"Besok aku gak buka toko dulu, ada panggilan kerja bantu pasang keramik di luar kota," ucap Gio seraya bersandar di dipan ranjang.
"Hah! Serius, Mas, berapa lama? Berapa hari?" tanya Rani beruntun yang justru memperlihatkan raut penuh bahagia jika Gio akan pergi ke luar kota. Padahal Gio hanya ingin memeriksa kondisinya saja dan terpaksa berbohong karena ingin tahu apa yang dilakukan Rani selama ia tidak ada di rumah. Sepertinya pergi keluar kota untuk membantu kerja bangunan, adalah alasan yang tepat karena selain menjual buah, Gio memang mahir bekerja proyek bangunan. "Dua hari, saja," jawab Gio. "Oh… okey, kalau emang dua hari belum kelar, kamu lanjutin saja sampai selesai. Aku nggak apa kok kamu tinggal, kan ada mama," sahut Rani santai. "Nanti aku lihat situasinya, ya," ucap Gio yang langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Ia mencoba memejamkan matanya, tetapi malah terus saja terngiang dengan ucapan dan perkataan Ana soal Rani bila Gio sedang berjualan di pasar tadi. "Mas Gio romantis sekali, ya sama Rani. Walaupun cuma kerja di pasar, tapi Mas selalu menelepon Rani setiap waktu," ucap Ana tetangga Rani yang membeli buah di toko Gio. "Romantis ditelpon? Maksud kamu gimana, ya?" Gio menjadi heran. "Ah, nggak usah pura-pura nggak tahu, Mas. Aku sering denger Mas itu teleponan sama Rani bilang sayang... sayang. Bilang tak mau kehilangan dan banyak, ah... pokoknya," jawab Ana. Gio terdiam dan membalas ucapan Ana dengan senyuman, kemudian dia dilanda kebingungan. Sebab selama Gio bekerja di toko buah, Gio tidak pernah sama sekali menelepon Rani apalagi bicara soal takut kehilangan. 'Siapa yang sedang Rani telepon saat aku bekerja disini?' batin Gio bertanya-tanya. Setelah Ana selesai membeli buah, Gio segera mencari ponselnya yang ia simpan di sebuah tas dan Gio mencoba menghubungi nomor Rani lewat aplikasi hijau. Tut... Tut...! 'sedang dalam panggilan lain' "Siapa yang dia telepon?!" rutuk Gio dan kemudian ia menelepon Rani tanpa sambungan internet. [Halo... Mas, tumben telepon, aku kaget, loh.] ucap Rani setelah telepon terhubung. [Siapa yang kamu telepon lewat W-A?] tanya Gio tanpa berbasa-basi. [Eemm... oh, anu … Mas. Tadi ada Ana telepon aku, dia nanya soal pinjaman uang bulanan sama Melly. Ini aku lagi bahas sama Ana, eh… kamu nelepon jadi teleponnya terputus,] jawab Rani seakan memikirkan jawaban terlebih dahulu. 'Ana? Ana baru saja beli buah tadi' batin Gio. [Emang kenapa, Mas?] tanya Rani. [Tidak.] Gio langsung menutup sambungan teleponnya. Gio sampai tak bisa tidur seakan dihantui oleh kenyataan kalau Rani tengah berbadan dua. Apalagi dengan kenyataan tadi siang juga kalau Rani berbohong berpadanya soal ia sedang menelepon Ana yang jelas ada di pasar sedang berbelanja di toko buahnya. 'Apa, iya… Rani ingin melakukan kebiasaan buruknya kembali? Tidak bisa ku biarkan!' Gio bergumam dalam hati. Kemelut rumah tangga Rani dan Gio selama dua belas tahun lamanya berjalan tidaklah selalu berjalan dengan baik-baik saja. Ujian dan cobaan selalu saja datang dan Rani yang menjadi biang permasalahannya.Rani selalu didapati Gio sedang bercumbu di dalam mobil oleh pria selesai Rani pulang manggung di acara pesta. Namun, Gio selalu memaafkan Rani dan mati-matian membela Rani, bila Rani disalahkan oleh orang lain sebagai perebut suami orang. Gio terus bertahan dengan sikap Rani sebab Rani tidak ingin Gio, meninggalkannya. Sementara