Part5
°pov Hesti°"Mas Danu, dia akan menikah lagi Bu, Pak." Aku berkata dengan terisak, sambil tergugu menatap pilu sebuah foto usang kedua orang tuaku.
Hanya foto mereka yang aku miliki.
Menurut cerita bi Sari, kedua orang tuaku merantau jauh. Mereka jadi TKW dan TKI, aku sendiri, di titipkan dan di besarkan oleh bi Sari.
Bi Sari, wanita hebat itu membesarkan aku seorang diri, karena suaminya telah lama meninggal dunia. Wanita hebat itu, memilih fokus membesarkanku, dari pada menikah lagi, aku menyayanginya.
Akulah teman hidupnya satu-satunya, setelah Kakek dan Nenek berpulang.Bapak dan Ibu tidak pernah pulang ke Indonesia lagi. mereka hanya mengirimkan uang pada Bibi, bahkan untuk sekedar menelponku pun tidak pernah sama sekali.
Terakhir kabar yang kudengar, Bapak telah menikah lagi. Dan Ibu tidak pernah ada kabar sama sekali.
Aku bersekolah hanya sampai SMA saja, setelah itu aku bekerja di sebuah perusahaan retail yang cukup besar di kotaku.
Dan aku bekerja di bagian kasirnya. Di tempat kerja inilah, awal pertemuan aku dan mas Danu.
Lelaki itu menjabat sebagai seorang regional, yang memegang tanggung jawab di beberapa cabang yang ada di kota-kota besar lainnya.Singkat cerita, mas Danu datang ke rumah bi Sari, dan dia minta izin untuk mengajakku ta'aruf. Bi Sari pun menyerahkan semua keputusan padaku.
Dengan senang hati, aku menerima lamaran mas Danu, setelah lima bulan ta'aruf. Prosesi lamaran pun berlangsung di rumah Bi Sari, mas Danu datang bersama keluarga besarnya.
Tanpa aku ketahui dengan detail, rupanya mas Danu, adalah anak pemilik perusahaan, yang merupakan tempat aku bekerja.
Sedangkan Ibunya, seorang pemilik Butik terkenal di kota kami, Butik Elizabeth.Saat prosesi lamaran, tidak ada senyum sedikitpun di wajah Ibu mas Danu, hanya Ayah nya saja, Pak Haryo Bramasta, yang begitu ramah menyapa kami sekeluarga.
Mas Danu adalah anak satu-satunya keluarga mereka.
"Danu, ini calon kamu? Nak, cantik ya, kamu pinter pilih calon istri," tutur Ayahnya dengan ramah. Membuatku, merasa tersipu dengan perkataan Ayahnya saat itu.
"Makasih, Ayah," jawab mas Danu dengan senyum sumringah.
"biasa aja," timpal Ibu mas Danu dengan wajah tidak suka.
*******
Seminggu setelah prosesi lamaran, aku dan mas Danu pun melangsungkan pernikahan di sebuah hotel yang paling mewah di kota kami.
Mas Danu, dia menghadiahiku sebuah hunian mewah bertingkat dua dan satu unit mobil Toyota Yaris, berwarna merah menyala.
Saat itu, aku merasa hidupku paling beruntung dan bahagia.
Aku dan mas Danu menempati rumah itu, setelah melewatkan malam pengantin kami di hotel.
Kebahagiaan kami tidak berlangsung lama, karena Ibu mertuaku, yang merupakan Ibu mas Danu, selalu datang ke rumah kami.
Entah dimana salahnya diri ini. Aku selalu saja dia marahi, dan selalu saja ada alasan dia untuk marah padaku.
Masih tercetak jelas dalam ingatan ini, saat Ibu mertua datang ke rumah kami.
"Danu, anakku, Ibu datang!" teriaknya dari luar pintu. Bunyi bell terus bernyanyi, dengan suara Ibu mertua yang terus mengikuti.
Dan saat itu, aku dan mas Danu sedang sarapan.
