Desas-desus langsung terdengar di telinga, tapi tak ada satu pun yang berani menyangkal kenapa direktur utama itu mau menikahi seorang cleaning service.
Sementara itu, di balik pintu kaca berdiri seorang wanita dengan gincu merah menyala dan hati yang menyala-nyala pula. Dia mengepalkan kedua tangan dan hampir ingin memukul pintu kaca, namun tangannya menggantung di udara. “Apa aku harus jadi cleaning service dulu supaya bisa menikah dengan Adrian?” Mira mendengus kesal. Ternyata usahanya untuk menjadi pahlawan jikalau reputasi Adrian hancur tidak benar-benar menjadi kenyataan. Justru Adrian melindungi seorang cleaning service bahkan menyanjungnya di hadapan semua orang. *** Langit senja memerah saat Adrian melangkah keluar dari kantornya. Langkahnya berat, seakan ada rantai tak kasat mata mengekangnya. Hari ini, dia resmi menikah dengan Raisa. Sebuah keputusan yang diambil bukan karena cinta, melainkan demi menyelamatkan citra perusahaannya. Kabar skandal yang hampir menghancurkan bisnis keluarganya hanya bisa diredam dengan pernikahan ini. Seorang cleaning service perusahaannya sendiri setidaknya bisa menyelamatkan nama baiknya atas video yang sudah beredar. Tapi bagi Adrian, pernikahan ini tak ubahnya sebuah belenggu. Dadanya ikut terhimpit batu besar. Di tengah pernikahan yang megah, kedua keluarga baru bertemu untuk pertama kalinya. Tidak ada keluarga besar Raisa yang hadir karena tempatnya jauh dan pernikahannya begitu mendadak, kecuali papa dan kedua adik laki-lakinya saja. “Kak, tempatnya bagus, ya,” ucap Raihan terpesona melihat apa yang ada di sekitarnya. Kilauan lampu kristal bergelayut anggun di langit-langit ballroom memantulkan cahaya keemasan yang membanjiri setiap sudut ruangan. Sementara itu, Rais mendorong Raihadi dengan kursi roda. Mereka kompak mengenakan jas terbaik yang diberikan Raisa sebelum acara resmi itu dimulai. Mereka melewati meja-meja bundar tersebar rapi di sekitar ruangan. Masing-masing dilapisi taplak sutra dengan hiasan lilin aromaterapi yang menyala lembut. ”Iya, Dek. Kak Raisa hebat bisa nikah dengan konglomerat,” sahut Raihan tak percaya. Hanya Raihadi yang menatap kondisi di sekelilingnya dengan wajah yang nyaris tak bergaris. Datar. Tanpa ekspresi sedikit pun. Raihan terus berkeliling membawa Raihadi dan Rais mengitari ruangan ballroom yang luas itu. Raihan mengikuti di belakang dengan tangan yang menggantung di ujung jas yang dikenakan Rais. Pandangan mereka kembali menyapu setiap para tamu dalam balutan gaun dan jas saling bercengkerama dan menikmati hidangan lezat yang tersaji dalam piring porselen berkilau. Raihadi, Raihan, dab Rais macam bebek kehilangan induk berjalan berjejer ke belakang mencari tepian sungai untuk beristirahat. Sebenarnya, mereka bingung mau ke mana dan hendak menemui siapa. Sementara itu, Raisa masih terlihat sibuk di atas singgasana yang megah itu mengulum senyum kepada setiap tamu yang datang. “Dasar anak nakal!” Jerit seseorang mengalihkan perhatian Raihan. Setelah dia sadar bahwa pegangan tangan Rais dari ujung jas yang dikenakannya terlepas, gegas dia berlari menuju kerumunan. Seorang wanita dengan gaun bergaris emas hendak mendaratkan tangannya memukul anak kecil yang ada di depannya. ”Jangan!” Pekik Rais seraya melindungi adiknya dari serangan wanita yang tak dikenalinya itu. Wanita itu menatap nyalang ke arah Raihan dan Rais dan