itu, Gio sudah bersiap-siap untuk pergi keluar kota. Begitu juga Rani yang pagi-pagi sekali sudah bersolek, tanpa menyiapkan apapun yang akan dibawa pergi oleh Gio suaminya. "Kalau suami mau pergi itu siapin, dong! Bukannya dandan saja!" gerutu Gio sambil melipatkan beberapa pakaian ke dalam tasnya. "Halaah! Toh, cuma beberapa hari. Masukin baju ke dalam tas saja, kan mudah," sahut Rani sambil memoles bedak di wajahnya di depan meja rias. "Memangnya di rumah terus itu harus berdandan, ya?" tanya Gio. "Loh… iyalah. Masa’ nanti dibilang aku kelihat kucel udah punya suami!" sahut Rani dengan ketus. Gio menghela napas kasar, ia tak mau lagi berdebat dengan istrinya dan segera pergi meninggalkan Rani tanpa berpamitan. Gio sebenarnya hanya ingin mengetahui keadaan di rumahnya, setelah selesai memeriksa kondisinya di klinik. Gio merasa Rani sudah mulai berbuat curang kembali kepadanya. "Gio mau ke mana?" tanya , Ibu Ratih mertuanya. "Saya mau keluar kota dulu, Bu. Ada kerjaan diluar," jawab Gio sambil mencium tangan mertuanya. "Titip Rani ya, Bu," sambung Gio kemudian. "Tenang saja, Nak. Rani selalu di rumah dan tidak pernah ke mana-mana," ucap Ibu Ratih menenangkan menantunya. Gio merasa ibu Ratih mengetahu jika ada sesuatu yang terjadi pada anaknya. Namun, ibu Ratih seperti memilih bungkam karena ia takut hubungan Rani dan Gio akan bercerai. Mana mungkin dia tidak mengetahuinya, sedangkan rumah ibu Ratih dan rumahnya begitu dekat, bahkan masih dalam satu perkarangan. Gio tidak bisa mempercayai ibu mertuanya maka dari itu ia harus mencari tahu sendiri. Gio pun kemudian mengendarai motornya dan berhenti di tempat tongkrongan saat melihat Budi, Agus serta Candra sedang santai minum kopi sambil menikmati singkong rebus. "Mau ke mana kau, Gi? Ini masih pagi, ngopilah dulu," seru Agus yang membuat Gio berhenti sejenak. "Mau keluar kota, mungkin dua hari disana," jawab Gio yang membuat gelagat Candra menjadi lain. "Ngapain kau disana?" tanya Budi. "Ada panggilan pasang keramik," jawab Gio sambil mengambil sepotong singkong rebus yang langsung dicoleknya dengan gula pasir. "Pasang keramik cuma dua hari?" tanya Candra menimpali. "Ya, kan banyak orang yang kerja bangunan disana," jawab Gio seraya mengunyah rebusan singkong. "Ya, udahlah. Aku mau lanjut dulu, biar nggak kesiangan sampai disana," ucap Gio sambil menyeruput sedikit kopi milik Agus. "Oke, hati-hati," sahut mereka bersamaan. Gio tidak lagi memeriksa kondisi di tempat yang sama, saat ia bersama dengan Rani. Gio curiga kalau Rani sudah menyuruh dokternya untuk mengubah hasil suratnya. Dengan begitu Gio lebih memilih memeriksa di tempat klinik yang lain. "Sebelum dilakukan tes kesuburan, Bapak tidak mengkonsumsi alkohol, kan? atau merokok dan minum obat-obatan terlarang?" tanya sang dokter kemudian. "Tidak … saya sudah melakukan pola hidup sehat selama bertahun-tahun lamanya," jawab Gio menjelaskan. Dokter akhirnya meminta Gio pergi ke toilet untuk melakukan masturbasi dan menyimpan spermanya dalam sebuah wadah yang sudah disediakan untuk hasil test kesuburannya. Gio berharap hasilnya memang tidak mandul, dan surat yang disembunyikan oleh Rani adalah hasil yang salah. Meskipun mustahil kalau surat itu bisa salah. "Aargghh…!" teriak Gio frustasi sambil menunggu hasilnya. Sementara jika benar Gio dinyatakan mandul, lalu siapa ayah dari anak yang dikandung oleh Rani? Bagaimana menjelaskan semuanya pada