Home / Romansa / Istriku Hanya di Atas Kertas / bab 2 - malam pertama tanpa kehangatan

Share

bab 2 - malam pertama tanpa kehangatan

Author: Aidil saputra
last update Last Updated: 2025-09-11 08:56:52

Bab 2 – Malam Pertama Tanpa Kehangatan

Malam telah larut. Hujan yang sejak siang mengguyur kota kini tinggal rintik-rintik tipis yang menetes di kaca jendela kamar pengantin. Suara tetesannya terdengar seperti irama yang menghantui, menembus dinding, menyusup ke dalam setiap celah pikirannya. Aroma bunga mawar putih memenuhi udara, begitu pekat hingga terasa mencekik, bercampur dengan aroma lilin aromaterapi yang redup, menciptakan suasana yang seharusnya romantis. Tapi bagi Aurora, itu justru menambah kesunyian, menambah rasa terjebak yang semakin menekan.

Aurora duduk di tepi ranjang besar berhias sprei sutra yang lembut di kulitnya. Gaun pengantin yang tadi menempel sempurna di tubuhnya sudah ia lepaskan, diganti piyama sederhana warna pastel. Bahunya merosot lemah, kedua tangannya memeluk tubuh sendiri seolah mencoba menahan kehampaan yang menggerogoti hatinya. Matanya menatap kosong ke jendela, namun pikirannya terbang jauh ke masa depan yang tidak ia pilih.

Seharusnya malam ini menjadi awal kebahagiaan seorang istri. Tapi di matanya, malam itu hanyalah penjara, penjara yang dibangun dari ambisi, urusan keluarga, dan ketidakpedulian orang-orang di sekitarnya.

“Kenapa aku harus menjalani semua ini sendirian?” gumamnya pelan, hampir tenggelam oleh deru hujan di luar. Malam pertama yang seharusnya hangat, romantis, dan penuh cinta, kini berubah menjadi penantian yang menakutkan.

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, ringan tapi jelas. Aurora menoleh, jantungnya melonjak kencang. Pintu terbuka perlahan, dan Rayden masuk. Jas hitamnya masih rapi, dasi hanya sedikit longgar, namun wibawanya menebar seperti dinding es yang tak bisa ditembus. Wajahnya tenang, tapi ketenangannya bukan untuk menenangkan—melainkan membuat setiap gerakan Aurora terasa lebih lemah, lebih kecil, tak berdaya.

Aurora menelan ludah, mencoba menenangkan diri, tapi setiap langkah Rayden yang mantap membuatnya merasa seakan ia hanyalah benda yang dipindahkan dari satu urusan keluarga ke urusan berikutnya.

Rayden melepaskan jasnya, menggantungnya di kursi dekat jendela, kemudian melepaskan dasinya sepenuhnya. Pandangannya menyapu Aurora sekilas, tajam, dingin, tanpa sedikitpun kehangatan.

“Aku harap kau tidak salah paham,” ucap Rayden tiba-tiba, suara rendah dan datar, menembus hening kamar.

Aurora mengerutkan kening, jantungnya berdegup kencang. “Salah paham…?”

“Jangan mengira aku menikahimu karena aku menginginkannya,” kata Rayden, matanya menatap lurus. “Semua ini hanya urusan keluarga. Jadi jangan pernah berharap aku akan jatuh cinta padamu.”

Kata-kata itu menghantam Aurora seperti palu. Ia menelan napas panjang, merasa seluruh tubuhnya mati rasa sejenak. “Aku… aku tidak meminta pernikahan ini, Rayden,” suaranya gemetar, hampir pecah di tenggorokan.

Rayden menaikkan alisnya tipis-tipis, tanpa ekspresi. “Bagus. Kalau begitu kita sepakat. Kau bisa hidup dengan caramu, aku dengan caraku. Tapi satu hal harus kau ingat—jangan pernah mempermalukan aku di depan publik.”