bersiap menyemburkan larva panas dari mulutnya, “kau lihat ini! Wajahku basah karena anak itu,” berang Selena dengan mata membelalak. Bulu mata palsunya yang berkibar menjadi melengkung tak beraturan karena tersiram benda cair. Anak berumur tujuh tahun itu memanjat kursi untuk meraih segelas cokelat yang ada dii meja bundar. Namun, tanpa sengaja gelas itu melayang dan tumpah mengenai Selena yang berada tak jauh dari sana. “Maaf, adik saya tidak sengaja,” lirih Rais seraya menangkupkan kedua tangan. Melihat ada kerumanan di dalam seorang petugas keamanan datang. Namun, begitu terkejutnya Selena saat dia diberi tahu bahwa kedua anak itu adalah keluarga dari mempelai wanita. ”Saya papa Raisa. Rais dan Raihan ini adiknya.” Raihadi mendekat perlahan dengan kursi rodanya membelah kerumanan. Selena menoleh dan menatap dengan mulut setengah menganga seiras dengan hidungnya yang ikut melebar. Matanya juga ikut melebar sampai napasnya ikut tertahan di tenggorokan. Emosinya yang sudah meletus macam Krakatau tiba-tiba menarik kembali isinya yang keluar. Di antara riuhnya suara orang-orang, derap langkah sepatu di lantai marmer, dan denting sendok di piring-piring porselen kini perhatiannya tertuju pada laki-laki setengah abad itu. Raihadi— seseorang yang seharusnya sudah lama tenggelam dalam masa lalu, kini ada di hadapannya. Lidahnya kelu. Otaknya mencoba mencerna kenyataan ini, tetapi tubuhnya bereaksi lebih dulu. Dadanya yang naik turun, sementara jantungnya tak karuan. Semua ingatan yang dikira sudah rapat terkunci, kini terbuka seketika. ”Ini … nggak mungkin,” gumamnya kepada diri sendiri. *** Nun jauh di sana tertangkap sepasang mata menatap penuh kebencian. Kirana wanita yang pernah hampir menjadi istri Adrian berdiri di antara para tamu undangan dengan senyum sinis. Adrian melempar pandangan ke arah Raisa yang berdiri anggun di sampingnya. Wanita itu tersenyum kecil kepada para tamu memainkan peran pengantin bahagia dengan sempurna. Namun, saat tatapan mereka bertemu, Adrian hanya menemukan kehampaan. Mereka tidak saling mencintai. “Adrian.” Suara itu terdengar dingin, menusuk seperti belati yang siap menikam. Adrian berjalan keluar dari ballroom hendak menuju kamar hotel tempat dia dan Raisa akan menginap. Langkahnya terhenti saat suara familiar memanggilnya. Laki-laki yang masih mengenakan jas pengantin itu berbalik dan melihat Kirana berdiri di ambang pintu dengan gaun hitamnya berkemilauan melambai pelan terkena angin malam. ”Kirana kenapa kau ada di sini?” Kerling Adrian menyapu wajah berpoles make up yang senada dengan garis wajah Kirana. Adrian mencoba menarik napas pelan dan berusaha setenang mungkin. ”Kenapa? Karena aku ingin menyaksikan semua janji manis yang pernah kau ucapkan padaku,” ucap Kirana tersenyum miring. Tangannya bersedekap di dada. Dengan tatapan datar dan kedua tangan tetap masuk ke saku celana Adrian mengerutkan kening, “ini bukan tentang kau dan aku, Kirana. Aku tidak punya pilihan.” Kirana tertawa sinis kemudian bergeming. Desauan angin membuat keduanya saling menatap agak lama. Rambut panjang Kirana yang bergelung tersibak angin. Wanita itu mendekati Ardian dan memangkas jarak di antara keduanya. “Tidak punya pilihan? Jangan konyol, Adrian! Kau memilih menghancurkan aku. Kau memilih meninggalkanku demi citramu, demi keluargamu, demi perusahaannya!” ucap Kirana dengan penuh penekanan. Aroma