Share

Bab 6

Author: Moms Qi
last update Last Updated: 2024-12-12 23:09:58

"Arinda!" panggil Ulfa begitu melihat Arinda pulang dari rumah sakit.

Arinda berjalan gontai ke arah Ulfa yang sudah menunggunya di teras rumahnya. Dia mendudukkan pantatnya, meletakkan tas kecilnya.

"Gimana sama Sri, Rin?" tanya Ulfa dengan nada mendesak dan terkesan tidak sabaran. Dia terus menatap Arinda sejak tadi, menunggu jawaban.

Arinda menggeleng lemah. "Dia mau dibawa ke rumah sakit kota, Fa. Yang lebih lengkap fasilitasnya," jelasnya setelah menarik nafas dalam-dalam, melepaskan sesak dalam dadanya.

"Ya Allah! Apa separah itu, Neng?" timpal Nuriyah yang ikut nimbrung ke dalam obrolan. Dia ikut mendudukkan tubuhnya, setelah meletakkan teh hangat di atas meja.

Arinda mengangguk ragu. "Entahlah, Bi. Tadi, keluarganya cuma bilang gitu doang. Lagi pula, aku tadi nggak diizinkan masuk buat jengukin dia. Jadi, ya, cuma nunggu di luar aja," jelas Arinda panjang lebar.

Ulfa meremas ujung baju yang dia pakai saat ini. Tentu saja dia cemas dengan keadaan Sri. Dialah orang terakhir yang bersama Sri, sebelum gadis itu mengalami kecelakaan.

"Apa yang sebenarnya terjadi sama Sri? Kenapa dia bisa sampai kehilangan fokus? Apa dia sedang memikirkan perihal calon suami Arinda, ya?" batin Ulfa menebak-nebak.

Hal itu yang sejak tadi mengganggu pikirannya, karena memang itu yang terakhir mereka bahas.

"Kita berdoa aja buat kesembuhan Sri, ya?" ucap Arinda kemudian, meraih tangan Ulfa dan menggenggamnya erat. Mencoba menampilkan senyum menenangkan walau sorot matanya terlihat sendu.

Ulfa mendongak, menganggukkan kepalanya. Keduanya langsung berpelukan setelahnya, saling menguatkan satu sama lainnya.

"Rencananya, aku besok mau ikut ke kota jengukin Sri," ucap Arinda, melepaskan pelukan mereka.

Nuriyah langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak-tidak. Kamu sudah tidak boleh pergi kemana-mana lagi, Neng!" cegahnya cepat.

"Ingat! Kamu teh udah mau jadi pengantin," imbuhnya lagi dengan wajah khawatirnya.

"Tapi—"

Puk!

Ulfa menepuk tangan Arinda, membuat gadis itu menghentikan kalimatnya sejenak. "Yang dikatakan bibi kamu benar, Rin. Pernikahan kamu tinggal seminggu lagi. Kamu udah nggak boleh kemana-mana lagi."

"Bener, Neng. Kamu itu udah bawa sawan, lho!" timpal Nuriyah membenarkan ucapan Ulfa.

Arinda masih tampak gelisah, tidak tenang dan Ulfa memahaminya. Dia langsung menggengam tangan Arinda lagi. "Kamu tenang aja. Biar aku sama Mas Yuda yang ke sana. Mumpung besok hari Minggu, jadi aku bisa titip Nakula ke Ibu dulu," ucapnya menenangkan.

"Nah! Begitu saja lebih baik, Neng!"

Arinda mengangguk walau dengan hati yang berat. Dia ingin sekali melihat kondisi Sri dengan mata kepalanya sendiri. Tapi, itu semua tidak memungkinkan untuk dia lakukan saat ini.

"Baiklah kalau begitu. Kabari aku, ya, Fa!"