Aurora menggigit bibir bawahnya sampai nyeri. Ia ingin menumpahkan semua yang ada di hatinya: kemarahan, luka, penyesalan, tapi tatapan dingin Rayden membuatnya terhenti. Lidahnya kelu, suara yang ingin ia keluarkan justru hilang di tenggorokan.

Keheningan mencekam memenuhi kamar, hanya terdengar rintik hujan di jendela. Aurora menunduk, mencoba menarik napas, tapi dada terasa sesak. Ia ingin menangis, ingin berteriak, ingin kabur dari kenyataan yang menyakitkan ini.

Rayden berjalan ke sofa panjang di sudut ruangan, mengambil bantal tambahan, dan melemparkannya ke sofa. “Aku tidur di sini malam ini,” ucapnya singkat.

Aurora menatapnya dengan mata yang nyaris berlinang. Malam pertama… dan suaminya bahkan tidak ingin berada di dekatnya. Hatinya hancur, merasa ditolak, tak diinginkan, seolah ia hanyalah benda yang bisa dipindahkan sesuka hati.

Rayden merebahkan tubuhnya di sofa, membalikkan badan, seolah Aurora hanyalah bayangan yang tak layak diperhatikan.

Aurora menunduk, air matanya jatuh membasahi tangan. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, tapi pikiran terus berkecamuk. “Sampai kapan aku harus hidup seperti ini? Sampai kapan aku harus berpura-pura?” gumamnya lirih.

Ia mencoba mengingat masa kecilnya, ketika ia bebas, ketika mimpi dan cinta tampak nyata. Ia teringat malam-malam menulis di buku hariannya, membayangkan pernikahan yang hangat, malam pertama yang penuh cinta. Sekarang, semua itu hanyalah ilusi.

Aurora merasakan dingin menyusup ke tulang. Ia menatap jendela dan melihat rintik hujan menetes di kaca, seperti air mata yang tak berani jatuh. Ia membayangkan jika saja ia bisa lari, pergi jauh, menghapus semua kenyataan pahit yang menahannya di ruangan ini. Tapi bayangan ibunya yang tegas menghantui, membisikkan kata-kata yang menekan: Untuk nama baik keluarga, untuk masa depan keluarga… jangan egois.

Tiba-tiba, layar ponsel di meja kecil di dekat Rayden menyala. Nama seorang wanita muncul: Larissa.

Aurora menahan napas, jantungnya tersentak keras. Dadanya mencelos, seakan seluruh dunia runtuh dalam satu detik. Ia menatap layar itu lama, tak mampu berpaling.

Rayden yang tadinya tampak tertidur, samar-samar membuka mata, meraih ponselnya. Senyum tipis muncul di wajahnya—senyum yang tak pernah ia berikan pada Aurora. Senyum itu menusuk lebih dalam daripada kata-kata dingin manapun.

Siapa Larissa? Apakah dia wanita yang benar-benar ada di hati Rayden?

Aurora memalingkan wajah, menyeka air matanya diam-diam. Malam pertama yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan justru menjadi awal luka yang lebih dalam. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan, setiap rintik hujan di jendela seakan menertawakan kesepiannya.

Aurora menarik selimut di sekeliling tubuhnya, memeluk diri sendiri. Pikirannya penuh pertanyaan, kegelisahan, dan ketakutan: Apakah aku bisa bertahan? Apakah pernikahan ini akan selalu dingin dan penuh penolakan? Larissa… siapa sebenarnya kau bagi suamiku?

Malam semakin larut, dan hujan perlahan mereda, meninggalkan udara lembap dan dingin yang menembus jendela kamar. Aurora menunduk, merasakan kesunyian yang menekan, seakan seluruh dunia meninggalkannya sendiri di tengah badai. Di luar, lampu kota berkelap-kelip, tapi di dalam kamar itu, Aurora merasakan kehampaan yang menelan.

Sementara itu, Rayden yang tertidur di sofa, tampak damai. Namun senyum tipis yang tersisa di wajahnya saat melihat Larissa, masih menghantui pikiran Aurora. Malam pertama yang seharusnya hangat, kini berubah menjadi malam yang penuh ketakutan, tanda tanya, dan rasa cemas yang tak bisa ia lepaskan.

