Share

Sapa Pertama

"Bie! aku curiga kamu yang biasanya selalu molor sampai siang, malah selalu bagun pagi sekarang. Tak peduli masa pandemi kayak gini," gerutu Anton melihat kelakuan Habibie seminggu belakangan ini. 

"Aah, Kamu Ton ... Ton ... curiga tanpa alasan. Aku kan olah raga sambil berjemur matahari," ucap Habibie sambil tertawa. 

"Serius, Kau Bie?" dengan wajah konyol sambil membelalakkan kedua matanya. 

"Ya,  iyalah aku serius, Kamu mau ikut?" tantang Habibie. 

"Ogah!  Aku berjemur di depan kost-kostan aja," jawab Anton teman sekamarnya. 

"Aku sudah mengajakmu loh, ya. Jangan nyesel ... berangkaatt ... daahh." Habibie bergegas menggunakan sepatu dan menaiki sepedanya. Dikayuh sepeda ke arah taman yang jaraknya kurang lebih 500 meter dari tempat kostnya. 

Matahari sudah cukup tinggi kala Habibie keluar dari tempat kostnya. Udara masih terasa segar saat Habibie menghirup hingga ke paru-paru, sebuah senyum tersungging di bibir. Ada rasa hangat yang menjalar dalam dadanya bila mengingat kisah semingguan ini. 

Tepat pukul 07.05 sedikit telat dari biasanya, Habibie mendorong sepedanya sambil berjalan kaki menuju sebuah kursi di bawah rindangnya pohon akasia.

Dari sini Ia bisa puas memandangi sosok cantik yang selalu duduk di bawah pohon bebuya di seberangnya. Sebuah kali kecil buatan memisahkan jarak antara mereka.

"Sudah tujuh hari, aku cuma berani memandangi. Aku seperti orang lain saat menatapnya. Tak punya nyali, hanya menikmati kecantikannya dari sini. Ya, Tuhan ... ada apa denganku." Habibie tersenyum sendiri sambil menepukkan telapak tangannya ke dahi. 

Habibie kemudian bangkit dari posisi duduknya. Dikuatkan hati untuk mengambil posisi mendahului. Ia tak ingin seminggu lagi hanya sekedar memandangi tanpa sedikitpun mengenal perempuan itu. 

Didorongnya kembali sepeda hingga menyebrangi jembatan beton yang menghubungkan tanah yang sedang mereka pijak. Matanya tak pernah dialihkan pada sosok cantik bergamis dan berkerudung merah muda yang tengah asik dengan kertas dan pinsilnya. 

Semakin dekat jarak di antara mereka semakin membuat degub jantung Habibie berdetak lebih cepat. 

Di seratus meter jarak antara mereka, Habibie sengaja memarkirkan sepedanya. Melangkah sambil mengatur nafas agar gundahnya segera hilang. Sampai ia berhasil duduk di kursi yang sama. Perempuan itu seolah tak menggubris kehadirannya atau mungkin terlalu fokus pada apa yang di kerjakan. 

Dari sampingnya Habibie bisa melihat bahwa perempuan itu menggambar sebuah lengan. Seolah Ia sedang melukiskan imajinasi dalam kepalanya di atas kertas. 

Berkali-kali Habibie berdehem, namun perempuan itu seolah berada dalam dunianya sendiri. Habibie merasa diacuhkan, tapi juga sangat penasaran. 

Lalu dengan gemas akhirnya tangan Habibie diletakkannya di atas gambar yang sedang dilukis perempuan itu. 

"Namaku Habibie, siapa namamu?"

Perempuan itu nampak terkejut, sedikit merubah posisi duduknya ke arah ruang kosong di sisi kanan, mata bulatnya tampak curiga, ada bayang kecemasan yang tertangkap mata Habibie. Lalu dengan sigap ia merapikan alat tulisnya dan berlalu dari hadapan Habibie dengan cepat. 

"Busyet, dah! Baru kali ini Aku ditolak oleh perempuan," gerutu Habibie sambil menggaruk rambut hitamnya yang tak gatal. Wajahnya tersenyum kesal, namun lega setidaknya ia merasa telah melakukan sesuatu dengan benar. 

Untuk beberapa waktu lamanya Habibie duduk terdiam, pikirannya mengulang semua kejadian. Menelaah tiap kata dan tindakan yang mungkin terasa salah. Namun tak satupun ia mendapati ketidak pantasan yang dihaturkan kehadapan Cloudy, si perempuan yang saat itu belum diketahui namanya oleh Habibie.