"Pasti, Rin! Aku pasti kabari kamu besok!"

~~~

"Gimana, Mas? Sudah dapat izin, kan?" tanya Wina, saat melihat suaminya keluar dari gedung megah di depan sana.

Wisnu mengangguk sembari menggulung lengan kemejanya. Mengusap peluh yang tiba-tiba membanjiri wajahnya. Padahal, hari ini sedikit mendung. Anehnya dia malah berkeringat.

"Mbak Sri nanti malam akan dipindahkan di rumah sakit kota, Mas. Jadi, kita tidak perlu ke desa," ucap Wina memberitahu.

Langkah Wisnu terhenti sejenak, menatap ke arah sang istri dengan tatapan bingungnya.

Wina tersenyum tipis, merogoh ponselnya dan menunjukkan benda yang layarnya tengah menyala itu kepada sang suami.

"Pesan dari Ibu, Mas. Dia tadi kirim pesan ke kamu juga. Tapi, kamu belum ada membalasnya," jelas Wina setelah mendapatkan ponselnya kembali.

Wisnu mengangguk pelan. "Aku memang tidak sempat membuka ponsel dari tadi, Win," jelasnya seraya merogoh ponselnya sendiri.

Benar yang dikatakan Wina. Ada pesan masuk dari ibunya. Dia kembali menatap ke arah sang istri, setelah menyimpan ponselnya kembali.

"Semoga, Mbak Sri baik-baik saja, ya, Win," ucapnya dengan penuh harap. Berharap, kakak perempuannya itu dalam keadaan baik.

Wina mengaminkan ucapan tersebut. Keduanya kembali meneruskan langkah mereka, menuju mobil Wisnu berada.

Tapi, Wina tiba-tiba berhenti saat mengingat sesuatu. Dia menarik sang suami, menatapnya dengan tatapan serius.

"Mas, sebetulnya sebelum kecelakaan itu, Mbak Sri ada kirim pesan ke aku," ucapnya, kembali mengeluarkan ponselnya dengan cepat.

"Kirim pesan apa, Sayang?" tanya Wisnu ikut-ikutan memasang wajah seriusnya.

Wina tak menyahut. Melainkan menyodorkan ponselnya kembali. Menampilkan isi pesannya dengan Sri beberapa jam yang lalu.

"Lho? Kenapa Mbak Sri tanya soal Pak Reza?" tanya Wisnu dengan kening berlipat.

Wina hanya bisa menggelengkan kepalanya. Karena dia juga tidak tahu alasan Sri menanyakan hal tersebut.

"Dia nggak kenal sama atasan kamu itu 'kan, Mas?" Wina melayangkan pertanyaan balik.

Wisnu mengangguk dengan wajah serius, berpikir keras. "Mbak Sri nggak kenal sama Pak Reza, Win," gumamnya.

"Jangankan kenal. Temen cowok aja dia hampir tidak punya. Terus, dia dapat foto Pak Reza dari mana, ya?" imbuhnya lagi. Mengingat kakaknya itu sangat tertutup dengan lawan jenisnya.

"Entahlah, Mas." Raut wajah Wina tak kalah bingungnya dari Wisnu.

"Ah, sudahlah. Ayo kita pulang!" ajak Wisnu setelah tak mendapatkan jawaban dari pertanyaannya tadi. Dia tak ingin memikirkan hal itu.

Keduanya masuk ke dalam mobil. Wisnu mulai melajukan kendaraan tersebut keluar dari area perkantoran dengan sedikit tergesa.

Tanpa mereka sadari, ada sepasang telinga yang tanpa sengaja mendengar obrolan mereka sejak tadi.

Wanita yang tak lain adalah Ayu itu, berdiri mematung di sebelah mobilnya. Niatnya untuk masuk ke dalam kendaraannya tersebut pun urung dia lakukan.

"Apa maksudnya obrolan mereka tadi? Kenapa ada perempuan yang menanyakan Mas Reza?" Keningnya berkerut.

"Apa maksudnya ... Mas Reza ada perempuan lain?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istriku Seorang Pengangguran   Bab 24

    "Sudahlah, Sayang. Nanti kamu juga akan ketemu sama mereka lagi pas balik ke desa," ucap Ardi, menenangkan. Arinda mengangguk. Namun, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia kecewa, karena semuanya tidak seperti yang dia harapkan. Harusnya, dia bisa berpamitan dengan teman-temannya terlebih dulu. "Entah kapan aku bisa kembali ke desa," batinnya. "Apa Mas Ardi sengaja memajukan jadwal kita karena ingin segera bertemu dengan wanita itu? Atau memang Mas Ardi benar-benar ada urusan?" batin Arinda kembali bertanya-tanya, menatap sebentar ke arah suaminya itu. Entahlah. Rasanya, sekarang dia mulai tidak percaya kepada laki-laki yang duduk di sebelahnya saat ini. Padahal, dia tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Arinda memejamkan matanya, menghalau rasa sesak di dadanya. "Tenanglah, Rin. Semuanya akan baik-baik saja!" ~~~ Sampai di kota. Mobil yang membawa

  • Istriku Seorang Pengangguran   Bab 23