"Ibu datang lagi," lirih mas Danu. Nampak sekali, wajahnya menjadi mendung seketika, ketika tahu yang datang itu adalah Ibunya.
"Biar aku yang bukain," ujarku. Meskipun aku tahu, Ibu pasti akan mengomel seperti biasa. Tapi aku tidak ingin, sarapan mas Danu jadi terganggu, gara- gara kedatangah Ibu mertua.
Gegas aku berdiri, dan berjalan setengah berlari menuju pintu utama. Dan saat pintu utama aku buka, wajah marah Ibu menatapku.
"Lama banget sih, budek ya!!" bentaknya padaku.
"Maaf Bu, Hesti dan mas Danu lagi sarapan, di belakang," jawabku lembut, meskipun hatiku dongkol."Minggir kamu!" Ibu mendorongku ke samping, hampir saja aku kehilangan keseimbangan. Aku pun hanya bisa menarik napas berat, berharap kesabaran masih bersamaku.
"Danu, lain kali ajarin istri kamu adab dan sopan santun sama orang tua! Ibu datang tidak pernah di sambut dengan baik," lapornya pada suamiku, yang sedang menyantap sarapannya.
"Iya Bu, nanti Danu nasehatin Hesti nya, ayo makan bareng, Bu." Suamiku mengajak Ibunya.
Aku berjalan dengan diam, dan kembali duduk dikursiku.
"Malas, masakan kampungan begini, bisa bikin Ibu alergi," ejeknya sambil melirikku.
"Bu, cobalah dulu, Danu yakin Ibu yang cantik ini pasti suka." Mas Danu mencoba merayu Ibunya, agar tidak ngomel-ngomel lagi.
Tanpa kuduga, Ibu mertua pun mengambil posisi, segera mendarat kan bokongnya ke kursi, yang berada di samping mas Danu.
Saat dia menyendok nasi goreng, dan memakannya, tiba- tiba dia membuat drama lagi.
"Huekkk ..., cuih, makanan apa ini? Hesti. Ini makanan yang kamu masak? Buat anak saya?" teriak Ibu padaku, kemudian ia segera berdiri dan membuang semua masakanku ke lantai.
"Astaghfirullah," pekikku.
Part6"Atagfirullah," pekik Hesti.Aku pun turut terkejut, melihat perbuatan Ibu yang begitu saja menghamburkan sarapan pagi kami."Bu, kenapa harus seperti ini," pekikku."Danu! Makanan Hesti tidak enak, Ibu tidak suka. Kamu jangan makan itu lagi, rasanya benar- benar menjijikkan," bentak Ibu padaku."Bu, jangan keterlaluan seperti ini, tolong hargai Danu, Bu. Biar bagaimana pun juga, Hesti adalah istri Danu ....""Mentang- mentang dia istri kamu, jadi kamu nggak apa- apa gitu, makan makanan buruk begitu?""Ya, apapun yang Hesti masak, Danu akan selalu makan. Jika Ibu tidak suka, itu tidak masalah, asal jangan di buang begini semuanya!!""Pandai sekali kamu melawan Ibu. Mau jadi anak durhaka kamu?" Ibu marah dan melotot kepadaku."Semakin kamu berani melawan Ibu, maka Ibu akan semakin membenci Hesti ...."Mendengar penuturannya, membuatku kembali merasa tidak berdaya.Sebagai anak tunggal, aku memang mendapatkan begitu banyak cinta dari Ibu dan Ayah selama ini.Kasih sayang mereka, ku
