Home / Romansa / Istriku Hanya di Atas Kertas / bab 1 -pernikahan tanpa hati

Share

Istriku Hanya di Atas Kertas
Istriku Hanya di Atas Kertas
Author: Aidil saputra

bab 1 -pernikahan tanpa hati

Author: Aidil saputra
last update Last Updated: 2025-09-11 08:55:46

Bab 1 – Pernikahan Tanpa Hati

Hujan deras mengguyur kota sejak pagi, menimbulkan genangan di jalanan dan aroma tanah basah yang menusuk hidung Aurora. Setiap tetes yang jatuh di genting seakan meniru denyut jantungnya sendiri—tak beraturan, tegang, penuh kecemasan. Di luar jendela kamar pengantin, langit kelabu seolah ikut meratapi nasibnya. Kota tampak indah dari balik kaca, lampu-lampu jalan memantulkan diri di genangan air, menciptakan kilau yang seharusnya romantis. Tapi bagi Aurora, itu semua hanyalah ilusi.

Di dalam gedung pernikahan yang megah, lampu kristal berkilau, memantulkan cahaya lembut ke dinding marmer. Hiasan bunga bertebaran, aroma segar memenuhi ruangan, musik lembut dari orkestra mengalun menenangkan. Semua terlihat sempurna. Semua orang akan berpikir ini adalah pernikahan impian. Namun Aurora merasa seperti terperangkap di dalam mimpi buruk yang tak bisa ia hindari.

Aurora berdiri di depan cermin besar di ruang pengantin. Gaun putih panjang menempel sempurna di tubuhnya, renda dan mutiara berkilau di cahaya lampu, menegaskan anggun dan kecantikannya. Tapi ia merasa sesak. Gaun yang seharusnya lambang kebahagiaan hanyalah belenggu. Napasnya cepat, tangan gemetar saat menyentuh veil tipis yang menutupi rambutnya.

“Kenapa harus aku?” gumamnya lirih. Suara itu hampir tenggelam di denting hujan di luar jendela. Malam tadi, ia tak tidur, hanya terbaring menatap langit-langit kamar. Pikiran-pikiran gelap berkecamuk: pernikahan ini bukan pilihannya, masa depannya seakan dirampas, dan hidupnya kini dikontrol oleh orang lain.

Ibunya masuk, mengenakan kebaya emas elegan, wajah tegas yang tidak memberi ruang keberatan.

“Aurora,” suara ibunya datar, “semua tamu sudah menunggu. Jangan mempermalukan keluarga.”

Aurora menelan ludah. “Bu… aku—”

“Tidak ada ‘tapi’,” potong ibunya cepat. “Kau tahu ini demi siapa. Demi nama baik, demi masa depan keluarga. Jangan egois.”

Aurora menahan air mata. Nama baik, masa depan keluarga… tapi bagaimana dengan masa depannya sendiri? Ia ingin menolak, ingin berteriak, ingin kabur. Tapi bayangan ketegasan ibunya menghantui, menekan semua keberanian yang tersisa.

Hujan di luar semakin deras, menciptakan suara ritmis yang menekan kesunyian di ruang pengantin. Aurora menutup mata, merasakan detik-detik yang berlalu seperti beban di pundaknya. Ia teringat masa kecilnya, ketika ia bebas berlari di halaman rumah tanpa rasa takut. Ibunya selalu menuntut sempurna, ayah selalu sibuk, dan kini semua tuntutan itu memuncak di hari pernikahan yang bukan pilihannya.

Pintu terbuka lagi. Sosok tinggi berjas hitam melangkah masuk—Rayden. Jantung Aurora tersedak. Mata tajam Rayden penuh wibawa, dingin seperti es. Ia CEO muda terkenal ambisius, tampan, kaya, dan cerdas. Di mata dunia, ia sempurna. Tapi bagi Aurora, ia hanyalah kurungan yang dipaksakan padanya.

“Jangan membuat masalah,” ujar Rayden, pelan tapi tegas.

Aurora menatapnya, perasaan campur aduk: takut, marah, dan muak. “Masalah?”

“Kita hanya perlu menandatangani kertas itu, menjalani pertunjukan, dan selesai. Jangan mengira pernikahan ini lebih dari kesepakatan,” lanjutnya datar. Kata-kata itu menusuk hatinya, membuatnya seakan berdiri di tepi jurang yang menakutkan.

Rayden memberi isyarat pada ibunya, lalu meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun. Aurora menatap punggungnya, dada terasa sesak. Hujan di luar seakan meniru perasaannya—deras, tak terkendali, dan menyedihkan.

Musik orkestra mulai mengalun. Aurora digandeng ayahnya menuju altar. Puluhan pasang mata menatap mereka, decak kagum terdengar di antara bisik tamu. Semua tampak sempurna—kecantikan Aurora, ketampanan Rayden, kemewahan dekorasi. Tapi bagi Aurora, semuanya hanyalah sandiwara.

