Satu bulan berlalu, akhirnya Emily mampu berjalan. Kakinya sudah sembuh dan berfungsi selayaknya. Seperti yang diperkirakan Morin dan Jovan, polisi pun segera membawanya ke luar dari rumah sakit untuk diminta keterangan perihal tabrakan maut yang terjadi yang menewaskan Naura Lordez, kekasih Ellard.
Emily tidak menolak dan membantah, selama melakukan penyidikan, ia juga tidak banyak berbicara sehingga ia diputuskan bersalah.
Ellard selalu mengikuti perkembangan hingga akhiranya kasusnya masuk ke pengadilan. Ellard tersenyum sinis melihat Emily melangkah masuk ke dalam persidangan dengan kedua tangan terborgol serta dengan baju tahanan yang terlihat kumuh. Dua orang sipir membimbingnya untuk berjalan.
"Sangat pantas," decisnya dengan wajah bengis. Ellard melihat kedua kaki Emily yang sudah lancar berjalan dan kembali ia berdecak kesal. Sangat ia sesalkan kenapa kaki itu mampu berjalan. Ia ingin melihat wanita itu merangkak dalam kegelapan.
"Jadi wanita itu yang melakukannya?" Ellard menoleh ke samping, terlihat Edward yang duduk di sebelahnya menatap penuh minat ke arah Emily.
"Apa dia buta?" Edward kembali bertanya begitu melihat Emily menabrak kursi di hadapannya.
"Menarik bukan?" cetus Ellard dengan senyum iblis penuh kemenangan.
Mengetahui hal itu Edward sedikit terkejut. Ini pertama kalinya ia melihat si pelaku yang hampir membuat Ellard menggila kehilangan kewarasan. Ia sungguh tidak menyangka pelaku yang menyebabkan Naura kehilangan nyawanya adalah seorang wanita muda dan cacat.
Edward tidak bisa melepaskan tatapannya sampai Emily duduk di tempatnya. Edward mengedarkan pandangannya ke segala sudut ruangan. "Di mana keluarganya?"
Ellard menoleh cepat ke arahnya, "Apa pedulimu?" tukasnya dengan tatapan tajam.
"Wanita itu terlihat menyedihkan-"
"Mungkin kau bisa jadi walinya jika kau berminat," sarkas Ellard dengan wajah menahan amarah. Cukup baginya Morin dan Jovan memberi perhatian khusus pada wanita itu, dan ia benci jika Edward melakukan hal yang sama.
"Aku hanya sedikit prihatin," Edward mengangkat kedua tangannya. "Yang salah tetap harus dihukum," ucapnya dengan segera agar Ellard merasa tenang. Berhasil, wajah itu kembali terlihat santai.
"Apakah dia memang buta atau dia kehilngan penglihatannya setelah kecelakaan itu terjadi?"
"Pertanyaan bodoh! Apa menurutmu hal yang masuk akal wanita buta mengendari mobil dan sengaja melakukan pembunuhan?"
"Pembunuhan? itu berlebihan kawan,"
"Lalu bisa kau jelaskan istilah yang pas untuk dikatakan saat Naura sudah tidak bersamaku lagi?" Kembali Ellard melayangkan tatapan membunuh ke arah Edward.
Hakim memasuki ruangan dan semua diminta untuk berdiri. Edward mengembuskan napas lega, ia selamat dari pertanyaan Ellard yang terlihat begitu marah. Semuanya kembali duduk setelah hakim duduk di kursinya.
Ruangan mendadak sunyi dan tenang yang artinya persidangan akan dimulai. Emily diminta duduk di kursi terdakwa. Dua sipir kembali membantunya untuk berjalan ke tempatnya. Ruangan mendadak gaduh menyadari bahwa terdakwa mengalami kebutaan.
Emily bisa mendengar rentetan umpatan dan juga rasa iba serta prihatin dari balik punggungnya. Ia merasa gugup, namun tidak ada yang bisa ia lakukan selain meremas jemarinya.