Di antara lamunan, egonya sebagai pria perebut hati wanita mentertawakan kebodohannya kali ini. Ternyata perempuan cantik di taman yang dikagumi dalam hati, bukanlah seperti gadis, perempuan atau wanita lain yang sering ditemuinya. Wajah tampannya, suara baritonnya yang kerap menggoda hati wanita ternyata bukan senjata yang mumpuni untuk targetnya saat ini.

Dengan berat hati, Habibie meninggalkan taman, namun entah kenapa hatinya masih yakin akan ada pertemuan kembali dengan perempuan itu. Perempuan bergamis dan berkerudung merah muda. 

Sepanjang perjalanan, sambil mengayuh sepedanya menuju kostnya, bibirnya bersiul lagu Adek berjilbab biru. Dadanya yang bidang masih berdegub kencang membayangkan wajah cantik Cloudy.

Ini adalah pengalaman dan kegagalan pertama bagi Habibie, selama ia bergaul dengan lawan jenis. Perempuan yang tak mudah terpukau akan wajah tampan dan suara baritonnya. Sementara dengan sadar Habibie selalu memanfaatkan kelebihan fisiknya untuk memikat lawan jenis. Semakin dipikir, Habibie merasakan gemas pada perempuan yang sudah hampir seminggu bergelut dalam benaknya.

"Bukankah cinta datang tanpa diminta, cinta bahkan menerpa hati yang yang  enggan merasakannya. Cinta seperti seorang tamu yang tak pernah diundang sebelumnya, membuat rona di rupa, juga di dalam jiwa. Cinta kadang diburu juga dipuja bahkan dicela secara bersamaan. Cinta cuma dirimu yang rasa." Kata-kata cinta bertabur di hati Habibie bagai kidung yang membiru hati.

*****

Cloudy bergegas menjauhi pria yang tiba-tiba ada di kursi yang sama saat ia sedang asyik menggambar. Rasa takutnya dan kehawatiran akan kejadian serupa di masa lalu, membuatnya menjauhi siapapun yang tak dikenal.

Udara segar yang memenuhi alam pagi itu, serasa sesak dalam rongga dada Cloudy. Sepanjang perjalanan menuju pulang ia menahan batuk. Tenggorokannya terasa menyempit dan oksigen kian menipis dalam paru-parunya. 

Langkah kaki Cloudy seolah berkejaran untuk segera meninggalkan taman. Tak sedikitpun wajah tampan Habibie melekat dalam benaknya. Di dalam hati Cloudy cuma satu, pergi dan menghindar sejauh mungkin. 

Nafas Cloudy terengah, sesampainya di rumah ia segera menuju dapur dan menegak sebotol air es dalam lemari pendingin.

Mata bulat Cloudy menyisir sekitar ruangan, dapur tampak sepi karena para asisten mengerjakan hal lain di luar. Cloudy bersyukur dalam hati, tak ada yang melihat kedatangannya. Ia tak ingin mejawab pertanyaan dan melihat rasa khawatir di netra mereka. Lalu dengan setengah berjingkat ia berjalan menuju kamarnya. 

Cloudy memilih duduk di depan meja tulis yang menghadap jendela. Dari tempat duduknya ia bisa memandang taman yang ditanami bunga mawar dan sedap malam yang tampak indah berbunga.

Kaca jendela yang terbuka menghantarkan aroma wangi dari bunga-bunga yang sedang bermekaran. Membuat rasa sesak didadanya berkurang dengan cepat. Dihirupnya perlahan udara yang masuk ke dalam kamarnya, mata Cloudy terpejam menikmati kesegaran yang masuk dalam rongga dada.

Lalu saat bias mentari membelai wajahnya dengan kehangatan, sebuah bayang masa lalu menyergap masuk ke dalam pikirannya. Matanya seketika terbuka, tubuhnya tiba-tiba mengejang. Dengan jelas tato seorang wanita yang melekat di tangan pembunuh ibunya melesat masuk dalam kepala membuat jemari lentik Cloudy menggambarkan dalam lukisannya.

Nafasnya memburu, rasa takut mengepung pikirannya. Sketsa lengan bertato itu selesai dengan cepat. Lalu kepedihan yang menggelayut dalam dadanya tertuang dalam bait-bait puisi yang singgah di kepala.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status