut. “Aku tidak ingin kau hidup dalam ketakutan, Raisa.” “Aku tidak takut. Aku hanya bersiap-siap. Apa pun bisa terjadi denganku, Adrian,” jawab Raisa menarik lengannya. Adrian menggeser posisinya dengan duduk di bibir ranjang, lalu mengulurkan tangannya ke pipi sang istri. “Aku tahu kau kuat, Raisa. Tapi, kau tak perlu melakukan ini sendirian,” ucap Adrian mengiba. Raisa menatap Adrian penuh emosi. “Aku sudah sendirian selama bertahun-tahun, ini bukan hal baru bagiku, Adrian.” “Hei. Lihat aku. Lihat! Aku di sini,” bisik Adrian. “Kau tidak sendiri, Raisa. Ada aku. Suamimu,” lanjut Adrian menghela napas. Hening. Rais
“Kau sudah gila, Adrian?! Menikahi seorang wanita tanpa nama, tanpa status! Apa kau tahu berapa banyak investor yang mulai meragukan perusahaan kita?!” Adrian dengan tenang menyesap kopinya, “Ini pernikahanku, bukan urusan bisnis, Papa. Lagi pula kenyataannya tidak begitu. Justru Raisa bisa mengatasi permasalahan perusahaan dengan cerdas. Dia bukan cleaning service biasa.” Selena tertawa sinis, menyilangkan tangan di dada. “Jangan naif, Adrian. Semua yang kita lakukan ada dampaknya bagi perusahaan. Reputasimu akan tetap dipertanyakan publik.” Meja panjang dari marmer hitam berkilau di bawah cahaya lampu gantung kristal yang menjuntai di langit-langit. Di ruang makan keluarga suasana menegang. Adrian menatap Selena tajam. “Aku tidak peduli dengan reputasi yang dibuat-buat. Aku hanya peduli dengan kebenaran.” William— papa Adrian mendengus lalu berkata, “kebenaran? Apa maksudmu?!” “Aku mulai menyelidiki. Tentang Raisa. Tentang keluarganya. Dan ternyata, ada hubungan antara ke
Malam turun dengan tenang, tapi udara di balkon terasa berat oleh percakapan yang belum terucap. Langit gelap membentang luas, hanya diterangi bintang-bintang yang bersinar samar, sementara angin malam berembus pelan membawa aroma embun dan sisa wangi bunga dari halaman. Adrian menemukan Raisa duduk di balkon sedang menatap langit malam dengan ekspresi sendu. “Aku ingin bicara denganmu,” ucap Adrian dingin. Raisa menoleh, melihat ekspresi Adrian yang begitu sulit diartikan. Wanita berpiyama Bortuques itu menghela napas, lalu berdiri. “Aku juga ingin bicara denganmu, Adrian.” “Aku tahu kau ingin mendapatkan keadilan untuk keluargamu, Raisa,” ucap Adrian menatapnya tajam. Raisa terdiam. Adrian melangkah lebih dekat, ekspresinya seolah menegang. “Tapi aku ingin tahu satu hal. Apakah kau benar-benar mencintaiku? Atau semua ini hanya bagian dari rencanamu?” Raisa menahan napas. Tangannya mencengkeram kuat pagar besi yang dingin. Pertanyaan itu menusuk langsung ke hatinya. Dia