keluarga Rani kalau anak yang dikandungnya bukanlah darah dagingnya. "Salahku waktu itu … setelah tes kesuburan, aku justri pergi sebelum hasilnya keluar. Kali ini aku akan menunggu disini, aku tidak akan pernah mau kelewatan lagi!" rutuk Gio dengan perasaan cemas menunggu di ruang tunggu. Setelah menunggu kurang lebih satu jam, hasilnya sudah dapat ditentukan dan Gio memang dinyatakan tidak subur atau mandul. Meskipun kenyataannya sudah cukup membuat Gio berhati lega. Tubuhnya merasa gemetar, sebab ia juga harus menerima kenyataan bahwa anak yang dikandung oleh Rani sudah jelas bukan anaknya. "Bangsat! Siapa ayah dari anak itu?!" Gio merasa geram sambil meremas surat hasil pemeriksaannya. Gio bergegas kembali pulang secara diam-diam karena ingin mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi saat dirinya tidak berada di rumah.Rani ikut pergi ke kampung halaman dimana Varo tinggal. Di tempat tinggal Varo masih minim sinyal karena jaringan tidak begitu memadai di sana. Kampung halaman Varo memang sangat pelosok, jauh dari kota karena memasuki kawasan perkebunan sawit."Di sini kalau mau cari sinyal naik ke bukit, Ran. Nanti aku kasih tahu bukitnya, ya," ucap Varo menjelaskan.Rani mengangguk. Bagi Rani tak apa hilang jaringan supaya tak ada lagi Gio yang menghubunginya. Rani disambut ramah oleh penduduk di sana. Apalagi oleh keluarga Varo. Sementara itu, Varo dan Rani sepakat merahasiakan status Rani yang sudah menjadi istri orang agar keluarga Varo mau menikahkan mereka berdua. Varo juga sudah meminta keluarganya untuk tutup mulut, soal pekerjaan Varo selama Rani belum sah menjadi istrinya.Kedua orang tua Varo banyak bertanya mengenai keseharian Rani di kampungnya dan Rani menjawab penuh kebohongan agar dapat memikat hati keluarga Varo. Rani dan Varo sama-sama menutupi sesuatu agar mereka bisa bersama. En
"Ya, sudah pelet aja itu Rani. Seharusnya ibu Ratih bisa, ya seperti itu," usul Budi. Namun, bukan membuat teman-teman Gio setuju, mereka malah merasa kalau Gio yang terkena pengasihan oleh Ibu Ratih sehingga tidak bisa melepaskan Rani."Loh, kok kalian malah pada diam?" tanya Budi kemudian."Sesuatu yang dasarnya dari sihir itu tidak baik, Bud," ucap Ari."Iya juga, sih," gumam Budi. Agus menatap Gio yang masih resah dan gelisah karena kepergian Rani istrinya."Lebih baik Mas Gio sholat istikhoroh, deh. Siapa tahu Mas Gio dapat petunjuk," saran Vera dan Ari suaminya mengangguk setuju.Gio termenung, sepertinya memang harus menghadap kepada sang kuasa agar Gio merasa lebih tenang dan bisa mendapatkan petunjuk hubungannya dengan Rani. Gio sudah terlampau jauh melupakan Tuhan sehingga ia tak tahu arah dan kini mungkin saatnya Gio menghadap kepada sang kuasa untuk meminta petunjuk."Iya, bener juga yang dibilang Vera. Daripada gue ke dukun-dukun buat menghentikan Rani untuk tidak berbuat
Gio mencari ke sana-kemari di sudut ruangan, namun hanya ada Varo yang tengah duduk sendiri. Gio mencurigainya, tetapi ia tidak melihat Rani sedang bersamanya."Maaf, Mas pelanggan perempuan yang Mas maksud sudah pergi dari sini," kata seorang pelayan yang langsung datang menghampiri Gio."Oh, begitu, ya." Gio melirik ada rasa curiga kepada pria yang sedang duduk itu, namun Varo hanya terdiam saja."Mbak, saya pesan nasi gorengnya sama es jeruk, ya," seru Varo yang sengaja memesan makanan agar tidak dicurigai. Gio pun kemudian beringsut pergi dari warung makan Sudiro itu. Raut wajah Gio menjadi kecewa karena ia tak berhasil menemukan Rani."Berarti benar, Rani pergi dengan Candra ke kota Rajawali lagi. Dan pria yang di dalam bukanlah kenalan Rani," gumam Gio yang kemudian menaiki motornya.Gio menduga Rani melarikan diri bersama Candra ke luar kota lagi. Gio tidak tahu kalau pria di dalam warung itu adalah kekasih baru Rani istrinya. Gio melajukan motornya kembali pulang. Sepertinya G