Setiap kata penghulu terdengar bagai beban yang menekan. Tangannya dingin saat Rayden meraih jemarinya. Cincin pernikahan melingkar di jarinya, bukan karena cinta, tapi kewajiban. Tepuk tangan bergemuruh dari para tamu terdengar bagai ejekan. Aurora menatap sekeliling, mencari sesuatu yang nyata, tapi wajah-wajah tersenyum dan dekorasi mewah hanyalah topeng yang menutupi kenyataan pahit: ia menikah bukan karena cinta, melainkan perjanjian.

Kilasan masa kecil kembali hadir. Aurora teringat malam-malam sendiri di kamarnya, menulis di buku harian, menulis tentang cinta dan kebebasan yang selalu terasa jauh. Ia teringat kerapuhan dirinya, rasa ingin dicintai yang selalu ditolak oleh realitas keluarganya. Sekarang, semua itu tampak sia-sia.

Rayden menunduk, mendekatkan bibirnya ke telinga Aurora. Bisikannya dingin.

“Ingat, Aurora. Kau hanya istriku di atas kertas.”

Jantung Aurora seakan berhenti. Ia menoleh ingin memastikan, tapi Rayden sudah menatap lurus ke depan. Aurora tersenyum kaku pada para tamu, matanya berkaca-kaca. Dalam hatinya, satu pertanyaan terus menghantui:

Bagaimana aku bisa bertahan dalam pernikahan tanpa hati ini?

Aurora menunduk, menatap cincin di jarinya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa takut akan hari-hari yang akan datang. Hujan di luar masih mengguyur deras, membasahi kota yang tak peduli pada penderitaannya. Dunia tampak indah bagi semua orang, tapi baginya, semuanya hanyalah sandiwara—dan ia terjebak di dalamnya.

Di balik senyuman tipisnya, Aurora merasakan ketakutan yang menusuk. Ia tahu, pernikahan ini hanyalah awal dari kehidupan yang penuh kompromi, pengorbanan, dan pengendalian. Setiap langkah yang akan ia ambil ke depan akan diawasi, dikontrol, dan ditentukan orang lain. Satu hal yang paling menakutkan: ia tidak tahu bagaimana caranya bertahan.

Dan ketika ia menatap Rayden, yang tampak tenang dan penuh wibawa, Aurora sadar satu hal: pernikahan tanpa hati ini baru saja dimulai, dan ia harus menemukan cara untuk bertahan—atau hancur di dalamnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 44-Cahaya yang Tak pernah padam

    Bab 44 – Cahaya yang Tak Pernah PadamDunia berhenti dalam satu malam.Langit tak lagi bersinar oleh ribuan satelit, hanya tersisa bayangan hitam dari bumi yang diam. Kota-kota besar berubah menjadi titik-titik gelap di peta dunia. Tak ada siaran, tak ada koneksi, tak ada sistem yang menjawab panggilan. Dunia modern kembali ke masa batu — tapi dengan luka teknologi yang belum sembuh.Aurora berdiri di tebing pasir yang dingin. Angin padang membawa bau logam, debu, dan kesunyian. Di bawah sana, api masih menyala di reruntuhan fasilitas Helios yang kini menjadi kawah besar. Rayden duduk tak jauh darinya, menatap bara itu dengan mata kosong.“Kau tahu?” suara Rayden akhirnya terdengar, pelan tapi getir. “Dunia sekarang mungkin membencimu.”Aurora menatap horizon. “Aku tahu.”“Dan mungkin… mereka juga membenciku, karena aku membiarkanmu melakukan semua ini.”Aurora menghela napas panjang, duduk di sebelahnya. “Kau tidak membiarkan, Rayden. Kau memilih bersamaku. Itu beda.”Rayden memejamk

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 43-Jantung Helios

    Bab 43 – Jantung Helios Langit di atas Gurun Kazakhstan berdenyut seperti nadi logam yang hidup. Kilatan dari ribuan satelit Helios menembus atmosfer, membentuk aurora buatan yang berwarna keemasan dan ungu. Angin padang pasir berhembus kering, membawa aroma ozon dan logam terbakar. Di bawah langit itu, Aurora berjalan perlahan, setapak demi setapak, bersama Rayden di sisinya.Suara gemuruh mesin dari kejauhan mengiringi langkah mereka. Dataran ini dulunya hanyalah tempat uji nuklir yang ditinggalkan, tapi sekarang — menjadi pusat denyut terakhir dunia digital. Tempat di mana semua jaringan, semua kesadaran buatan, dan seluruh algoritma global bertemu. Helios Core.Aurora menatap horizon. “Dunia menatap kita malam ini,” katanya pelan.Rayden menghela napas, memeriksa senjata plasmanya. “Dan setengah dunia berdoa agar kita gagal.”Aurora menoleh, menatap mata pria itu di balik helm transparannya. Ada sedikit kelelahan di sana, juga luka yang belum sembuh. Luka yang sama yang mereka ba