Meihat punggung Emily yang menegang, Ellard menyunggingkan bibirnya. Ia suka saat wanita itu merasa tertekan.
Seorang jaksa penuntut kini berdiri di hadapan Emily. Ellard menegapkan tubuhnya. Ia sudah tidak sabar untuk mendengar tuntutan yang dijatuhkan kepada gadis buta itu dan ya, Jaksa tersebut juga merepukan salah satu koleganya.
"Insiden kasus nomor XXX. Insiden tabrakan maut, Emily Laura sebagai terdakwa." Jaksa penuntut pun menyebutkan hari tanggal jam dan lokasi kejadian yang dibenarkan oleh Emily dengan anggukan. Tidak ada bantahan sama sekali dan hal itu menjdi kurang menarik bagi Ellard, beberapa kali terdengar dengkusan kesal keluar dari mulutnya.
"Apakah anda mengenal korban? Nona Naura Lordez?"
Emily menggelengkan kepala, "Tidak." sahutnya singkat.
"Dari CCTV yang terlihat, mobil anda dan mobil milik nona Naura terlihat aksi saling kejar dan terlihat juga bahwa mobil anda sengaja menyerempet mobil milik nona Naura hingga kehilangan keseimbangan yang menyebabkan kematian."
Mendengar pernyataan itu Emily memilih bungkam bahkan setelah jaksa mengulangi pernyataannya untuk ketiga kalinya, Emily tetap tidak mengeluarkan suaranya.
"Kebungkaman anda akan kami artikan bahwa yang dituduhkan benar adanya. Anda sengaja ingin melenyapkan nona Naura. Tapi yang menjadi pertanyaan saya mewakili keluarga korban dan juga tunangannya," tubuh Emily menegang seketika begitu mendengar jaksa menyebut tunangan dari wanita yang bernama Naura tersebut.
"Apa motif dan alasan anda melakukan hal tersebut disaat anda mengakui bahwa anda tidak mengenal nona Naura?""Apakah tunangannya ada di sini?" pertanyaan Emily membuat para hadirin mengernyitkan dahi, tidak terkecuali Ellard.
"Ya," sahut jaksa tersebut dengan singkat.
"Apakah dia baik-baik saja?" terjadi kegaduhan mendengar pertanyaan Emily.
Sang jaksa mengangkat tatapannya pada Ellard yang dengan segera memalingkan wajahnya dengan kesal. Apa maksud pertanyaan wanita itu?
"Tidak cukup baik,"
Mendengar jawaban jaksa, Emily terlihat murung. "Maafkan aku," lirihnya yang membuat si jaksa menautkan alisnya. "Tolong katakan padanya maafkan aku,"
"Jika anda sedikit saja lebih berhati-hati, itu adalah hidup yang bisa saja diselamatkan. Perilaku tidak bertanggung jawab terdakwa Nona Emily Laura telah mengambil kehidupan berharga dari seseorang. Itu adalah kebenaran mutlak yang tidak bisa dimaafkan dengan cara apapun. Untuk ini tim penuntut menuntut terdakwa Emily Laura untuk dihukum lima tahun penjara."
Jaksa menjatuhkan hukuman begitu mendengar permohanan maaf Emily. Permohanan maaf yang mereka kira untuk meminta belas kasihan.
Sampai pada akhirnya hakim mengetukkan palunya, Emily tidak menangis sama sekali yang diartikan Ellard sebagai manusia tidak punya hati yang tidak menyesal dengan kesalahan yang sudah ia lakukan.
Sidang pun berakhir. Emily kembali dibimbing untuk keluar dari persidangan. Ellard menyorotinya dengan tajam hingga beberapa meter darinya, Ellard menjulurkan kakinya hingga Emily tersandung dan terjatuh.
Ellard pun berdiri dari kursinya berjalan melewati Emily yang berusaha untuk berdiri.
