Share

Sebuah Rencana

Habibie pulang ke tempat kostnya dengan perasaan setengah dongkol dan setengahnya lagi adalah rasa penasaran. Pria muda berusia 25 tahun yang sedang merintis usaha cafe dan makan sehat itu merasa kecewa namun rasa ketertarikannya membuat jiwa petualangnya kembali berkibar. 

"Eh, Napa Kamu, Bie?" tanya Anton yang memandangi sahabatnya pulang dengan wajah lesu. Anton sedang berada di teras depan kamar kost mereka.  

Habibie cuma memandanginya dengan tatapan lesu lalu memarkir sepedanya. Kemudian dengan gerakan yang tiba-tiba mengagetkan sahabatnya yang juga partner kerjanya itu.  

"Aah, aku sepertinya sedang mengalami gangguan kejiwaan. Moodku kadang baik kadang buruk. Kau harus menolongku, teman!" Habibie membuat posisi berlutut memegangi sarung yang sedang dikenakan Anton sambil berusaha menariknya agar terlepas. 

"Eeits, ngapain sih Kamu, Bie. Aku kan enggak pake celana dalam."Anton berbicara setengah berbisik. Takut ada yang melihat perkakasnya bila sarungnya melorot. 

"Tolonglah, Ton. Kau kan sahabat baikku, masa Kau tega melihat Aku merana," rengek Habibie masih dengan wajahnya yang tanpa dosa. Dan tangan yang masih menarik-narik sarung yang dikenakan Anton. 

"Tolong sih tolong tapi enggak gini juga kali, Bie,” Anton berujar sambil tetap berusaha mempertahankannya dengan sekuat tenaga hingga tetes keringat yang terakhir. 

Habibie tak kuasa lagi menahan tawanya melihat wajah Anton yang merah menahan malu karena kelakuannya. 

Lalu Habibie beranjak masuk kamar masih dengan tawanya, Anton merasa dikerjai oleh sahabatnya sendiri. 

Beberapa saat kemudian Anton menyusul masuk ke kamar mereka. Habibie sudah selesai mandi saat pertanyaan yang sama diucapkan Anton kembali.  

Anton sangat mengenal watak Habibie yang periang, tapi Habibie tak pandai menutupi kesedihan maupun rasa kecewa terhadapnya. Walau wajahnya di penuhi senyum dan tawa.  

Persahabatan mereka sejak masa sekolah menengah membuat Habibie sulit untuk merahasiakan sesuatu kepadanya. 

"Ada apa, Bie?"

"Tak ada apa-apa. Kamu selalu sok tahu tentang keadaanku."

"Pada kenyataannya, Bro, aku memang tahu tabiatmu. Sekarang boleh Kamu tak mengakui. Tapi nanti masanya Kamu enggak akan mangkir lagi."

Habibie tersenyum masam, Ia memang merasa belum waktunya bercerita semua dengan Anton.  

"Satu saja pesanku, Bie.  Jika kesedihanmu berasal dari perempuan. Cari saja perempuan yang lebih baik darinya. Bukannya itu prinsipmu sejak dulu di masa kita SMA" ucap Anton mengingatkannya 

Habibie hanya diam, ia pantang memberi tahu sebelum semuanya berada dalam gengaman. Dan perempuan yang seminggu ini menarik perhatian Habibie masih tak sudi berkenalan dengannya. Rasa penasaran membuat hatinya bertekad untuk mendekati, apapun caranya. Pantang menyerah sebelum berjuang.  

Sekejap keheningan melanda keduanya, Habibie tahu, sekuat apapun ia menyimpan kisah dari sahabatnya ini, Anton juga pada akhirnya akan tahu,  tapi naluri sebagai seorang pejuang cinta membuatnya juga tak ingin bersedih, hanya karena awal kisahnya tak telihat menawan seperti kisah cintanya terdahulu. 

Ia bertekad untuk berjuang dulu sebelum berpikir menyerah. Lalu semua perbincangan dalam otaknya disingkirkan jauh-jauh. Habibie perlu mencari nafkah, untuk bekal masa depan, juga untuk merawat cintanya kelak. Bukankah cinta juga perlu dipelihara? dan materi jadi salah  satu bahan resepnya. Diambilnya kemeja berwarna biru muda bergaris-garis halus berwarna biru tua untuk dikenakannya bekerja.

"Baiklah, hayu kita kemon." Habibie berkelakar dengan Anton sambil menggunakan kemeja dengan hanya telapak tangan menyembul dari lubang lengannya. 