Candra segera menghubungi Gita untuk memberitahukan Lia agar tidak banyak bergaul dengan laki-laki yang nantinya hanya mempermainkannya saja. [Lia sudah dewasa, Mas. Dia sudah tahu mana yang baik menurut dia, apalagi dia ambil pembelajaran mengenal laki-laki itu dari ayahnya sendiri.] Isi pesan Gita pada Candra saat Candra menyalahkan Gita karena tak bisa menjaga anaknya."Aku yang tak bisa menjaga anak-anak dia bilang? Dia hanya bisa menjaga Rani saja sudah berani menasihatiku!" rutuk Gita kesal.Krieeet...! Suara pintu rumah terbuka."Aku pulang," seru Lia saat baru saja tiba di rumah."Lia.""Hmm...""Dari mana kamu?""Jalan sama Dimas, Bu. Kan, Ibu tahu tadi aku dijemput Dimas di pengadilan, kan.""Ayahmu menegur Ibu, katanya Ibu nggak bisa menjaga kamu karena kamu bergaul dengan pria yang salah," kata Gita pada putri sulungnya."Dia tahu dari mana kalau Dimas adalah laki-laki yang nggak baik? Sebelum dia menilai orang, lebih baik suruh ayah bercermin dulu, deh," bantah Lia tak s
Aku tidak pernah tahu, mana pria yang baik. Karena pria yang terbaik menurutku saja ternyata adalah pria yang paling keji kelakuannya.Rani langsung melupakan janjinya kepada Gio kalau ia menyesali perbuatannya selama ini kepada Gio karena mendapatkan pesan dari pria idamannya, yaitu Varo."Aku gak akan sanggup kalau terus di kurung sama Gio begini. Aku harus bisa bebas dari sini." Rani menggumam dan berharap Varo membawanya pergi.Drrtt...! Ponsel Rani berdering, ada telepon masuk dari Varo, tetapi Rani tidak berani mengangkatnya karena takut kalau Gio mendengar obrolannya dengan Varo.[Jangan telpon, kita chat aja, ya.] Rani mengirim pesan pada Varo setelah teleponnya ia matikan.[Kamu bisa gak jemput aku di Desa Kuala? Aku benar-benar minta tolong sama kamu, aku harap kamu bisa jemput aku.] Isi pesan Rani pada Varo lagi. Menunggu balasan dari Varo membuat Rani gelisah dan berharap Varo akan menjemputnya.[Memangnya kenapa? Kamu di desa itu ngapain?] tanya Varo.[Panjang ceritanya,
Gio tersenyum sinis menatap istrinya. Namun, kini tidak ada lagi perkataan Rani yang dapat ia percaya semuanya penuh kepalsuan. Ditambah lagi saat Gio mendapati Rani tengah bersenang-senang dengan Candra."Jadi, kalian bersekongkol pergi dari desa, dan melanjutkan perselingkuhan kalian di luar kota?" tanya Gio dengan wajah datar penuh kekecewaan."Gak, Gi. Gue gak tahu kalau Rani akan bekerja di kafe. Kami hanya bertemu di sini tanpa disengaja." Candra coba menjelaskan kepada sahabatnya itu."Kafe? Berarti selama ini benar, kan! Kalau kamu tidak bekerja di toko baju?" tanya Gio yang mendelik tajam melihat ke arah Rani yang sudah gugup karena tertangkap basah oleh suaminya."Tidak, Mas! Cuma malam saja aku kerja di kafe, cari tambahan sebagai penyanyi bayaran. Paginya aku kerja di toko baju," jawab Rani. Tubuhnya gemetar dan mulai berkeringat dingin."Kalau begitu tunjukkan tempat tinggal kamu, dan tunjukkan dimana toko bajunya," pinta Gio kemudian.Rani kebingungan menjelaskan kepada