"Aggrrhh," Emily meringis, Ellard dengan kejamnya sengaja menginjak tangannya.
Melihat hal itu Edward hanya menghela napas panjang. Begitu punggung Ellard menghilang di balik pintu masuk, Edward menoleh ke arah dua sipir yang membimbing Emily. "Apa yang kalian lakukan? Kenapa hanya diam dan membiarkannya!" Edward pun menunduk dan membantu Emily untuk berdiri.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya prihatin.Kedua bola mata Emily terlihat berkaca-kaca menahan tangisannya, percayalah injakan sepatu Ellard sungguh sangat sakit. Namun Emily menggelengkan kepalanya. "Terima kasih, aku tidak apa-apa," ucapnya dengan suara tercekat. Edward mengangguk, lalu menyingkir dari hadapannya.
"Jangan lupa untuk mengompres tangannya dan berikan obat. Aku khawatir tangannya akan bengkak," perintah Edward kepada kedua sipir tersebut.
"Terima kasih," Emily pun kembali berjalan meninggalkan ruang sidang menuju rumahnya yang baru. Rumah tahanan. Entah takdir seperti apa yang sedang menunggunya di sana.
"Wueekk!" Emily memuntahkan isi perutnya. Wajahnya pucat pasi, seakan menahan sakit yang luar biasa.Ellard pun terbangun begitu mendengar Emily muntah. Dengan sigap ia berlari ke dalam toilet."Kau baik-baik saja?" tanya Ellard penuh khawtir. "Wajahmu pucat. Apa kau memakan sesuatu yang salah?"Emily mengernyit, menatap bingung ke arah Ellard melalui cermin besar yang ada di hadapannya."Aku suamimu, kita sudah menikah beberapa tahun," jelas Ellard sebelum Emily sempat bertanya."Aku merasa mual," adu Emily dengan wajah meringis menahan sakit."Akan kupanggil Morin untuk memeriksa," Ellard pun menuntun Emily ke luar dari dalam toilet. Ia juga membantu Emily untuk membaringkan tubuhnya di atas ranjang lalu mengambil ponse untuk menghubungi saudarinya -Morin."Emily mual dan muntah. Tolong kau periksa dia," ucap Ellard to the point begitu panggilannya terhubung. "Sekarang juga!" imbuhnya penuh tekanan."M
Emily melihat jam tangannya. Pukul 16.01. Belum waktunya pulang jam kantor tapi Ellard sudah berada di kamar mereka."Kau pulang cepat hari ini?" Emily berjalan mendekat ke arahnya.Ellard mengangguk sambil tersenyum. "Mulai hari ini aku akan bekerja dari rumah," menarik Emily agar duduk di atas pangkuannya."Kenapa?""Perusahaan membosankan. Kau juga selalu ingkar janji. Tidak pernah datang tepat waktu," Ellard mengecup tengkuk Emily.Emily hanya diam karena tidak tahu harus memberi reaksi seperti apa."Apa yang sedang kau kerjakan?" tanya Emily mengalihkan topik."Aku sedang mencari fotoku yang paling keren," sahut Ellard sembari menunjukkan layar laptopnya."Untuk apa?" tanya Emily dan mulai memperhatikan satu persatu foto Ellard."Aku akan memajangnya di kamar kita. Di setiap sudut ruangan." Ellard menatapnya teduh. Kembali perasaan berkecamuk menghampirinya. Pembicaraan Emily dan Frans kini terdengar jelas di telingan