Bab7 Memory lama itu kembali berputar di ingatanku. Dan Ibu benar- benar membawa Naomi ke dalam rumah tangga kami. Naomi, teman masa kecilku, sekaligus tetangga kami dahulu.Semenjak Ayahnya pindah tugas ke kota lain, kami memang tidak pernah bertemu lagi, bahkan berkomunikasi. Tidak kusangka, kami akan bertemu dengan kisah yang berbeda. Jika dulu kami adalah teman baik, kini lain ceritanya. Naomi datang, sebagai calon istri keduaku. "Mas, kenapa sih kamu kaku begini? Lagian aku cuma mau cium kamu ...." suara Naomi seakan menyeretku kembali ke alam sadar, setelah teringat berbagai kejadian- kejadian sebelumnya di hidupku. "Kamu nggak suka sama aku, ya. Kok aku jadi sedih begini. Kalau memang kamu terpaksa sama aku, aku bisa bantu bilang sama Ibu, mungkin dia mau paham," ujar Naomi, yang membuatku menjadi tidak nyaman. "Naomi, kita bukan pasangan halal, aku nggak mau melakukan kontak fisik sama kamu, sebelum kita menjadi pasangan halal, itu bukti aku menghargai kamu." Aku menco
Bab8Disaat otak ini teracuni oleh napsu, tiba- tiba ponsel dicelanaku bergetar. Aku bergegas menjauhkan kuat Naomi dari tubuhku dan aku pun langsung berdiri, menjauh dari tempat tidur wanita itu.Kuambil ponsel disaku celana, dan kulihat panggilan istriku sayang masuk. Aku menjawab panggilan itu, sembari melangkah lebar, meninggalkan kamar Naomi.Wanita itu terus mendesah, seakan masih berusaha menggodaku. Tapi aku tetap berjalan mantap, meninggalkan rumah Naomi."Aku tidak harus mengikuti kemauan Ibu yang satu ini. Ini tidak benar, dan aku tidak bisa," gumamku dalam hati."Hemm, ada apa sayang?" tanyaku pada Hesti, ketika selesai menjawab salam darinya."Aku melihat mobil kamu, Mas. Kamu dimana?" tanya istriku itu."Nih di depan rumah kita," jawabku cepat, karena memang sekarang aku sudah ada di depan rumah kami. Aku meninggalkan Naomi begitu saja, biarlah."Oh baiklah, aku buka pintunya," ucap Hesti, dan panggilan telepon pun berakhir, dengan mengucapkan salam.Setelah dibuka pintu,
Bab9 "Aku hanya butuh ketenangan, apakah kalian semua ingin membuat aku malu?" tanyaku pada Naomi dan juga Ibu secara bergantian. Naomi menunduk. "Maafkan perasaan ini, menjadi sulit terkendali. Aku berharap kamu mengerti, Mas. Aku tulus sayang sama kamu, hingga membuatku menjadi orang bodoh seperti ini," lirihnya. "Andai saja perasaan ini tidak ada, aku juga tidak mungkin mau mempermalukan diri ini, bahkan di rendahkan oleh mbak Hesti, hanya karena ingin sekali bertemu sama kamu," lanjutnya mulai terisak. "Hei sayang, Naomi tidak salah. Jangan menangis cantik, Ibu paham perasaan kamu," ujar Ibuku, yang langsung bereaksi ketika Naomi menangis. "Andai saja wanita itu beradab dan berhati nurani, dia tidak mungkin bersikap kurang ajar sama kamu, entah dukun mana yang sudah dia pakai, sampai- sampai menutup mata hati anak Ibu, kamu yang sabar ya, sayang." Ibu memeluk Naomi, sambil memberikan kata semangat yang penuh sindiran kepada kami. "Lebih baik kita batalkan saja rencana pernik
Part10Saat sampai di depan rumah, ternyata dirumah ada yang datang.Ku putar gagang pintu, aku segera masuk ke dalam."Eh, ada Bi Sari!"sapaku pada Bi Sari yang tengah duduk di ruang tamu sendiri."Danu, gak ngantor?" Tanya Bi Sari padaku.Aku langsung mencium punggung tangannya dan mendaratkan bokong ke sofa yang berhadapan dengan Bi Sari."Hari ini, Danu mau istirahat dulu, Bi. Lelah kerja melulu" ucapku sambil tersenyum padanya.Hesti datang dari arah dapur, membawakan minuman dan cemilan.Tatapannya dingin padaku. Bahkan Dia tidak menyapaku sama sekali."Ini, Bi. Cicipin dulu." Ucapnya ke Bibinya"Sayang, Mas, ko gak di sapa?" Rajukku"Em, Mas, gak ngantor?" Tanyanya datar.Tok..tok..tok.. Siapa lagi yang bertamu jam pagi begini? Gumamku"Biar, Mas, yang buka!"--**--Saat membuka pintu, aku kaget sekali. Ibu datang bersa