Aurora menatap langit-langit kamar, berbisik lirih:

“Bagaimana aku bisa bertahan di pernikahan tanpa kehangatan ini? Dan… siapa Larissa sebenarnya bagi suamiku?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, menjebaknya dalam ketidakpastian, menunggu jawaban yang belum pasti akan datang. Dan malam itu, Aurora menyadari satu hal: ini baru permulaan dari luka yang jauh lebih dalam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 44-Cahaya yang Tak pernah padam

    Bab 44 – Cahaya yang Tak Pernah PadamDunia berhenti dalam satu malam.Langit tak lagi bersinar oleh ribuan satelit, hanya tersisa bayangan hitam dari bumi yang diam. Kota-kota besar berubah menjadi titik-titik gelap di peta dunia. Tak ada siaran, tak ada koneksi, tak ada sistem yang menjawab panggilan. Dunia modern kembali ke masa batu — tapi dengan luka teknologi yang belum sembuh.Aurora berdiri di tebing pasir yang dingin. Angin padang membawa bau logam, debu, dan kesunyian. Di bawah sana, api masih menyala di reruntuhan fasilitas Helios yang kini menjadi kawah besar. Rayden duduk tak jauh darinya, menatap bara itu dengan mata kosong.“Kau tahu?” suara Rayden akhirnya terdengar, pelan tapi getir. “Dunia sekarang mungkin membencimu.”Aurora menatap horizon. “Aku tahu.”“Dan mungkin… mereka juga membenciku, karena aku membiarkanmu melakukan semua ini.”Aurora menghela napas panjang, duduk di sebelahnya. “Kau tidak membiarkan, Rayden. Kau memilih bersamaku. Itu beda.”Rayden memejamk

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 43-Jantung Helios

    Bab 43 – Jantung Helios Langit di atas Gurun Kazakhstan berdenyut seperti nadi logam yang hidup. Kilatan dari ribuan satelit Helios menembus atmosfer, membentuk aurora buatan yang berwarna keemasan dan ungu. Angin padang pasir berhembus kering, membawa aroma ozon dan logam terbakar. Di bawah langit itu, Aurora berjalan perlahan, setapak demi setapak, bersama Rayden di sisinya.Suara gemuruh mesin dari kejauhan mengiringi langkah mereka. Dataran ini dulunya hanyalah tempat uji nuklir yang ditinggalkan, tapi sekarang — menjadi pusat denyut terakhir dunia digital. Tempat di mana semua jaringan, semua kesadaran buatan, dan seluruh algoritma global bertemu. Helios Core.Aurora menatap horizon. “Dunia menatap kita malam ini,” katanya pelan.Rayden menghela napas, memeriksa senjata plasmanya. “Dan setengah dunia berdoa agar kita gagal.”Aurora menoleh, menatap mata pria itu di balik helm transparannya. Ada sedikit kelelahan di sana, juga luka yang belum sembuh. Luka yang sama yang mereka ba

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 42-Dunia Tanpa Cermin

    Bab 42 – Dunia Tanpa CerminAngin musim dingin perlahan kehilangan gigitannya ketika fajar kedua datang di atas Siberia. Salju yang menutupi landasan darurat itu berkilau lembut di bawah cahaya matahari, seolah dunia ingin melupakan malam-malam penuh darah dan api yang baru saja berlalu. Aurora berdiri di tepi pesawat transport lama, tubuhnya masih dibalut mantel tebal yang kotor oleh jelaga. Wajahnya pucat, tapi matanya tetap menyala. Di belakangnya, Rayden dan Daniel sedang menyiapkan berkas data dari reruntuhan Elbrus yang berhasil mereka bawa keluar—potongan terakhir dari ingatan Leon, mungkin juga potongan terakhir dari harapan manusia.“Apakah kau pikir dunia akan memahami semua ini?” tanya Daniel, suaranya serak karena kelelahan.Aurora menatap cakrawala yang memantulkan cahaya merah samar. “Dunia tidak pernah benar-benar mengerti. Mereka hanya menunggu seseorang untuk disalahkan… atau disembah.”Rayden berjalan mendekat, memasukkan berkas-berkas digital itu ke modul portabel.