Anton tertawa terbahak, namun segera bersiap untuk berangkat bersama Habibie mengawasi jalannya cafe mereka. 

*****

Jam 05.50 pagi selepas shalat subuh, Habibie kembali bersiap menuju taman. Kali ini Ia harus tahu nama dan alamat rumah perempuan yang tak beranjak mengisi kepalanya.  

Sementara Anton kembali tidur. Sedangkan Habibie kembali bersiap untuk petualang hatinya. Hari ini sebuah rencana telah dicanangkannya sedemikian rupa. 

Habibie menatap wajahnya di cermin, dalam hatinya bicara, "Assalamu'alaikum pejuang cinta, aku tahu hatimu sedang terpanah asmara. Mari kita berjuang sampai kita tahu kenapa kita bukan pilihan hingga berhenti dan menyerah pada kehendak alam," sebuah senyum menghias di bibir tipisnya.

Saat sampai di taman, Habibi mulai melaksanakan segala niatnya. Target pertama adalah tahu nama dan alamat perempuan penghuni isi kepalanya itu.  

"Hari ini, aku tak akan mengganggumu dengan sosokku, tapi aku akan jadi bayanganmu.  Mengikuti kemana saja engkau pergi. Aku hanya akan diam, namun akan selalu mengitarimu." 

Saat Habibie berniat untuk semakin dekat dengan perempuan yang menggisi alam pikirannya, sementara Cloudy ragu apakan ia akan pergi ke taman ataukah berdiam diri saja di rumah. 

Cloudy bahkan berdoa agar hari ini hujan turun, agar ia punya alasan untuk tidak keluar rumah.

Cloudy berjalan hilir mudik di dalam kamarnya. sebagian hatinya gundah dan gelisah mengingat kisah kemarin. Sebagian hatinya telah terpaku janji untuk berjuang atasi traumanya tanpa bersembunyi dari kenyataan lagi. 

"Ayolah Cloud, laki-laki kemarin belum tentu berniat jahat, bisa saja ia hanya ingin mengenalmu. Bagaimana bila ia sama saja dengan pria-pria yang telah menjahati diriku? Bagaimana bila ia telah berencana jahat sebelumnya?" bibir Cloudy menceracau sendiri. Batinnya sibuk berdiskusi dengan akal sehat dan logika.

Lalu matanya tanpa sengaja menatap foto ia dan Tante Amiranya. Tanpa sadar tubuhnya berjalan menghampiri pajangan beberapa foto yang di tata dalam rak dinding di kamarnya. Foto sejak ia masih berusia empat tahun. Wajah tante Amira sangat cantik ketika ia masih muda dan kemudaannya telah dikorbankan untuk kemandirian Cloudy. Bertahun ia menemani, memahami dan terus mendampinginya dengan sabar.

"Bertahun-tahun Tante Amira berkorban untukku, lalu masihkah aku cukup tega membiarkan ia menua dan terus berada di sisiku. Andai Mama di sini ia pasti tak akan membiarkan adiknya mengorbankan masa muda dan mengambil alih semua tanggung jawab mama. Aku harus kuat dan lebih berani, harus!" Tangannya mengepal antara ketakutan dan keberanian yang dipaksanya untuk keluar. Ia menyayangi Tante Amiranya, wanita yang mulai menua namun masih cukup cantik dan terlihat muda di usianya yang sudah menginjak 40 tahun.

"Aku harus berani, aku tak boleh tergantung pada Tante Amira ataupun Kakek. Ini waktuku juga untuk memimpin perusahaan Almarhum Papa dan Mama. Tante Amira sebentar lagi akan memiliki keluarga sendiri. Dan aku tak boleh egois." 

Lalu dirapikannya buku gambar dan buku tulis ke dalam tas bahu berwarna coklat muda. Digantinya pakaian rumahnya dengan gamis berwarna peach dengan motif floral. Kerudung instan berwarna senada juga dikenakannya pagi itu, seolah ia ingin menyampaikan pada orang lain ia sedang merasa tenang, sekalem warna pakaiannya. 

Langkahnya terasa berat, namun tekadnya untuk tak lagi memberatkan keluarga karena terus-terusan menghawatirkan keadaannya, memaksa diri menyeret kakinya untuk terus menuju ke taman. Dalam hati ia berdoa, semoga tak seorang pun memperhatikan saat ia berada di taman. 

Langit terlihat begitu biru, ada dua hati yang saling bertolak namun ditakdirkan berjumpa dalam satu kesempatan yang tak pernah dipikirkan mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status