Part11"Yasudah, Ibu istirahat dulu, Danu mau keluar sebentar"ucapku menengkannya, Ibu hanya diam.Aku keluar, menemui Hesti dan Bi Sari.Aku bawa mereka pulang ke rumah.Ku telpon bi Iyem dan minta Bi Iyem, asisten rumah tangga Ibu, untuk menemani Ibu di rumah sakit.Sesampainya di rumah.Ku sampaikan maksudku pada Bi Sari dan Hesti, kami bertiga duduk di ruang tamu."Begini, Sayang, Bi Sari, Danu minta maaf. Atas perlakuan Ibu tadi pagi!" Ucapku membuka obrolan."Danu, benarkah kamu mau di nikahkan lagi?"tanya bi Sari tajam."Benar, Bi. Bahkan tadi di rumah sakit, Ibu meminta Saya menikah besok dengan Naomi! Sayang, Hesti. Tolong izinkan, Mas. Sayang!" Aku mencoba menjelaskan ke Bi Sari dan memohon Hesti menerima maksud Ibu, yang ingin segera menimang cucu."Silahkan! Tapi ceraikan aku dulu, Mas." Ucapnya dingin"Mas, Sayang Hesti. Mana mungkin mas sanggup berpisah. Bukan ini yan
Part12Pov HestiSetelah ku jelaskan semua ke Ayah, Ayah pun berjanji akan membantu permasalahan pelik rumah tangga kami."Semoga ada jalan terbaik"ucap batinku.Pagi--* jam 06:05 WIB.Aku dan Bibi sudah bersiap di dapur membuat sarapan untuk kami bertiga."Sayang! Selamat pagi, selamat pagi Bi Sari!" Ucap mas Danu sambil berjalan menuju meja makan.Bi Sari tersenyum tipis. "Selamat pagi juga, Danu." Ucapnya, sedangkan aku hanya terdiam, rasanya masih enggan menjawab sapaannya, masih ada rasa sakit dihati ini, ketika mata ini memandanginya."Bi, Hesti, selesai sarapan, Mas langsung ke rumah sakit, jenguk Ibu. Malam tadi, Ayah telepon, katanya Ayah nemani Ibu di rumah sakit." Ucap mas Danu"Oh, iya silahkan, salam buat Ibumu, semoga segera sehat kembali."ucap bi Sari.*____* Siang hari saat kami bersantai di ruang tengah, sambil menonton televisi.Tokk...tok..tok.... "Ti
Part13Pov Ibu.Sialan.... Ayah datang lagi. Gagal rencanaku kalau begini, harusnya aku bisa maksa si Danu buat nikahin Naomi secepatnya. Biar tau rasa tu Hesti, tapi malah kacau berantakan gini, sandiwara ku hampir saja terbongkar.Haruskah aku pura-pura sakit jantung? Biar mereka semua nurut sama permintaanku. Aku gak mau dong, kalah sama perempuan kampung itu.Tok..tok... Em, itu pasti Ayah, ah rasanya aku ingin sendiri saat ini, mau cari inspirasi buat misahin anakku dari perempuan kampung itu.Tokk..tok.. "aih, Ayah berisik kali, tidur di ruang tamu saja, Ibu lagi pengen sendiri, Ibu kecewa sama Ayah, Ayah, gak sayang sama Ibu lagi." Teriakku dari dalam kamar."Yasudah."jawab Ayah dari luar.Sialan, gak mendapatkan sinyal baik dari, Ayah. Aku harus sabar. Aku pasti menang melawan Hesti dan Bibi nya yang songong itu.***_____*** Sarapan pagi."Pagi, Bu. Ayo sarapan!"ucap Ayah.