    Arinda melongo sejenak. Mengerjapkan matanya untuk mencerna apa yang baru saja dia dengar itu. "A–apa? Dia tidak meminta haknya malam ini?" batinnya sedikit bingung. Lagi-lagi mereka tidak seperti pasangan suami istri baru yang lainnya. "Tidurlah, istirahat!" Ardi menepuk ranjang di sebelahnya, memberikan kode agar Arinda segera mendekat. Arinda menurut, naik ke atas ranjang tanpa melepaskan penutup kepalanya. Ia merebahkan tubuhnya di ranjang itu dengan canggung. Tidak ada percakapan, hanya hening yang mengisi ruangan sempit itu. Dan Ardi tampaknya juga sudah terlelap tak lama Arinda naik. Arinda menatap suaminya yang sudah memejamkan matanya. Dengkuran halus mulai terdengar, pikiran Arinda kembali bercabang. Malam pertamanya, sangat jauh dari yang dia bayangkan. "Apa ini? Apa ada sesuatu yang dia sembunyikan?" "Bahkan, dia enggan menyentuhku?" batinnya dengan mata yang terasa p

  • Istriku Seorang Pengangguran   Bab 22

    "Aarrgh!"Brak!Pyar!Sampai di rumah, Ayu membanting semua yang ada di meja riasnya. Skincare, alat-alat makeup, parfum dan semua yang ada di sana jatuh ke lantai, pecah berserakan. Hancur menjadi bagian yang sudah tak bisa digunakan lagi."Hiks! Tega kamu sama aku, Mas!""Jahat kamu, Mas! Jahat!" teriak Ayu histeris. Dia menangis meraung-raung, kembali melempar sprei di atas ranjangnya beserta semua yang ada di sana.Sekali lagi, Ayu menjerit keras. Meluapkan semua sesak yang ada di dadanya. Hatinya begitu nyeri, seperti ada ribuan duri yang menancap di sana."Hah!" Napas Ayu tersengal. Tubuhnya mulai lelah, tak bertenaga. Dan akhirnya, dia jatuh ambruk ke lantai. Terduduk dengan memeluk lututnya sendiri, sembari terus menangisi nasibnya yang begitu malang."Sepuluh tahun, Mas. Akhirnya, kamu sudah tidak bisa menahan rasa itu hanya untuk aku saja," gumam Ayu terdengar pilu."Rasanya, sungguh tidak bis

  • Istriku Seorang Pengangguran   Bab 21

    "Tolongin Arinda, Mas. Kayanya, calonnya bukan orang baik-baik deh," lanjut Sri lagi, masih dengan berbisik."Kenapa Sri dan ibu bisa berpikiran yang sama, ya?" batin Dika dengan kening mengkerut."Kenapa kamu ngomong gitu, Sri? Kamu kenal sama calonnya Arinda?" tanya Dika balik. Dan bisa-bisanya, dia juga ikut berbisik seperti yang Sri lakukan.Sri menggeleng lemah. "Sebelum aku kecelakaan, aku sempat tanya sama Wina, Mas. Aku kirim foto ke dia.""Dan Wina bilang, foto yang aku kirim itu ... adalah atasan Mas Wisnu!Dika terkejut mendengarnya. Walau dia sendiri tidak tahu seperti apa rupa wajah atasan Wisnu itu."Ah. Mungkin, cuma kebetulan mirip aja kali, Sri. Kita kan memang punya tujuh kembaran di muka bumi ini!" Akhirnya, hanya kalimat itu yang keluar.Sri manggut-manggut, ikut membenarkan. "Tadinya, aku juga mikir gitu, Mas. Tapi, Wina mendadak aneh setelah lewat rumah Pak RT tadi. Dan sekarang, dia malah udah bali

  • Istriku Seorang Pengangguran   Bab 20

    "Kamu serius mau balik ke kota sekarang, Win?" Sri bertanya saat Wina tengah menyapukan bedak ke wajahnya.Wina melirik Sri dari kaca besar yang ada di depannya saat ini. Sri terlihat menyilangkan kedua tangannya di depan dada, dengan tubuh yang bersandar di pintu kayu yang warnanya bahkan sudah pudar.Merasa diperhatikan, Sri melangkah mendekati Wina. Berdiri tepat di sisi adik iparnya itu. Menatap Wina dengan tatapan menyelidik."Win? Bukannya kamu pengen banget menghadiri pernikahan Arinda?" tanya Sri lagi, sedikit mendesak agar Wina lekas bersuara dan menjawab kebingungannya.Wina menutup bedaknya, meletakkannya dengan hati-hati di dalam tas. Dia mengambil lipstik, menyapukan benda itu ke bibirnya.Masih berusaha mengabaikan keberadaan Sri yang masih menunggu jawaban dari dirinya. Walau hatinya sendiri sedang bergejolak hebat saat ini. Rasanya, dia ingin mengeluarkan semua beban yang dia dapatkan secara dadakan ini. Membaginya dengan

  • Istriku Seorang Pengangguran   Bab 19

    "Bu?"Dika terbangun saat hari sudah hampir petang. Dia celingukan, mendapati kamarnya yang masih dalam keadaan gelap."Aduh, jam berapa ini?" keluhnya beranjak dari ranjangnya dengan sempoyongan.Dia belum mengisi perutnya sejak pulang ke rumahnya kembali. Dan seharian ini, dia menghabiskan waktunya untuk tidur saja. Pantas saja kalau dia merasa kelaparan saat ini.Ctek!Bukan hanya kamar Dika saja yang gelap. Tetapi, seluruh rumah dalam keadaan gelap. Tak ada tanda-tanda keberadaan sang ibu di dalam rumah sederhana ini."Ibu belum pulang, kah?"Dika kembali berjalan. Menghidupkan semua lampu di rumahnya. Setelahnya, dia membuka pintu depan. Masih celingak-celinguk di depan rumahnya.Tiba-tiba, Dika teringat dengan calon Arinda yang menurut ibunya, sekarang menginap di rumah Pak RT."Ah, sial! Aku jadi tidak bisa mengorek informasi tentang calon Arinda!" keluhnya, menyesal karena sudah tidur seharian.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status