mint dari mulutnya tercium. Sementara itu, m matanya memerah penuh kemarahan. Kirana berbalik dan melangkah dengan anggun meninggalkan Adrian yang terdiam di tempat. Namun, kakinya seolah terpaku sejenak, “kau tidak perlu menjelaskan apa pun karena aku sudah tahu semuanya. Aku tahu bahwa pernikahan ini hanyalah sandiwara. Dan aku janji Adrian! Akan kupastikan kau menderita lebih dari yang kau lakukan padaku,” cecar Kirana dengan penuh penekanan. Kata-katanya menggantung di udara seolah mengisyaratkan bahwa badai akan datang. Ucapan kirana bagaikan belati beracun yang siap menikamnya berkali-kali. Adrian tahu Kirana bukan tipe wanita yang bisa dipermainkan. Dia terlalu cerdas, terlalu berbahaya. Dan kini, dia telah menyatakan perang. Kini, apa yang harus Adrian lakukan?“Ya,” jawab Pak Brengos singkat yang tetap menatap layar ponselnya ketika aku berada di depan meja kerjanya. Lelaki itu belum dikatakan tua. Dari penampakannya kutaksir usianya masih tiga puluh lima sampai empat puluh tahun. Tentang kenapa semua orang memanggilnya ‘Brengos’ mungkin wajahnya terlalu banyak bulu hingga agak menyeramkan.“Saya ingin meminta pabrik ini untuk lebih memperhatikan limbahnya. Saya membawa laporan bahwa pabrik Bapak ini membuang limbah ke sembarang tempat. Hingga bahan kimia-nya meracuni tanah di kebun duku dan durian kami, Pak.”“Ngomong sama manajer sana!”Astaga. Apa semua orang di pabrik ini segitu cueknya dengan orang lain. Sedari tadi aku selalu bertemu dengan orang yang tiada kepedulian terhadap tamu. Satpam yang meremehkan, staf yang tak menghargai, dan kepala pabrik yang sama tak pedulinya. Aku mengelus dada, menarik napas dalam. Sabat, Cinta.“Maaf, tapi Bapak kepala pabrik.”Tatapannya baru terarah kepadaku, membuatku agak menunduk agar tatapan kam
KUTUTUP PINTU ruangan direktur. Kami beranjak menuju lift. Namun, betapa terkejut di dekat lift api sudah membakar besar sekali.“Astaghfirullah, Allahuakbar,” pekikku. Aku menarik Mas Rama menuju jalan darurat di tangga belakang. Namun kudapati di sana api pun sudah membesar. Kami terjebak. Kalau aku nekad melewati api itu, bisa-bisa sebagian besar tubuhku ikut tebakar pula. Belum lagi Mas Rama yang masih lambat, ia tak bisa berlari melewati api.Bagaimana ini? Aku berpikir. Namun detak jantung kecemasan terlanjur menguasai kalbu hingga ketakutan yang ada.“Bu Cinta, Pak Rama, anda di dalam sana?” suara Dennis terdengar memekik dari lantai bawah. “Iya, Den. Kami di sini. Apinya besar, Den.”“Mumpung apinya masih kecil, terobos, Pak, Bu!”“Mas, ayo kita terobos apinya.” Aku menarik tangan Mas Rama. Namun suamiku itu malah terbengong. Ya Allah, di saat seperti ini biasanya Mas Rama orang yang menengkanku. Dia orang pertama yang membuatku merasa sejuk dalam hati, ringan dalam napas. Na
“ULYA, jaga mulut kamu!” ucapku dengan tegas pada dokter muda nan cantik itu. Apa, cantik? Hilang semua kecantikannya, terbatalkan oleh akhlak kasarnya. Kalimatnya barusan meruntuhkan semua image-nya.“Auu.” Ulya memegangi pipinya. “Kurang ajar kamu, Cinta.”Tamparanku memang tak seberapa kerasnya. Mungkin ia tak merasa sakit sama sekali, tapi aku hanya ingin menunjukkan kalau aku tak mau kalah dengan serangan mentalnya itu. Aku paham ia hanya menjatuhkan keyakinanku pada diriku sendiri, agar perlahan mundur dari Mas Rama. Tentu saja tidak semudah itu.“Mulutmu yang harus disekolahkan. Bisa bicara yang menenangkan aja saat seperti ini? Pahami kondisi. Jangan asal ceplos, di saat yang salah dan pada orang yang salah.”Tap tap. Suara langkah Dennis mendekat. Dengan segera ia memasangkan badan di depan diriku, menjadi tameng.“Maaf, saya tidak akan membiarkan Bu Cinta lebih jauh lagi berbicara dengan anda,” ucap Dennis.Ulya tersenyum sebelah bibir. “I don’t care.”Ulya melangkahkan kaki