"Aku akan datang membawakan makan siang untuk kita," Emily berjinjit dan mendaratkan satu kecupan hangat di pipi kanan Ellard."Aku sudah memasukkan nomorku di ponselmu. Segera angkat teleponku jika aku menghubungimu," Ellard mengusap lembut kepala Emily.Sesungguhnya ia tidak ingin meninggalkan Emily disaat benaknya menyisakan banyak tanya yang menuntut jawaban ada apa gerangan yang terjadi dengan istrinya.Kejanggalan-kejanggalan sikap Emily sangat mengusiknya. Jika mengikuti kata hatinya, ingin rasanya ia membawa Emily ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh.Ellard sebenarnya sudah memiliki dugaan-dugaan atas apa sebenarnya yang sedang dialami Emily. Apa pun itu sesungguhnya ia tidak peduli. Hanya saja yang ia khawatirkan hal itu bisa melukai dan menyakiti Emily. Sungguh ia tidak akan sanggup lagi untuk melihat Emily terluka. Untuk itu lah ia juga menahan diri agar tidak bertanya secara terang-terangan kepada Emil
"Argghhhhh!!" teriakan Emily sontak saja membuat Ellard terbangun dari tidur nyenyaknya."Ada apa, sayang?" Ellard menatap Emily khawatir. Apa gerangan yang membuat Emily histeris di pagi hari. Ya, Ellard melirikkan mata ke arah nakas dan melihat jam weker yang menunjukkan jam 05.30."Apa kau mengalami mimpi buruk?" mengulurkan tangan berniat untuk memeluk dan menenangkan Emily.Plak!Emily dengan kasar menepis tangan Ellard dan baru lah pria itu menyadari cara Emily menatapnya begitu berbeda. Seperti orang asing yang takut melihat keberadaannya."Emily?" panggil Ellard penuh hati-hati, tapi jangan tanya jantungnya yang memompa, berpacu lebih cepat. Ke mana tatapan teduh yang selalu Emily tunjukkan padanya selama ini. Apakah Emily mulai berubah fikiran. Pertanyaan demi pertanyaan menyerang batinnya, membuat perasaannya semakin tidak menentu."SIAPA KAU?! KENAPA KAU ADA DI KAMARKU?!"Butuh beberapa d
“Selamat datang!” Emily merentangkan kedua tangannya menyambut kepulangan Ellard.Mendapat sambutan ceria dari Emily, Ellard mengulum senyumnya. Segera meletakkan tas kerjanya, Ellard pun membawa Emily ke dalam pelukannya. “Kau sangi sekali,” bisik Ellard dengan nada menggoda.“Aku sengaja melakukannya untuk membuatmu senang. Apa kau terhibur? Aku berdandan untukmu,” seru Emily dengan wajah merona.Perasaan Ellard dipenuhi oleh bunga-bunga yang bermekaran. Tadinya ia menolaj untuk bekerja dalam waktu dekat. Namun Emily terus saja membujuknya, dengan syarat akan sering mengunjungninya ke kantor. Baru hari pertama bekerja, Emily sudah mengingkari janjinya. Ellard menantikan kedatanganya namun istrinya tak kunjung datang. Ia uring-uringan tidak jelas. Mencoba menghubungi telepon rumah, namun istrinya tidak berada di sana membuatnya semakin galau.Namun begitu melihat sambutan Emily yang manis, kegalau
“Apakah kita akan tinggal di sini?” tanya Ellard begitu mereka kembali ke dalam kamar. Ellard masih merasa tidak nyaman jika berlama-lama duduk bersama Rebcca. Beruntung Morin dan Jovan ada jadwal operasi sehingga mereka segera pergi setelah sarapan.“Apa kau keberatan?” Emily yang merapikan tempat tidur menghentikan kegiatannya dan menoleh pada Ellard yang duduk manis di sofa seraya memperhatikannya.“Aku tidak keberatan, hanya saja kita juga memiliki rumah,” Ellard beralasan. Faktanya ia memang tidak menyukai harus tinggal di dalam satu atap bersama Rebecca.“Rumahnya sudah kujual,” cicit Emily dengan wajah memelas.Ellard mengerjap, mencoba mencerna kalimat yang baru saja dicetuskan oleh Emily.“Apa kau mengatakan bahwa kau sudah menjual rumah kita, sayang?”Emily menganggukkan kepala, “Aku sudah pernah mengatakan bahwa aku kesepian. Rumah itu selalu