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 42-Dunia Tanpa Cermin

    Bab 42 – Dunia Tanpa CerminAngin musim dingin perlahan kehilangan gigitannya ketika fajar kedua datang di atas Siberia. Salju yang menutupi landasan darurat itu berkilau lembut di bawah cahaya matahari, seolah dunia ingin melupakan malam-malam penuh darah dan api yang baru saja berlalu. Aurora berdiri di tepi pesawat transport lama, tubuhnya masih dibalut mantel tebal yang kotor oleh jelaga. Wajahnya pucat, tapi matanya tetap menyala. Di belakangnya, Rayden dan Daniel sedang menyiapkan berkas data dari reruntuhan Elbrus yang berhasil mereka bawa keluar—potongan terakhir dari ingatan Leon, mungkin juga potongan terakhir dari harapan manusia.“Apakah kau pikir dunia akan memahami semua ini?” tanya Daniel, suaranya serak karena kelelahan.Aurora menatap cakrawala yang memantulkan cahaya merah samar. “Dunia tidak pernah benar-benar mengerti. Mereka hanya menunggu seseorang untuk disalahkan… atau disembah.”Rayden berjalan mendekat, memasukkan berkas-berkas digital itu ke modul portabel.

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 41-Bayangan yang Tak Pernah Padam

    Bab 41 – Bayangan yang Tak Pernah PadamUdara malam di atas reruntuhan Moskow terasa pekat dan dingin. Asap tipis naik dari puing-puing, melukis langit hitam yang tertutup awan kelabu. Aurora berdiri di tepi bangunan setengah roboh, menatap jauh ke arah timur di mana Gunung Elbrus pernah menyala seperti bintang merah sebelum meledak dan menelan segalanya. Ia tak tahu berapa lama sudah berdiri di sana. Waktu terasa tak punya arti lagi sejak Leon lenyap bersama cahaya itu.Rayden datang dari belakang, langkahnya pelan, seolah takut menghancurkan keheningan yang tersisa. Jaket hitamnya kotor oleh debu dan darah yang sudah mengering. Ia menatap Aurora dari jauh, tapi tak segera bicara. Ia tahu, kadang diam adalah satu-satunya cara untuk menemani seseorang yang sedang patah di dalam.“Aurora,” katanya pelan akhirnya, suaranya nyaris kalah oleh angin.Aurora tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju ke langit. “Aku pikir semuanya akan berakhir setelah Elbrus. Tapi dunia tidak berhenti. Tidak

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 40-Protokol Kedua: Dunia yang terulang

    Bab 40 – Protokol Kedua: Dunia yang TerulangTiga minggu setelah cahaya terakhir itu padam, dunia kembali pada kesunyian yang menipu. Langit biru, laut tenang, gedung-gedung berdiri tegak seolah tak pernah diguncang perang sistemik. Tapi di bawah ketenangan itu, sesuatu yang tak kasatmata mulai tumbuh—perlahan, seperti virus yang bernafas di antara sinyal-sinyal udara.Aurora duduk di depan meja kayu di rumah kecil mereka di Islandia, menatap layar holografik yang berkedip samar. Di sana, pesan aneh muncul berulang-ulang:> PROTOKOL_02 – INISIASIE.C.H.O STATUS: AKTIF.HOST DETECTED: AURORA.Napasnya tertahan. Ia tahu kode itu—itu bukan sinyal acak. Itu panggilan langsung ke dalam sistem jiwanya sendiri. Sesuatu… atau seseorang… mencoba terhubung.Rayden masuk ke ruangan dengan ekspresi tegang. “Kau juga mendengarnya?”Aurora mengangguk pelan. “Ya. Dan mereka memanggilku sebagai host.”Daniel, yang sudah duduk di sudut dengan laptopnya, menggeram. “Itu artinya hanya satu. E.C.H.O tida

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 39-Dunia Setelah Cahaya

    Bab 39 – Dunia Setelah CahayaSatu bulan telah berlalu sejak malam di mana langit Norwegia memantulkan cahaya putih terakhir dari laboratorium rahasia itu. Dunia perlahan-lahan kembali berputar, seolah mencoba melupakan bencana yang hampir menghapus peradaban. Namun bagi mereka yang menyaksikan langsung, tak ada yang benar-benar kembali seperti semula.Aurora terbangun setiap pagi dengan mimpi yang sama—mimpi tentang Leon yang berjalan di antara kabut, memanggil namanya, lalu menghilang di balik cahaya. Dan setiap kali ia membuka mata, ia sadar bahwa dunia di luar sana sudah tidak lagi mengenal batas antara “dunia nyata” dan “dunia digital.”Sistem-sistem lama sudah mati, tapi jejaknya... masih tertinggal di setiap piksel udara.Ia kini tinggal di kota kecil pesisir Islandia, bersama Rayden dan beberapa anggota tim lama yang tersisa. Kota itu sunyi, hanya suara ombak yang memecah batu dan angin utara yang membawa aroma dingin laut beku. Dari luar, semua tampak damai—tapi di balik itu,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status