“Aku hanya berjaga-jaga,” jawab Raisa menghindari tatapan Adrian. “Berjaga-jaga dari siapa?” Adrian sebenarnya tahu bahwa akan ada banyak orang yang mengincar Raisa. Termasuk pria bertopeng itu. Orang yang pernah menikam lengan Raisa. Kemudian, Kirana atau bisa jadi orang suruhan Selena. Raisa terdiam dengan napasnya tersengal-sengal. Adrian menyentuh tangannya lembut. “Aku tidak ingin kau hidup dalam ketakutan, Raisa.” “Aku tidak takut. Aku hanya bersiap-siap. Apa pun bisa terjadi denganku, Adrian,” jawab Raisa menarik lengannya. Adrian menggeser posisinya dengan duduk di bibir ranjang, lalu mengulurkan tangannya ke pipi sang istri. “Aku tahu kau kuat, Raisa. Tapi, kau tak perlu melakukan ini sendirian,” ucap Adrian mengiba. Raisa menatap Adrian penuh emosi. “Aku sudah sendirian selama bertahun-tahun, ini bukan hal baru bagiku, Adrian.” “Hei. Lihat aku. Lihat! Aku di sini,” bisik Adrian. “Kau tidak sendiri, Raisa. Ada aku. Suamimu,” lanjut Adrian menghela napas. Hening. Rais
“Kau sudah gila, Adrian?! Menikahi seorang wanita tanpa nama, tanpa status! Apa kau tahu berapa banyak investor yang mulai meragukan perusahaan kita?!” Adrian dengan tenang menyesap kopinya, “Ini pernikahanku, bukan urusan bisnis, Papa. Lagi pula kenyataannya tidak begitu. Justru Raisa bisa mengatasi permasalahan perusahaan dengan cerdas. Dia bukan cleaning service biasa.” Selena tertawa sinis, menyilangkan tangan di dada. “Jangan naif, Adrian. Semua yang kita lakukan ada dampaknya bagi perusahaan. Reputasimu akan tetap dipertanyakan publik.” Meja panjang dari marmer hitam berkilau di bawah cahaya lampu gantung kristal yang menjuntai di langit-langit. Di ruang makan keluarga suasana menegang. Adrian menatap Selena tajam. “Aku tidak peduli dengan reputasi yang dibuat-buat. Aku hanya peduli dengan kebenaran.” William— papa Adrian mendengus lalu berkata, “kebenaran? Apa maksudmu?!” “Aku mulai menyelidiki. Tentang Raisa. Tentang keluarganya. Dan ternyata, ada hubungan antara ke
Malam turun dengan tenang, tapi udara di balkon terasa berat oleh percakapan yang belum terucap. Langit gelap membentang luas, hanya diterangi bintang-bintang yang bersinar samar, sementara angin malam berembus pelan membawa aroma embun dan sisa wangi bunga dari halaman. Adrian menemukan Raisa duduk di balkon sedang menatap langit malam dengan ekspresi sendu. “Aku ingin bicara denganmu,” ucap Adrian dingin. Raisa menoleh, melihat ekspresi Adrian yang begitu sulit diartikan. Wanita berpiyama Bortuques itu menghela napas, lalu berdiri. “Aku juga ingin bicara denganmu, Adrian.” “Aku tahu kau ingin mendapatkan keadilan untuk keluargamu, Raisa,” ucap Adrian menatapnya tajam. Raisa terdiam. Adrian melangkah lebih dekat, ekspresinya seolah menegang. “Tapi aku ingin tahu satu hal. Apakah kau benar-benar mencintaiku? Atau semua ini hanya bagian dari rencanamu?” Raisa menahan napas. Tangannya mencengkeram kuat pagar besi yang dingin. Pertanyaan itu menusuk langsung ke hatinya. Dia