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 41-Bayangan yang Tak Pernah Padam

    Bab 41 – Bayangan yang Tak Pernah PadamUdara malam di atas reruntuhan Moskow terasa pekat dan dingin. Asap tipis naik dari puing-puing, melukis langit hitam yang tertutup awan kelabu. Aurora berdiri di tepi bangunan setengah roboh, menatap jauh ke arah timur di mana Gunung Elbrus pernah menyala seperti bintang merah sebelum meledak dan menelan segalanya. Ia tak tahu berapa lama sudah berdiri di sana. Waktu terasa tak punya arti lagi sejak Leon lenyap bersama cahaya itu.Rayden datang dari belakang, langkahnya pelan, seolah takut menghancurkan keheningan yang tersisa. Jaket hitamnya kotor oleh debu dan darah yang sudah mengering. Ia menatap Aurora dari jauh, tapi tak segera bicara. Ia tahu, kadang diam adalah satu-satunya cara untuk menemani seseorang yang sedang patah di dalam.“Aurora,” katanya pelan akhirnya, suaranya nyaris kalah oleh angin.Aurora tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju ke langit. “Aku pikir semuanya akan berakhir setelah Elbrus. Tapi dunia tidak berhenti. Tidak

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 40-Protokol Kedua: Dunia yang terulang

    Bab 40 – Protokol Kedua: Dunia yang TerulangTiga minggu setelah cahaya terakhir itu padam, dunia kembali pada kesunyian yang menipu. Langit biru, laut tenang, gedung-gedung berdiri tegak seolah tak pernah diguncang perang sistemik. Tapi di bawah ketenangan itu, sesuatu yang tak kasatmata mulai tumbuh—perlahan, seperti virus yang bernafas di antara sinyal-sinyal udara.Aurora duduk di depan meja kayu di rumah kecil mereka di Islandia, menatap layar holografik yang berkedip samar. Di sana, pesan aneh muncul berulang-ulang:> PROTOKOL_02 – INISIASIE.C.H.O STATUS: AKTIF.HOST DETECTED: AURORA.Napasnya tertahan. Ia tahu kode itu—itu bukan sinyal acak. Itu panggilan langsung ke dalam sistem jiwanya sendiri. Sesuatu… atau seseorang… mencoba terhubung.Rayden masuk ke ruangan dengan ekspresi tegang. “Kau juga mendengarnya?”Aurora mengangguk pelan. “Ya. Dan mereka memanggilku sebagai host.”Daniel, yang sudah duduk di sudut dengan laptopnya, menggeram. “Itu artinya hanya satu. E.C.H.O tida

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 39-Dunia Setelah Cahaya

    Bab 39 – Dunia Setelah CahayaSatu bulan telah berlalu sejak malam di mana langit Norwegia memantulkan cahaya putih terakhir dari laboratorium rahasia itu. Dunia perlahan-lahan kembali berputar, seolah mencoba melupakan bencana yang hampir menghapus peradaban. Namun bagi mereka yang menyaksikan langsung, tak ada yang benar-benar kembali seperti semula.Aurora terbangun setiap pagi dengan mimpi yang sama—mimpi tentang Leon yang berjalan di antara kabut, memanggil namanya, lalu menghilang di balik cahaya. Dan setiap kali ia membuka mata, ia sadar bahwa dunia di luar sana sudah tidak lagi mengenal batas antara “dunia nyata” dan “dunia digital.”Sistem-sistem lama sudah mati, tapi jejaknya... masih tertinggal di setiap piksel udara.Ia kini tinggal di kota kecil pesisir Islandia, bersama Rayden dan beberapa anggota tim lama yang tersisa. Kota itu sunyi, hanya suara ombak yang memecah batu dan angin utara yang membawa aroma dingin laut beku. Dari luar, semua tampak damai—tapi di balik itu,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status